Aku tidak terlalu akrab dengan nama Truman Capote sebelumnya. Dulu, di kampus memang pernah diadakan pementasan teater berjudul Breakfast At Tiffany. Itu terjadi pada saat aku masih menjadi mahasiswa baru. Di masa itu, yang kutahu adalah teater merupakan salah satu mata kuliah atau kegiatan ekstra para mahasiswa di jurusanku. Tidak terlalu berminat. Aku tidak menonton pementasan tersebut. Jika kemudian aku memilih menonton film tersebut, yang membuatku tertarik adalah review dan penghargaan Oscar yang diterima Phillip Seymour Hoffman. Ya, dalam memilih sebuah film, aku memang kadang terlalu menghamba pada gambar piala atau tulisan-tulisan di depan sampul VCD/DVD seperti itu. Sebuah kebiasaan yang meski bikin aku jijik, tapi sejauh ini jarang membuatku kecewa.
****
Sebenarnya, aku sudah kenal Puthut cukup lama. Ketika Onie membawanya ke kampus, aku belum kenal dia selain sebagai temannya Onie (temannya memang banyak yang aneh). Kenal sudah cukup lama tapi terbilang jarang bertemu. Sementara aku biasanya baru bisa akrab dengan seseorang jika sering ketemu dan berinteraksi. Itu sebabnya susah menjelaskan kenal yang bagaimanakah itu. Terlebih, ia memang jenis orang yang seperti sangat siap untuk mengakrabi ribuan orang, yang sebagian besar aku lihat mengaguminya. Saat ia mulai sering dikisahkan oleh mulut-mulut dan kemudian juga media-media sastra dan perbukuan, lambat laun aku baru sadar bahwa aku sudah mengenal seorang yang cukup bisa dijadikan referensi dalam bidangnya.
****
Trailer film. Penghargaan. Kover yang menarik karena misterius. Hanya menampilkan sosok Phillip Seymour Hoffman berdiri dengan ekspresi yang seakan berkata, "mau nonton atau atau tidak, terserah, aku tetap tidak akan rugi." Sebelum ini, aku hanya mengingat aktor itu ketika bermain dalam film Red Dragon. Meski aktingnya waktu itu lumayan bagus. Tapi, aku masih tidak terlalu yakin filmnya kali ini bakal bagus. Namun, aku ambil juga kotak CD itu dari rak di rental video yang baru buka itu. Bersama beberapa film lainnya yang aku tidak ingat, aku putuskan untuk menghabiskan malam akhir pekan dengan film-film lagi. Terima kasih untuk masa kuliah yang membuatku bisa menghargai acara nonton film (dan mendengarkan musik serta membaca buku) sebagai sebuah kegiatan yang terhormat, bahkan ada kalanya sakral.
****
Mereferensikan atau merekomendasikan sesuatu adalah kebiasaan yang wajar dalam sebuah obrolan. Waktu kuliah, aku dan Onie sering saling merekomendasikan lagu atau film. Untuk buku, terus terang sebelum skripsi, aku termasuk tidak banyak baca, apalagi beli buku. Jadi, hanya jika temanku itu punya dan rela, maka ia akan meminjamkan (atau lebih tepatnya menyuruh) aku untuk membaca. Untung dia memang termasuk orang yang murah hati. Dunia Sophie dan Bumi Manusia, misalnya, adalah dua buku yang pernah ia pinjamkan padaku untuk dibawa pulang selama liburan semester, dan sejak saat itu aku mulai cinta buku. Sedangkan buku-buku lain, maksudnya yang nonfiksi tapi sangat memengaruhiku, juga kebanyakan adalah bukunya. Setelah aku mengerjakan skripsi dan meminjam komputernya terus, aku banyak meminta referensi buku darinya.
