Setelah 9 hari, group "1.000.000 Facebookers Dukung Chandra Hamzah & Bibit Samad Rianto" telah mencapai jumlah 1 juta anggota. Ini memang sudah diprediksikan mengingat derasnya tanggapan dan pemberitaan mengenai group tersebut (dan juga kasus tersebut). Di hari kedua saja, saya amati bahwa setiap kali halaman kita refresh, maka jumlah anggota sudah bertambah sekitar 20-30 orang lagi. Kalau setiap kali refresh butuh waktu sekitar 3-5 detik, maka waktu 9 hari adalah sangat normal.
Adalah situs detik.com yang pertama-tama memberitakan tentang group ini. Saya sendiri mengetahuinya dari situs politikana.com yang salah satu anggotanya melansir berita tersebut. Momennya tentu sangat pas. Sebelumnya, publik telah heboh dengan kait-mengait berita. Jika dirunut, saya rasa ini dimulai dari Pemilu kemarin. Pada masa itu, Facebook sudah sempat mencuri beberapa pemberitaan. Kita mendengar tentang beberapa kasus yang dianggap sebagai black campaign, seperti group dan page anti si ini atau anti si itu. Dan lebih dari itu, beberapa laporan tentang pelanggaran ataupun penilaian tentang penyelenggaraan Pemilu pun juga cukup santer dibahas di Facebook. Meski demikian, Pemilu akhirnya selesai juga. Pemenang diumumkan. Banyak yang tidak terima, banyak yang mengkritik, selain tentu saja juga banyak yang puas dan gembira.
Lalu, muncul berita tentang terkuaknya kejanggalan dalam hal keputusan menteri keuangan untuk melakukan bail out senilai 6,7 trilyun. Alasan Sri Mulyani adalah karena krisis global atau (lagi-lagi) meniru kebijakan pemerintah AS yang melakukan hal serupa terhadap beberapa perusahaan besar di negeri itu. Tapi, anehnya, jumlah 6,7 T itu jumlah yang jauh melebihi kesepakatan dan dilakukan secara tidak transparan. Apalagi itu dilakukan terhadap satu bank kecil yang bangkrut karena pemiliknya tersandung kasus penggelapan uang nasabah, Bank Century. Berita tentang berpihaknya pemerintah pada bank ini pun menjadi tanda tanya. Bahkan, pasca Pemilu, berita makin berkembang dengan adanya pengusutan oleh KPK yang menengarai dana bail out itu digunakan untuk kampanye SBY-Boediono. Sedangkan dari sudut lain kasus ini, KPK juga mendapati nama Kabareskrim Susno Duadji yang pembicaraannya disadap dan kedapatan ikut menerima bagian atas jasanya memuluskan langkah salah satu tersangka lain, Budi Sampoerna yang terlibat praktik pencucian uang dengan pemilik Century. Kasus memanas saat wapres (yang dalam Pemilu juga menjadi capres lawan SBY) Jusuf Kalla kemudian ikut angkat bicara dan menyatakan bahwa Sri Mulyani serta Boediono melangkahi wewenangnya. Memang ruwet, sehingga wajar kalau sepertinya cukup banyak yang kurang konsentrasi mengikuti kasus ini. Terlebih media massa sepertinya kurang menaruh kasus ini di tayangan utama. Selain tentunya, beberapa peristiwa seperti pemberantasan teroris, gempa, anti Malaysia, dan Miyabi saat itu masih lebih banyak dibahas, termasuk di Facebook.
Di sela-sela hingar bingar Pemilu itu, juga muncul kasus Antasari Azhar. Pimpinan KPK yang sedang menjadi idola (jadi ingat salah satu episode Kick Andy, ketika ada seorang yang membacakan puisi puja-pujinya di depannya) ditangkap dengan tuduhan menjadi dalang pembunuhan. Masyarakat mencium aroma konspirasi yang sangat kental. Apalagi kisahnya memang too dramatic to be true. Kasus ini pun salah satunya dihubungkan dengan pemberitaan akan pernyataan presiden yang katanya mengeluh akan kinerja KPK yang ia anggap superbodi. Tapi, pernyataan SBY tersebut kurang mendapat perhatian banyak orang yang sedang begitu terpesonanya pada politik pencitraan yang digunakan tim suksesnya di ajang Pemilu. Namun, yang jelas kasus Antasari yang memang sempat dianggap tebang pilih tapi juga sangat berani dengan membawa besan presiden ke penjara, ini dibahas cukup intens di dunia maya, termasuk di Facebook. Namun, sekali lagi gaungnya masih kalah dengan Pemilu, walau menarik perhatian karena tuduhan yang aromanya seperti novel detektif itu.
