Hari 1
Pencuri memasuki rumah kami. Aku baru tahu karena pagi ini ibu tiba-tiba berteriak untuk membangunkan seisi rumah lebih keras dari biasanya. Aku begitu was-was dan khawatir apa yang pencuri itu ambil dari rumah ini. Tak banyak barang berharga yang bisa diambil dari sini. Akupun keluar dan mendapati bahwa pencuri itu telah mengambil pintu. Ya, pintu! Semua pintu di rumah ini telah lenyap. Aku hampir tak menyadarinya sebelum kulihat pintu belakang yang biasanya jarang dibuka kini dengan leluasa mempersilakan sinar matahari masuk. Aku masih tak habis pikir, kenapa harus pintu? Namun, kehilangan pintu tetaplah sebuah masalah. Kami harus segera mengganti pintu-pintu yang lenyap itu dengan yang baru.
Hari 2
Aku bangun lebih pagi dari biasanya. Sinar matahari dan angin yang masuk ke rumah kami yang belum berpintu telah membuat tidurku kurang nyenyak. Kuambil segelas air hangat dan membubuhinya beberapa sendok kopi bubuk yang segera larut bersama setiap adukan sendok, air jernih itu lalu menghitam. Kulihat sekelilingku, seperti ada sesuatu yang aneh. Aku rasa dimanapun, tidaklah nikmat menikmati segelas kopi dengan berdiri. Tapi... akupun melangkah ke depan, menyusuri sekeliling rumah sampai kembali lagi ke tempatku semula. Pagi ini akulah yang berteriak-teriak seperti suara pendeta di sebuah siaran stasiun radio rohani yang biasa disetel ibuku. Rumah ini kemalingan lagi. Kemarin pintu hari ini kursi.
Hari 3
Aku hampir tak bisa tidur sama sekali, aku rasa seluruh penghuni rumah ini juga. Kami marah, kami penasaran siapa pencuri yang telah menyatroni rumah kami 2 hari berturut-turut. Pintu yang baru masih belum terpasang, di depan kami hanya memasang sebuah sekat triplek yang diikat dengan sebuah rantai untuk mempersulit orang lain membuka sekat itu dari luar. Sudah pagi, aku tak mendengar apa-apa hari ini, semua sepertinya aman-aman saja. Memang benar, setelah dicek satu persatu tak ada yang hilang hari ini. Kamipun semua lega.
Hari 4
Semalam aku benar-benar tak bisa tidur. Hujan mengguyur terus-menerus rumah kami, ya sepertinya memang hanya rumah kami yang diguyur hujan karena hanya rumah kami pulalah yang kebanjiran. Rupanya sekat triplek itu tidak cukup kuat menahan hembusan angin, ia pun roboh dan perlahan air mulai mengalir, menggenangi, dan akhirnya menguasai seluruh ruang-ruang di rumah ini. Air itu kotor, membawa sampah plastik, kertas sampai dedaunan pisang dari rumah pak RT di sebelah. Kami semua mengumpat dalam hati, tak berani mengucapkan, takut para tetangga salah menyangka kami sedang bertengkar.
Hari 5
Aku sudah tak sabar, berulangkali aku bertanya pada ibu kapan ia akan membeli pintu baru, namun selalu saja jawabnya “rumah orang Jepang saja pintunya dari kertas, malah bisa menahan gempa bumi”. Sempat aku berniat membuat pintu sendiri dari bahan kayu pohon yang tumbang kemarin malam, tapi ternyata pak RT sudah terlebih dulu mengambilnya untuk dijadikan tempat tidur.
Sepertinya nanti malam akan turun hujan yang lebih deras dari kemarin, aku tak tahu apa yang akan terjadi, ibu mengingatkanku untuk berdoa. Malam semakin pekat, lampu-lampu mulai dimatikan, hujan masih belum juga datang, namun mendung terlihat semakin tebal, aku capek terus berlutut dan berdoa, akupun tertidur.
