Masih muda, 25 tahun katanya, meski penampilannya juga terlihat sedikit mengesankan usia yang lebih muda dari angka itu, mungkin juga karena tubuhnya yang tak terlalu berisi yang karenanya membuat lebar badannya seakan tak banyak berkembang. Dari jauh tadi, telah kulihat sosok pria itu, berkulit lebih terang dari beberapa orang di sekelilingnya, hanya duduk bersandar tembok, agak memojok tapi jelas itu adalah wilayah yang nyaman untuk duduk, ia sendiri tak terlalu banyak bicara, tak terlalu terlihat memegang peranan penting dalam kumpulan itu, sesekali saja ia hanya tersenyum dan tertawa bersama-sama yang lain, meski demikian matanya terlihat memancarkan kegembiraan. Duduk bersama yang lain, selain posisi tubuhnya yang sering berubah-ubah seperti selalu tak pernah puas dengan kenikmatan yang telah ia dapatkan dari posisi sebelumnya, hal lain yang dari tadi kuperhatikan adalah tangannya. Ya tangannya terlihat selalu sibuk, entah memutar-mutar batang rokoknya, sekedar menggosok-gosokkan jari antar jemarinya, sering juga jari-jarinya meraba-raba benda-benda dan menyapu dan bidang-bidang di sekelilingnya, seakan ia adalah seorang yang baru menyadari bahwa ternyata di ujung-ujung jarinyalah terletak indera peraba yang paling sensitif dibanding yang lain. Pandang matanya kadang terlihat tak begitu menyimak pembicaraan yang sedang terjadi, kadang seperti sedang memikirkan sesuatu yang lain dan tak jarang malah terkesan seperti ia memang enggan menatap mata pihak yang berbicara di kelompok itu. Namun sepertinya, ia memang melakukan semua itu tanpa sadar.
Akupun bergabung dengan kumpulan itu, kebetulan memang aku mengenal beberapa orang yang ada di situ. 15 menit pertama berlalu, aku telah larut dengan berbagai percakapan dan gelak tawa kumpulan tersebut. Sedemikian larut, hingga jujur saja, aku hampir melupakan kehadirannya. Dan seperti sebuah iklan pop-up di internet, sosoknya seakan baru tiba-tiba muncul setelah ada di antara kami yang menyebutkan namanya, entah aku juga tak sempat berpikir apa motif dari orang itu menyebutkan namanya, mungkin untuk sekedar melibatkan tubuh yang banyak bergerak namun tak banyak bersuara itu ke dalam pembicaraan. Aku tak begitu jelas mendengar apa yang ia katakan waktu itu, namun beberapa orang tiba-tiba menanggapinya dengan tertawa, sempat aku penasaran dengan apa yang ia katakan barusan, meski demikian aku tak sempat meminta konfirmasi, aku masih agak kaget dengan munculnya iklan pop-up itu. Pembicaraan berlanjut, untuk beberapa menit, ia memang terlihat lebih menyimak dan sesekali memberi beberapa tanggapan yang tak begitu kupahami karena menyangkut hal-hal yang hanya diketahui beberapa gelintir dari kumpulan tersebut saja. Hanya beberapa menit, dan untuk kelanjutannya ia seperti menghilang lagi, untuk tiba-tiba muncul lagi lewat pola yang sama, ketika ada orang yang menyebutkan namanya. Prosedur ini membuatku tak begitu nyaman, oleh karenanya aku pun mencoba menghilangkan keberjarakan ini dengan keramahan, kuulurkan tanganku kepadanya, mengajaknya berkenalan. Itulah awal mula aku mengenal dirinya.
Aku tak dapat memastikan apakah aku memang termasuk sebagai kawannya atau orang yang lebih mengenal pribadinya lebih dari kebanyakan orang lain. Nyatanya tak banyak hal yang kudapat darinya yang dapat membuatku merasa lebih mengenalnya dari yang lain. Memang, akupun mengenal beberapa dari kawan-kawannya, atau paling tidak orang-orang yang lebih sering terlihat bersama dengan dia, namun tak ada hal istimewa atau hal khusus yang unik atau berbeda apalagi rahasia tentang dirinya yang mungkin hanya mereka yang tahu. Semua kesan mengenai dirinya tak banyak berbeda dengan kesan yang kudapat selama ini, meski baru beberapa waktu saja aku mengenalnya. Lebih parah lagi, ia seringkali seperti sengaja namun juga tanpa pernah disangka menyangkal semua pendapat orang tentang dirinya, baik lewat perkataan atau lewat tindak-tanduknya. Karenanya, selama mengenalnya hingga saat ini, aku tak pernah yakin jika aku dapat memegang pendapat-pendapatku mengenai dirinya dan sepertinya memang mungkin aku hanya sekedar seseorang yang kebetulan mengenalnya.
