Seekor anjing, mati di depan rumah kami subuh tadi. Rupa-rupanya ia tertabrak mobil angkutan umum, sekitar jam 8 pagi aku sempat melihat bangkainya sudah disingkirkan ke pinggir jalan sementara lalat-lalat semakin banyak mengerubungi dan berebut dengan para semut seperti biasa. Bau busuk selama beberapa jam awalnya belum begitu kentara, hanya lalat-lalat itu yang semakin mengganggu, tak hanya puas dengan sesosok bangkai, mereka mulai masuk ke dalam ruang-ruang di rumah kami. Karena teringat dengan kata-kata orang tua yang selalu menganjurkan kami untuk menjaga kebersihan dan memusuhi mereka yang membawa yang kotor-kotor ke dalam rumah, akupun tak punya pilihan dan segera mencari sebuah kardus, beberapa kain bekas, selotip, tali dan 2 kantong plastik sedang seukuran telapak tangan. Benar, jasad binatang itu sudah mulai rusak, kedua mata anjing itu penuh dengan semut, mulutnya terkatup rapat dengan gigi-gigi saling bertautan dengan lidah tercekat seperti memberi gambaran kira-kira tentang apa yang ia rasakan saat meregang nyawa, bulu-bulu di sekitar moncongnya kusut dan masih sedikit basah oleh air liur yang bercampur pasir dan oli mesin kendaraan pembunuhnya. Aku tak tahu luka mana yang menyebabkan kematian anjing sial ini, aku tebak ia mengalami gegar otak atau patah tulang rusuk walaupun sebenarnya itu bukan hal yang cukup menarik untuk kupikirkan lebih jauh, ini kan cuma seekor anjing kampung liar.
Segera kupasang kedua kantong plastik itu ke tanganku, berat juga rupanya anjing kaku penuh pasir ini, setelah diangkat kulihat ternyata di bawah tubuhnya semut-semut lebih banyak dari yang kelihatan sebelum ini. Setengah kulempar, bangkai itu akhirnya berhasil masuk ke dalam kardus. âMmmhhffâ¦â aku bergidik sambil menyipitkan mata dan memonyongkan bibir tanda jijik. Setelah menutupi si anjing dengan kain-kain bekas, kardus segera buru-buru kututup sebelum lalat-lalat menyerbu lagi, selotip pun dipasang dan karena sudah cukup kuat, gulungan talipun tak jadi digunakan. âSelesai juga akhirnyaâ¦â pikirku sambil melihat ke arah jalanan yang terus sepi sedari tadi. Dengan kaki, kudorong kardus itu ke pinggir menjauh dari tempatnya semula, sekarang tinggal menyingkirkan jauh-jauh si anjing dalam kardus ini lewat sungai yang selalu menjadi jujugan terakhir para jasad binatang piaraanku atau binatang tak dikenal lain yang bernasib sama dengan anjing ini.
Dan motor butut itu keluar lagi, âyah, tak ada salahnya sedikit berkorban untuk anjing malang iniâ¦â, tentu pikiran itu tidaklah benar karena niatku semula memang hanya untuk menyingkirkan bau busuk dan gangguan lalat menjijikan itu tadi. Sedikit malas-malasan, kuhidupkan mesin sambil memasang helm sementara sebelah mataku sejenak melihat jarum speedometer penunjuk bahan bakar, âmasih cukup banyak!â gumamku. Memang harus diakui, kini tak bisa lagi aku melakukan sebuah perjalanan tanpa menghitung untung ruginya seperti dulu.
âBensin mahal!â begitu alasanku setiap kali menolak ajakan atau bahkan paksaan teman yang mengundangku ke suatu tempat dengan tujuan yang kurang dapat membuatku senang.
âMasih naik motor saja sudah alasan bensin mahal!â mereka mencoba membuatku tersudut. Namun aku tak peduli, begitu juga dengan mereka, alasan itu memang cukup manjur dan selalu masuk di akal.
Sungai itu hanya sekitar 1,5 kilometer dari rumahku. Memang bukan sungai sembarangan, sungai Bengawan Solo sampai sekarang adalah sungai paling terkenal di Jawa, mungkin karena pernah dibuatkan lagu segala. Siang ini mendung, meskipun hari Minggu, jalanan tidak begitu ramai dan memang biasanya juga tak pernah ramai apalagi macet seperti di kota. Aku hentikan motorku di tengah-tengah jembatan yang melintang di atas sungai, kulihat sebentar ke bawah, aliran sungai lumayan deras, warnanya masih kecoklatan, tak ada orang yang sedang buang hajat atau memancing di bawah sana, dan yang pasti sejak beberapa tahun terakhir ini tak ada warga yang pernah kulihat mandi di sungai kotor yang katanya mempunyai pusaran air berdaya sedot tinggi di dasarnya ini. Kukira cukup aman untuk membuang kardus yang kubawa sekarang, lagipula aku juga tak ingin berlama-lama memandang ke bawah dan berpikir macam-macam, aku selalu takut dengan ketinggian.
âHuh!, kali ini benar-benar sudah selesai!â, kardus itu sempat mengambang sebelum tenggelam terbawa arus dan hilang. Mungkin jika ini terjadi waktu aku kecil, aku tak akan cepat-cepat pergi dari pinggir jembatan itu, aku mungkin masih meratapi hilangnya kardus berisi anjing tak dikenal itu, bisa jadi menangisinya atau paling tidak memikirkannya seharian. Tapi kini tak ada waktu lagi untuk itu, langit sudah mulai mendung, mesin motor kembali dihidupkan dan sekali lagi kulirik jarum di panel tangki bahan bakar, masih tak bergerak dari posisi yang kulihat waktu aku berangkat tadi. Ternyata aku masih terlalu lambat untuk mendahului hujan, baru beberapa puluh meter butiran-butiran besar air telah turun menyerang, aku tak rela bajuku basah untuk ratusan meter ke depan. Motor berjalan menepi, kebetulan aku segera menemukan tempat berteduh paling nyaman, sebuah gereja.
Walaupun berada tak jauh dari rumahku, baru sekali ini aku menengok ke dalam gereja ini. Seharusnya hal tersebut dapat dimaklumi karena selain ini adalah sebuah gereja Katolik, aku sendiri juga baru sekitar 6 bulan menetap di rumah yang kudiami sekarang. Sesiang ini nampaknya misa sudah selesai dari tadi, yang tinggal sekarang hanya beberapa orang saja, sebagian duduk, mungkin berdoa, dan 2-3 orang di luar terlihat hanya berdiri, mungkin juga menunggu redanya hujan seperti aku. Terakhir kali aku datang ke sebuah gereja Katolik seperti ini kalau tidak salah adalah waktu SMP. Memang, aku sempat bersekolah di dua buah sekolah Katolik masing-masing waktu SMP dan SMU, tapi hanya waktu di SMP aku sempat beberapa kali mengikuti misa di sebuah gereja Katolik terbesar di kotaku, Gereja St. Antonius yang letaknya sekitar 150 meter dari sekolah. Jujur saja, walaupun bukan termasuk sekolah yang mempunyai peringkat bagus, SMP itu telah memberikanku pengenalan terhadap ajaran-ajaran dan tata cara ibadah yang berbeda dengan apa yang kualami dan kujalani 12 tahun sebelumnya.