Dengan Puthut, pertama kali ia merekomendasikan sebuah buku kepadaku (dan sepertinya juga pada banyak orang lain yang ia temui) adalah ketika aku berkunjung ke posko gempa di Tandabaca. Bukunya adalah Professor and the Madman karangan Simon Winchester. Buku yang memang bagus menurutku (kalau sempat, mau bikin tulisan kayak giniannya juga ah..). Sejak itu, jika bertemu dengan dia, aku selalu menanti saat ia mereferensikan buku-buku yang menurutnya bagus lainnya. Buku-buku rekomendasinya yang akhirnya kubaca dan kubeli lainnya adalah Zaman Edan (Richard Lloyd Parry), Kiamat 2012 (Lawrence Joseph), dan terakhir World Without Us (Alan Weisman). Oh ya, Heavier than Heaven (Charles R Cross) juga bisa dimasukkan sebagai buku rekomendasi si EA, meski aku tidak membelinya. Buku karangan Truman Capote, In Cold Blood ini adalah buku yang ia sebut saat mengobrol tentang jurnalisme sastrawi. Saat itu Onie menunjukkan buku Jurnalisme Sastrawi, karya jurnalis-jurnalis Pantau. Lalu, dalam obrolan itu, Puthut mengatakan bahwa ia yakin gaya penulisan Linda Christanty dalam artikel berjudul Hikayat Kebo itu meniru gaya penulisan Capote dalam buku ini. "Baca saja. Bukunya yang bahasa Inggris ada di perpusnya TB. Yang dalam bahasa Indonesia sudah diterbitkan Bentang, di Togamas sudah ada. Terjemahannya lumayan kok." katanya.
****
Aku tidak mengharapkan apa-apa dari sebuah film yang meski diangkat dari kisah nyata dan menang Oscar tapi background sejarahnya belum aku ketahui. Yang kuharapkan hanyalah tidak ada yang klise. Aku baru tertarik saat film itu menyebut-nyebut tentang dua judul buku: Breakfast At Tiffany dan To Kill A Mockingbird. Jika judul pertama mengingatkanku pada pementasan teater awal kuliah. Judul yang terakhir ini adalah buku fenomenal. Pernah tercatat sebagai buku paling inspiratif (mengalahkan Alkitab) dan paling banyak dibaca oleh masyarakat Amerika. Namun, sempat muncul juga isu bahwa sebagian besar isi buku ini ditulis atau dirombak total saat disunting oleh Capote. Entah itu hanya karena sentimen gender atau memang kenyataannya Capote penulis yang sangat hebat, aku tidak tahu. Yang jelas, fakta di film itu bahwa Truman Capote adalah sahabat dekat Harper Lee cukup membuatku kembali sadar bahwa ini memang tentang kisah nyata.
Lalu, dengan cukup cepat, film mulai bergulir dengan kisah dua bandit itu, Richard 'Dick' Hickock dan Perry Smith, setelah ditangkap. Cerita dalam film itu memang lebih berfokus pada Perry, pemuda keturunan Indian yang pintar menggambar. Nuansa hubungan asmara sesama jenis antara Capote dan Perry cukup terasa di film itu (sedangkan di bukunya, nuansa itu ditampilkan antara Dick dan Perry). Aku tidak mempermasalahkan karena film tersebut memang judulnya Capote (bukan In Cold Blood) dan bumbu tema itu memang sedang populer (tahun itu ada Brokeback Mountain juga). Dari film itulah aku mulai tahu tentang kasus tersebut. Tapi, aku lebih tertarik pada Capote yang dikatakan kemudian depresi sejak menulis buku yang judulnya tidak disetujui oleh Perry Smith ini. Dan bagaimanapun, aku kagum dengan keberanian serta ketekunan jurnalis yang juga sastrawan itu dalam mencari info, melakukan berbagai wawancara dan penelitian serta menulis sebuah buku yang kemudian mengukir sejarah.
****
Entah sejak kapan Puthut menjadi tergila-gila dengan model penulisan ala jurnalisme sastrawi ini. Sebelum ini, cerpen-cerpennya bagiku lebih banyak bermain dengan kata-kata dan bentuk ketimbang cerita. Karena itulah, saat pertama kali kubaca dulu, aku pun tidak biasa, mengernyitkan dahi, dan bingung. Konon, aku bingung karena hanya berusaha mengerti dan melupakan menikmati. Aku tidak tahu gaya apa itu namanya. Yang jelas, gaya seperti itu sempat menjadi tren, bahkan mungkin hingga sekarang. Tapi, dalam buku kumpulan cerpen terbarunya, sudah banyak bedanya. Salah satu karyanya, tentang telinga Pramoedya, bahkan lebih seperti laporan jurnalisme investigasi yang menegangkan. Ia bahkan kini punya buku kumpulan essay. Secara pribadi, menurutku itu lebih bagus karena saat membaca aku jadi lebih mengerti.
