perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


Untuk Ciu Ciu* (31 Desember 1954- 25 April 2007)

the tans

Jadi, Ciu. Ary seperti biasa tidak bisa mulai ngomong apa-apa waktu hari Sabtu kemarin besuk di rumah sakit. Kalau bukan karena kabel-kabel dan selang-selang itu, Ciu Ciu waktu itu memang nggak seperti orang yang lagi sakit. Ciu Ciu masih bisa mengenali Ary yang hari itu baru potong rambut. Yang Ciu Ciu tanyakan juga sama kalau misalnya waktu itu sehat. Soal kerjaan di mana dan lainnya. Terakhir sebelum itu, kalau nggak salah kita ketemu waktu Sin Cia atau sesudahnya juga ketemu waktu Ary lewat-lewat jalan Malabar sana. Rasanya memang belum begitu lama. Mungkin juga karena namanya kita tetangga. Keluarga selain anak-anak Mamah yang paling dekat sama keluarga di Tambora bisa dibilang memang keluarga Ciu Ciu. Tapi, Ary dan Ciu Ciu memang nggak akrab juga. Ciu Ciu dalam beberapa hal agak seperti Papah yang dulu juga selalu berjarak dengan Ary. Ary ingat juga waktu besuk kemarin Ciu Ciu ngomong sama Yan sambil senyum “kui golek kerjo ning Nyogja piye?” Dalam hati, pada kesempatan-kesempatan seperti itu Ary agak iri melihat keakraban ayah anak macam itu. Yah, cicik-cicik suka bilang Ciu Ciu orangnya sulit. Tapi menurut Ary, itu cuma karena beda lingkungan. Ya lingkungan, suasana di jalanan yang sudah Ciu Ciu geluti sejak remaja jelas beda sekali dengan anak-anak Mamah yang orang-orang rumahan. Tapi, mantu-mantu Mamah buktinya cukup akrab, malah lebih akrab dibanding Ary sendiri.

Mungkin kalau saja hari ini Ary bisa pulang Solo. Yang akan Ary lihat bukanlah raut-raut muka yang Ary suka. Tapi Ciu, bukannya kenapa kenapa, Ary juga tidak kaget kalau hari ini cepat datang. Suasana tenang dan damai, khususnya pada Yan dan Teguh, waktu Ary pulang Sabtu Minggu lalu membuat hari ini tidak mengagetkan. Ary harap semoga perasaan ini juga sudah dirasakan Bulik, Yan dan Teguh selama sekitar seminggu ini. Oya, tidak ketinggalan juga dengan foto itu. Yan yang mendesak agar foto hasil jepretan puluhan tahun lalu segera discan dan diprint. Foto ketika Ciu Ciu masih kecil bersama semua anak Nyama kecuali Mamah itu, seperti sebuah isyarat siap. Kalau mau mundur beberapa waktu sebelumnya lagi. Ary menduga beberapa minggu (atau bulan?) saat Ciu Ciu tiba-tiba memutuskan untuk ke Kalimantan lagi juga adalah misteri sendiri. Bukankah siklus manusia itu sering begitu? Waktu akhir hampir datang, tiba-tiba muncul yang awal-awal lagi.

Kembali lagi soal hubungan kita. Sebenarnya Ary banyak lupa kalau waktu kecil, yang Ary ingat kalau Ciu Ciu pernah membuatkan (atau membelikan ya?) sebuah mainan truk dari kayu warna merah. Ary lupa juga apa dulu pernah naik truknya Ciu Ciu apa tidak. Tapi Ary mungkin bukan anak laki-laki yang Ciu Ciu suka. Sama seperti Papah yang barangkali agak kecewa melihat Ary tidak tertarik soal utak atik barang elektronik. Ary memang nggak begitu suka truk atau begitu tertarik dengan hal-hal soal mesin, teknik, elektronik, dsb. Sampai sekarang, minat soal itu mungkin asal kalau butuh saja. Waktu SMU dulu Ciu Ciu juga sempat geregetan melihat Ary yang gamang waktu harus naik ke atas genting rumah. Tapi waktu kuliah, rasanya Ciu Ciu sudah bisa mulai melihat bahwa meski nggak begitu pintar soal teknik dan utak atik mesin, Ary bukannya tidak bisa jadi apa-apa, meski kalau waktu SMU dulu Ary mungkin memang benar pengecut. Waktu kuliah, Ary lupa dalam rangka apa dulu Ciu Ciu ke Surabaya dan nginap di Rungkut selama beberapa hari. Pengalaman naik bis ekonomi untuk perjalanan sejauh itu mungkin tidak akan pernah ada kalau waktu itu perginya bukan dengan Ciu Ciu. Tapi Ary ingat kalau Ciu Ciu ternyata terbukti bukan orang yang sulit. Ciu Ciu bisa dengan mudah akrab dengan para tetangga, mungkin karena mereka semua sama-sama bapak-bapak dan suka kongkow. Ary bisa dengar Ciu Ciu cerita soal sejarah (sejarah 'jarene' hehe), yah itu memang bahan obrolan bapak-bapak yang menyenangkan. Yang agak membosankan terus terang memang kalau ngobrol soal politik pemerintah, dsb. Kayaknya sudah tidak akan ada lagi Bung Karno lain di Indonesia ini, sementara Iwan Fals juga jadi macam pertapa, dua itu idola Ciu Ciu 'kan?