Persidangan Antasari ini sendiri kemudian terus menggelinding. Mantan ketua KPK ini bahkan diancam hukuman mati. Hingga satu waktu, tiba-tiba saja muncul berita Antasari membuat testimoni bahwa ada oknum KPK menerima suap dari Anggoro Widjojo, direktur sebuah perusahaan pengadaan radio komunikasi untuk Departemen Perhubungan, yang kasusnya sedang diselidiki KPK. Dari testimoni tertulis inilah, polisi kemudian melakukan penangkapan terhadap dua ketua KPK, Chandra dan Bibit yang dianggap sebagai oknum tersebut. Hal ini kemudian juga dibalas dengan Bibit melaporkan Antasari dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang, yaitu menemui tersangka korupsi, Anggoro Widjojo di Singapura. Namun, belakangan Antasari mengaku bahwa testimoni itu adalah testimoni Anggoro yang ia simpan di laptopnya. Menurutnya, setelah polisi menemukan testimoni tersebut, polisi kemudian mengembangkannya sendiri. Dan terakhir, ada pengakuan Willardi Wizard, mantan kapolres yang sedang diperiksa dengan tuduhan menjadi penyuruh eksekutor untuk menghabisi Nasrudin. Dia mengaku bahwa ada perintah untuk menjebak Antasari.
Setelah berita-berita gempa lewat. Berita tentang penahanan Chandra dan Bibit ini mendapatkan momennya. Berita ini diekspos besar-besaran oleh media. Termasuk di dalamnya media Facebook (FB). Usman Yasin, si pembuat group itupun mengaku tidak menyangka group yang ia buat bisa begitu cepat meraih simpati dan perhatian. Namun, banyak juga yang mengatakan bahwa group FB tersebut tidak ada manfaatnya. Ada juga yang mengatakan jumlah pendukung group itu dimanipulasi. Pendapat yang kedua ini tentu saja konyol, sehingga tidak perlu dibahas lagi. Di pihak lain lagi, ada yang menyamakan group FB itu sebagai people power terbesar sejak aksi mahasiswa tahun 1998. Belakangan, setelah ekspos media mengenai group tersebut, beberapa orang mulai banyak yang ikut membuat group serupa. Ada yang isu bahkan judulnya sama, hanya jumlahnya berbeda. Ada juga yang kebalikan dari group itu (mendukung Polri dan Kejagung). Lalu, ada juga yang membuat gerakan untuk kasus-kasus lainnya, seperti Century, impeachment, atau kasus lama tapi belum juga terkuak, seperti Lapindo, pembunuhan Munir, dsb. Namun, sejauh yang saya lihat, group-group itu tidak seramai group bikinan Usman Yasin tersebut.
Apakah memang group FB tidak berguna, tidak akan mengubah apa-apa, dan para pendukungnya hanya ikut-ikutan tanpa tahu duduk perkara sebenarnya? Ataukah sejuta lebih member group tersebut gaungnya sudah sebesar gerakan mahasiswa 1998? Saya pikir tidak keduanya. Biarpun sering disebut sebagai Bonoisasi (ketika orang hanya mengklik, tahu masalahnya, tulis komen, dan sesudah itu tidak berbuat apa-apa) dan memang bisa juga begitu tapi menurut saya gerakan ini sudah cukup berhasil dalam hal menumbuhkan kesadaran. Di zaman ketika peranan media bahkan bisa lebih besar dari peranan pemerintah, sesuatu yang didengungkan terus menerus adalah langkah awal menuju tindakan yang lebih besar. Demo tanggal 8 November kemarin adalah satu contoh kecil yang saya harap bisa berkembang jadi lebih besar (meski saya rasa demo-demo saat ini juga tidak signifikan dan hanya show saja). Namun, setidaknya setahu saya sifat FB dan dunia internet praktis jauh lebih demokratis ketimbang demonstrasi atau rapat serta diskusi manapun di dunia nyata yang bisa merupakan pesanan pihak tertentu. Yang jelas, banyak yang sependapat bahwa keputusan pembentukan tim 8 oleh SBY adalah akibat desakan masyarakat yang disampaikan oleh media. Beruntung media massa yang sebenarnya cukup banyak dikuasai pihak yang berkuasa kali ini cukup memihak si media demokratis tapi centil, FB. Jika saja situs detik.com tidak memberitakan tentang adanya group tersebut, pastinya dukungannya tidak sebesar atau sebergairah ini.
