perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


just for laugh

Sebuah kebetulan yang tidak menyenangkan. Walaupun sampai saat ini kadang saya masih belum merasakan kenyamanan ngobrol dengan teman-teman di kantor. Baru saja kemarin malam, saya dan teman-teman di kantor mengadakan acara sekedar kumpul-kumpul, memang ini bukan sesuatu kegiatan utk suatu hal yang spesial, tapi saya masih bisa bernafas lega karena kegiatan yang dilakukan memang hanya ngobrol-ngobrol biasa saja, tanpa adanya keharusan melakukan hal-hal lain. Dan seperti layaknya orang ngobrol ngalor ngidul, yang dibahas tak lebih dari hal-hal seperti keluhan-keluhan di kantor sampai ngrasani orang yang kebetulan tidak ada di situ, sempat beberapa jam kami membahas mengenai salah seorang rekan kami di kantor. Intinya, rekan kami itu (dan lama-lama, kami tahu bahwa ia tidak sendiri) seringkali menyimpan rasa tersinggung oleh karena gaya bercanda dan saling meledek antar staf sekantor. Untuk beberapa waktu, masalah melebar sampai ke (pra) kesimpulan (dan semacam kesepakatan) bahwa cara bercanda dan ledek-meledek itu harus mulai dikurangi, dan meski mereka sadar bahwa itu ditunjukkan kepada semuanya, saya merasa seperti saya cukup sering berandil menyakiti teman saya itu, dan mungkin juga yang lainnya, meski saya merasa bahwa saya lebih fair dari teman-teman lain yang melakukan hal sama. Dan sayapun semakin bingung ketika saya membuka e-mail dan bulletin board friendster hari ini, ada berita mengenai kasus sebuah stasiun TV yang merasa harus melapor ke polisi karena candaan. Beberapa hari lalu, seorang teman juga merasa jawaban yang saya ketikkan di sebuah bulletin board tak penting di friendster juga kasar dan bukanlah seperti sebuah lelucon saja.
Humor, lelucon, candaan, ledekan barangkali memang salah satu refleksi psikologis dari si pembuat atau si penerimanya. Saya paling membenci jika ada orang terlalu serius membahas tentang canda, karena apakah yang dicari orang dari canda selain tawa? Sementara atasan sayapun pernah membahas (mungkin juga hanya berpendapat) dengan kakak saya, mengenai orang Indonesia yang lebih sering menerapkan gaya bercanda dan tawa yang mengejek atau dalam arti kata lain bersifat egois karena tertawa sebagai salah satu pelepasan stress itu hanya dinikmati oleh satu pihak saja. Saya sendiri menganggap itu pengaruh budaya feodal selain faktor psikologis termasuk juga stress (yang akan menyangkut berbagai bidang lainnya lagi), pendidikan dll. Tapi masalah sebenarnya yang dapat membuat candaan tidak lagi menjadi sarana refreshing pikiran mungkin sebenarnya terletak pada penerimaannya. Toleransi, kompromi, maaf, kerendahan hati, semuanya adalah unsur yang menurut saya berperan penting dalam menunjukkan suatu kedewasaan. Meski tuntutan kata "kedewasaan" yang seperti itu, jika sudah dilakukan ke arah yang lain dan bukan lagi pada kebaikan banyak pihak, tidak selalu membuat sreg di hati saya, terutama jika sudah berkembang ke arah basa-basi, kemunafikan dan menipu diri sendiri. Namun tetap saja, sepertinya semakin banyak orang telah menjadi sedemikian egois untuk mampu mentertawakan diri dan menyenangkan hati orang lain yang sedang membutuhkan kegembiraan dan untuk menganggap candaan adalah candaan (tentunya setelah melihat situasinya).Ternyata akan masih banyak cermin yang hancur dibelah. Namun, saya rasa tawa tak akan punah selama manusia masih dapat menikmati keanehan.

PS: Benar, caraku menulis semakin kasar.. (serius)

0 Responses to “just for laugh”

Posting Komentar


Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!