Hidup Ciu Ciu sepanjang yang Ary lihat, atau yang Mamah ceritakan mungkin masih selalu dekat dengan perjuangan banting tulang. Tapi, lihatlah sekarang Ciu. Yan dan Teguh jelas adalah anak-anak yang pantas dibanggakan. Mereka berdua mandiri dan sudah dewasa serta bertanggung jawab di usia mereka. Jauh dari Ary waktu seusia mereka. Apalagi Yan yang Ary tahu Ciu Ciu sendiri membanggakannya. Banyak saudara juga kagum dengan kedewasaan sikapnya, tidak manja seperti anak-anak sebayanya. Rasanya sudah sejak beberapa tahun ini, Ciu Ciu terbukti sudah mempersiapkan dia dengan sangat baik untuk menjadi kepala keluarga. Jadi di manapun Ciu Ciu berada saat ini, memang nggak usah ada kekhawatiran lagi. Bulik akan cukup tenang. Mengenai Mamah, meski beberapa masalah sempat dibuat olehnya, Ary cukup lega bahwa keluarga Ciu Ciu sudah bisa memaklumi sifat Mamah.

Jadi, mungkin ini yang bisa Ary sampaikan saat ini. Dari warnet ini, karena besok nggak bisa pulang, Ary cuma bisa menyampaikan toast dengan asap Djarum Super ini untuk Ciu Ciu di sana. Biarlah orang berkata kalau Djarum itulah yang merusak jantung Ciu Ciu, tapi semoga akan ada banyak Djarum, mungkin juga bir dingin, sebuah paru-paru, jantung serta tubuh kuat dan segar yang Ciu Ciu dapatkan sekarang. Salam dan sampai jumpa satu waktu nanti. Terima kasih Ciu untuk memorinya.

* seharusnya paman saya ini dipanggil sebagai Aq (Akiu) atau Gyu Gyu. Ciu Ciu adalah pelafalan salah yang sudah terbiasa kami (kelima ponakan, anak-anak dari kakaknya yang nomor lima) ucapkan sejak kecil. Tapi ia tidak pernah mempermasalahkan soal hal-hal seperti itu.

* almarhum paman saya adalah bocah kecil yang berdiri di paling kanan. Di foto yang mungkin diambil sekitar pertengahan tahun 60an itu, dari semua anak nenek saya, mama saya adalah satu-satunya yang tidak ikut berfoto (karena waktu itu ia sedang di Solo bersama kakek). Saat ini, praktis dari keenam orang di foto itu, tinggal dua orang saja yang masih hidup yaitu dua bibi saya yang berdiri di sebelah kiri. Foto ini tiba-tiba muncul di hari-hari terakhir paman saya yang baru saja meninggal. Saya sebelumnya belum pernah melihatnya.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Cerita Pengantar Hujan (Bagian 1)

Atap rumah kami terasa bergemeretak, bunyinya bising sekali. Butiran-butiran pasir bercampur batu-batu kerikil dan semacam lempung beraneka ragam bentuknya sedari tadi terus menimpa atap genting, seng, plastik dan meranti yang beberapa bagian di antaranya terlihat sudah mulai jebol, tak tahan dengan gempuran hujan aneh ini.