Hari 6
Angin dingin terasa menusuk kulit, sayup-sayup aku mendengar suara percakapan orang-orang jelas sekali. Sebenarnya aku masih malas bangun, badanku pegal dan mataku perih, hanya suara orang-orang itu benar-benar mengusikku. “Apa ini??” teriakku. Begitu banyak orang berkerumun di kamarku, anak-anak kecil naik dan berlari-larian di atas tempat tidurku, orang-orang tua menatapku heran, dan seorang anak muda tiba-tiba berteriak, “Dia sudah bangun!!.. Sudah bangun!!”. Barangkali hanya mereka yang mengerti mengapa anak muda itu terlihat begitu bersemangat mengabarkan bahwa aku sudah bangun pagi ini. Aku merasa begitu marah, dan entah mengapa tiba-tiba aku mengejar pemuda itu, kutabrak dan kuhempaskan tubuhnya ke lantai ketika tiba-tiba
“Praang…”
Untuk sepersekian detik suasana berubah menjadi begitu sunyi. Semua saling memandang satu dengan yang lainnya, aku sendiri mencoba mencari tahu darimana sumber suara itu berasal. Kepingan-kepingan keramik bercampur dengan bubuk putih halus bertebaran di lantai, beberapa yang lebih halus terlihat beterbangan di tengah sinar matahari yang masuk menerobos sela-sela kerumunan orang itu, seperti sama-sama ingin tahu apa yang terjadi. Abu! Abu jenazah ayahku yang disimpan di sebuah guci keramik kecil itu sekarang menjadi lebih mirip sisa-sisa obat nyamuk bakar di waktu pagi.
“Bangsat! Siapa yang memecahkannya?!!”
Mereka masih saling berpandangan, beberapa bergumam tak jelas.
“Ayo siapa??!! Dan apa sebenarnya yang kalian lakukan di rumahku???!!
Kurasakan mukaku panas, dan panas itu perlahan menjalar turun, ke leher, dada, tangan sampai ke kakiku yang tanpa terasa mulai sedikit menginjak abu itu.
“Sudah…sudah..”
Sebuah suara dengan nada datar tiba-tiba datang membawa jawaban yang sama sekali tak ingin kudengar. Dari antara orang-orang itu menyeruaklah satu sosok yang juga tak kuharapkan akan keluar dengan jawaban itu.
“Bu..??”
“Iya sudah nak, sekarang dibersihkan saja..” masih dengan nada yang sama datar.
“Lho, tapi…”
“Aku yang menyenggol dan memecahkannya…”
Panas yang kurasakan tadi tiba-tiba berubah menjadi dingin, beku malah.
“Lagipula itu memang seharusnya tidak ditaruh di rumah, besok dilarung saja”
“Mmmm…”
Aku hanya menggeleng kecil, kulihat orang-orang tadi mulai tersenyum, anak-anak sudah mulai berancang-ancang akan melakukan permainan baru lagi. Pelan kuamati orang-orang itu sekarang, ternyata mereka adalah para tetangga di sebelah, belakang, depan dan bahkan salah satunya aku tahu tinggal di kampung lain. Ingin rasanya aku berteriak sekeras-kerasnya menyuruh dan mengusir mereka keluar tapi aku tahu tak akan ada yang mendengarnya. Mereka begitu ribut, anak-anak telah mulai berteriak-teriak dan menginjak-injak kasurku. Dan aku juga tak punya tenaga lagi untuk peduli. Sepertinya hari ini aku tak ingin mengatakan apa-apa.
Hari 7
Aku bangun, meski tak merasa sedetik pun telah tidur. Aku masih mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi kemarin. Akupun baru kembali ingat setelah melihat pemuda yang sempat kukejar kemarin, ia nampak tertidur pulas di tempat tidurku! Aku berdiri dan baru menyadari betapa berantakannya sekelilingku ini, dan orang-orang itu.. orang-orang itu ternyata masih ada, makin banyak, aku segera sadar bahwa ini adalah rumahku, tapi terlalu banyak orang membuatku tak lagi mengenalinya.
“Rupanya kemarin itu bukan mimpi..” pikirku.
Tapi ada yang aneh, seperti ada yang berbeda dibanding kemarin. Kali ini suasana begitu sunyi. Bibir orang-orang itu terlihat masih bercakap-cakap dan bahkan berteriak, namun mereka semua seperti sunyi. Sejenak aku lupakan pemuda tadi, aku bergegas keluar, ternyata ibu ada di belakangku, wajahnya terlihat geram, kulihat kedua tangannya memegang sesuatu. Telinga! Ibu telah merampas telingaku!
“Ibu..??” aku mencoba berteriak sekuat tenaga, namun tak ada yang dapat kudengar.
“Ibukah selama ini malingnya?” aku tak lagi peduli jika aku tak bisa mendengar, aku tahu ibu pasti dapat mendengarku.
Ia hanya tersenyum, dan kuamati wajahnya semakin lama semakin tidak mirip lagi dengan ibuku yang kukenal.
“Kenap…”
Tangannya tiba-tiba dijulurkan ke arahku, dan mulutku..kini telah berpindah di genggamannya, penuh darah, kepalaku begitu pening, wajahku nyeri.
Samar-samar kulihat ibu, dan orang-orang itu, anak-anak itu, pemuda itu semua menatapku sambil menggelengkan kepala mereka.
Aku masih tak tahu apa yang telah terjadi.