****
Jurnalisme sastrawi, istilah itu baru aku dengar dari judul buku karya jurnalis Pantau itu. Andreas Harsono dan teman-temannya sampai saat ini masih terus berkeliling mengadakan pelatihan dan kursus genre jurnalisme yang antara lain diterapkan di model liputan majalah The New Yorker, Rolling Stone, atau di Indonesia di majalah macam Pantau (yang dengar-dengar hanya hidup sebagai majalah kertas sekitar 3 tahun) dan Panyingkul. Istilah lain dalam bahasa Inggris ada macam-macam, dan sebenarnya sudah sejak tahun 60an dilakukan di Amerika. New journalism movement, nonfiction novel, in-depth reporting, narrative reporting, passionate journalism, dll. adalah istilah yang sama-sama mengacu pada apa yang di Indonesia dikenal sebagai jurnalisme sastrawi. Jurnalisme sastrawi adalah sebuah gaya atau genre atau style dalam menulis reportase. Biasanya, tulisannya memang lebih mendetail (sebagaimana terlihat di buku ini juga). Jadi, wajar kalau jenis reportase macam ini jarang ditemukan di koran yang ruangnya cukup terbatas, melainkan lebih banyak ditemui di majalah atau buku sekalian. Entah dinikmati dalam bentuk majalah atau buku, kesanku adalah beda keduanya hanya seperti menikmati cerpen dan novel.
Salah satu nama yang sering dibicarakan jika bicara topik ini adalah Tom Wolfe. Dialah tokoh utama dalam gerakan new journalism, yang menulis beberapa buku terkenal seperti Electric Kool Aid dan Bonfire in Vanities serta membidani sebuah buku antologi reportase berjudul The New Journalism (yang ditiru oleh Andreas Harsono dengan buku Jurnalisme Sastrawinya). Sementara Truman Capote, disebut di backcover buku terbitan Bentang Pustaka Yogyakarta ini sebagai penulis yang memelopori genre novel non fiksi melalui buku In Cold Blood ini.
Sebagai pembaca, aku akui gaya reportase seperti itu memang nikmat dibaca, meski tentu saja tulisan jadi lebih panjang. Jika reportase model lama mungkin sekadar memenuhi unsur 5W 1H, kini dalam genre ini penyajian fakta dibuat makin manusiawi karena penulis juga mengajak pembaca menyelami sisi psikologis objek dan narasumber. Kata Andreas Harsono, jurnalisme sastrawi bukan berarti tulisannya lantas harus mendayu-dayu, berima, dst. tapi yang penting adalah tulisannya cantik dan memikat. Memang sastra itu cantik, tapi cantik tidak harus berarti kemayu. Kalau menurutku, sastra adalah cara manusia bercerita tentang manusia dan segala kompleksitas hidup dan dirinya sendiri. Jadi bukan narsisme, apalagi industrialisme.
Jika masih ada sebagian orang merasa membaca karya fiksi adalah menghabiskan waktu, gaya penulisan model seperti ini mestinya bisa mengubah pandangan sempit itu. Tentu saja, tetap ada kritik yang muncul untuk gaya ini. Beberapa pengarangnya dituduh suka menyajikan gambaran imajinasinya sendiri. Dalam buku Heavier than Heaven, misalnya, ada yang mengkritik bagian ketika Charles R. Cross menggambarkan detik-detik sebelum Cobain menembak dirinya sendiri. Tentu saja, apa yang terjadi di detik-detik kematian Cobain itu hanyalah kira-kira dari si pengarang, mungkin berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan di TKP. Tapi, aku rasa itu tidak membuat kisah di dalamnya menjadi tidak akurat. Dalam In Cold Blood inipun, kritik seperti itu juga muncul. Ada yang menuduh beberapa dialog adalah imajinasi Capote belaka. Kurasa itu memang risiko. Tapi, sebenarnya hal itu tidak lantas membuat buku ini menjadi karya fiksi yang sekadar terinspirasi kisah nyata. Menurutku, kalau orang memotret saja bisa memasukkan persepsi pribadinya, apalagi dalam menulis, sekalipun yang ditulis itu fakta. Sebagai orang yang salah satu tugasnya di tempat kerja adalah menulis, aku sadar bahwa menulis sebuah reportase model ini sangat tidak mudah. Riset, wawancara, analisa, dan tentu saja teknik menulis yang ciamik harus dimiliki penulisnya. Aku rasa, hanya orang-orang cerdas yang sekaligus tekun dan pemberani yang bisa menuliskannya dengan baik.