Untuk beberapa saat aku mengamati isi gereja, bangku-bangku panjang dari kayu yang bederet rapi, mosaik-mosaik di kaca dan patung-patung yang besar itu seakan membawa kembali masa-masa SMP 9 tahun yang lalu. Aku selalu suka denga keheningan khas gereja Katolik seperti ini, ya seandainya aku tak melewati masa-masa SMU di SMU swasta paling favorit di kotaku itu mungkin aku akan lebih sering mengunjungi tempat ini, tidak untuk berteduh dari hujan namun berteduh dari panasnya hati. Boleh jadi ini bukan hal yang terlalu penting jika di KTP, SIM atau dokumen-dokumen yang lain sekarang, kolom agamaku masih diisi dengan tulisan Kristen dan tentu saja lebih tak penting lagi untuk membahas masalah perbedaan antara Kristen dan Katolik atau sebutan-sebutan lain untuk sebuah tradisi dan tata cara atau doktrin yang mempercayai adanya kekuatan luar biasa di luar kita sebagai manusia, tapi tak ada salahnya membicarakan sesuatu tentang hal ini sesuai dengan apa yang kualami.
Mengingat lagi masa-masa remaja yang kualami di bangku SMP sangatlah sulit untuk dilepaskan dari beberapa nama teman-teman; yang pasti adalah Hari Moelyono, atau si Moel begitu ia biasa dipanggil (entah apa ada hubungannya dengan kepopuleran sinetron Si Doel Anak Sekolahannya Rano Karno sehingga ia dipanggil begitu).
Dialah yang selalu mengajakku cangkruk sehabis pulang sekolah, di depan gereja St. Antonius yang banyak pedagang-pedagang kaki limanya, kebiasaan cangkruk ini sempat terhenti beberapa waktu di SMU sebelum berlanjut lagi di waktu kuliah. Si Moel bukanlah anak yang taat beribadah seperti si Doel, guru-guru menganggapnya bandel, bodoh dan suka berkelahi, sangat berbeda denganku saat itu. Hanya saja sejauh pengetahuanku sebenarnya dia termasuk lumayan rajin mengikuti misa-misa minggu dan hari-hari besar lainnya meski dia bilang cuma untuk melihat cewek-cewek. Itulah, semakin aku memperoleh kesempatan menikmati suasana sejuk di bawah rindangnya pohon-pohon besar di depan gereja di hampir tiap siang, lama kelamaan gereja yang begitu besar itu juga makin kuakrabi dengan baik.
Hujan makin lebat, kulihat motorku mulai terkena cipratan-cipratan air sehingga sisi luarnya mulai basah, aku merapatkan tubuhku lebih dalam ke pintu, aku ragu untuk berteduh di dalam karena aku hanya memakai celana pendek dan motor butut itupun masih merasa perlu untuk kuawasi. Aku tengok lagi ke dalam, âapa sebenarnya yang mereka doakan? Apa mereka itu benar berdoa atau hanya duduk atau malah ketiduran di dalam situ?â Tapi memang kulihat beberapa orang yang duduk itu hanya sekedar duduk-duduk saja, beberapa berbisik dan mengobrol, seorang bapak yang diluar pintu samping juga masih berdiri dan mulai menyalakan rokok. Suasana masih hening. Dulu si Moel pernah mengajakku mengikuti misa Paskah, jika itu terjadi bisa dibilang itu akan merupakan misa Katolik pertama kali yang kudatangi tanpa bersama rombongan dari sekolah. Namun sebagai anak yang patuh, hal itu lalu aku tanyakan dulu pada ibu dan kakakku, jelas saja mereka tak mengijinkan.
âCuma sekali ini kok, cuma coba-coba sajaâ aku memberi alasan sejujurnya karena si Moel telah menungguku di depan pagar dengan motor Binternya yang bising.
âTak bisa! Ada sekali pasti ada dua kali!â kakakku menyanggahnya seakan aku sedang meminta izin untuk pergi ke diskotik atau jajan ke lokalisasi. Sebaliknya ia malah menganjurkan supaya aku yang mengajak si Moel ke gerejaku saja. Akupun hanya senyum-senyum sambil mencela alasan filosofisnya yang aneh itu dengan sedikit bercanda, walaupun begitu aku sadar jika tak boleh dan tak ada gunanya melawan apa yang dipercayai keluargaku, aku bisa membayangkan akibatnya meski aku juga belum pernah mencobanya, ajakan si Moel pun kutolak.
Lepas dari SMP juga berarti lepas juga masa-masa keakrabanku dengan rindangnya pohon di depan gereja itu, akupun masuk sekolah Katolik swasta yang lain, kali ini sebuah SMU swasta paling favorit yang terkenal lebih Katolik karena dikepalai oleh seorang suster, mempunyai kapel sendiri di belakangnya, dan sebagai sekolah swasta favorit, biayanya lebih mahal. Aku sendiri semakin jarang bertemu dengan si Moel yang juga tetanggaku itu, awal SMU dia pindah rumah sementara pada pertengahan kelas satu gantian aku yang pindah rumah juga. Kapel kecil di SMU ku itu, walau di dalamnya juga teduh namun bentuk dan letaknya tidak begitu bersahabat, terlalu dekat dengan asrama para suster yang beberapa di antaranya galak itu, terlalu jauh dengan ruang kelas dan tentu juga sebagai anak SMu, jam istirahat pastinya lebih enak dihabiskan menikmati wajah-wajah siswi-siswi yang lewat di depan mata ketimbang sendirian di kapel yang terpencil itu. Aku jadi lupa dengan kerindangan pohon di depan gereja St.Antonius dan kekhidmatan gereja Katolik. Image dan rekaman itu perlahan mulai hilang, misa-misa di SMU diadakan di aula olahraga yang tidak begitu nyaman, kenangan di SMP itu telah digantikan oleh pengalaman dengan suster pengajar Matematika yang galak, suster kepala sekolah yang mata duitan, gunjingan-gunjingan khas para murid SMU tentang kejelekan guru-gurunya dan terutama, sekali lagi sang suster kepala sekolah tadi, serta tentu saja sang cewek gebetan yang kebetulan beragama Kristen, alhasil gereja Katolik pun jadi tak menarik lagi. Memang kemurnian ajaran-ajaran agama ternyata selalu dapat dihancurkan oleh dua hal: uang dan libido.
Butiran-butiran besar air hujan mulai hilang digantikan dengan butiran-butiran yang lebih lembut, lebih banyak dan lebih konstan. âAh seandainya saja rokokku belum habisâ, pikirku sambil memandangi pria di pintu samping yang masih asyik mengepulkan asap dari mulutnya pelan-pelan. Beberapa orang yang duduk di bangku sudah mulai berkurang, mereka memilih segera pergi, menembus butiran-butiran lembut air hujan. Aku sendiri memutuskan untuk menunggu 15 menit lagi. 5 menit berlalu, tinggal tersisa 1 orang yang duduk di bangku, pria di pintu samping itu tak kelihatan meski aku tak yakin jika ia sudah pulang. Sesaat orang itu berdiri, ia masih muda, berbadan tegap, berambut cepak seperti anggota militer, kami sempat beradu pandang sebelum aku pura-pura memeriksa frekuensi turunnya air hujan dengan sebuah sodoran tangan ke luar. Pemuda itu berjalan keluar lewat pintu samping dan kulihat pria yang merokok tadi sudah kembali berada disitu, suasana gereja yang sepi membuatku dapat mendengar percakapan mereka dengan cukup jelas.
