perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


am i collect?


cds
Originally uploaded by lalat hijau.

Collecting music, itulah salah satu jawaban yang saya berikan dimana-mana kalau diharuskan mengisi suatu form yang meminta menyebutkan apa hobi saya. Memang kalau untuk mengisi formulir lamaran kerja di bangunan-bangunan besar di kawasan Berbek, Surabaya, menyebutkan hal itu sepertinya kurang begitu menjual, kurang oportunis, terkesan hanya foya-foya, mungkin juga ilegal. Tapi itulah faktanya, karena saya malas berbohong untuk hal yang tak perlu, selain hal-hal lain yang biasa saya sebut (menulis, membaca, nonton film, web surfing dan kadang travelling), mengoleksi musik sepertinya adalah hobi yang paling militan saya lakukan.

Kalau ditanya sejak kapan dilakukan, mungkin saya bisa menyebut sejak kuliah tentunya, apalagi sejak jadi anak kost tanpa TV apalagi komputer. Bahkan jika untuk menyebut minat ke arah itu, bisa jadi saya menyebutkan sejak masa sekitar SMP ketika pertama kali siaran MTV dan Channel V bisa ditangkap antena parabola. Waktu itu masih diawali dengan menonton puluhan video klip setiap harinya, lalu meningkat setelah akhir SMU dan awal kuliah membeli dan (lebih sering) meminjam beberapa kaset milik teman, masih belum puas dengan hanya mendengar kaset pinjaman itu selama beberapa hari saja, sayapun mulai merekam kaset-kaset tersebut yang tentunya hasilnya pun jelek (karena beberapa diantaranya diam-diam pakai kaset-kaset kakak saya, atau dengan kata lain menumpuk rekaman), disini prinsip tak mau rugi sepeser pun sepertinya sudah mulai menjalari pikiran saya. Masa-masa awal pindah untuk kuliah di Surabaya juga cukup berpengaruh. Kehilangan teman-teman main yang telah akrab bertahun-tahun lamanya, budaya Jawa Timuran, Pasar Atum-an, Kowloon-an yang beda dengan budaya Solo-kothok yang saya akrabi sejak lahir, sempat membuat saya kesepian. Di masa itu, sayapun sering mendengarkan radio. Dan seperti sudah mendarah daging, niat untuk memiliki beberapa lagu yang kali ini diputar di radio itu kembali muncul, kegiatan merekam lagu-lagu favorit di radio sempat beberapa bulan rajin saya lakukan. Kadang memang masih dengan cara mencuri kaset lama kakak untuk ditumpuk, kadang juga beli kaset kosong (kalau bisa yang paling murah dan durasinya paling lama tentunya). Merekam lagu dari radio, walau memalukan, tapi sebenarnya asik juga. Menunggu lagu yang kita incar muncul membuat kegiatan itu seperti berburu. Kadang memang ada beberapa radio yang brengsek, yang suka memotong lagu di tengah-tengah (apalagi kalau di tengah lagu diselingi jingle “Wijayaaaa..!”), tapi ada juga yang baik hati memutar lagu dari awal sampai akhir tanpa cacat dan setelah itu disambung lagu lain lagi yang juga saya sukai. Hasilnya? Sebuah kaset medley, walau kadang ada lagu yang cuma separuh. Tapi tetap, prinsipnya adalah tidak boleh ada pita yang disia-siakan, tidak untuk kesunyian dan omongan penyiar atau iklan.