Komunikasi, banyak psikolog, psikiater, ahli marketing, wartawan, guru, orangtua, atau bahkan politikus yang mengatakan bahwa itulah kunci dari kesuksesan untuk membina suatu hubungan antar manusia yang sehat. Demikian juga seorang Jurgen Habermas. Namun, jarang, atau bahkan tak pernah ia memulai atau mengajukan sesuatu sebagai bahan pembicaraan, apalagi jika sedang sendirian, hanya aku dan dia, kalau sudah demikian, harus aku sendirilah yang mengajukan bahan pembicaraan atau kami hanya akan terjebak dalam basa-basi yang tentu akan segera berakhir dengan ketaknyamanan dan keheningan yang garing. Namun nampaknya, akhir-akhir ini sudah mendingan, kadang ia sudah dapat membawa bahan pembicaraan sendiri, walaupun tak begitu cakap ia kembangkan. Kalau boleh dibilang, ia memang tidak bisa dibilang sebagai seorang pendiam juga, ia lebih pantas dibilang seperti anak-anak, yang mungkin dulu seringkali dipaksa untuk berbicara bukan atas keinginannya sendiri. Oleh karenanya, sekali saja kau dapat menemukan topik pembicaraan yang ia sukai, maka dialog akan segera mengalir deras seperti tanggul bocor. Dan bahkan ketika menemukan topik pembicaraan yang tepat saja kadang masih belum cukup, kau pun harus meyakinkannya bahwa kau memang sungguh-sungguh ingin berbicara tentang topik tersebut, walau tak perlu dengan terlalu serius sehingga membuatnya takut, (nampaknya ia memang seorang yang mudah menaruh curiga) yang perlu kau lakukan adalah dengan sedikit demi sedikit mengorek-korek keterangan darinya tentang topik itu, dan ketika tiba saatnya kau temukan ‘klitoris’nya, tak hanya tanggul bocor, banjir cerita dan kata-kata dari mulutnya mungkin akan segera mengalir dan bahkan akan seperti membuatmu tak punya kesempatan bicara lagi. Rumit memang tapi nampaknya itulah cara yang paling tepat yang sejauh ini kuketahui.
Saat ini ia telah bekerja. Pekerjaan pertamanya setelah lulus kuliah yang ditempuhnya selama 5 tahun, lebih lama dari waktu normal namun ia selalu mengatakan bahwa hal itu sama sekali bukan hal yang akan disesalinya. Lain lagi dengan pekerjaannya, entah kenapa ia selalu terlihat tak nyaman atau berusaha menghindar tiap saat aku mencoba menanyai sesuatu tentang pekerjaannya itu. Ini tentu seperti membuat apa yang kukatakan di atas tadi kembali mentah lagi. Sepanjang pengetahuanku, setiap orang tentu mampu berbicara banyak mengenai pekerjaannya, tentang apa yang ia lakukan tiap hari, tak percaya? Coba saja kau tanyakan sesuatu mengenai pekerjaan dengan seorang agen MLM! Ya, itu contoh yang tak perlu ditanyakan dan memang aku hanya bercanda, namun kecuali ia bekerja sebagai agen rahasia atau pekerjaan ilegal atau pekerjaan yang memalukan seperti melacurkan diri, betapapun tak menyenangkannya pekerjaannya itu paling tidak orang tentu akan mampu berbicara sesuatu, atau mengeluhkan sesuatu mengenai pekerjaan yang ia lakukan, yang jelas ia tentu dapat berbicara banyak mengenainya. Sejauh ini, pendapatku itu tak berlaku untuk dirinya. Ia memang pernah mengatakan bahwa ia tak mendapat pekerjaan yang bagus atau yang ia inginkan dan impikan, tapi kenapa ia lantas tetap memilih pekerjaan tersebut, atau kenapa ia tak menginginkannya atau tepatnya kenapa dan sejauh mana ia membencinya, itulah yang belum aku tahu. Akupun hanya bisa berspekulasi dan mencoba menggabungkan potongan-potongan fakta; bahwa setelah lulus atau setelah menyelesaikan skripsi ia pernah menganggur hampir setahun sebelum menemukan pekerjaannya sekarang, bahwa tak banyak perubahan yang nampaknya ia dapatkan setelah sekitar 7 bulan bekerja; bahwa ia tak menyukai kota kelahirannya, yang ia tinggali saat ini; bahwa kawan-kawan yang dulu selalu bersamanya kini banyak yang telah mendapat pekerjaan yang mungkin ia anggap lebih baik dari yang ia dapatkan; bahwa sepertinya ia baru lebih sering terlihat bahagia di tahun-tahun akhir masa kuliahnya; bahwa ia memiliki terlalu banyak harapan muluk mengenai masa depan yang sering diungkapkannya ketika masih kuliah dulu; bahwa sikap dan impiannya yang kekanak-kanakan masih sering muncul dan aku tahu seringkali cukup sulit untuk ia abaikan; bahwa ia orang yang susah dimengerti, bahkan mungkin oleh dirinya sendiri. Namun aku hanya menduga-duga dan belum bisa menarik sebuah kesimpulan.