Dusun ini telah dikutuk!” kata Mbah Atmo kemarin. Memang, sudah ada serangkaian peristiwa musibah dan keanehan-keanehan yang menimpa beberapa warga dusun kami. Mulai dari peristiwa yang menimpa Anang, bocah berusia sepuluh tahun yang hilang tersedot sumur gas beracun dekat kaki gunung. Anang memang anak yang aktif, jika tidak bisa dibilang bandel. Waktu itu ia nekat mengejar seekor kelinci yang rupanya tak hanya lebih sigap dari langkah kaki-kaki kecil Anang, namun mungkin binatang itu juga sudah lebih mengetahui medan sehingga ia hafal jika di daerah itu ada sebuah lubang yang hanya ditutup dengan kawat tipis, namun di bawahnya langsung menuju ke lorong neraka perut bumi. Jenazah Anang memang tak pernah diketemukan. Ia hilang begitu saja. Hanya sebuah sendal dan sepedanya yang tergeletak sekitar dua belas meter dari lubang itu saja yang menjadi bukti bahwa anak itu telah terperosok jatuh ke sumur alam tersebut.

Kejadian kedua terjadi hanya selang dua hari setelah hilangnya Anang. Kali ini yang menjadi korban adalah keluarga Pak Wiro, mantan lurah di sini. Pagi-pagi benar di hari Minggu, sudah menjadi kebiasaan bagi Pak dan Bu Wiro beserta Dini dan Nona plus Mbah Agni (ibunya Bu Wiro) untuk bersama-sama melaju dengan Corollanya menuju ke pasar jajan. Keluarga Wiro termasuk salah satu yang terkaya di daerah sini. Pak Wiro yang pensiunan pegawai negeri itu kini membuka toko pracangan di rumahnya, mereka juga memiliki sebuah rumah kos-kosan di kota yang selalu membuat dapur mereka ngebul, bahkan tak pernah berhenti ngebul karena keluarga itu juga terkenal sangat doyan masak dan makan enak. Perawakan yang gemuk-gemuk mungkin buktinya. Pengecualian mungkin untuk si Nona yang sedang dalam masa puber sehingga selalu merasa dirinya sebagai perawan paling gemuk sedunia, meski para pemuda kerempeng yang sering nongkrong di depan gang justru menganggapnya montok, semok, bahenol dan semacamnya. Minggu itu mobil Corolla hitam keluaran tahun 92 dengan plat nomor ibukota Pak Wiro terlihat melewati deretan rumah yang kebanyakan dihuni oleh para tukang kayu, tukang pelitur dan juga pedagang mebel dan furnitur di kota. Di dalamnya, seperti biasa formasinya lengkap, begitu menurut para warga saksi mata yang sempat melambai saat mendengar bunyi klakson ramah mobil hitam mengkilat itu. Biasanya, sekitar satu sampai dua jam saja mereka jajan dan pulang membawa pulang setumpuk jajanan lainnya. Yang tak mengenal kebiasaan keluarga itu mungkin mengira mereka akan menjualnya, tapi ternyata itu adalah stok jajanan seminggu untuk lima orang penghuninya, kecuali kalau ada tamu. Namun kali ini, sudah sampai jam 9 malam rumah mereka masih nampak gelap. “Sedari tadi rupanya belum kembali juga” gumam Pak Suta yang terpaksa harus kembali pulang dan menunda mengantarkan undangan pernikahan anaknya. Adalah Pak Suta ini yang mulai mencari-cari informasi. Pertama pada Bu Prapti, tetangga depan rumah Pak Wiro yang mengaku tidak dititipi pesan apa-apa untuk menjagakan rumah bercat biru langit itu. Artinya, keluarga Wiro memang tidak berencana pergi lama.