âSudah bisa pak?â tanya pemuda berambut cepak itu dalam bahasa Jawa.
âBelum, saya ndak berani mas, Romo kelihatannya masih sibukâ sahut si bapak dalam bahasa Jawa yang lebih halus, rokok di tangannya kali ini sudah habis.
âHeh! hujan kok dari tadi lama sekali!â si pemuda menghela napas sambil memalingkan wajahnya dari si bapak yang kini aku kira adalah pesuruh yang memelihara gereja ini.
âMungkin juga istirahat mas, nanti kan beliau memimpin misa lagiâ bapak itu menambahkan sambil pelan-pelan meninggalkan pemuda itu sendirian.
Si pemuda tegap itu memandang ke depan lalu maju dan duduk di bangku ke tiga dari depan, kulihat ia mengambil sesuatu daru sakunya lalu menunduk, makin lama makin dalam, barangkali berdoa lagi.
15 menit yang kutetapkan telah lewat, aku coba berjalan keluar merasakan butir-butir hujan yang lembut seperti keluar dari alat penyemprot hama. Aku capek menunggu di sini terus, hujan seperti sudah tak begitu terasa motorpun kuhidupkan, dengan sedikit ngebut kularikan sampai ke rumah. Setiap butiran air itu tak begitu terasa pada mulanya namun setelah hampir sampai rumah baru kusadari betapa bajuku telah basah kuyup. Rumah mungil (sebagai pengganti rumah kecil) itu telah terlihat di depan mata, bekas bangkai anjing dan segala kotorannya itu tentunya sudah lenyap terbawa air hujan. Aku segera masuk dan memarkirkan kendaraan di garasi, kuraih sebuah payung, sambil sedikit menahan dinginnya tubuh aku kembali ke pintu depan untuk menutup dan menguncinya kembali. Aku masih penasaran dengan tempat bekas anjing itu berbaring tadi, apakah semua kotoran dan semut-semut itu telah benar-benar hilang? Agak menunduk kulihat sesuatu dibalik daun-daunan dekat bekas bangkai anjing tadi, seekor anjing lain. Anjing itu lebih kecil namun ciri-ciri fisiknya hampir mirip dengan bangkai anjing kampung itu tadi. Aku mencoba memanggilnya dengan cara menyodorkan tanganku dan melakukan gerakan jari-jari yang bagi manusia melambangkan uang. Ia masih tak bergeming walaupun tubuhnya mengigil kedinginan, kedua matanya terus menatapku dengan pandangan curiga, kadang-kadang juga matanya meredup seperti sedikit kesakitan. Aku panggil lagi kali ini dengan berdecak seperti orang terkagum-kagum, aneh juga cara memanggil anjing, tangan seperti memberi uang mulut seperti memberi pujian. Berkali-kali aku memanggilnya, aku mencoba lebih mendekatinya, tiba-tiba iapun lari keluar ke jalanan, aku jadi khawatir ia akan tertabrak juga seperti anjing tadi pagi, akupun masuk kedalam dan penasaran mungkinkan ia mempunyai hubungan dengan anjing yang mati pagi tadi.
Siang yang hujan itu kumanfaatkan untuk tidur siang. Sekitar jam 3 sore akupun bangun, hujan sudah berhenti, aku masih penasaran dengan anjing misterius tadi dan memutuskan melihat ke luar siapa tahu ia masih terlihat di sekitar sini. Dugaanku tak meleset, anjing itu sudah kembali berdiam diri di balik rimbunnya tanaman di samping pagarku, kali ini aku tak mau mengusirnya, aku hanya memandanginya yang tengah tertidur, bulu-bulunya basah dan beberapa kali kulihat ia bergidik dan menggigil. Diam-diam kudekati anjing itu lagi, kubuka pintu pagar pelan-pelan, jalanan yang tetap sepi turut membantuku mengendap-endap sampai sekitar 30 cm di dekatnya, begitu saja, aku diam disitu, tak mau meraihnya tapi juga tak mau mengusirnya. Tiba-tiba dari jauh kulihat seorang anak kecil, dengan membawa sepotong rantai ia berjalan didampingi seorang wanita yang aku kenali sebagai ibunya, anak itu nampak seperti habis menangis sementara ibunya tetap tenang mengiringi sambil menggandengnya. Aku segera berdiri menunggu keduanya lewat.
âKemana bu?â aku mencoba menyapa
âOh, ini lho adek ngajak nyari anjingâ
Akupun terkejut, sambil menuding si anjing yang baru saja kuamati itu,
âLha ini ada anjingnya siapa? Punya ibu bukan?â
Sedikit tergesa si anak dan ibu itu segera mendatangi tempatku berdiri
âOh iya, tuh dek, si Pengki nya sudah ketemuâ kata si ibu dengan wajah berseri-seri
âtapi... tapi⦠Jengki nya mana?â si anak kelihatan tak puas juga.
âSi Jengkinya kayak apa?â tanyaku
âYa sama kayak ini, Jengki itu saudaranyaâ si ibu menjelaskan
Aku lihat anjing yang ternyata dinamai si Pengki itu, ia masih tertidur, aneh sekali di suasana yang seramai ini ia masih tak bergeming dari tadi. Aku kembali berpikir, jangan-jangan anjing yang kubuang tadi itulah si Jengki, bagaimana aku harus mengatakannya pada si ibu apalagi pada si anak yang kali ini mencoba merangsek ke dedaunan dan mengelus-elus kepala si Pengki itu.
âBu, beginiâ¦â aku mencoba berbicara sepelan mungkin supaya si anak yang dipanggil adek itu tidak mendengarku
âTadi pagi waktu saya mau keluar memang ada anjing yang mirip seperti anjing ini di jalan, tapi sudah mati, mungkin ketabrak angkutan umum, ya itu tapi terus tadi siang saya lihat lagi kok bangkainya sudah tidak ada, mungkin sudah dibuang orangâ aku mencoba mengarang-ngarang cerita supaya kedengaran masuk akal.
Yang kuajak bicara hanya memandangiku
âMemang sudah hilang berapa lama bu?â
âDari kemarin malam, mas, adeknya ini tadi malam ndak mau tidur, nangis terus, tapi kalau memang sudah mati ya sudahâ Kali ini aku lega dengan jawabannya.
âMa.. Maa.. Pengki nya kok tidur terus nggak mau bangun?â kata-kata anak itu semakin membuatku penasaran.
âJangan-janganâ¦â aku berkata dalam hati sambil menyesali kenapa aku memutuskan berlama-lama mengamati anjing hilang ini.
âCoba mama lihat, adek minggir duluâ si ibu rupanya juga tak kalah khawatir denganku. Diraihnya tubuh si anjing, digerak-gerakkan namun ia tetap diam saja, nampaknya ia memang sudah mengikuti jejak saudaranya.
