Sore hari ini mendadak hujan, untung saya masih disini, di warnet. Tadi sengaja sepulang kerja saya segera mandi dan berangkat ke sini dengan bersemangat untuk mengupload beberapa hasil yang kemarin saya buat di adobe photoshop. Uh, untuk beberapa waktu terakhir ini, setiap kali menghidupkan komputer, photoshop memang telah berhasil menjadi program favorit saya selain front page menggantikan winamp, word, nero, music match dan program lain yang dulu harus dibuka setiap gambar desktop muncul. Namun photoshop tetap yang utama, front page masih seringkali membuat saya bingung dan putus asa, sementara photoshop, hmm mungkin saya harus banyak berterima kasih pada pak Wiranda yang telah memperkenalkan dan mengajari saya keindahan dunia gambar digital ini.
Kawan, warnet ini mendadak bau sekali, 2 orang baru saja datang, pakaiannya basah, kelihatannya ia juga belum mandi, dan bau keringat bercampur air hujan itu mengingatkan saya pada bau kaki saya jika habis dibebaskan dari ikatan sepatu (yang basah),
hmm tidak baik ngerasani orang.
kawan, kalian juga lihat gambar itu? di Solo, warung kopi atau angkringan atau HIK memang lebih mudah ditemukan daripada Surabaya, namun saya sangat jarang ke sana. Pertama karena tidak ada teman, kedua karena tidak semuanya ngecer benda putih kurus itu. Dulu saya selalu merasa HIK di Solo jauh lebih menggiurkan daripada warung kopi di Surabaya, tapi kini saya sadar ternyata bukan masalah hidangan, tapi kenyamanan. Jadi siapa bilang hanya kafe-kafe atau pub yang menjual kenyamanan daripada menu makan minumnya? wedangan, angkringan, warkop lebih lagi, mereka bahkan tidak perlu mengadakan pertunjukan live music top 40 atau r&b, jarang wedangan yang dikenal karena kopinya enak, sego kucingnya enak, pisang gorengnya yahud dll. Mereka hanya menyediakan kursi panjang kayu, beberapa makanan yang lebih tepat dibilang jajanan yang rasanya rata-rata sama saja dengan yang dijual di tempat lainnya, kadang malah tak enak, seperti yang ada di Cak Mis contohnya, semua itu masih ditambah lampu yang membikin asap dan nyamuk yang kadang juga ikut jajan betis-betis kita. Namun, semuanya itu tak pernah membuat wedangan surut jumlah konsumennya. Sepanjang pengamatan saya, sangat jarang ada angkringan/ wedangan/ hik yang tak laku, malah kebanyakkan yang laris malah yang gelap, penjualnya sudah tua, dll.
Sudahlah...
Kini hujan sudah berhenti, hawa dingin masih terasa, billing semakin membengkak, aku makin merindukan suasana dulu, pada jam-jam waktu TV menyiarkan tayangan prime time, menikmati obrolan, melihat jalanan, menyeruput kopi atau teh hangat, mengepulkan asap ke udara, nambah mie goreng lagi, beberapa pisang goreng lagi. Kawan kita menyebutnya "nyore".
Kawan, warnet ini mendadak bau sekali, 2 orang baru saja datang, pakaiannya basah, kelihatannya ia juga belum mandi, dan bau keringat bercampur air hujan itu mengingatkan saya pada bau kaki saya jika habis dibebaskan dari ikatan sepatu (yang basah),
hmm tidak baik ngerasani orang.
kawan, kalian juga lihat gambar itu? di Solo, warung kopi atau angkringan atau HIK memang lebih mudah ditemukan daripada Surabaya, namun saya sangat jarang ke sana. Pertama karena tidak ada teman, kedua karena tidak semuanya ngecer benda putih kurus itu. Dulu saya selalu merasa HIK di Solo jauh lebih menggiurkan daripada warung kopi di Surabaya, tapi kini saya sadar ternyata bukan masalah hidangan, tapi kenyamanan. Jadi siapa bilang hanya kafe-kafe atau pub yang menjual kenyamanan daripada menu makan minumnya? wedangan, angkringan, warkop lebih lagi, mereka bahkan tidak perlu mengadakan pertunjukan live music top 40 atau r&b, jarang wedangan yang dikenal karena kopinya enak, sego kucingnya enak, pisang gorengnya yahud dll. Mereka hanya menyediakan kursi panjang kayu, beberapa makanan yang lebih tepat dibilang jajanan yang rasanya rata-rata sama saja dengan yang dijual di tempat lainnya, kadang malah tak enak, seperti yang ada di Cak Mis contohnya, semua itu masih ditambah lampu yang membikin asap dan nyamuk yang kadang juga ikut jajan betis-betis kita. Namun, semuanya itu tak pernah membuat wedangan surut jumlah konsumennya. Sepanjang pengamatan saya, sangat jarang ada angkringan/ wedangan/ hik yang tak laku, malah kebanyakkan yang laris malah yang gelap, penjualnya sudah tua, dll.
Sudahlah...
Kini hujan sudah berhenti, hawa dingin masih terasa, billing semakin membengkak, aku makin merindukan suasana dulu, pada jam-jam waktu TV menyiarkan tayangan prime time, menikmati obrolan, melihat jalanan, menyeruput kopi atau teh hangat, mengepulkan asap ke udara, nambah mie goreng lagi, beberapa pisang goreng lagi. Kawan kita menyebutnya "nyore".
0 Responses to “sore hari hujan”