****
Aku memang sudah melihat buku tersebut di perpusnya Tandabaca. Tapi, aku masih belum terlalu yakin untuk meminjam dan membawa pulang buku itu dari sana. Bukan apa-apa, hanya saja di tengah kesibukan, aku tidak yakin aku bisa menyelesaikan membaca buku itu dalam waktu yang tidak lama. Maka, aku ingin memilikinya saja. Di Togamas, sebelum mendengar rekomendasi Puthut, aku sudah pernah lihat buku itu. Seperti biasa, meski setiap kali aku berangkat aku sudah punya hasrat ingin membeli. Tapi, setelah berputar ke berbagai rak lainnya, tiba-tiba aku merasa tidak ingin lagi membeli buku itu. Harganya masih cukup mahal bagi kantongku saat itu. Aku sempat membaca halaman-halaman awalnya saja. Benarkah terjemahannya bagus? Itu pertanyaan pertama yang biasa kutanyakan sebelum membeli buku terjemahan. Sejauh ini, buku yang terjemahannya paling berkesan adalah Professor and the Madman. Seperti sudah kusebut, buku itu juga direkomendasikan oleh orang yang sama. Maka, pikirku pasti terjemahannya tidak jauh beda bagusnya. Aku hanya membaca sekilas dan langsung merasa terjemahannya bagus. Lebih karena terpengaruh ucapan Puthut. Tapi karena masih sayang dengan harga, selama beberapa minggu aku mengurungkan niat membelinya. Aku memang tidak berdoa agar bisa memiliki buku itu, tapi kemudian tampaknya doaku lalu terjawab melalui seorang teman.
****
Bang Napi mengatakan "kejahatan tidak hanya terjadi karena ada niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan". Tapi, duo penjahat, Hickock dan Smith ini seolah melakukan sebuah pembunuhan tanpa motif yang jelas. Perampokannya memang terjadi karena niat. Tapi, pembunuhannya tidak terlalu jelas, bukan karena kesempatan maupun niat. Empat orang, sebuah keluarga, ditemukan tewas dalam keadaan mengenaskan. Tidak ada yang hilang kecuali 30 dolar karena memang uang keluarga itu ada di bank. Tapi, mereka tetap dibunuh, meski tidak ada perlawanan atau ancaman terhadap kedua perampok. Kisah pembuka dalam buku ini bercerita banyak tentang latar belakang keluarga dan lingkungan Holcomb, tempat keluarga Clutter yang mereka bantai itu tinggal. Selanjutnya, kita diperkenalkan ke bermacam-macam orang dan kebiasaan di daerah desa itu. Berselang-seling dengan narasi mengenai petualangan dua penjahat yang sama-sama pernah masuk militer dan masuk penjara itu.