Dari Pak Suta, Bu Prapti rupanya kemudian menjadi penasaran dan mendapat ide untuk ikut mencari tahu keberadaan Wiro sekeluarga. Bertanyalah ia pada Agus, teman sekelas Nona. Meski diiringi rasa malas, atau mungkin juga malu, remaja yang masih keponakannya itu akhirnya berhasil dipaksa untuk menelpon ke nomor HP putri bungsu keluarga Wiro. “Nggak diangkat” kata Agus pada budhenya itu. Bu Prapti makin penasaran dan menelpon Pak Slamet, adik tiri Bu Wiro yang langganan kain Bu Prapti. Biasanya, keluarga Wiro kalau ke kota memang sering mampir ke rumah Pak Slamet. Namun kali ini Pak Slamet bilang bahwa ia tidak ketemu dan tak tahu apa-apa soal keberadaan kerabatnya itu. Mulai dari situ, dusun kami gempar. Apalagi setelah dua hari rumah itu masih lengang sementara beberapa nama sudah saling telpon menanyakan di mana keluarga Wiro berada. Pak Wagiman berinisiatif melaporkan kejadian itu kepada polisi. Polisi pun membuka paksa pintu rumah Pak Wiro. Tak ada apa-apa di sana. Pak Slamet pun menduga bahwa keluarga Wiro tidak membawa barang seperti pakaian bahkan sikat gigi. “Jadi mereka tak mungkin sudah ada rencana menginap atau berlibur di satu tempat” demikian hipotesanya. Si Agus menambahi kalau akhir-akhir ini si Nona juga tidak terlihat suka murung atau nampak sedang dilanda masalah. Jadi keluarga itu memang hidupnya sedang normal-normal saja. Sampai saat ini, artinya sudah lima hari tidak ada info apapun soal keberadaan keluarga itu. Gosip pun segera menyebar. Bapak-bapak menduga keluarga itu mengalami kecelakaan dan mobilnya masuk sungai atau jurang. Tapi sungai atau jurang yang mana? Memang, tidak ada sungai atau jurang yang harus dilewati keluarga Wiro dalam rutenya ke kota. Bahkan sungai terdekat paling tidak baru ada sekitar satu kilometer di arah berlawanan. Ibu-ibu menduga mereka sekeluarga dirampok, diculik, dibunuh, mayatnya dibuang dan mobilnya dibawa lari. Jika hal itu memang terjadi, artinya kejadian itu adalah yang pertama terjadi di daerah itu sejak tahun 65. Tahun 65 memang ada beberapa warga di sini yang disembelih karena dituduh komunis, namun toh mayat mereka segera diketemukan sehari atau dua hari sesudahnya. Gosip lain dating dari teman-teman Agus dan juga teman-teman Dini, sulung keluarga Wiro yang mahasiswi semester dua. Keluarga Wiro diculik UFO, atau justru keluarga Wiro sendiri adalah keluarga alien yang akhirnya memutuskan untuk kembali pulang ke planetnya. Tentu saja gossip yang satu ini disebarkan sambil tertawa-tawa, meski jika sudah keterusan biasanya akan ada salah satu yang mengingatkan para remaja itu agar jangan bicara sembarangan.

Rupanya dua kejadian belum cukup. Saat gosip tentang hilangnya keluarga Wiro dan kesedihan orang tua Anang belum juga reda, muncul peristiwa yang tak kalah heboh dan makin aneh lagi. Bencana ini datangnya dari langit. Dua hari sebelum hujan pasir, batu dan lempung melanda dusun, hujan masih berupa air seperti biasa. Meski hari itu tidak begitu deras, namun waktu itu kilat menyambar-nyambar dengan galak. Salah satu kilat itu menyambar pohon jati dekat kandang sapinya Pakde Sul. Mungkin karena dirangsang reaksi dari gas amoniak nya kotoran sapi sehingga tiba-tiba tercipta api yang menyala dan mulai membakar kandang kayu itu. Dua sapi Pakde Sul yang diikat menjadi berontak dan ingin lari. Akhirnya, walau berhasil lari namun salah satunya langsung roboh setelah lebih dari separuh bagian tubuhnya terlanjur terpanggang cambuk amarah Zeus. Pakde Sul dan para tetangga kalang kabut namun api itu nampak tenang dan mantap menjalar ke rumah Pakde Sul, lalu ke warung Mbok Restu, sebuah rumah kosong Wak Zaini yang dikontrakkan, rumah Ahmad pegawai bank itu, berlanjut ke rumah Pak Surip, rumah ibunya Ndari, rumah Cak Darsim, rumah Koh Seng, bengkel Pak Tarno, toko dan rumah Bu Dodot, gardu siskamling,… Segala upaya untuk memadamkan dan bantuan empat buah branwir sama sekali tak membuat api mengecil. Akan tetapi, sekali waktu ketika api mulai mencapai tembok samping rumah Mbah Atmo, tiba-tiba api itu padam dan hilang sama sekali. Keheranan warga tak hanya sampai di situ. Setelah diperiksa, rupanya rumah-rumah dan bangunan yang dilalap api berwarna merah kuning tadi ternyata tidak lantas menjadi keropos atau hancur. Tembok, kerangka, kusen dan pintu yang ada di setiap rumah itu hanya terlihat hitam, namun tetap kuat. Bahkan saat dicoba memasangkan sebuah paku ke salah satu pintu yang “terbakar” itu, paku dapat tertancap kuat dan kayu pintu itu masih kokoh seperti tidak pernah terbakar sama sekali. Meski demikian, barang-barang dan perkakas yang ada di dalam rumah tetap saja ludes hangus terbakar, termasuk burung-burung dara dalam kerangkeng besi di rumah Pak Surip. Bau sangit pun tercium sangat tajam sampai ke ujung dusun. Sementara untuk Mbah Atmo, pria berusia sekitar 70 tahun yang tinggal sendirian dan kalau malam berjualan wedang ronde itu langsung menjadi buah bibir warga. Mbah Atmo orang sakti, punya ilmu kanuragan, jimat, aji-aji, atau semacamnya. Jika sebelumnya orang tua itu hanya dianggap sebagai tak lebih dari orang tua kesepian, yang jika siang sering tertidur di masjid, bahkan juga seorang yang sampai tua pun masih mata keranjang karena sering berusaha memegang tangan jika pembelinya wanita muda. Namun kini, perkataan Mbah Atmo didengar dan diperhitungkan warga yang kebingungan menghadapi banyaknya misteri dan kejadian aneh beruntun yang menimpa mereka selama seminggu ini. Tiba-tiba pula warung wedang ronde Mbah Atmo menjadi ramai. Banyak orang yang datang ke sana, pura-pura membeli, meskipun sebenarnya mereka ingin mendengarkan petuah atau sukur-sukur bisa melihat Mbah Atmo memunculkan kesaktiannya. Siapa tahu pula jika selama ini ternyata wedang rondenya ia buat dengan memakai kesaktiannya. Dan terutama lagi, tentu mereka ingin mendengar nasihat atau petuah tentang bagaimana warga harus menghadapi atau melawan bencana selanjutnya. Hanya saja, Mbah Atmo memang sejak dulu jarang bicara tentang hal-hal mistis seperti yang diharapkan banyak orang. Sejauh ini, hanya kalimat “Dusun ini telah dikutuk!” saja yang cukup memuaskan keinginan banyak orang. Saat ia mengatakannya, sambil mengaduk gula di cangkir wedang angsle pesanan Maman, semua mata pengunjung warung segera terpaku pada raut wajah penuh keriput itu. Tapi Mbah Atmo selanjutnya malah berbicara tentang berita-berita politik nasional, ngrasani presiden dan kabinetnya, juga tentang beberapa artis dan tentu juga soal tetangganya. Sebuah TV kecil yang dipasang di ruang tamu namun masih terlihat dan terdengar jelas dari warung yang ada di teras rumahnya tersebut menjadi semacam moderator arah pembicaraan pria yang punya banyak koleksi kaos parpol dan kaos merek rokok ini. Pengunjung agak kecewa, namun mereka masih tetap menunggunya mengucapkan sesuatu yang tidak mereka ketahui.