âDek, Pengki nya ini sudah meninggal..â si ibu mencoba mendekati anak itu sambil mengelapkan kedua belah tangannya ke belakang roknya.
âNggak boleh!!! Pengkinya nggak boleh mati!!â anak itu mencoba mementahkan hipotesa ibunya, matanya kembali berkaca-kaca.
âSudah.. sudah nggak papa, nanti minta papa beliin Pengki baru lagi yaâ si ibu menimpali, aku agak kecewa dengan caranya menghibur anak, aku kira ia bisa memberi jawaban yang lebih baik tapi aku tetap lega karena aku tak disangkut pautkan dengan kematian kedua anjingnya tersebut.
âJengki nya juga dimana maaa!!!â kali ini ia sudah benar- benar menangis.
âSudah dek, cup cup, nggak apa-apa, ini Pengki sudah pergi ke surgaâ aku mencoba ikut menghibur dirinya, aku tak sadar telah memberi jawaban yang sama klisenya dengan si ibu.
âTuh, dengerin tuh kata om nyaâ kata si ibu sambil berusaha menggendong anaknya.
âGini aja, saya ambil kardus di dalam, si Pengkinya dibawa sajaâ kataku sambil memandang si ibu yang anehnya masih terlihat cukup tenang.
âYa, nggak ngerepotin to mas?â
âAh, ndak papaâ
Aku segera berjalan masuk, mencoba menghindari suasana yang kurang enak di luar, sengaja aku mencari kardus itu agak lama sambil sesekali mengintip keluar melihat apakah si anak sudah reda tangisnya.
âIni bu, saya saja yang naruhâ
Dan untuk pertama kalinya dalam seumur hidup aku menguburkan dua ekor anjing dalam sehari, aku merasa seperti seorang penjual peti mati, perias mayat atau pekerjaan sejenisnya.
âSudah, itu Pengki nya nanti dibawa pulang, nanti dikubur depan rumah yaâ ibu itu kembali mencoba menghibur anaknya yang masih juga sesenggukan menahan tangis.
âIni bu, saya antarkan aja ke rumah gimana?â kataku
âNggak mau, adek aja yang bawaâ¦â kata si anak sambil berusaha melorot dari gendongan ibunya.
âYa udah, adek yang bawa, bilang terima kasih tuh sama om nyaâ
Anak itu hanya melengos, si ibu hanya tersenyum mengamati putranya
âTerima kasih ya masâ
âYa bu sama-sama, ndak papaâ kataku sambil tersenyum lega.
Keduanya pun segera pergi, aku segera masuk dan mengunci pagar takut bila mereka kembali lagi.
Sungguh, kisah kedua anjing itu seperti sebuah cerita film, mungkinkah anjing kedua, si Pengki itu memilih mati daripada kehilangan saudaranya, bisakah anjing bunuh diri? Aku terus mencoba menerka-nerka jalan cerita keduanya. Dibesarkan sejak kecil bersama-sama, bermain dan menghabiskan waktu bersama, mungkin juga mereka sudah berencana akan menjadi suami istri karena si Pengki adalah anjing betina sementara si Jengki jantan, aku juga membayangkan bagaimana kemarin si Jengki menghilang dari rumahnya, entah kenapa ia melakukan itu. Pikiranku melayang lebih jauh lagi, terlalu jauh malah. Karena kisah kedua anjing itu sudah cukup seperti sebuah film, maka aku menambahinya, aku membayangkan kemarin keduanya bertengkar, mungkin hanya pertengkaran tentang letak tulang disimpan atau yang lain, pertengkaran itu begitu hebat, si Jengki yang marah memutuskan meninggalkan belahan jiwanya. Ah aku rasa itu jelas tak mungkin terjadi, barangkali begini, si Jengki yang mulai beranjak dewasa ingin membuktikan bahwa ia adalah benar-benar anjing jantan yang siap melindungi si Pengki, maka ia ingin membuktikannya dengan menantang dunia luar. Aku mencoba membuyarkan lamunanku, kenapa aku sekarang suka membuat dongeng? Yang jelas, kematian barangkali tidak begitu buruk bagi yang merasakannya, toh dunia bagi kedua anjing itu adalah diri mereka berdua, seandainya anjingpun memiliki akhirat yang memungkinkan mereka bertemu lagi, tentunya dunia baru itu akan sama sempurna dengan dunia pertama mereka. Mungkin ini sangatlah mengada-ada tapi barangkali itulah yang seharusnya kukatakan pada anak kecil itu tadi.
Urusan dengan kematian dua anjing itu tanpa terasa telah membawaku hampir ke larut malam. Biasanya jika malam sudah selarut dan sedingin ini, tak ada yang bisa kulakukan lagi selain menonton TV. Sebuah kasur kugelar di depannya, karena sudah terbawa kebiasaan sejak masih kost, aku sekarang tak pernah merasa nyaman lagi untuk menonton TV jika tidak sambil tidur-tiduran. Memang, pada dasarnya tidak banyak acara bagus yang mampu ditayangkan oleh stasiun televisi negeri kita ini, bahkan jam primetime bisa dikatakan sebagai jam-jam yang paling buruk; sinetron, variety show, reality show, film-film action yang sudah terlalu sering diputar, tanpa sadar seringkali aku lebih memilih melihat jeda-jeda iklan sebagaimana dikatakan oleh saudaraku yang juga sedang menonton TV yang terus kugonta-ganti channelnya. Namun malam ini lain, televisi sepertinya malah dapat membuatku sedikit terhibur dan melupakan rasa tidak nyaman setelah membohongi tetanggaku tadi. Sudah tengah malam, aku masih menggonta-ganti channel sebelum tiba-tiba aku melihat sebuah berita yang menarik perhatianku. Berita kriminal sepekan, heran juga, malam-malam begini orang masih disuruh melihat tayangan wajah-wajah lebam maling yang habis dipukuli, sesosok mayat tak dikenal yang ditemukan dalam keadaan mengenaskan, anak kecil yang tergolek lemas setelah berulangkali diperkosa kakeknya, danâ¦, oh tapi kali ini ada yang lain untukku, aku lihat tulisan di bawahnya âSolo, Jawa Tengah- anggota polisi bunuh diri di dalam gerejaâ. Berita buruk yang terjadi di sekitar tempat kita tinggal selalu menarik, (kecuali berita tentang korupsi yang selalu berbelit-belit dan membosankan itu) dan kali ini aku merasa ada di berita itu, ya benar! Foto itu adalah foto pemuda berambut cepak yang kulihat di gereja tadi pagi, tapi bunuh diri? Sepertinya aku ingin segera menceritakan hal ini pada orang lain, sayang aku hanya sendirian di rumah ini. Untuk sesaat aku seakan merasa telah mengenal akrab anggota polisi itu, aku merasa tahu masalahnya meskipun jelas tidak, reporter itu terus berbicara: âsampai saat ini polisi masih mencari kekasih pelaku yang diketahui bertempat tinggal di Solo, diduga pelaku mengalami stress akibat hubungannya tidak disetujui oleh keluarga kekasihnyaâ¦â Yah ternyata kali ini masalah yang sama, aku sempat kecewa karena sejauh yang pernah kulihat di berita seperti ini, motif bunuh diri selalu karena dua atau tiga hal: kesulitan ekonomi, cinta, dan sakit yang tak kunjung sembuh. Tapi, pikiran itu kembali digantikan oleh bayangan polisi muda itu, kali ini sungguh berbeda dengan kisah kasih kedua anjing itu tadi, jika si Pengki bunuh diri untuk menyatukan cintanya dengan si Jengki, sang anggota polisi itu malah kebalikannya, bunuh diri, memilih memisahkan diri dari dunia dan segala harapannya, hanya karena ia dipisahkan dunia dari cinta dan harapannya. Untuk sesaat, aku jadi bingung membedakan, yang mana kematian yang mana kehidupan.