Karena berasal dari hal nyata, detail yang dipaparkan di buku ini menurutku lebih kaya dari karya fiksi biasa. Bagian awal, yang banyak bercerita tentang keluarga Clutter sebagai keluarga yang sangat biasa-biasa saja itu, menurutku agak membosankan. Cerita baru mulai menarik setelah menginjak narasi tentang dua penjahat itu dan tentunya juga ketika mereka melakukan pembunuhan. Makin menegangkan adalah mengenai bagaimana polisi mengadakan penyelidikan serta perburuan. Aku sendiri selama ini juga sering heran, bagaimana cara polisi bisa menemukan pelaku sebuah kejahatan, jika bukti yang ada sangat sedikit, dan dalam kasus ini sangat minim (hanya jejak sepatu). Mungkinkah kadang kala polisi (terutama polisi Indonesia, yang cara kerjanya sering diolok sebagai metode intel melayu) memang memakai cara seperti di humor interogasi beruang* itu? Selama ini, itulah yang aku kira dan masih sering kukira. Tapi, saat membaca buku ini, tidak disangka jika kisah terbongkarnya kejahatan di dunia nyata memang ada kalanya bisa seperti kisah film. Namun, ini bukanlah sebuah novel detektif, di mana kalau penjahatnya tertangkap, maka cerita selesai. Justru makin ke belakang, setelah kedua penjahat ditangkap, cerita justru makin menyentuh. Narasi tentang apa yang dialami Hickock dan Perry sudah tertangkap, diadili sampai dijatuhi hukuman mati cukup menarik untuk analisa psikologi sederhana. Jika pertanyaan awalnya adalah: apa motif yang membuat keduanya melakukan pembunuhan kejam? Tapi, lama kelamaan alasan itu justru makin tidak diperlukan. Makin membaca, kita justru seolah merasakan menjadi Hickock dan Perry. Dan jika sudah bisa menyelami karakter kedua orang itu, di satu titik, kita tidak butuh alasan lagi. Tapi, pencarian alasan itu malah berubah menjadi secercah simpati, sebongkah penyesalan, dan secarik kemarahan terhadap dunia mereka.
****
Ketika kantorku sedang ramai membicarakan rencana kepindahan manajerku, Dyna tiba-tiba menyatakan bahwa ia sudah akan pindah lebih dulu karena sudah diterima di penerbitan lain. Hanya beberapa hari sebelum manajerku pindah, acara perpisahan sudah diadakan untuk teman yang kini sedang hamil anak pertamanya itu. Dyna pindah ke sebuah penerbitan yang namanya sedang membumbung tinggi berkat seri novel karya Andrea Hirata, tetralogi Laskar Pelangi. Bentang Pustaka yang dulu dikenal sering menerbitkan terjemahan Indonesia buku-buku sastra dan filsafat dunia dengan kover kebanyakan karya seniman top, Ong Hary Wahyu, itu memang sudah sejak lama diakuisi oleh Mizan. Dengan tangan kuat itulah, Bentang muncul lagi dengan gaya yang baru dan buku-buku yang lebih variatif. Terjemahan karya sastra dunia tampaknya masih menjadi andalannya. Salah satu buku yang diterbitkan tentu saja adalah In Cold Blood (karena sudah terkenal, judulnya sengaja tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sebuah tren yang makin banyak dilakukan penerbit-penerbit saat ini). Karena di perusahaan penerbit tempat aku bekerja sebelum ini, karyawan yang membeli buku terbitan sendiri akan mendapat diskon 50%, maka aku coba menanyakannya pada Dyna. Ternyata sama. Sekalipun stok di kantornya saat itu sudah hampir habis, tapi akhirnya aku bisa mendapatkan buku itu juga, dengan setengah harga toko. Kebetulan saat itu, aku juga mulai diajak menjadi penyunting paruh waktu di sana. Dobel keuntungan, sudah dapat buku murah, juga dapat kerjaan tambahan. Sebelum dua minggu kemudian, sesuatu yang belum akan aku ceritakan di sini, terjadi.
****
Aku menimang buku dengan kover hitam bergambar raut wajah pria yang tampak ketakutan itu. Aku membayangkan itu wajah Perry Smith. Harga yang kudapat kalau tidak salah ingat hanya sekitar 30 ribuan. Aku baru saja pulang kantor dan baru kali itu datang ke kantor Bentang. Kantor itu berbentuk sebuah rumah mungil, bersih, asri, dan cukup sejuk. Setelah membayar, giliran aku bertemu Mbak Dewi, salah satu editor di situ, mantan teman satu kantor juga. Dialah yang bertanggung jawab dalam memberi job menyunting sebuah novel thriller. Dalam hati, waktu itu aku agak kecewa karena berarti aku belum bisa langsung membaca buku yang baru kubeli, karena aku malah mendapat tambahan pekerjaan. Tapi, itu bisa diatur nanti. Toh, di kemudian hari, aku pun sadar kalau tambahan kerjaan itu justru membuat ketagihan.