Perkenalan saya dengan teknologi MP3 sendiri, sama seperti perkenalan saya dengan internet dan naik sepeda; telat! Saya pertama kali mengenal MP3 pada tahun ’99. Waktu itu di Solo sedang ramai-ramainya jasa perekaman MP3, kebetulan teman SMU saya menawari saya ikut membuat juga, harganya waktu itu kalau tidak salah 1 disc 15 ribu. Sayapun terpesona ketika disodorkan daftar lagu yang bisa dipilih. 5 lembar kertas kuarto kumal penuh dengan print nama dan judul lagu yang ditulis dengan font superkecil, dan saya kini tinggal memilih sekitar 100 lagu. Perlu berjam-jam menandai lagu-lagu tsb, beberapa lagu yang saya cari namun tidak ada di daftar juga boleh dituliskan, siapa tahu nanti ada, dan akhirnya saya membayangkan akan mendengar ratusan lagu favorit nonstop. Ya, waktu itu saya memang tidak punya MP3 player atau komputer, tapi itu halangan itu seperti tetap tidak dipedulikan, saya masih terkesan dengan bayangan mendengarkan 100 lebih lagu favorit non-stop. Beberapa hari kemudian MP3 itu jadi, tapi beberapa lagu pilihan saya tidak ada, bahkan oleh pembuatnya diisi lagu pilihan teman saya yang tidak ada relasi genre atau kesamaan tempo sama sekali. Saya sempat kecewa, tapi tetap senang walau juga bingung, kapan saya bisa mendengarkan semua lagu-lagu di CD ini?

Yah, waktupun berlalu dengan cepat, setelah mempunyai MP3 pertama yang sampai sekarang tidak pernah saya dengarkan semuanya secara non-stop itu, saya selalu membayangkan mempunyai kesempatan memesan MP3-MP3 lagi, tentu saja sambil memikirkan dimana saya bisa mendengarkannya. Pelarian lain memang sempat ada, merekam radio tadi. Tapi kualitasnya jelek, alhasil dalam berbagai masa kesendirian, seringkali saya berkhayal dan mulai seolah-olah menyusun daftar lagu yang saya ingini. Ratusan judul lagu dan artisnya saya tulis dan selalu diupdate dalam sebuah buku tiap kali saya mendengar ada lagu baru lagi yang ingin dimiliki. Beberapa kali memang saya sempat membeli CD bajakan dan kaset, tapi masih terlalu singkat, dan mengeluarkan lebih banyak biaya. Saya ingin bisa memilih apa yang saya ingini, dari awal sampai akhir!

Tahun 2002, menjelang akhir tahun. Kakak saya dan keluarga memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan dan kehidupannya di Surabaya untuk mengikuti keinginan suaminya yang akan merintis usaha di Solo. Sebagai penumpang yang masih harus melanjutkan perjalanan, sayapun harus dioper ke rumah lain dan mulai berjalan sendirian. Satu masa di sebuah rumah kost eks-mahasiswa Petra yang sepi mulai saya jalani. Namun disitu, saking sepinya, saya pun tidak mempunyai nyali untuk menyetel musik. Tidak, bukan karena itu, saya tak mau menyetel musik karena teman kost saya yang lain menyetel musik dengan komputer yang speakernya bagus, jadi karena hanya punya kaset rekaman dan beberapa kaset baru serta sebuah tape compo kecil, sayapun agak minder menyetelnya, terutama jika mereka ada. Untunglah hanya beberapa bulan saya di situ. Sayapun pindah ke rumah kost baru. Bersama teman yang benar-benar saya kenal, karena satu jurusan. Dia pun menganjurkan saya membeli sebuah kaset. Seperti memercikkan sedikit saja abu rokok yang menyala di sebuah genangan bensin., persuasinya tersebut ibarat pengguntingan pita pembukaan sebuah toko. Bersama dengan kaset request yang kebetulan juga saya sukai itu, saya membeli 2 kaset lainnya. 65 ribu melayang untuk pertama kalinya demi musik. Dukungan dana memang masih kuat saat itu, kiriman uang dari keluarga dan beberapa tambahan dari ongkos lelah distribusi buku cukup membantu. Tapi saya masih tetap membeli kaset yang harganya lumayan itu karena masih berpikir mengenai dimana saya bisa menemukan player untuk memutar cakram-cakram. Beruntung teman saya tadi memberi bantuan. Meski awalnya dia masih belum benar-benar pindah di rumah kost itu, ia sempat menitipkan komputer notebook oom-nya di kamar saya. Ada player untuk memutar musik dalam cakram. Walau masih belum bisa untuk MP3, tapi lumayanlah, CD bajakan (waktu itu saya masih belum mengenal tempat bernama Tunjungan Center) di Pasar Atum toh berharga separuh dari kaset.

