Menulis buku yang diangkat dari sebuah buku mungkin cukup sulit. Tapi, membaca buku yang diangkat dari sebuah buku yang juga pernah dibaca ternyata saya rasa tidak terlalu beda jauh dengan melihat film yang diangkat dari sebuah buku yang pernah dibaca. Itulah perasaan yang saya rasakan waktu membaca buku ini. Sebenarnya saya agak ragu untuk membaca, apalagi membeli buku ini setelah agak kecewa dengan buku Walter Wangerin sebelumnya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Kanisius juga. Apalagi harganya terbilang cukup mahal. Entah kenapa begitu. Menurut pengamatan saya, rasanya buku rohani berbahasa Indonesia itu masih banyak yang kualitasnya masih belum terlalu istimewa, tapi tidak sedikit yang dijual dengan harga yang terbilang tidak murah. Tanpa bermaksud merendahkan, tapi kalau dibandingkan dengan buku-buku yang lebih "penting" (menurut saya), masih banyak buku rohani yang mungkin bukan mahal, tapi kemahalan (alias harga tidak sesuai isi). Tapi, mungkin itu cuma karena masalah selera saja. Mungkin karena penulis buku rohani Kristen sendiri memang masih belum terlalu banyak. Mungkin sebenarnya itu juga bagus karena setidaknya para penulis buku rohani bisa jadi lebih cepet kaya karena royaltinya lebih gede (meski sepertinya banyak juga buku rohani yang kemudian berakhir di obralan di pameran). Wah, maaf kok jadi ngelantur begini ya...
Kenapa saya kecewa dengan buku pertama Wangerin yang diterbitkan Kanisius? Sebenarnya belum pasti karena buku yang berjudul "Paulus, Rabi Yahudi" itu jelek. Saya bilang begini karena memang baru baca separuh. Tapi, saya kecewa akibat buku itu bikin saya capek membacanya. Terjemahannya (dan penyuntingannya) masih kurang baik dan lay outnya juga tidak mengenakkan (tulisannya saja tidak rata kanan dan hurufnya kurang nyaman). Tapi, waktu saya lihat-lihat buku novel kedua Wangerin yang berjudul "Yesus" ini, saya merasa sepertinya beda. Biasanya, waktu saya mau beli buku terjemahan yang tebal, saya baca halaman ke tiga atau empat setelah subjudul, dua pertiga, dan beberapa belas halaman sebelum halaman terakhir. Kenapa demikian? Karena saya membayangkan bahwa stamina seorang penerjemah dan editor (mungkin) bisa menurun di dua pertiga naskah dan mungkin juga bisa menurun begitu deadline sudah mepet sehingga bagian-bagian menjelang akhir agak terlalu teliti, sedangkan bagian awal adalah untuk mengecek kualitas "sebenarnya" (karena di awal mungkin masih semangat, kan?). Dan novel berjudul "Yesus" ini memakai lay out, font, bahkan kertas yang sangat beda dengan buku "Paulus". Kalau buku tebal saya pribadi lebih suka kertas isinya tipis atau buram karena lebih enteng dibawa. Itu semua dengan catatan, buku itu tidak dishrink (dibungkus plastik bening nan ketat). Kalau sudah dishrink sih.. saya akan tunggu ada yang sudah dibuka, atau kalau plastiknya agak robek, ya dirobek sekalian.
Buku yang termasuk tebal ini termasuk cukup cepat saya baca. Bahkan, kalau biasanya saya suka gonta-ganti meski satu buku belum selesai dibaca, tapi buku ini bikin saya cukup betah buat membaca sampai tuntas. Saya sempat melihat bagian halaman "credit title" buku itu dan membandingkan dengan yang "Paulus". Penerjemahnya sama, tapi kali ini ternyata ada dua penerjemah. Dan untuk yang "Yesus" ini, ditulis juga nama editornya. Hmm, kenapa yang "Paulus" tidak ditulis? Atau jangan-jangan tidak disunting? Wah!
Sebenarnya rumus si Wangerin ini memang sama. Ia tetap menceritakan si sosok utama dengan berbagai sudut pandang. Kali ini dari sudut pandang Maria dan Yohanes. Mungkin saya cukup betah karena seperti sudah saya singgung di atas, karena saya sudah "kenal" tokoh-tokohnya. Karena keempat Injil di Alkitab sendiri sudah berbentuk cerita, maka dalam beberapa bagian, Wangerin seperti hanya menyalin (atau mungkin si penerjemah yang menyalin?) dari Alkitab TB. Makanya, kadang bahasanya masih ada beberapa (sedikit) yang tidak konsisten. Kadang gaya kuno seperti Alkitab TB, kadang gaya modern yaitu gaya si penerjemah. Dan seperti sudah saya singgung lagi di atas. Tentu ada juga ketidakpuasan atau lebih tepatnya saya menjadi bertanya-tanya, kenapa bagian ini tidak diceritakan, kenapa bagian itu ceritanya hanya sedikit, dll. Memang, untuk mukjizat kesembuhan atau lainnya saya bisa memaklumi kalau tidak diceritakan (karena katanya kan, seluruh dunia tidak akan cukup kalau buat menulis semua perbuatan Yesus selama hidup). Tapi, satu hal yang masih membuat saya bertanya-tanya adalah kenapa kejadian ketika Yesus menjungkir balikkan meja penukar uang di Bait Allah tidak diceritakan dan hanya disinggung sedikit sekali waktu sidang menjelang penyaliban. Seolah hal itu tidak terlalu penting saja. Tapi, di luar itu, saya cukup senang membaca novel ini. Hal-hal menarik seperti deskripsi Yesus yang punya ciri khas rambut kriting, Maria Magdalena yang seperti gadis kecil, Petrus yang seperti Little John (dan Yesus Robin Hoodnya?), Maria ibu Yesus yang selalu ikut dalam perjalanan pelayanan Yesus, cukup membuat imajinasi ikut terpuaskan. Dan di akhir halaman, saya justru merasa novel ini terlalu tipis untuk menceritakan sedemikian banyak cerita dari dua sudut pandang pula. Menurut saya, mungkin akan lebih maksimal jika hanya memakai sudut pandang Maria saja (misalnya). Meski saya kurang terlalu suka juga dengan penggalian karakter Maria yang menurut saya masih kurang berani dan justru dia kadang seperti orang yang tidak jelas. Ya, saya anggap mungkin karena penulisnya juga takut kalau dianggap menghujat. Ya, bagaimana lagi penulisnya juga pendeta. Maka, sebagai alternatif saya sekarang sedang mencari novel "Gospel According Jesus Christ" karya Jose Saramago yang dikritik habis gereja Katolik. Pastinya buku itu lebih menarik. Sayang, belum ketemu yang jual atau donlot hehe...
Dan pada akhirnya..
Selamat Natal dan Tahun Baru
Label: buku, kanisius, natal, walter wangerin, yesus
0 Responses to “Yesus”