Meski sebagian besar warga, terutama kaum prianya menjadi hormat dengan Mbah Atmo, namun para gadis yang tangannya pernah coba dipegang atau dielus duda kurus satu anak dan dua cucu itu tetap tidak setuju dan bahkan menolak mentah-mentah peningkatan status yang dialami Mbah Atmo. Malam setelah hujan aneh tadi semakin membuat warung Mbah Atmo makin ramai. Akan tetapi tidak ada nasihat, petuah atau ritual kesaktian yang ditunjukkan si Mbah. Bahkan kebalikannya, seorang warga mendapati jika genteng rumah Mbah Atmo ternyata ikut pecah-pecah dan tak luput dari hujan tadi sore. Hal ini menimbulkan bisik-bisik. Jangan-jangan padamnya api yang dulu itu hanya kebetulan. Pria tua yang nampaknya belum juga sadar kalau statusnya kini mulai berubah menjadi salah satu tetua dusun itupun semakin tak mirip orang sakti di depan mata beberapa pengunjung. Mbah Atmo bahkan masih sempat mencoba bergenit-genit menyapa Maryati, mahasiswi yang ngekos di dekat situ.Wibawa dan pengaruh Mbah Atmo rupanya tak berumur panjang. Meski demikian, ia tetap tak menyadarinya, atau jangan-jangan ketidaksadarannya inilah yang telah mematikan pengaruh yang sempat ia miliki itu.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

April

Judulnya sama sekali ga kreatip. Bulan April ini mestinya hari jadi blog ini loh... Tapi ya mau diapain? Wong ini juga bukan blog yang keren apalagi yang laris dikunjungi. Terasa nggak sudah dua tahun umurmu, blok? Kalau aku nggak kaget. Coba aku ingat-ingat. Sudah dua tahun ini kalau nggak salah sudah sekitar 3 kali gonta-ganti template (total) yang jadinya malah rusak, coba utak atik juga malah ga keruan. Kalo soal tulisan, menurutku yang awal-awal mungkin malah lebih baik ketimbang yang sekarang atau akhir-akhir ini. Tapi, ntar, lain kalilah.. aku mau nulis yang belum pernah ada di sini. Seperti soal pacaran atau kencan misalnya. Jangan cuma soal masalah hujan yang membosankan ini terus. Sudah ah.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