Untuk urusan koleksi kaset, selain membeli kaset baru di tempat-tempat macam Disctara atau Bulletin atau toko kaset di mal-mal, hobi itu makin menemukan wadahnya setelah saya tahu letak Aquarius Surabaya dan terutama, “Aquarius jongkok” di emperan Plaza Surabaya. Makin banyak uang mengalir, membeku menjadi sebuah kotak berisi gulungan pita. Ada yang bilang kolektor adalah contoh perilaku hedonis, mengumpulkan barang sebanyak-banyaknya tanpa melihat kebutuhan, bisa jadi itu benar bisa jadi juga tidak, dalam mengumpulkan kaset dan cakram-cakram itu saya memang tak pernah puas, tapi ukuran cukup tidaknya musik dapat dinikmati barangkali tergantung kapasitas memori kepala saya. Dan saya rasa kapasitasnya bisa lebih dari 200 gigabytes. Oh ya, seperti juga kolektor lain, beberapa kaset yang ada di kotak kaset saya sekarang juga merupakan hasil barter dengan orang lain, walau entah sebenarnya ia setuju atau tidak dengan keputusan sepihak ini.

Player.. player.. , mungkin itu masalah terbesar yang harus saya pecahkan. Dan jawaban sempat datang. Teman saya akhirnya benar-benar pindah ke kost yang sama dengan saya. Ia pun membawa serta komputer kesayangannya, yang telah dilengkapi CD Writer dan ratusan lagu dalam hard disknya. Mulailah teknologi mengambil alih, memudahkan, memperingan, mempermurah dan mewujudkan impian saya tentang musik. Perlahan CD-CD kosong mulai rajin saya beli, ditambah dengan berbagai sumbangan lagu-lagu baru dari mereka yang mempunyai kepingan-kepingan MP3, hard disk computer teman saya itu pun semakin lama semakin seperti angkot waktu jam pulang sekolah, beberapa penumpang lama yang sepertinya tak lagi menguntungkan akhirnya juga dibuang, atau dipindah ke kepingan CD.

Saya sendiri awalnya lebih banyak membakar lagu-lagu tersebut dalam bentuk CD yang paling-paling hanya memuat sekitar 18 lagu. Ini dilakukan karena saya masih tidak membayangkan untuk membeli player MP3, impian saya sebenarnya beli komputer langsung. Pelan-pelan, puluhan atau mungkin ratusan lagu dalam hard disk itu mulai tergandakan dalam bentuk CD kompilasi-kompilasi yang memakai berbagai judul yang kadang hanya saya saja yang tahu apa artinya, dan tanpa perlu menunggu waktu begitu lama keping-keping itu mulai menyesaki sebuah dus kecil. Diilhami dengan filmnya John Cussack berjudul “High Fidelity” beberapa CD juga sempat saya bagi-bagikan pada teman-teman yang lain. Ada yang suka ada juga yang tidak, namun saya tetap memaksa mereka agar menerimanya, sambil membayangkan mereka pun suatu saat akan menikmati lagu-lagu pilihan saya tsb seperti saya menikmatinya. Belakangan saya baru tahu bahwa masalah selera musik orang yang sebenarnya tidak begitu concern dengan musik malah justru sangatlah sulit diubah. Kegiatan bagi-bagi CD itu kepada orang-orang yang tentunya memiliki telinga, pemahaman dan pengalaman hidup yang berbeda dengan saya itu lama kelamaan juga mulai membuat saya mulai membeli lagu-lagu yang sesuai dengan pilihan mereka. Jadi, beberapa MP3 yang sebenarnya tidak ingin saya beli pun mulai masuk ke dus itu. Untung itu cuma sebentar saja.