Namun, yang perlu dikhawatirkan adalah, sebagaimana reformasi kemarin, kita terlalu sering menunda atau menunggu sehingga kehilangan momentum. Media, terutama internet memang sudah cukup berhasil membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap ketidakberesan pemerintah saat ini sebagaimana diperlihatkan oleh beberapa kasus seperti Munir, Lapindo, dll. Akan tetapi, sebagaimana kita tahu, kesadaran itu makin lama makin terkikis, bahkan kemudian berbalik. Munir oleh sebagian orang dianggap sebagai pengkhianat bangsa karena semasa hidupnya sering mengkritik pemerintah. Lumpur Lapindo dianggap sebagai lumpur Sidoarjo yang adalah akibat bencana alam, dll. Bukan hanya itu, bahkan hal-hal besar yang di permukaan telah menghasilkan perubahan besar (seperti: reformasi 1998, Timor Leste, kerusuhan Mei 98, DOM Aceh, Tanjung Priok, Tragedi 27 Juli, dsb) makin hari juga makin berkembang ke arah berlawanan. Kesadaran masyarakat yang telah bangkit kemudian berhasil dimanipulasi bahkan diracuni. Menurut saya, peran media yang masih cukup konsisten dalam membangkitkan kesadaran publik hanyalah dalam hal terorisme. Mungkin kita juga sudah tahu sebabnya. Dukungan Amerika atas pemberantasan terorisme tentu memberi kontribusi berarti dalam menjaga kesadaran atau lebih tepatnya kewaspadaan ini.
Masalah kehilangan momentum ini bahkan bisa jadi sudah mulai harus dikhawatirkan sejak sekarang. Penjelasan Kapolri di depan komisi 3 saja sudah mulai menggoyahkan sedikit orang. Selain itu, headline berita yang menyatakan tentang sanggahan Antasari (sebelum ada pernyataan Willardi) sempat membuat orang mencurigai ia sebagai dalang atau setidaknya terlibat dalam pelemahan lembaga yang dipimpinnya sendiri. Pendek kata, sepertinya berita media massa bisa begitu mudah mengubah pendirian orang. Padahal, sejarah kita telah berulangkali menunjukkan culasnya perusahaan media mempengaruhi masyarakat (termasuk yang sangat kentara adalah dalam Pemilu kemarin). Amnesia sejarah itu tampaknya memang adalah penyakit yang paling membuat yang namanya people power sejati (yang benar-benar dari rakyat, untuk membedakan dengan aksi demo zaman Orla) tidak pernah bisa solid. Belum lagi jika tiba-tiba ada bencana alam besar, atau berita lain yang cukup besar, maka banyak orang akan makin lupa.
Hari ini, kasus-kasus di atas masih menjadi bahan pembicaraan seru. Meski demikian, di lingkaran teman FB saya, terus terang tidak banyak yang membahasnya. Tentu saja, kelompok penunggu dan penonton ini ada banyak sekali di Indonesia. Tapi, memang beginilah dunia 2.0, di mana tidak ada informasi tunggal. Meski demikian, sejalan waktu pastilah akan ada kejadian tunggal, entah itu baik atau buruk. Saya mencatat ini dalam blog dengan harapan semoga apapun yang terjadi kasus ini tidak terlupakan.
Label: bono, century, facebook, korupsi, kpk, media, polri, web 2.0
0 Responses to “Kesan dan Kekhawatiran”