Blessed are the forgetful: for they get the better even of their blunders.
(F.Nietzsche, Beyond Good and Evil)
begitu susahnya melupakan, sementara ada sesuatu yang terus berjuang untuk selalu diingat, tapi yang kita dapatkan malah kita tidak bisa lupa dengan sesuatu yang ingin kita lupakan. Sekitar seminggu ini ada kegiatan rutin baru yang selalu kulakukan setiap bangun pagi; mencatat mimpi. Semula aku tak yakin kalau tiap malam aku selalu bermimpi (atau bisa mengingatnya). Tapi, aku memang tiap malam bermimpi, tak ada hari yang lowong dalam catatanku. Baru seminggu, tapi aku rasa catatan-catatan itu mungkin bisa menunjukkan apa sebenarnya masalahku. Aku rasa aku tak bisa menyangkal jika aku memang terlalu sering hidup di masa lalu. Dalam mimpiku, ada beberapa karakter yang selalu turut serta di beberapa antaranya. Kadang ia / mereka berperan sebagai pemeran utama kadang hanya figuran saja, sama seperti posisiku disitu. Setting lebih sering berlokasi di rumah yang aku tinggali mulai umur 7- 14 tahun (sekitar 250 meter dari rumahku yg sekarang). Aku tak yakin jika nanti malam mimpiku akan berada di lokasi lain.. jadi, aku kini melantur lagi. Beberapa memori memang sangat susah dihilangkan. Aku sendiri kemarin seperti sebuah sumbu yang terpantik api. Charlie Kaufman barangkali memang senang bermain-main dengan cerita yang berkisar mengenai kompleksitas dan cara kerja otak manusia. Walaupun sebenarnya setelah pernah melihat Adaptation dan Being John Malkovich, Eternal Sunshine in Spotless Mind tidak lagi mengagetkan atau membuatku duduk lebih tegak di kasurku. Film itu cuma membentuk satu ingatan lagi yaitu bagaimana kita dapat menghapus sebuah ingatan.Baguskah? Hanya ingatan yang dapat membuat kita bermimpi dan tak ada manusia yang dapat mengontrol ingatan serta mimpi. tisk.. aku tak sabar menyaksikan apa lagi yang akan kulihat nanti malam sementara yang kutulis sekarangpun adalah sebuah ingatan baru. Wajah-wajah itu semakin hari semakin memudar dan nyaris semakin susah dikenal dan diingat lagi. Semoga kapan-kapan dia datang lagi dengan wajah yang lebih nyata, senyata sedih yang kudapat darinya setiap ia pergi lagi.
"..seberapa berhargakah air mata, apakah ia dinilai sebagaimana halnya sebotol anggur, semakin lama ia disimpan semakin mahal pula tiap tetes yang ditumpahkan.."
(Mahardika Asmara, Sejarah Keluarga yang Tak Begitu Panjang)