Kekerasan, barangkali itu adalah kata yang terlalu halus untuk mewakili praktik sebenarnya dari hal itu. Sulit untukku membayangkan tentang kekerasan di daerah konflik. Aku pernah mendengar ihwal tentang kerusuhan Sampit dari 2 orang pertama. Yang pertama saudara sepupuku yang tinggal di kota itu. Yang kedua, teman kos yang waktu itu masih SMA. Cerita dari teman kosku yang asli Dayak pastinya lebih menegangkan. Ia bercerita tentang suasana lengang, suasana mengungsi, juga tentang bagaimana ia ditanyai tentang keberadaan temannya yang Madura, yang ia sembunyikan di asramanya. Menakutkan. Banyak diketahui jika orang-orang Dayak pedalaman itu bisa mencium bau orang Madura. Namun, di satu sisi ia tidak mau menyerahkan temannya sendiri. Ia pastikan jika temannya ketahuan, maka ia sendirilah yang akan disuruh untuk menebas lehernya. Kami, aku dan beberapa teman yang mendengarnya, tersenyum tipis dengan aneh sambil sedikit melirik pada temanku itu yang bercerita dengan mata menerawang. Suaranya lepas, keras, melengking tapi juga agak marah. Dan ia juga berkisah tentang menjijikannya orang-orang Madura. Ibu-ibu yang jorok dan anak-anak yang ingusan, juga tentang bagaimana dulu waktu kecil ia pernah ditipu saat membeli ayam di seorang pedagang Madura di pasar. Aku tak begitu jelas dengan kelanjutannya. Bagaimana ia bisa keluar dari situasi genting itu. Dengan kelihaian bercerita seorang dosen (ia memang dosen), ia segera berganti cerita tentang kelakukan menjengkelkan orang-orang Madura di kampungnya. Barangkali lirikan teman-teman, termasuk diriku, adalah satu pertanyaan. Bagaimana kelanjutan pengalamannya itu? Masih hidupkah teman Maduranya itu? Atau jangan-jangan...
Cerita kedua adalah dari saudara sepupuku yang sedang berkunjung ke Solo. Ia tidak bercerita sedramatis temanku. Versinya adalah tentang situasi mencekam saat sekeluarga ia mengunci diri di rumah. Ia bercerita tentang keluarnya orang-orang Dayak dari hutan. Yang masih benar-benar asli, yang masih tidak bisa berbahasa Indonesia, yang berteriak-teriak wuwuwuwuwuwuuu.. seperti orang Indian di film koboi. Dan dari rumah yang bergelap-gelap, sesekali terdengar "swiiing..." bunyi suatu benda terbang di udara. Katanya, senjata mandau itu punya mata. Mereka bisa mencari sasarannya seperti rudal dari kapal selam. Saudaraku bercerita tentang kerusuhan, semula kota dikuasai orang Madura selama beberapa hari, kemudian ganti direbut oleh orang Dayak. Namun, orang Tionghoa merasa lebih aman saat kota dikuasai orang Dayak.
Wartawan Inggris ini memberikan kisah yang membuatku terbayang-bayang selama beberapa hari dan bahkan hingga hari ini jika aku melihat buku itu di rakku. Begitu ngeri saat tukang sate dan orang-orang mengetuk-ngetuk dan mengejar mobilnya. "Makan... makan. Silakan. Waktunya makan malam. Jangan malu-malu..." Sehari setelah membacanya, kata-kata itu bahkan terngiang di kepalaku. Sempat terbersit tuduhan, orientalis. Tapi, agak sulit aku membenarkan tuduhan itu.
Kerusuhan Mei 98 juga terjadi di kotaku. Namun, sekali lagi aku terhindar dari melihatnya sendiri. Sebagai anak SMA, melihat asap membumbung dari berbagai arah di kota, aku membayangkan akan terjadi perang dengan pemukul atau paling tidak bisa melihat para perusuh berbalik arah saat hendak memasuki kompleks perumahanku begitu melihat warganya telah siap menghadang. Tapi, aku juga tentunya tidak mau itu terjadi. Bahkan aku rasa aku tidak mau melihat orang-orang itu, meski aku juga ingin punya kesempatan membalas mereka saat mendengar berbagai kabar tentang apa yang terjadi di kota. Kakak memarahi dan Papa yang lumpuh karena stroke membentakku saat aku membawa sebuah batang besi ke ruang tamu. Jika Papa bisa bicara dengan jelas, mungkin ia akan mengatakan, "Bawa masuk... buat apa itu? Mau pukul orang kamu?!" Aku tidak pernah tahu kenapa aku melakukannya. Mungkin aku mengharapkan akan ada pertarungan seperti di film-film kungfu? Mungkin aku memang tidak pernah menghadapi yang namanya kekerasan? Aku sadar aku memang bodoh. Aku toh sudah merinding saat beberapa hari kemudian berputar-putar di kota melihat rumah-rumah hangus dan tembok-tembok masih bertuliskan "BAKAR CINA!", "CINA ANJING", dsb. Dan pada malam-malam ikut meronda bersama warga itu, aku justru melewatkan malam di atap rumah tetanggaku sambil mengobrol dan melihat banyak bintang beralih di langit kota yang saat itu gelap berbintik-bintik putih.
Seorang kawan menceritakan pengalamannya dikeroyok, jatuh, dan menerima tendangan bertubi-tubi dari beberapa polisi saat memimpin demonstrasi di sebuah pabrik sepatu. Ia tidak pernah bercerita dengan jelas sehingga aku tidak sempat merasakan sakitnya lars sepatu. Dan di buku ini, bagian tentang situasi sekitar Mei 1998 itu bukanlah cerita yang banyak mengumbar kekerasan. Ada sedikit tentang kerusuhan. Tapi lebih banyak kisahnya adalah pembicaraan orang-orang tentang situasi politik yang terjadi.
Tentang Timor Timur, aku sepertinya tak punya pengalaman pribadi apapun. Apa yang kuingat ketika mendengar nama negeri itu mungkin hanya seorang mahasiswa yang kudengar obrolannya di loket bank di kampus. Ketika itu adalah masa referendum dan pemuda itu tampak begitu berbinar dan bersemangat saat mengobrol dan menyebut sebuah nama, Antonio Gusmao. Selebihnya tentang Timor Leste, yang menurut cerita rakyat berasal dari punggung seekor buaya, adalah dari televisi, koran, dan buku-buku. Sejak dulu, aku rasa mendengar pembicaraan tentang negara itu adalah lebih seperti bicara tentang berita internasional dan tentang sepak terjang tentara, ketimbang satu wilayah bagian Indonesia.
Mana yang lebih baik dan menarik, antara pengalaman Richard Lloyd Parry di Sampit, Jakarta dan Jogja pada Mei 98, atau di Timor Timur? Bagiku, secara dramatis paling menarik adalah Sampit meski Timor Timur juga (hanya faktor kedekatanlah yang membuatku lebih memilih Sampit). Secara faktual, kisah tentang Timor Timur adalah yang lebih mengesankan, disusul mengenai Mei 1998. Lupakan dulu Kick Andy, buang jauh-jauh buku sejarah versi Pemerintah, bakar saja laporan Jawa Pos, matikan siaran Metro Files yang sok tidak berpihak tapi malah terasa sarat kepentingan, takut-takut, atau singkatnya serba nanggung itu, aku rasa membaca buku ini lebih memuaskan (meminjam kata seorang teman yang merekomendasikannya).
Label: buku, kekerasan, mei 98, sampit, timor leste
0 Responses to “Zaman Edan”