A Mad Report


madness
Originally uploaded by lalat hijau.
Hari-hari ini semakin cenderung depresif. Bukan hanya langit yang tak pernah bosan untuk mendung atau hujan yang menghantui setiap malam. Masih perlukah aku jelaskan apa itu ‘depresif’? Lagipula beberapa minggu ini kondisi leherku semakin parah saja, memang begitu jika capek atau tertekan, batang leher terasa kaku, tidak nyaman dan sepertinya ingin dipatahkan saja. Aku tak habis pikir bagaimana bisa kota ini membuatku depresif dan sedih. Tapi jika saja kau melihat bagaimana orang-orang yang kutemui selama 6 hari dalam seminggu, kau akan tahu juga bahwa bahkan kesantaian dan kebebasan kota ini pun agak sulit menghapusnya. Sesungguhnya aku rasa aku tidak begitu asing dengan suasana dan kumpulan baru, namun mungkin bolehlah kali ini aku sedikit menjadi seperti para orang tua itu. Kumpulan baruku kali ini, entah kenapa, membuatku merasakan hal-hal yang sangat aneh, salah satunya adalah perasaan depresif itu. Apa salah kalau aku berkata semakin tua seseorang semakin ia suka mengeluh akan hidup, karena ia merasa telah berpengalaman mengenai hidup itu sendiri? Aku sama sekali belum pernah merasa tua, di manapun aku berada (karena aku kini tak pernah lagi mendatangi acara-acara yang ditujukan untuk golongan usia tertentu). Yang membuatku merasa tua hanyalah saat melihat beberapa anak muda dengan berbagai pencapaiannya yang sangar dimuat profilnya di surat kabar, tivi, majalah atau internet, juga saat awal tahun, saat melihat SIM atau saat menyadari bahwa gajiku sudah menipis di tengah bulan (yang selalu membuatku berpikir “kalau begini terus, kapan bisa nabung? berapa yang akan kudapat waktu usia sudah 30 tahun nanti?”, dsb.).

Kabar baiknya kini adalah aku merasa sangat bebas menuliskan soal ini secara terang-terangan seperti ini, di sini. Aku menduga kuat bahwa mereka yang kubicarakan ini memang bukan tipe detektif atau hacker. Itu keanehan pertama yang kurasakan. Atau aku saja yang belum terbiasa melihat bagaimana bisa sekitar sepuluh orang yang selalu bertemu selama 6 hari seminggu dalam satu ruangan itu belum tentu saling mengetahui nomor ponsel satu sama lainnya. Sejauh ini aku menduga hal itu terjadi karena sebagian sudah tak terlalu muda dan sebagian lagi juga sudah menikah. Mungkinkah nanti aku juga akan seperti mereka itu? Lalu, yang berikut ini mungkin bisa membuat aku terkesan congkak, keanehan selanjutnya adalah mengenai masalah miskomunikasi. Miskomunikasi jelas bukan istilah yang tepat, yang lebih cocok adalah tidak nyambung. Sebenarnya ini pun bukan masalah besar, bukan sebesar miskomunikasi, karena tidak nyambung di sini adalah dalam soal-soal seperti guyonan, gurauan, celotehan, dsb. Tapi, hal seperti itu bukannya tidak menganggu juga. Jadi, bukankah tidak lebih baik diam ketimbang harus menjelaskan apa maksud komentarku yang memang kukatakan hanya untuk iseng atau hanya sekadar berusaha mengakrabkan diri di saat makan siang saja? Mungkin kau harus bertemu salah satu dari mereka yang paling sering mengaku tidak paham dengan segala komentarku. Semula dia kukira semacam nerd karena kacamata, jidat lebar dan bajunya yang rapi. Kesan pertamaku bahkan menganalogikan dia dengan Pak Hendra di sitkom OB itu. Namun agaknya dia bukan seperti Pak Hendra, paling tidak aku merasa dia berusaha ingin seperti karakter Gusti. Tahu maksudku ‘kan? Yang jelas lagi, ia tergila-gila Tukul. Untunglah ia hanya fans, bukan badutnya. Selalu tertawa terbahak-bahak, seakan ada sesuatu yang sangat lucu. Ck.. setiap mengetahui alasan ia tertawa, kini aku sungguh benci setiap mendengar suara tawanya dan suara-suara ketika ia berusaha tertawa tapi tak bisa. Apalagi ia juga sering membuat suara-suara yang bagiku terdengar seperti suara gorila sedang birahi. Tahu kenapa aku begitu terganggu? Karena ia ada persis di belakang punggungku selama 6 hari dalam seminggu. Tapi kini terima kasih untuk El’s yang menjual headset hanya seharga 15 ribu. Aku rasa saat ini memang masa puncak kemuntaban karena selama ini aku tak bisa mengungkapkannya pada siapapun, di kos belum ada komputer untuk menuliskannya dan tak mungkin membicarakan tentang dia dengan orang lain di ruangan itu. Aku baru sebulan lebih di situ.