Jika di atas aku membicarakan keengganannya berbicara mengenai pekerjaannya, hal yang sama atau bahkan lebih ia tutup-tutupi lagi adalah mengenai kehidupan percintaannya. Mungkin ini memang sifat orang Asia atau Cina atau Indonesia khususnya Jawa (tengah) yang cenderung tak terbuka dalam berbicara mengenai asmara. Jadi untuk yang satu ini, aku cukup dapat memahami mengapa ia tak pernah (walaupun sepertinya juga bukannya tak suka) berbicara mengenai apa yang pernah atau sedang ia rasakan mengenai seorang wanita. Untuk masalah wanita pun, aku hanya tahu satu nama saja yang pernah ia buka, yang mungkin telah jadi berita umum di antara beberapa kawannya termasuk aku, walau sekarang ia sepertinya tak begitu senang jika aku menggodanya dengan nama wanita itu (aku tak tahu bagaimana juga keadaannya dan apa yang sebenarnya terjadi yang membuatnya tak suka membicarakannya lagi). Namun, apalagi setelah sampai saat ini, tentu tak mungkin hanya satu nama itu, yang terus terang juga telah membuatku bosan karena tanggapannya atas godaanku seringkali membuatku merasa tak enak hati sendiri, pasti ada lebih lagi. Kalau boleh menebak-nebak mengenai apa yang ia rasakan tentang kehidupan percintaannya… entahlah, semula aku hendak menghubungkan dengan film-film yang ia tonton, lagu-lagu yang ia dengar dan senandungkan, buku-buku yang ia baca, namun tiba-tiba aku merasa seringkali itu tak memberikan petunjuk apa-apa. Mungkin membaca tulisan-tulisannya atau posting-postingan di blognya lebih membawa hasil yang mendekati kenyataannya. Namun, sepertinya masa-masa ini bukanlah masa-masa romantisnya, tak seperti 2-3 tahun lalu dimana bahkan ia sempat mengikhtiarkan dirinya dengan sebuah nama yang menunjukkan sesuatu tentang cinta dan perasaannya, cukup menggelikan memang.
Lain halnya dengan hobi, seperti banyak atau setiap orang juga. Ia akan demikian bersemangat untuk berbicara mengenai hobinya. Mengoleksi cd, kaset dan mp3 bajakan, selain sekarang ia juga menambahkan buku, baik yang berupa kertas maupun file komputer adalah hal-hal yang pada era kapitalis ini baru bisa dibilang sebagai hobi yang sebenarnya. Hobi karena kegiatan itulah yang mengeluarkan uang, dan hobi karena hal itulah yang dapat membuatnya seperti orang gila nan serakah yang selalu memburu dan ‘rela berkorban’ demi mendapatkan kepuasan (sementara dan mencandu) saat ia telah mendapatkan apa yang ia inginkan, serta hobi karena tak semua orang akan sedemikian ekstrim melakukan apa yang ia lakukan, pokoknya kegiatan apa saja yang sebenarnya tak pokok yang selalu mampu menghabiskan banyak uangmu (dan tentu juga waktumu), itulah yang disebut hobi. Mengoleksi musik memang nampaknya bisa dibilang cukup untuk membuatnya memenuhi syarat untuk dibilang sebagai seorang penghobi. Sementara untuk buku, dilihat dari jumlahnya mungkin belum, meskipun mengoleksi buku (yang baik) dan tentu membacanya mungkin bisa dibilang lebih baik dan berguna daripada mengumpulkan musik bajakan (meski ia sering juga memberi alasan bahwa musik yang ia kumpulkan dan tradisi membajak yang ia lakukan juga dapat menjadi alat ‘perlawanan’). Apa lagi? Menulis? Membaca? Menyanyi? Jalan-jalan? Ngobrol? Nonton film? Menggambar? Main internet? Meski itupun sebenarnya bisa dibilang sebagai hobi, namun itu juga bisa dimasukkan dalam kategori : apa yang biasanya suka kau lakukan saat senggang. "Kalau boleh diambil satu," katanya satu kali, "dari antara semua itu, aku akan memilih mempertahankan kata menulis, walau akupun tak ingin ada yang mencoba menghalangiku untuk terus melakukan yang lainnya juga.." Aku tak sempat