Segera kupasang kedua kantong plastik itu ke tanganku, berat juga rupanya anjing kaku penuh pasir ini, setelah diangkat kulihat ternyata di bawah tubuhnya semut-semut lebih banyak dari yang kelihatan sebelum ini. Setengah kulempar, bangkai itu akhirnya berhasil masuk ke dalam kardus. âMmmhhffâ¦â aku bergidik sambil menyipitkan mata dan memonyongkan bibir tanda jijik. Setelah menutupi si anjing dengan kain-kain bekas, kardus segera buru-buru kututup sebelum lalat-lalat menyerbu lagi, selotip pun dipasang dan karena sudah cukup kuat, gulungan talipun tak jadi digunakan. âSelesai juga akhirnyaâ¦â pikirku sambil melihat ke arah jalanan yang terus sepi sedari tadi. Dengan kaki, kudorong kardus itu ke pinggir menjauh dari tempatnya semula, sekarang tinggal menyingkirkan jauh-jauh si anjing dalam kardus ini lewat sungai yang selalu menjadi jujugan terakhir para jasad binatang piaraanku atau binatang tak dikenal lain yang bernasib sama dengan anjing ini.
Dan motor butut itu keluar lagi, âyah, tak ada salahnya sedikit berkorban untuk anjing malang iniâ¦â, tentu pikiran itu tidaklah benar karena niatku semula memang hanya untuk menyingkirkan bau busuk dan gangguan lalat menjijikan itu tadi. Sedikit malas-malasan, kuhidupkan mesin sambil memasang helm sementara sebelah mataku sejenak melihat jarum speedometer penunjuk bahan bakar, âmasih cukup banyak!â gumamku. Memang harus diakui, kini tak bisa lagi aku melakukan sebuah perjalanan tanpa menghitung untung ruginya seperti dulu.
âBensin mahal!â begitu alasanku setiap kali menolak ajakan atau bahkan paksaan teman yang mengundangku ke suatu tempat dengan tujuan yang kurang dapat membuatku senang.
âMasih naik motor saja sudah alasan bensin mahal!â mereka mencoba membuatku tersudut. Namun aku tak peduli, begitu juga dengan mereka, alasan itu memang cukup manjur dan selalu masuk di akal.
Sungai itu hanya sekitar 1,5 kilometer dari rumahku. Memang bukan sungai sembarangan, sungai Bengawan Solo sampai sekarang adalah sungai paling terkenal di Jawa, mungkin karena pernah dibuatkan lagu segala. Siang ini mendung, meskipun hari Minggu, jalanan tidak begitu ramai dan memang biasanya juga tak pernah ramai apalagi macet seperti di kota. Aku hentikan motorku di tengah-tengah jembatan yang melintang di atas sungai, kulihat sebentar ke bawah, aliran sungai lumayan deras, warnanya masih kecoklatan, tak ada orang yang sedang buang hajat atau memancing di bawah sana, dan yang pasti sejak beberapa tahun terakhir ini tak ada warga yang pernah kulihat mandi di sungai kotor yang katanya mempunyai pusaran air berdaya sedot tinggi di dasarnya ini. Kukira cukup aman untuk membuang kardus yang kubawa sekarang, lagipula aku juga tak ingin berlama-lama memandang ke bawah dan berpikir macam-macam, aku selalu takut dengan ketinggian.
âHuh!, kali ini benar-benar sudah selesai!â, kardus itu sempat mengambang sebelum tenggelam terbawa arus dan hilang. Mungkin jika ini terjadi waktu aku kecil, aku tak akan cepat-cepat pergi dari pinggir jembatan itu, aku mungkin masih meratapi hilangnya kardus berisi anjing tak dikenal itu, bisa jadi menangisinya atau paling tidak memikirkannya seharian. Tapi kini tak ada waktu lagi untuk itu, langit sudah mulai mendung, mesin motor kembali dihidupkan dan sekali lagi kulirik jarum di panel tangki bahan bakar, masih tak bergerak dari posisi yang kulihat waktu aku berangkat tadi. Ternyata aku masih terlalu lambat untuk mendahului hujan, baru beberapa puluh meter butiran-butiran besar air telah turun menyerang, aku tak rela bajuku basah untuk ratusan meter ke depan. Motor berjalan menepi, kebetulan aku segera menemukan tempat berteduh paling nyaman, sebuah gereja.
Walaupun berada tak jauh dari rumahku, baru sekali ini aku menengok ke dalam gereja ini. Seharusnya hal tersebut dapat dimaklumi karena selain ini adalah sebuah gereja Katolik, aku sendiri juga baru sekitar 6 bulan menetap di rumah yang kudiami sekarang. Sesiang ini nampaknya misa sudah selesai dari tadi, yang tinggal sekarang hanya beberapa orang saja, sebagian duduk, mungkin berdoa, dan 2-3 orang di luar terlihat hanya berdiri, mungkin juga menunggu redanya hujan seperti aku. Terakhir kali aku datang ke sebuah gereja Katolik seperti ini kalau tidak salah adalah waktu SMP. Memang, aku sempat bersekolah di dua buah sekolah Katolik masing-masing waktu SMP dan SMU, tapi hanya waktu di SMP aku sempat beberapa kali mengikuti misa di sebuah gereja Katolik terbesar di kotaku, Gereja St. Antonius yang letaknya sekitar 150 meter dari sekolah. Jujur saja, walaupun bukan termasuk sekolah yang mempunyai peringkat bagus, SMP itu telah memberikanku pengenalan terhadap ajaran-ajaran dan tata cara ibadah yang berbeda dengan apa yang kualami dan kujalani 12 tahun sebelumnya.
Untuk beberapa saat aku mengamati isi gereja, bangku-bangku panjang dari kayu yang bederet rapi, mosaik-mosaik di kaca dan patung-patung yang besar itu seakan membawa kembali masa-masa SMP 9 tahun yang lalu. Aku selalu suka denga keheningan khas gereja Katolik seperti ini, ya seandainya aku tak melewati masa-masa SMU di SMU swasta paling favorit di kotaku itu mungkin aku akan lebih sering mengunjungi tempat ini, tidak untuk berteduh dari hujan namun berteduh dari panasnya hati. Boleh jadi ini bukan hal yang terlalu penting jika di KTP, SIM atau dokumen-dokumen yang lain sekarang, kolom agamaku masih diisi dengan tulisan Kristen dan tentu saja lebih tak penting lagi untuk membahas masalah perbedaan antara Kristen dan Katolik atau sebutan-sebutan lain untuk sebuah tradisi dan tata cara atau doktrin yang mempercayai adanya kekuatan luar biasa di luar kita sebagai manusia, tapi tak ada salahnya membicarakan sesuatu tentang hal ini sesuai dengan apa yang kualami.