madness2
Adakah ini kedengaran kasar dan apakah kali ini aku terkesan terlalu cerewet seperti nenek-nenek? Tapi ini masih belum selesai. Aku tadi mengatakan bahwa dia penggemar berat Tukul. Tapi jangan lupa bahwa ia juga berada di tengah lingkungan di mana kesan ‘nampak cerdas’ akan membuatmu lebih dihargai. Ya, penghargaan, aku belum bilang bahwa dia juga belum menikah (bahkan sepertinya juga belum punya pacar), seperti aku, walau aku rasa dia lebih tua dariku. Pria, muda, belum menikah, belum punya pacar, bukankah penghargaan adalah satu hal yang akan ia kejar untuk menaikkan statusnya? Akupun demikian, meski yang kukejar lebih pada penghargaan dalam bentuk benda (hidup atau mati) atau juga pengalaman ketimbang yang berupa omongan, tatapan atau hal-hal semacamnya. Terlalu blak-blakankah yang kuomongkan ini? Terserah, aku akan lanjutkan. Berkebalikan dengan tawanya yang lepas, keras, berderai-derai, meski setelah melihat penyebabnya malah menimbulkan kesan berlebihan. Maka ketika berbicara ‘serius’ suaranya berubah menjadi lebih pelan dari suaraku. Boleh kusebut sebagai gaya Moerdionoesque. Aku lupa apakah Moerdiono dulu juga kalau ngomong berbelit-belit, berputar ke sana kemari untuk mengatakan satu poin yang tak begitu penting dan mendalam, atau tidak. Tapi itulah kesanku mengenai sikap rekan kerjaku yang satu ini kalau harus ngomong serius. Oh, betul.. ia juga jauh lebih lancar dan tidak berbelit-belit jika ngomong ‘serius’ dengan bahasa Jawa. Namun, tolong jangan sampai kau mendengarkan segala pembicaraannya jika dalam situasi tengah-tengah, artinya ngomong bukan di forum resmi tapi juga tak bisa dalam bahasa Jawa (karena lawan bicaranya bukan orang Jawa), terlebih lagi kalau lawan bicaranya perempuan. Beberapa laki-laki cenderung untuk bersikap menggurui atau menasihati atau kasarnya berlagak lebih pintar, jika berbicara dengan perempuan. Ia termasuk yang cukup ekstrim menerapkannya. Mulai dari jawaban-jawaban yang kental diwarnai dengan petuah moral, agama, hingga sikap diam jika si perempuan itu membantah nasihatnya, seolah sikap diamnya itu memiliki makna “terserah, pokoknya sudah aku beritahukan apa yang baik dan seharusnya bagi seorang perempuan.” Dia ini memang kadang menjawab terlalu serius (meski tak ada isinya selain moralitas dan nilai-nilai zaman baheula tadi) untuk pertanyaan santai, terutama jika yang menanyakannya perempuan. Sebenarnya cukup menghibur juga kalau menguping pembicaraan dan jawaban-jawabannya, tapi lama-lama muak juga mendengarkan laki-laki model begituan. Sekali lagi aku harus kembali menyampaikan ribuan terima kasih, kali ini untuk pabrik-pabrik Cina yang di antaranya memproduksi headset murah seperti yang kudapatkan di El’s tadi.