(bersambung dalam episode yang lebih buruk dan makin tak jelas lagi)
Pencuri memasuki rumah kami. Aku baru tahu karena pagi ini ibu tiba-tiba berteriak untuk membangunkan seisi rumah lebih keras dari biasanya. Aku begitu was-was dan khawatir apa yang pencuri itu ambil dari rumah ini. Tak banyak barang berharga yang bisa diambil dari sini. Akupun keluar dan mendapati bahwa pencuri itu telah mengambil pintu. Ya, pintu! Semua pintu di rumah ini telah lenyap. Aku hampir tak menyadarinya sebelum kulihat pintu belakang yang biasanya jarang dibuka kini dengan leluasa mempersilakan sinar matahari masuk. Aku masih tak habis pikir, kenapa harus pintu? Namun, kehilangan pintu tetaplah sebuah masalah. Kami harus segera mengganti pintu-pintu yang lenyap itu dengan yang baru.
Hari 2
Aku bangun lebih pagi dari biasanya. Sinar matahari dan angin yang masuk ke rumah kami yang belum berpintu telah membuat tidurku kurang nyenyak. Kuambil segelas air hangat dan membubuhinya beberapa sendok kopi bubuk yang segera larut bersama setiap adukan sendok, air jernih itu lalu menghitam. Kulihat sekelilingku, seperti ada sesuatu yang aneh. Aku rasa dimanapun, tidaklah nikmat menikmati segelas kopi dengan berdiri. Tapi... akupun melangkah ke depan, menyusuri sekeliling rumah sampai kembali lagi ke tempatku semula. Pagi ini akulah yang berteriak-teriak seperti suara pendeta di sebuah siaran stasiun radio rohani yang biasa disetel ibuku. Rumah ini kemalingan lagi. Kemarin pintu hari ini kursi.
Hari 3
Aku hampir tak bisa tidur sama sekali, aku rasa seluruh penghuni rumah ini juga. Kami marah, kami penasaran siapa pencuri yang telah menyatroni rumah kami 2 hari berturut-turut. Pintu yang baru masih belum terpasang, di depan kami hanya memasang sebuah sekat triplek yang diikat dengan sebuah rantai untuk mempersulit orang lain membuka sekat itu dari luar. Sudah pagi, aku tak mendengar apa-apa hari ini, semua sepertinya aman-aman saja. Memang benar, setelah dicek satu persatu tak ada yang hilang hari ini. Kamipun semua lega.
Hari 4
Semalam aku benar-benar tak bisa tidur. Hujan mengguyur terus-menerus rumah kami, ya sepertinya memang hanya rumah kami yang diguyur hujan karena hanya rumah kami pulalah yang kebanjiran. Rupanya sekat triplek itu tidak cukup kuat menahan hembusan angin, ia pun roboh dan perlahan air mulai mengalir, menggenangi, dan akhirnya menguasai seluruh ruang-ruang di rumah ini. Air itu kotor, membawa sampah plastik, kertas sampai dedaunan pisang dari rumah pak RT di sebelah. Kami semua mengumpat dalam hati, tak berani mengucapkan, takut para tetangga salah menyangka kami sedang bertengkar.
Hari 5
Aku sudah tak sabar, berulangkali aku bertanya pada ibu kapan ia akan membeli pintu baru, namun selalu saja jawabnya “rumah orang Jepang saja pintunya dari kertas, malah bisa menahan gempa bumi”. Sempat aku berniat membuat pintu sendiri dari bahan kayu pohon yang tumbang kemarin malam, tapi ternyata pak RT sudah terlebih dulu mengambilnya untuk dijadikan tempat tidur.
Sepertinya nanti malam akan turun hujan yang lebih deras dari kemarin, aku tak tahu apa yang akan terjadi, ibu mengingatkanku untuk berdoa. Malam semakin pekat, lampu-lampu mulai dimatikan, hujan masih belum juga datang, namun mendung terlihat semakin tebal, aku capek terus berlutut dan berdoa, akupun tertidur.
Hari 6
Angin dingin terasa menusuk kulit, sayup-sayup aku mendengar suara percakapan orang-orang jelas sekali. Sebenarnya aku masih malas bangun, badanku pegal dan mataku perih, hanya suara orang-orang itu benar-benar mengusikku. “Apa ini??” teriakku. Begitu banyak orang berkerumun di kamarku, anak-anak kecil naik dan berlari-larian di atas tempat tidurku, orang-orang tua menatapku heran, dan seorang anak muda tiba-tiba berteriak, “Dia sudah bangun!!.. Sudah bangun!!”. Barangkali hanya mereka yang mengerti mengapa anak muda itu terlihat begitu bersemangat mengabarkan bahwa aku sudah bangun pagi ini. Aku merasa begitu marah, dan entah mengapa tiba-tiba aku mengejar pemuda itu, kutabrak dan kuhempaskan tubuhnya ke lantai ketika tiba-tiba
“Praang…”
Untuk sepersekian detik suasana berubah menjadi begitu sunyi. Semua saling memandang satu dengan yang lainnya, aku sendiri mencoba mencari tahu darimana sumber suara itu berasal. Kepingan-kepingan keramik bercampur dengan bubuk putih halus bertebaran di lantai, beberapa yang lebih halus terlihat beterbangan di tengah sinar matahari yang masuk menerobos sela-sela kerumunan orang itu, seperti sama-sama ingin tahu apa yang terjadi. Abu! Abu jenazah ayahku yang disimpan di sebuah guci keramik kecil itu sekarang menjadi lebih mirip sisa-sisa obat nyamuk bakar di waktu pagi.