banyak berkomentar waktu itu, karena nampaknya aku telah berhasil membocorkan tanggulnya itu. Ia pun lantas bercerita bagaimana ia baru benar-benar menemukan dengan sadar betapa penting dan indah dan nikmatnya menulis itu pada semester kedua ia kuliah. "Dan akibatnya, sejak saat itu aku menghapus kata olahraga, baik basket atau sepakbola dari daftar hobiku, olahraga pikiran memang lebih asyik dan bergengsi… tapi aku tak suka dan tak bisa catur loh" lanjutnya. Memang kadangkala kalimat-kalimatnya tak begitu nyambung, yang jelas ia hanya selalu mencoba berusaha menyelipkan canda di setiap ucapannya. Membuat orang lain tertawa dan bergembira mungkin juga bisa ia masukkan sebagai hobi, namun mungkin itu lebih cocok sebagai misi.
Mimpi, nampaknya kata itu memiliki cukup banyak arti baginya. Paling tidak itu kesimpulanku setelah aku membaca salah satu pengakuannya bahwa ia seringkali mencatat mimpi-mimpi yang ia dapatkan waktu tidur. Dua buku Freud "Interpretation of Dream" dan "Book of Dream Psychology" juga kulihat telah ia download untuk disimpan di file komputer kakaknya, belum lagi buku-buku lain baik yang berjajar di atas ranjangnya atau di salah satu folder di komputer tadi, meski tak yakin pula aku kalau ia akan benar-benar mampu membaca semuanya , yang jelas nampaknya ia memang suka berkhayal (dan berlama-lama memikirkan khayalan-khayalannya itu). Mungkin itu juga alasan kenapa ia mengaku menemukan semacam kenikmatan dalam menulis, atau itu juga alasan kenapa ia suka melamun, dan alasan kenapa ia terlihat demikian kecewa dengan kenyataan. Aku hanya menebak, tak tahu pasti, kasihan juga dia kalau ternyata tebakanku salah. Omong-omong soal salah, dulu, kalau tak salah ia juga pernah bercerita bahwa ayahnya (yang pernah coba ia pakai sebagai karakter dalam novel semi biografinya yang tak kunjung atau bahkan sepertinya tak akan pernah jadi) juga pernah terobsesi dengan mimpi, cuma sepertinya agak beda kasus karena ayahnya seperti yang ia ceritakan, melakukannya karena ia adalah seorang penjudi yang ingin mendapat ilham nomor buntut dari mimpi. Begitulah, ia memang dapat demikian terbuka menceritakan kisah orang lain yang ia kenal, bahkan keluarganya sendiri, tak peduli baik atau buruk, namun di sisi lain ia seringkali sangat tertutup jika membicarakan tentang beberapa hal yang berkaitan dengan dirinya sendiri, dan apakah hal itu baik dan buruk, jika mengenai dirinya sendiri, penilaiannya sangatlah subyektif dan kadang tak masuk akal. Kembali pada mimpi, aku ingat pernah berhasil memancing dirinya untuk membicarakan hal itu, dan inilah mimpinya:
Usia 30 tahun, telah berumah tangga dengan seorang perempuan yang tentu memang istimewa. Memiliki sebuah rumah makan, tak perlu terlalu mewah, biasa saja tapi bersih dan rapih, yang penting juga laris, nyaman, cukup modern dan bukan yang menjual chinese food seperti yang selalu dibayangkan orang yang mendengar cita-citanya ini. Ia pun pernah mencontohkan Warung Subuh di kota Malang sebagai contoh, meski "akan lebih baik jika warung makannya berpintu karena rencananya di warung itu akan dikumandangkan musik-musik dan bisa jadi juga video-video kesukaanku… ya jadi agak kayak friends di Siwalankerto itu" ujarnya sambil tersenyum memamerkan deretan gigi-giginya yang tak begitu tertata dengan baik itu. Hal lain tentu juga meliputi memiliki rumah sendiri, mobil sendiri, telah mampu membayar budi untuk membantu biaya sekolah salah seorang keponakan yang merupakan anak kakaknya yang dulu membiayai kuliahnya, tinggal di kota yang menyenangkan, mungkin seperti Bandung (entah seberapa baik