Cukup dulu untuk dia. Aku sebenarnya ingin menceritakan juga tentang teman baiknya, atau partner in crime-nya. Ia pria yang sudah menikah, meski belum menjadi bapak, namun dalam beberapa hal ia lebih terkontrol dan tidak begitu berlebihan selain juga kadang lebih nyambung daripada temannya tadi. Cukup menyebalkan jika ia sudah terlalu terpengaruh dengan orang yang kubicarakan di atas tadi. Aku memang tidak begitu menyukai pria ini juga, tapi aku tidak sampai membenci atau muntab dengannya. Kalau kembali lagi kepada keseluruhan, mungkin tidak begitu banyak yang membuatku depresif atau merasa aneh. Memang, aku masih merasakan adanya suasana yang kaku yang meliputi, paling tidak di dua atau tiga ruangan yang sering kukunjungi. Kadang aku juga merasa aku sedang ditipu dengan diberi pengarahan yang keliru. Tapi itu mungkin hanya prasangkaku saja, yang jelas suasana ketika harus berhubungan dengen beberapa orang memang agak kaku sehingga bisa menimbulkan pikiran-pikiran sendiri seperti tadi itu. Atau mungkin kekakuan itu juga menunjukkan semacam aroma persaingan? Entah persaingan untuk apa? Untuk gaji? Rasanya tidak karena mekanismenya bukan seperti itu. Perhatian bos juga bukan karena caranya bukan seperti itu? Perhatian staf wanita? Siapa tahu ada yang begitu, tapi memangnya anak SMU? Atau mungkin karena yang satu ini. Uh.. harus diakui bahwa beberapa praduga yang berkaitan dengan etnis (oke tak usah ditutupi, maksudnya ya antar staf etnis Jawa dan etnis Cina, atau juga yang Batak, Ambon, dsb dengan yang Cina) tentu ada, meski dibungkus dan ditutup dengan cukup rapi. Namun aku kira itu hal yang cukup biasa. Aku cukup siap menghadapinya. Memang tak mungkin juga hal seperti itu tidak ada sama sekali mengingat dirut dan juga ownernya yang Cina, bos kecil (anaknya si owner) yang menurutku memang terlalu bergaya petantang petenteng, para manajer yang kebanyakan juga Cina, juga kabag yang meski kerjanya amburadul tapi tetap menduduki posisinya (mungkin karena dia Cina). Untuk soal yang seperti itu aku sebenarnya malah tertarik. Apalagi ada yang lucu, beberapa kali jika aku sedang berpapasan dengan staf dari bagian lain di mana aku dan dia tak saling mengenal, beberapa staf itu (jelas mereka bukan etnis Cina) entah kenapa sering mengangguk memberi hormat padaku. Padahal aku yakin dia staf yang lebih senior, lebih lama berada di perusahaan itu daripada aku. Saat hal seperti itu terjadi, rasanya aku selalu ingin melakukan tindakan yang aneh, yang tidak terhormat, semacam ngupil untuk dimakan atau menempelkan upilnya ke dinding atau semacamnya. Memang belum pernah kesampaian, tapi sepertinya itu akan menjadi semacam bahan refleksi yang menarik untuk dia. Apakah selain karena warna kulit dan pakaianku, aku masih seperti seorang bos atau atasan? Tapi yang jelas untuk masalah praduga atau stereotype etnis ini, terutama untuk para staf di dua tiga ruangan yang sering kukunjungi tadi, memang benar harus ada semacam shock therapy. Hari gini belum tau ada Cina yang nggak bisa dagang?

Sejak semula aku menginjakkan kaki di kantor itu untuk wawancara, aku sudah merasa bahwa paru-paruku mungkin akan perlu bekerja keras untuk beradaptasi dengan bau tinta dan kertas yang tajam dan menyengat. Memang hal itu terjadi, selain mungkin karena lanjutan dari sakit bulan lalu yang membuatku kena batuk hebat (akibat kehujanan), bau tinta itu juga membuat napasku sering berbunyi. Aku penasaran dengan tunjangan-tunjangan yang dijanjikan itu. Pekerjaan sebelumnya merusakkan mataku, apa mungkin sekarang giliran paru-paruku? Ah terlalu sarkastis ya?

Heran, saat ini aku merasa sudah cukup baikan dari tadi siang. Apakah ini karena aku sudah bisa meluapkan perasaanku? Atau hanya karena ini hari libur, tidak ketemu beberapa orang menyebalkan di kantor? Atau karena saat ini aku bisa pulang ke rumah dan berkomputer serta makan sepuasnya? Mungkin ini termasuk salah satu postingku yang paling memalukan. Tidak biasanya aku bergosip dan ngrasani orang di blog seperti ini. Tapi paling tidak aku perkirakan selama 3 bulan ke depan, tidak akan ada orang di kantorku yang cukup peduli, cukup penasaran atau cukup canggih untuk menemukan blog ini atau mengetahui bahwa posting ini ditulis olehku. Ya aku bukan Nila Tanzil. Hehe.. Tapi mungkin satu saat aku berharap akan ada staf yang seruangan denganku yang akan membaca blog ini. Lebih baik lagi jika yang membaca adalah salah satu dari orang yang kubicarakan di atas.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...


Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!