Mengingat lagi masa-masa remaja yang kualami di bangku SMP sangatlah sulit untuk dilepaskan dari beberapa nama teman-teman; yang pasti adalah Hari Moelyono, atau si Moel begitu ia biasa dipanggil (entah apa ada hubungannya dengan kepopuleran sinetron Si Doel Anak Sekolahannya Rano Karno sehingga ia dipanggil begitu).
Dialah yang selalu mengajakku cangkruk sehabis pulang sekolah, di depan gereja St. Antonius yang banyak pedagang-pedagang kaki limanya, kebiasaan cangkruk ini sempat terhenti beberapa waktu di SMU sebelum berlanjut lagi di waktu kuliah. Si Moel bukanlah anak yang taat beribadah seperti si Doel, guru-guru menganggapnya bandel, bodoh dan suka berkelahi, sangat berbeda denganku saat itu. Hanya saja sejauh pengetahuanku sebenarnya dia termasuk lumayan rajin mengikuti misa-misa minggu dan hari-hari besar lainnya meski dia bilang cuma untuk melihat cewek-cewek. Itulah, semakin aku memperoleh kesempatan menikmati suasana sejuk di bawah rindangnya pohon-pohon besar di depan gereja di hampir tiap siang, lama kelamaan gereja yang begitu besar itu juga makin kuakrabi dengan baik.
Hujan makin lebat, kulihat motorku mulai terkena cipratan-cipratan air sehingga sisi luarnya mulai basah, aku merapatkan tubuhku lebih dalam ke pintu, aku ragu untuk berteduh di dalam karena aku hanya memakai celana pendek dan motor butut itupun masih merasa perlu untuk kuawasi. Aku tengok lagi ke dalam, âapa sebenarnya yang mereka doakan? Apa mereka itu benar berdoa atau hanya duduk atau malah ketiduran di dalam situ?â Tapi memang kulihat beberapa orang yang duduk itu hanya sekedar duduk-duduk saja, beberapa berbisik dan mengobrol, seorang bapak yang diluar pintu samping juga masih berdiri dan mulai menyalakan rokok. Suasana masih hening. Dulu si Moel pernah mengajakku mengikuti misa Paskah, jika itu terjadi bisa dibilang itu akan merupakan misa Katolik pertama kali yang kudatangi tanpa bersama rombongan dari sekolah. Namun sebagai anak yang patuh, hal itu lalu aku tanyakan dulu pada ibu dan kakakku, jelas saja mereka tak mengijinkan.
âCuma sekali ini kok, cuma coba-coba sajaâ aku memberi alasan sejujurnya karena si Moel telah menungguku di depan pagar dengan motor Binternya yang bising.
âTak bisa! Ada sekali pasti ada dua kali!â kakakku menyanggahnya seakan aku sedang meminta izin untuk pergi ke diskotik atau jajan ke lokalisasi. Sebaliknya ia malah menganjurkan supaya aku yang mengajak si Moel ke gerejaku saja. Akupun hanya senyum-senyum sambil mencela alasan filosofisnya yang aneh itu dengan sedikit bercanda, walaupun begitu aku sadar jika tak boleh dan tak ada gunanya melawan apa yang dipercayai keluargaku, aku bisa membayangkan akibatnya meski aku juga belum pernah mencobanya, ajakan si Moel pun kutolak.
Lepas dari SMP juga berarti lepas juga masa-masa keakrabanku dengan rindangnya pohon di depan gereja itu, akupun masuk sekolah Katolik swasta yang lain, kali ini sebuah SMU swasta paling favorit yang terkenal lebih Katolik karena dikepalai oleh seorang suster, mempunyai kapel sendiri di belakangnya, dan sebagai sekolah swasta favorit, biayanya lebih mahal. Aku sendiri semakin jarang bertemu dengan si Moel yang juga tetanggaku itu, awal SMU dia pindah rumah sementara pada pertengahan kelas satu gantian aku yang pindah rumah juga. Kapel kecil di SMU ku itu, walau di dalamnya juga teduh namun bentuk dan letaknya tidak begitu bersahabat, terlalu dekat dengan asrama para suster yang beberapa di antaranya galak itu, terlalu jauh dengan ruang kelas dan tentu juga sebagai anak SMu, jam istirahat pastinya lebih enak dihabiskan menikmati wajah-wajah siswi-siswi yang lewat di depan mata ketimbang sendirian di kapel yang terpencil itu. Aku jadi lupa dengan kerindangan pohon di depan gereja St.Antonius dan kekhidmatan gereja Katolik. Image dan rekaman itu perlahan mulai hilang, misa-misa di SMU diadakan di aula olahraga yang tidak begitu nyaman, kenangan di SMP itu telah digantikan oleh pengalaman dengan suster pengajar Matematika yang galak, suster kepala sekolah yang mata duitan, gunjingan-gunjingan khas para murid SMU tentang kejelekan guru-gurunya dan terutama, sekali lagi sang suster kepala sekolah tadi, serta tentu saja sang cewek gebetan yang kebetulan beragama Kristen, alhasil gereja Katolik pun jadi tak menarik lagi. Memang kemurnian ajaran-ajaran agama ternyata selalu dapat dihancurkan oleh dua hal: uang dan libido.
Butiran-butiran besar air hujan mulai hilang digantikan dengan butiran-butiran yang lebih lembut, lebih banyak dan lebih konstan. âAh seandainya saja rokokku belum habisâ, pikirku sambil memandangi pria di pintu samping yang masih asyik mengepulkan asap dari mulutnya pelan-pelan. Beberapa orang yang duduk di bangku sudah mulai berkurang, mereka memilih segera pergi, menembus butiran-butiran lembut air hujan. Aku sendiri memutuskan untuk menunggu 15 menit lagi. 5 menit berlalu, tinggal tersisa 1 orang yang duduk di bangku, pria di pintu samping itu tak kelihatan meski aku tak yakin jika ia sudah pulang. Sesaat orang itu berdiri, ia masih muda, berbadan tegap, berambut cepak seperti anggota militer, kami sempat beradu pandang sebelum aku pura-pura memeriksa frekuensi turunnya air hujan dengan sebuah sodoran tangan ke luar. Pemuda itu berjalan keluar lewat pintu samping dan kulihat pria yang merokok tadi sudah kembali berada disitu, suasana gereja yang sepi membuatku dapat mendengar percakapan mereka dengan cukup jelas.
âSudah bisa pak?â tanya pemuda berambut cepak itu dalam bahasa Jawa.
âBelum, saya ndak berani mas, Romo kelihatannya masih sibukâ sahut si bapak dalam bahasa Jawa yang lebih halus, rokok di tangannya kali ini sudah habis.