Setelah urusan selesai, aku pun pulang ke tempat kos. Sambil tiduran di kasur, aku mulai membaca dengan semangat ingin menemukan bacaan yang sama menakjubkan seperti buku yang direkomendasikan Puthut sebelumnya. Terjemahannya di awal-awal yang tidak sebagus Professor and the Madman (terbitan Serambi), sempat membuatku kecewa. Beberapa catatan kaki, dari penyunting atau penerjemah, lebih sering mengganggu ketimbang membantu. Itulah kesan pertamaku waktu membaca. Alhasil, aku sempat berhenti di tengah jalan membaca buku itu. Selama berbulan-bulan, bahkan mungkin setahun, aku berhenti membacanya meski baru sampai di beberapa bab awal. Ya, memang tidak melulu karena masalah terjemahan, tapi karena memang banyak kesibukan pekerjaan dan keinginan membaca buku-buku lain, entah yang disewa atau yang baru dibeli yang lebih kuat.
Namun, setelah pindah kota dan tidak bisa lagi menyewa buku-buku di Homerian, Jogja, maka aku memutuskan melanjutkan kembali pembacaan buku itu. Beruntung, aku kini punya jam eksklusif membaca buku selama kurang lebih 2 jam, hampir tiap minggu. Jam eksklusif itu aku dapatkan di kereta api. Kegiatan rutin di tiap hari Minggu, yaitu ke Jogja dengan menggunakan kereta komuter Prameks, menjadi kegiatan menyenangkan salah satunya karena selama perjalanan aku bisa bebas membaca tanpa gangguan. Tentu saja jika Prameks tidak sepadat waktu liburan sekolah kemarin itu. Setelah beberapa hari Minggu dilalui, aku akhirnya bisa menyelesaikan buku itu. Puas rasanya.
****
Setelah membaca beberapa tulisan yang katanya digolongkan sebagai new journalism atau jurnalisme sastrawi, aku pun bertanya-tanya. Apa mungkin gaya reportase macam ini juga sudah coba dilakukan oleh TV? Mungkinkah ini sudah muncul melalui acara Kick Andy yang menghadirkan tokoh untuk diwawancarai dari segala aspek, termasuk kehidupan pribadi. Atau mungkin juga ini coba dimunculkan di acara seperti Interpol (Interview Politik, entah masih ada atau tidak acara itu), di mana kameranya kadang sengaja menzoom bagian-bagian yang biasanya dibaca sebagai perwakilan isi hati (misal: gerakan tangan, mata, dll). Meski sejauh ini, apa yang ditampilkan di TV itu (terutama dalam hal gerak kamera), kadang masih terasa dibawakan dengan kurang luwes. Tapi, itu mungkin saja, dan sejauh ini aku juga cukup menikmatinya.
* Satu kali, intel dari Amerika (CIA), Israel (Mossad), dan Indonesia (BIN) berkumpul. Mereka saling membanggakan cara kerja dinas rahasia masing-masing negara. Maka, untuk membuktikan omongannya, dibuatlah lomba menangkap. Tiga kelinci dilepas di tiga hutan berbeda dan tugas masing-masing agen adalah menangkapnya kembali. Agen CIA masuk ke hutan dan dengan kelengkapan teknologinya, mereka melakukan penyelidikan dan jebakan yang canggih. Tiga minggu kemudian, kelinci itu pun tertangkap. Giliran agen Mossad beraksi. Ia membakar hutan itu sampai habis sehingga tiga hari kemudian, kelinci yang dicari-cari keluar dengan sendirinya dan dengan mudah ditangkap. Lalu, giliran anggota BIN masuk hutan. Ternyata, hanya dalam 3 jam, ia sudah keluar dengan membawa seekor beruang yang sudah babak belur. Sambil diseret, beruang itu berteriak merintih, "Ampun, iya deh, saya ini kelinci.."
Label: andreas harsono, buku, jurnalisme sastrawi, meidynna arrisandi, new journalism, onny wiranda, phillip seymour hoffman, puthut ea, tom wolfe, truman capote
... Sebelum dua minggu kemudian, sesuatu yang belum akan aku ceritakan di sini, terjadi....
aku suka frasa itu he he he
kurasa aku mengerti potongan kalimat itu ...
sekitar dua minggu kemudian, kalo boleh aku menambahkan, aku mengantongi alamat blog ini ketika mendaki pegunungan seribu...
kalo berkenan, jika kelak ada ceritanya, aku ingin menyalinnya dlm arsip kumpulan tulisan-ku