“Bangsat! Siapa yang memecahkannya?!!”
Mereka masih saling berpandangan, beberapa bergumam tak jelas.
“Ayo siapa??!! Dan apa sebenarnya yang kalian lakukan di rumahku???!!
Kurasakan mukaku panas, dan panas itu perlahan menjalar turun, ke leher, dada, tangan sampai ke kakiku yang tanpa terasa mulai sedikit menginjak abu itu.
“Sudah…sudah..”
Sebuah suara dengan nada datar tiba-tiba datang membawa jawaban yang sama sekali tak ingin kudengar. Dari antara orang-orang itu menyeruaklah satu sosok yang juga tak kuharapkan akan keluar dengan jawaban itu.
“Bu..??”
“Iya sudah nak, sekarang dibersihkan saja..” masih dengan nada yang sama datar.
“Lho, tapi…”
“Aku yang menyenggol dan memecahkannya…”
Panas yang kurasakan tadi tiba-tiba berubah menjadi dingin, beku malah.
“Lagipula itu memang seharusnya tidak ditaruh di rumah, besok dilarung saja”
“Mmmm…”
Aku hanya menggeleng kecil, kulihat orang-orang tadi mulai tersenyum, anak-anak sudah mulai berancang-ancang akan melakukan permainan baru lagi. Pelan kuamati orang-orang itu sekarang, ternyata mereka adalah para tetangga di sebelah, belakang, depan dan bahkan salah satunya aku tahu tinggal di kampung lain. Ingin rasanya aku berteriak sekeras-kerasnya menyuruh dan mengusir mereka keluar tapi aku tahu tak akan ada yang mendengarnya. Mereka begitu ribut, anak-anak telah mulai berteriak-teriak dan menginjak-injak kasurku. Dan aku juga tak punya tenaga lagi untuk peduli. Sepertinya hari ini aku tak ingin mengatakan apa-apa.
Hari 7
Aku bangun, meski tak merasa sedetik pun telah tidur. Aku masih mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi kemarin. Akupun baru kembali ingat setelah melihat pemuda yang sempat kukejar kemarin, ia nampak tertidur pulas di tempat tidurku! Aku berdiri dan baru menyadari betapa berantakannya sekelilingku ini, dan orang-orang itu.. orang-orang itu ternyata masih ada, makin banyak, aku segera sadar bahwa ini adalah rumahku, tapi terlalu banyak orang membuatku tak lagi mengenalinya.
“Rupanya kemarin itu bukan mimpi..” pikirku.
Tapi ada yang aneh, seperti ada yang berbeda dibanding kemarin. Kali ini suasana begitu sunyi. Bibir orang-orang itu terlihat masih bercakap-cakap dan bahkan berteriak, namun mereka semua seperti sunyi. Sejenak aku lupakan pemuda tadi, aku bergegas keluar, ternyata ibu ada di belakangku, wajahnya terlihat geram, kulihat kedua tangannya memegang sesuatu. Telinga! Ibu telah merampas telingaku!
“Ibu..??” aku mencoba berteriak sekuat tenaga, namun tak ada yang dapat kudengar.
“Ibukah selama ini malingnya?” aku tak lagi peduli jika aku tak bisa mendengar, aku tahu ibu pasti dapat mendengarku.
Ia hanya tersenyum, dan kuamati wajahnya semakin lama semakin tidak mirip lagi dengan ibuku yang kukenal.
“Kenap…”
Tangannya tiba-tiba dijulurkan ke arahku, dan mulutku..kini telah berpindah di genggamannya, penuh darah, kepalaku begitu pening, wajahku nyeri.
Samar-samar kulihat ibu, dan orang-orang itu, anak-anak itu, pemuda itu semua menatapku sambil menggelengkan kepala mereka.
Aku masih tak tahu apa yang telah terjadi.
(bersambung dalam episode yang lebih buruk dan makin tak jelas lagi)
0 Responses to “MALING!”