âHeh! hujan kok dari tadi lama sekali!â si pemuda menghela napas sambil memalingkan wajahnya dari si bapak yang kini aku kira adalah pesuruh yang memelihara gereja ini.
âMungkin juga istirahat mas, nanti kan beliau memimpin misa lagiâ bapak itu menambahkan sambil pelan-pelan meninggalkan pemuda itu sendirian.
Si pemuda tegap itu memandang ke depan lalu maju dan duduk di bangku ke tiga dari depan, kulihat ia mengambil sesuatu daru sakunya lalu menunduk, makin lama makin dalam, barangkali berdoa lagi.
15 menit yang kutetapkan telah lewat, aku coba berjalan keluar merasakan butir-butir hujan yang lembut seperti keluar dari alat penyemprot hama. Aku capek menunggu di sini terus, hujan seperti sudah tak begitu terasa motorpun kuhidupkan, dengan sedikit ngebut kularikan sampai ke rumah. Setiap butiran air itu tak begitu terasa pada mulanya namun setelah hampir sampai rumah baru kusadari betapa bajuku telah basah kuyup. Rumah mungil (sebagai pengganti rumah kecil) itu telah terlihat di depan mata, bekas bangkai anjing dan segala kotorannya itu tentunya sudah lenyap terbawa air hujan. Aku segera masuk dan memarkirkan kendaraan di garasi, kuraih sebuah payung, sambil sedikit menahan dinginnya tubuh aku kembali ke pintu depan untuk menutup dan menguncinya kembali. Aku masih penasaran dengan tempat bekas anjing itu berbaring tadi, apakah semua kotoran dan semut-semut itu telah benar-benar hilang? Agak menunduk kulihat sesuatu dibalik daun-daunan dekat bekas bangkai anjing tadi, seekor anjing lain. Anjing itu lebih kecil namun ciri-ciri fisiknya hampir mirip dengan bangkai anjing kampung itu tadi. Aku mencoba memanggilnya dengan cara menyodorkan tanganku dan melakukan gerakan jari-jari yang bagi manusia melambangkan uang. Ia masih tak bergeming walaupun tubuhnya mengigil kedinginan, kedua matanya terus menatapku dengan pandangan curiga, kadang-kadang juga matanya meredup seperti sedikit kesakitan. Aku panggil lagi kali ini dengan berdecak seperti orang terkagum-kagum, aneh juga cara memanggil anjing, tangan seperti memberi uang mulut seperti memberi pujian. Berkali-kali aku memanggilnya, aku mencoba lebih mendekatinya, tiba-tiba iapun lari keluar ke jalanan, aku jadi khawatir ia akan tertabrak juga seperti anjing tadi pagi, akupun masuk kedalam dan penasaran mungkinkan ia mempunyai hubungan dengan anjing yang mati pagi tadi.
Siang yang hujan itu kumanfaatkan untuk tidur siang. Sekitar jam 3 sore akupun bangun, hujan sudah berhenti, aku masih penasaran dengan anjing misterius tadi dan memutuskan melihat ke luar siapa tahu ia masih terlihat di sekitar sini. Dugaanku tak meleset, anjing itu sudah kembali berdiam diri di balik rimbunnya tanaman di samping pagarku, kali ini aku tak mau mengusirnya, aku hanya memandanginya yang tengah tertidur, bulu-bulunya basah dan beberapa kali kulihat ia bergidik dan menggigil. Diam-diam kudekati anjing itu lagi, kubuka pintu pagar pelan-pelan, jalanan yang tetap sepi turut membantuku mengendap-endap sampai sekitar 30 cm di dekatnya, begitu saja, aku diam disitu, tak mau meraihnya tapi juga tak mau mengusirnya. Tiba-tiba dari jauh kulihat seorang anak kecil, dengan membawa sepotong rantai ia berjalan didampingi seorang wanita yang aku kenali sebagai ibunya, anak itu nampak seperti habis menangis sementara ibunya tetap tenang mengiringi sambil menggandengnya. Aku segera berdiri menunggu keduanya lewat.
âKemana bu?â aku mencoba menyapa
âOh, ini lho adek ngajak nyari anjingâ
Akupun terkejut, sambil menuding si anjing yang baru saja kuamati itu,
âLha ini ada anjingnya siapa? Punya ibu bukan?â
Sedikit tergesa si anak dan ibu itu segera mendatangi tempatku berdiri
âOh iya, tuh dek, si Pengki nya sudah ketemuâ kata si ibu dengan wajah berseri-seri
âtapi... tapi⦠Jengki nya mana?â si anak kelihatan tak puas juga.
âSi Jengkinya kayak apa?â tanyaku
âYa sama kayak ini, Jengki itu saudaranyaâ si ibu menjelaskan
Aku lihat anjing yang ternyata dinamai si Pengki itu, ia masih tertidur, aneh sekali di suasana yang seramai ini ia masih tak bergeming dari tadi. Aku kembali berpikir, jangan-jangan anjing yang kubuang tadi itulah si Jengki, bagaimana aku harus mengatakannya pada si ibu apalagi pada si anak yang kali ini mencoba merangsek ke dedaunan dan mengelus-elus kepala si Pengki itu.
âBu, beginiâ¦â aku mencoba berbicara sepelan mungkin supaya si anak yang dipanggil adek itu tidak mendengarku
âTadi pagi waktu saya mau keluar memang ada anjing yang mirip seperti anjing ini di jalan, tapi sudah mati, mungkin ketabrak angkutan umum, ya itu tapi terus tadi siang saya lihat lagi kok bangkainya sudah tidak ada, mungkin sudah dibuang orangâ aku mencoba mengarang-ngarang cerita supaya kedengaran masuk akal.
Yang kuajak bicara hanya memandangiku
âMemang sudah hilang berapa lama bu?â
âDari kemarin malam, mas, adeknya ini tadi malam ndak mau tidur, nangis terus, tapi kalau memang sudah mati ya sudahâ Kali ini aku lega dengan jawabannya.
âMa.. Maa.. Pengki nya kok tidur terus nggak mau bangun?â kata-kata anak itu semakin membuatku penasaran.
âJangan-janganâ¦â aku berkata dalam hati sambil menyesali kenapa aku memutuskan berlama-lama mengamati anjing hilang ini.
âCoba mama lihat, adek minggir duluâ si ibu rupanya juga tak kalah khawatir denganku. Diraihnya tubuh si anjing, digerak-gerakkan namun ia tetap diam saja, nampaknya ia memang sudah mengikuti jejak saudaranya.
âDek, Pengki nya ini sudah meninggal..â si ibu mencoba mendekati anak itu sambil mengelapkan kedua belah tangannya ke belakang roknya.
âNggak boleh!!! Pengkinya nggak boleh mati!!â anak itu mencoba mementahkan hipotesa ibunya, matanya kembali berkaca-kaca.
âSudah.. sudah nggak papa, nanti minta papa beliin Pengki baru lagi yaâ si ibu menimpali, aku agak kecewa dengan caranya menghibur anak, aku kira ia bisa memberi jawaban yang lebih baik tapi aku tetap lega karena aku tak disangkut pautkan dengan kematian kedua anjingnya tersebut.
âJengki nya juga dimana maaa!!!â kali ini ia sudah benar- benar menangis.