Beli CD, beli MP3, kaset baru, kaset bekas, pinjam kaset, semua semakin rutin dilakukan. Apalagi setelah saya tahu dimana letak Tunjungan Center lantai 2, pusat penjualan barang yang katanya illegal itu. Tapi, membeli barang bajakanpun, jika dalam jumlah banyak, sepertinya berat juga. Satu cara lain pun ditemukan. Semua itu juga bermula dari kehadiran komputer teman saya tadi. Suatu malam, entah darimana ia datang, tiba-tiba ia membawa satu keping CD bermerek GT-Pro, rupa-rupanya ia baru dari rumah kost teman lamanya. Dengan bangga, ia memasukan kepingan cakram tersebut ke CD drive dan menunjukkan isinya pada saya. “Nih, semua kaset album (sebuah band Inggris) yang kamu beli sudah bisa aku punya dengan harga 3000 perak saja”. Saya hanya diam, tak terima dengan “ketidakadilan” ini, walau juga agak senang karena beberapa album lain milik band itu yang belum saya punyai pun sekarang bisa saya dengarkan dari satu keping benda tipis itu. Kemana saja saya selama ini? Dan sejak saat itu, sayapun mulai bergerilya, mencari komputer-komputer ber-CD writer, (yang semakin lama makin banyak), untuk “merampok” dan “menjarah” lagu-lagu yang ada di hard disk nya. Ada kalanya memang ada satu komputer yang memiliki bergiga-gigabytes musik namun hanya menghasilkan satu keping MP3 saja, karena perbedaan telinga tadi. Namun ada juga sebuah komputer, yang memiliki bergiga-gigabytes lagu dan semuanya seakan ingin saya jarah, yang kadang menyebabkan kunjungan saya ke rumah pemilik komputer itu, hanyalah sekedar memilih dan membakar MP3.

Beberapa bulan berlalu, teman saya, si pemilik komputer di kost itu pun merasa lebih baik untuk tinggal kembali di rumahnya. Ditambah lagi dengan kejadian mengerikan ketika monitor komputer tersebut mendadak meledak. Nampaknya hal itu disebabkan oleh buruknya kondisi dan kestabilan daya listrik di rumah kost kami, yang dimiliki sebuah keluarga militer, yang memang sepertinya sama sekali tak pernah menganggap penting untuk membuat para penyewa kamar-kamar rumah mereka bisa lebih betah tinggal di situ. Sayapun tidak dapat memutar musik sebebas dulu. Memang, ia sempat beberapa lama meninggalkan tape yang dilengkapi pemutar CD di kamar saya, namun (mungkin juga lagi-lagi karena listrik di rumah jorok itu) player miliknya itupun lama-lama juga mengalami penurunan kinerja. Memang, seperti berulangkali ayah ibu saya katakan, menjaga milik orang lain, risiko dan tanggung jawabnya jauh lebih besar, karenanya sebisa mungkin jangan sering meminjam barang orang lain, jika tak punya, sudahlah. Entah kenapa saya tak ingat nasihat mereka waktu itu. Akhirnya, waktunya pun tiba. Saya harus berani melangkah. Berawal dari kunjungan di sebuah ritel baru di Surabaya, sayapun menemukan sebuah pemutar MP3 portable, dengan harga yang tidak akan sampai menguras uang di rekening saya. Sampai kinipun saya masih belum tahu dan tak begitu ingin tahu mengenai negara mana yang membuat perangkat pemutar CD/VCD/MP3 mungil yang akhirnya saya beli itu. Apakah negara yang sering diidentikkan dengan diri saya, atau apapun tak begitu menjadi persoalan bagi saya. Walau keraguan orang-orang akan kualitas dan keawetan benda itu sempat mengiringi langkah saya sejak membelinya hingga kini, namun paling tidak, kini setelah sekitar 3 tahun, tidak ada gangguan berarti yang mengganggu fungsi kerja alat itu. Mungkin lain ceritanya jika saya tetap masih tinggal di rumah kost yang dulu.

