Tentu saja aku memang tidak kenal Pram secara pribadi. Pertama kali aku mendengar namanya adalah saat ada berita di TV tentangnya. Itu terjadi pada masa Orba. Kalau tidak salah, berita itu adalah mengenai pembebasannya atau kalau tidak adalah berita pelarangan bukunya untuk kesekian kali. Karena pergaulanku di masa itu memang bukan dengan penyuka sastra apalagi aktivis, maka aku juga tidak pernah tahu buku apa yang ia tulis. Buku pertamanya yang kemudian aku lihat ada di toko buku adalah Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer. Kalau tidak salah ingat, aku melihatnya di toko buku Uranus, Surabaya. Tentu saja itu terjadi setelah aku kuliah dan Orde Baru tumbang. Kalau menilik terbitan buku itu adalah tahun 2001, barangkali pada tahun itu juga aku pertama kali melihat karyanya. Ya, sekali lagi aku memang waktu itu juga jarang ke toko buku.
Aku baru tahu lebih detail tentang Pram, entahlah, mungkin seiring masa kuliah dan makin bebasnya bukunya dipajang di toko buku, aku makin akrab dengan namanya. Awalnya aku memang lebih tahu tentang biografinya, ketimbang karyanya. Jadi, kalau ada orang yang ngobrol tentang Pram, aku pura-pura tahu meski belum pernah membaca karyanya. Baru setelah menjelang pengajuan proposal skripsi, aku membaca-baca skripsi Dwi. Beberapa teman juga mengatakan bahwa skripsi menelaah karya Pram itu keren. Hehehe.. Kebetulan waktu menjelang tanggal pengajuan buku, aku dan teman-teman main ke rumah Ayu dan dia memperlihatkan beberapa buku sastra berbahasa Inggris milik kakaknya. Saat itu, sebenarnya Ayu ingin memakai buku karya Pram yang berjudul Tales from Djakarta. Tapi, ia kemudian berubah pikiran dan memilih buku Frank McCourt, Angela Ashes. Aku kemudian memutuskan memakai buku kumpulan cerpen Pram itu sebagai bahan skripsiku. Pertama-tama aku meminjam buku milik kakaknya Ayu itu. Tapi aku janji akan membeli sendiri nanti.
Lalu datanglah saat yang tak terduga. Onie memberi tahu bahwa sang sastrawan besar itu akan datang ke Surabaya. Pram akan datang ke hotel Majapahit, atas undangan sebuah surat kabar berbahasa mandarin (lupa namanya). Saat itulah, aku bisa berkesempatan bertemu langsung dengan dia. Sempat bersalaman dan dia menanyai aku kuliah di mana. Sungguh mendebarkan, tapi akan lebih mendebarkan seumpama itu terjadi setelah aku lebih tahu karya dan perjalanan hidupnya. Sebelum berangkat, teman-teman sudah mengingatkanku untuk membaca buku Tales from Djakarta tadi. Aku juga tidak tahu mengapa hanya aku yang membawa buku sementara beberapa teman yang tentu saja punya buku Pram justru tidak bawa apa-apa. Namun, yang jelas, di situlah buku itu akhirnya mendapat goresan tanda tangannya. Oh ya, di situ aku juga melihat tetanggaku waktu aku masih tinggal di rumah kakakku di Rungkut dulu, Koh Carolus, dia membawa banyak sekali buku Pram. Bertahun-tahun bertetangga, aku sungguh tak tahu kalau ia penggemar sastra, apalagi penggemar karya Pram. Dan singkat kata, biarpun sebenarnya Tales from Djakarta yang ditandatangani itu bukunya kakaknya Ayu. Tentu saja buku itu tidak kukembalikan lagi. Meski Ayu bilang kakaknya membeli buku itu di Boston, tapi mungkin karena kasihan, maka Ayu menerima buku yang sama persis yang kemudian kubeli di Gramedia Tunjungan Plaza.
Itulah pertemuan pertama dan satu-satunya dengan Pram yang pernah kualami. Tapi, dari situ aku memang makin termotivasi dan makin kagum dengannya. Setelah lebih tenggelam dalam skripsi, aku mulai makin banyak membaca tentang dia dan tentu saja membaca buku-bukunya juga. Sebenarnya aku bisa saja punya kesempatan kedua bertemu dengannya jika saja universitas Kristen Petra mengizinkan diundangnya Pram ke kampus dalam rangka memperingati ulang tahun majalah kampus kami yang bernama Genta (masih ada nggak ya majalah itu sekarang?) dengan alasan yang tidak terlalu berbeda dengan alasan pemerintah Orba. Bodoh sekali kampus itu. Dengan ketertarikan yang mendalam dengan sosok penulisnya, aku tidak pernah merasa rugi pernah menulis skripsi itu. Bahkan boleh dikatakan skripsi itu mengubah beberapa pandanganku tentang dunia.
Selepas lulus, di pekerjaan pertamaku, aku pernah menulis sebuah artikel ringan tentang Pram. Artikel itu sebenarnya lebih mirip artikel tabloid gosip, hanya comot sana comot sini, tapi aku cukup puas dan tampaknya sekarang cukup banyak tersebar dan dicopas di mana-mana. Memang hanya kecil, tapi semoga bisa membuat orang lebih akrab dan tidak takut-takut lagi membaca karya Pram dan rekan seperjuangannya. Hal lain yang menginspirasiku adalah dalam hal kegiatan mengkliping yang dilakukan Pram. Aku sudah pernah menulis tentang ini di blogku bulan lalu. Waktu mendengar Pram meninggal, sangat sedih rasanya. Kesedihan pertama adalah aku ternyata hanya sempat bertemu dan mendengarkannya langsung (bukan lewat tulisan) hanya satu kali. Kesedihan kedua adalah karena ia memang sulit dicari duanya di negeri ini. Sebut saja tokoh-tokoh hebat di negeri ini, tapi sangat sedikit orang yang pernah punya pengalaman dan pengetahuan sebaru dan seunik dia. Aku gembira saat kemarin aku menemukan bahwa ada beberapa postingan videonya di youtube. Sebelum ini, aku hanya pernah melihat dia masuk di layar kaca saat menonton film New Rulers of the World. Yang aku suka dari mendengarkan Pram (dan membaca tulisannya juga) adalah nada yang sangat mantap. Penuh informasi, fresh, dan lugas, sangat bisa dikutip di sana-sini. Aku tahu kadang aku seperti mendewakannya. Tapi, menurutku oke saja sepanjang aku memang sadar. Oh, berapa banyak orang yang punya karakter seperti ini? How i miss you Bung!
Label: pemuda, pramoedya ananta toer, youtube
0 Responses to “How I Miss Bung Pram”