âSudah dek, cup cup, nggak apa-apa, ini Pengki sudah pergi ke surgaâ aku mencoba ikut menghibur dirinya, aku tak sadar telah memberi jawaban yang sama klisenya dengan si ibu.
âTuh, dengerin tuh kata om nyaâ kata si ibu sambil berusaha menggendong anaknya.
âGini aja, saya ambil kardus di dalam, si Pengkinya dibawa sajaâ kataku sambil memandang si ibu yang anehnya masih terlihat cukup tenang.
âYa, nggak ngerepotin to mas?â
âAh, ndak papaâ
Aku segera berjalan masuk, mencoba menghindari suasana yang kurang enak di luar, sengaja aku mencari kardus itu agak lama sambil sesekali mengintip keluar melihat apakah si anak sudah reda tangisnya.
âIni bu, saya saja yang naruhâ
Dan untuk pertama kalinya dalam seumur hidup aku menguburkan dua ekor anjing dalam sehari, aku merasa seperti seorang penjual peti mati, perias mayat atau pekerjaan sejenisnya.
âSudah, itu Pengki nya nanti dibawa pulang, nanti dikubur depan rumah yaâ ibu itu kembali mencoba menghibur anaknya yang masih juga sesenggukan menahan tangis.
âIni bu, saya antarkan aja ke rumah gimana?â kataku
âNggak mau, adek aja yang bawaâ¦â kata si anak sambil berusaha melorot dari gendongan ibunya.
âYa udah, adek yang bawa, bilang terima kasih tuh sama om nyaâ
Anak itu hanya melengos, si ibu hanya tersenyum mengamati putranya
âTerima kasih ya masâ
âYa bu sama-sama, ndak papaâ kataku sambil tersenyum lega.
Keduanya pun segera pergi, aku segera masuk dan mengunci pagar takut bila mereka kembali lagi.
Sungguh, kisah kedua anjing itu seperti sebuah cerita film, mungkinkah anjing kedua, si Pengki itu memilih mati daripada kehilangan saudaranya, bisakah anjing bunuh diri? Aku terus mencoba menerka-nerka jalan cerita keduanya. Dibesarkan sejak kecil bersama-sama, bermain dan menghabiskan waktu bersama, mungkin juga mereka sudah berencana akan menjadi suami istri karena si Pengki adalah anjing betina sementara si Jengki jantan, aku juga membayangkan bagaimana kemarin si Jengki menghilang dari rumahnya, entah kenapa ia melakukan itu. Pikiranku melayang lebih jauh lagi, terlalu jauh malah. Karena kisah kedua anjing itu sudah cukup seperti sebuah film, maka aku menambahinya, aku membayangkan kemarin keduanya bertengkar, mungkin hanya pertengkaran tentang letak tulang disimpan atau yang lain, pertengkaran itu begitu hebat, si Jengki yang marah memutuskan meninggalkan belahan jiwanya. Ah aku rasa itu jelas tak mungkin terjadi, barangkali begini, si Jengki yang mulai beranjak dewasa ingin membuktikan bahwa ia adalah benar-benar anjing jantan yang siap melindungi si Pengki, maka ia ingin membuktikannya dengan menantang dunia luar. Aku mencoba membuyarkan lamunanku, kenapa aku sekarang suka membuat dongeng? Yang jelas, kematian barangkali tidak begitu buruk bagi yang merasakannya, toh dunia bagi kedua anjing itu adalah diri mereka berdua, seandainya anjingpun memiliki akhirat yang memungkinkan mereka bertemu lagi, tentunya dunia baru itu akan sama sempurna dengan dunia pertama mereka. Mungkin ini sangatlah mengada-ada tapi barangkali itulah yang seharusnya kukatakan pada anak kecil itu tadi.
Urusan dengan kematian dua anjing itu tanpa terasa telah membawaku hampir ke larut malam. Biasanya jika malam sudah selarut dan sedingin ini, tak ada yang bisa kulakukan lagi selain menonton TV. Sebuah kasur kugelar di depannya, karena sudah terbawa kebiasaan sejak masih kost, aku sekarang tak pernah merasa nyaman lagi untuk menonton TV jika tidak sambil tidur-tiduran. Memang, pada dasarnya tidak banyak acara bagus yang mampu ditayangkan oleh stasiun televisi negeri kita ini, bahkan jam primetime bisa dikatakan sebagai jam-jam yang paling buruk; sinetron, variety show, reality show, film-film action yang sudah terlalu sering diputar, tanpa sadar seringkali aku lebih memilih melihat jeda-jeda iklan sebagaimana dikatakan oleh saudaraku yang juga sedang menonton TV yang terus kugonta-ganti channelnya. Namun malam ini lain, televisi sepertinya malah dapat membuatku sedikit terhibur dan melupakan rasa tidak nyaman setelah membohongi tetanggaku tadi. Sudah tengah malam, aku masih menggonta-ganti channel sebelum tiba-tiba aku melihat sebuah berita yang menarik perhatianku. Berita kriminal sepekan, heran juga, malam-malam begini orang masih disuruh melihat tayangan wajah-wajah lebam maling yang habis dipukuli, sesosok mayat tak dikenal yang ditemukan dalam keadaan mengenaskan, anak kecil yang tergolek lemas setelah berulangkali diperkosa kakeknya, danâ¦, oh tapi kali ini ada yang lain untukku, aku lihat tulisan di bawahnya âSolo, Jawa Tengah- anggota polisi bunuh diri di dalam gerejaâ. Berita buruk yang terjadi di sekitar tempat kita tinggal selalu menarik, (kecuali berita tentang korupsi yang selalu berbelit-belit dan membosankan itu) dan kali ini aku merasa ada di berita itu, ya benar! Foto itu adalah foto pemuda berambut cepak yang kulihat di gereja tadi pagi, tapi bunuh diri? Sepertinya aku ingin segera menceritakan hal ini pada orang lain, sayang aku hanya sendirian di rumah ini. Untuk sesaat aku seakan merasa telah mengenal akrab anggota polisi itu, aku merasa tahu masalahnya meskipun jelas tidak, reporter itu terus berbicara: âsampai saat ini polisi masih mencari kekasih pelaku yang diketahui bertempat tinggal di Solo, diduga pelaku mengalami stress akibat hubungannya tidak disetujui oleh keluarga kekasihnyaâ¦â Yah ternyata kali ini masalah yang sama, aku sempat kecewa karena sejauh yang pernah kulihat di berita seperti ini, motif bunuh diri selalu karena dua atau tiga hal: kesulitan ekonomi, cinta, dan sakit yang tak kunjung sembuh. Tapi, pikiran itu kembali digantikan oleh bayangan polisi muda itu, kali ini sungguh berbeda dengan kisah kasih kedua anjing itu tadi, jika si Pengki bunuh diri untuk menyatukan cintanya dengan si Jengki, sang anggota polisi itu malah kebalikannya, bunuh diri, memilih memisahkan diri dari dunia dan segala harapannya, hanya karena ia dipisahkan dunia dari cinta dan harapannya. Untuk sesaat, aku jadi bingung membedakan, yang mana kematian yang mana kehidupan.
0 Responses to “di suatu minggu”