Sekarang, sudah setahun saya tidak lagi tinggal di Surabaya, sudah 4 tas penyimpan CD dan satu wadah plastik kecil disesaki berbagai kepingan CD, semuanya saya simpan bersama puluhan kaset dalam sebuah dus sedang. Meski demikian, kepindahan saya ke kota kelahiran saya inipun cukup mempengaruhi perkembangan koleksi saya. Tidak ada lagi TC, Aquarius, Aquarius jongkok, atau distro yang menjual kaset independent local, tidak ada lagi komputer yang dapat saya jarah, malah lebih sering koleksi saya yang dijarah dan digandakan beberapa teman di kota ini. Harga MP3 dan CD bajakan di kota inipun dua kali lipat lebih mahal, dan 2-3 kali lipat tidak lengkap, karena para pedagangnya masih terlalu takut untuk rugi dan tak mau berisiko menjual album-album dari artis yang lagunya tidak sedang gencar diputar di radio. Alhasil, kadang, jika ada waktu saya menyiasatinya dengan pergi ke kota tetangga yang memiliki pusat penjualan lagu bajakan yang hampir seperti TC dengan harga yang separuh dari harga di kota yang saya tinggali sekarang. Memang, kadang ada sedikit titik cerah dengan kota yang sekarang saya tinggali ini, yaitu dengan adanya sebuah toko kaset (baru) di sebuah mal, yang sering mengobral kaset-kasetnya yang tidak kunjung laku, namun seringkali jenis musiknya lebih sesuai dengan telinga saya. Walau sejauh ini, saya hanya sempat membeli 3 kaset obral, tapi ini cukup memberi harapan, semoga semakin banyak kaset “bagus” yang “tak kunjung laku” dipasang di rak toko yang saya rasa juga sebentar lagi akan tutup itu.
Dan dibanding dengan kaset yang murah, tentu saya lebih memilih MP3, karena saya masih belum memiliki walkman. Itulah sebabnya, minggu-minggu terakhir ini, saya cukup gembira karena saya kembali menemukan satu lagi titik terang yakni download. Memang, mendownload lagu dari internet relatif memakan biaya yang cukup besar. Namun, dengan pilihan lagu yang kadang sangat sulit ditemukan di tempat-tempat lain, nafsu saya akan lagu-lagu “langka” telah mengalahkan pertimbangan mahalnya sewa warnet itu. Dimulai dari minggu kemarin, berbekal voucher sewa internet gratis, USB pinjaman, dan datang pagi-pagi, beberapa lagu yang sudah lama saya cari sekarang sudah masuk ke dalam sebuah MP3 kompilasi baru. Multiply! Itulah faktor pendukung utama yang sangat membantu saya mendapatkan lagu-lagu baru. Dengan adanya fasilitas memajang lagu-lagu pilihan member di wannabe-nya situs pribadi itu, dengan mudah sayapun mendownloadnya tanpa takut tiba-tiba disuruh membayar. Terima kasih pula pada google dan dengan mereka yang mendaftarkan situsnya ke search engine paling lengkap itu. Beruntung pula saya telah menjadi member dan menjadi bagian dari keluarga “perkalian” itu, sehingga kini saya dapat melacak mereka-mereka yang mungkin belum mendaftarkan diri ke google namun memajang lagu-lagu pilihan mereka juga. Syaratnya mungkin cuma satu, mengetahui kapan akses internet di warnet tersebut berlari cepat, mungkin pagi, mungkin subuh. Ah, saya tak sabar untuk liburan, kota Surabaya dan komputer-komputer yang menanti penjarahan.

0 Responses to “am i collect?”

Posting Komentar


Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!