bayangannya mengenai kota itu) atau Surabaya yang tak terlupakan itu atau Malang. Ia memang selalu berkata bahwa ia sama sekali tak bisa memasak, namun aku setuju bahwa saat ini, hal itu tak lagi menjadi syarat utama untuk dapat membuka rumah makan yang enak, nyaman dan laris. Dan dengan ketidaksibukannya yang tidak mengurusi urusan teknis memasak, ia pun dapat terus mengembangkan semua hobinya. Memiliki perpustakaan pribadi, dan impiannya semakin menjadi, "mendirikan perusahaan rekaman seperti Factory atau Fastforward, sukur-sukur bisa seperti Tony Wilson yang menciptakan budaya dan genre sendiri, satu lagi tentu juga tetap dapat menjadi penulis, tak perlulah yang sampai meraih atau dinominasikan nobel, yang penting dapat menyuarakan apa yang seharusnya saja (dan tentu tulisannya bisa dibaca banyak orang), itu sudah cukup.." Namun kemudian ia segera meralat ucapan cukupnya tadi, dan melanjutkan. "Punya waktu untuk bikin film dan mendalami fotografi dan videografi, selain tentu dunia internet, bahkan boleh juga kalau masih niat, sekolah lagi, tapi sekolah apa ya? hehe.." kali ini, matanya yang menatap lurus ke atas itu terlihat seperti terpejam, apa yang dilihat sang pemimpi itu dalam otaknya, hanya ia saja yang tahu.
Demikianlah mimpi dan cita-citanya, campuran antara ingin kaya dan ingin bahagia dan melihat kebahagiaan di dunia sekelilingnya, mengenai apa itu bahagia, mungkin konsep kita berdua pun beda.
25 tahun, berarti tinggal 5 tahun lagi waktu yang ia miliki untuk memburu semua mimpinya itu. Kadang aku hanya tertawa mengingat semua mimpinya yang pernah ia ucapkan itu, apalagi jika ingat saat aku melihat tulisan-tulisannya, baik yang ada di blog maupun yang sering kucuri-curi lihat di file-file komputer kantor atau di komputer milik kakak-kakaknya. Tulisan-tulisan yang belum selesai, beberapa bahkan hanya terdiri dari beberapa baris. Beberapa baris yang ia tinggalkan untuk membuka halaman kosong yang baru lagi, dengan tulisan atau cerita dan ide baru lagi. Memang, ia juga pernah berkata bahwa ia (lagi-lagi) punya keinginan untuk membuat satu cerita (cerpen atau mungkin kalau bisa novel atau novella) setiap kali ia mempelajari, mengetahui atau membaca satu pengetahuan dan hal baru, itu juga alasan awal yang membuatnya ingiin mengoleksi buku dan mengkliping artikel-artikel yang menarik. Saat ini, sepertinya rencana itu belum dapat berjalan baik. Ketika mengaku mendapat inspirasi setelah melihat film Perancis "He Loves Me, He Loves Me Not " (aku baru tahu kalau ternyata ada teenlit yang menggunakan judul yang sama, mungkin isinya pun sama dengan filmnya, ah) yang diikuti dengan mencari beberapa artikel tentang erotomania, misalnya. Masih hanya menghasilkan setengah lembar, meski ia masih bertekad akan menyelesaikan semua tulisan yang belum selesai itu.
Ah, bisa jadi dugaanku semakin benar, tulisan nampaknya memang cermin yang paling jelas untuk melihat siapa sebenarnya dirinya. Tanpa mempedulikan peringatannya di blognya untuk "don’t swallow the words" (yang merupakan contekan dari bunyi tulisan di kaus Thom Yorke di sebuah foto ‘Presse ne Pas Avaler’ yang dalam bahasa Inggris berarti ‘don’t swallow the press’) atau judul blog friendsternya "little white lies" (lagi-lagi salah satu kutipan dari lagu Radiohead - Motion Picture Soundtrack di album kid A ;2001), hanya satu kesimpulan sementara yang bisa kusampaikan untuk dirinya; kawan, nampaknya mungkin kau adalah pengkhayal yang baik, namun masih perlu belajar untuk menjadi pembohong yang ulung.
Salam kenal:
Mahardika Asmara
0 Responses to “Salam dari Mahardika”