Walau hari ini masih hari pertama dari 3 hari libur, aku tidak memiliki rencana hendak kemana atau melakukan apa untuk mengisi 3 hari ini. Bangun sekitar jam 11, yang paling gampang dilakukan adalah menonton beberapa acara memasak (walaupun yang bersama kecap bango itu tidak kelihatan) dan tentunya yang tak bisa dihindari: infotainment. Kebetulan press conference nya Gusti Randa cukup menarik, lalu seperti kemarin lagi-lagi masih dibahas juga Andara Early, Habib Rizieq yang baru dapet Playboy edisi perdana gratis (yang saking nafsunya, atau karena mungkin buat rebutan pengikutnya, gambarnya sampai sobek-sobek,.. hehe ternyata gitu kelakuannya FPI karo lagi coli) dan gambar-gambar lainnya. Bosen juga sih lama-lama...
Karena tak ada kegiatan, aku teringat kalo Tidak ada Kelinci di Bulan sudah ada di Gramedia. Iseng-iseng, aku pun berangkat ke toko buku yang makin hari makin sering mengecewakanku itu. Kumpulan cerpennya Stef itu ternyata memang ada, dan tidak seperti Gramed di Jogja (kata Onie), yg di Solo ini ada satu yang tidak dibungkus plastik. 25 ribu, sebenarnya tak begitu mahal tapi aku baru sadar kalau aku belum mengambil ATM dan uang di dompet hanya 30 ribu. Sambil menimbang dan berpikir-pikir, aku berkeliling ke rak-rak lain, sempat terbersit keinginan kalau bulan ini aku akan membeli buku-buku karya penulis yang pernah ketemu aku saja. Lihat sekilas Isyarat Cinta Keras Kepala (juga ada satu yang tidak dibungkus plastik), trus apalagi? Cari Orang-orang Bloomington (ya.. memang aku belum baca, baru sempat curi baca pengantarnya saja) tapi sudah habis. Ada juga buku lain (non-fiksi) yang cukup menarik tapi harganya 130ribuan, ah.. aku makin ragu ingin beli satupun, apalagi ingat kalau aku ada niat jika Muhaimin jadi ke Jogja, aku juga akan kesana dan tentu kota tetangga itu menawarkan harga yang lebih murah dari Gramed Solo ini.
Beberapa jam jalan-jalan dari rak satu ke rak lain, juga ke rak majalah yang selalu ramai itu. Ada beberapa anak muda yang bercanda (atau memang berniat) ingin beli Playboy warna merah itu, tentu saja toko buku yang selalu cari aman ini tak menyediakannya. Akhirnya badanku terasa capek juga, ingin pulang. Baru berjalan ke lantai satu, dari jendela tiba-tiba terlihat butiran-butiran hujan yang besar-besar dan banyak menghujam ke atap/terop samping. Niat diurungkan, mampir ke Disctara seperti biasa tidak ada yang menarik sama sekali, disamping harga kaset yang jadi 24-25ribu. Aku naik ke atas lagi. Masih menaiki tangga tiba-tiba serombongan orang-orang datang, yang paling depan membawa kamera foto atau handycam. Kulihat dibawah, belum terlihat siapa yang difoto itu. Sempat aku terbayang bahwa suasana itu seperti ketika di menghadiri sebuah acara yang mendatangkan Pramoedya Ananta Toer di hotel Majapahit, ya suasananya mirip ketika sang maestro datang menaiki tangga dan sampai ke atas dengan senyumnya. Saat itupun, semula aku mengira telah datang seorang sastrawan atau penulis terkenal di toko buku ini, wajarlah.. namanya toko buku ya pasti akan menyambut orang yang menghidupinya.
Namun ternyata kenyataannya sungguh mengecewakan. Seorang berjenggot seperti Sisingamangaraja terlihat di depan memimpin belasan anak buahnya. Naik dengan ekspresi seolah-olah bos yang membawa tukang pukul-tukang pukulnya, suasana toko menjadi sangat tegang. Para karyawan-karyawati berdiri mematung, aku membayangkan bahwa ini persis seperti sebuah suasana perampokan. Orang paling belakang yang mengikuti kelompok itu adalah seorang polisi, wajahnya terlihat tenang padahal ia hanya seorang diri saja walau entah apa yang bisa ia lakukan jika terjadi sesuatu. Belasan orang yang terlihat habis kehujanan itu segera menuju ke rak majalah, manajernya Gramed mendampingi mereka sambil sedikit berlari untuk mengimbangi langkah cepat si jenggot separuh itu, aneh memang tiba-tiba manajer dan para satpam seperti tidak memiliki wewenang apa-apa atas wilayahnya sendiri. Aku dan beberapa pengunjung juga mengikuti mereka, ingin tahu apa yang akan mereka lakukan dan katakan. Sempat aku dengar seorang ibu setengah baya dari suku Tionghoa menarik dan membisiki anak gadisnya yang kira-kira masih duduk di bangku SMP, "ayo pulang wae yok, rame nanti ini.."
Jelas akan mengherankan kalau masih ada juga buku yang akan diambil oleh gerombolan itu karena sebelumnya di sebuah milis ada kabar bahwa Gramedia disebuah (atau diseluruh) kota sudah menurunkan buku-buku sex education dari rak mereka karena takut ada penyokong RUU APP yang mendatangi mereka. Belasan orang itu ternyata berasal dari MMI (Majelis Munyuk Indonesia atau Maniak Mejeng Infotainment). Setelah aku sampai di kerumunan itu, terlihat yang berjenggot lainnya dengan bimbingan pihak Gramed juga mengecek dari komputer, selain anak buahnya yang mengecek langsung bukti fisik apa yang mereka cari. Di monitor terlihat kata Playboy dan hasil pencarian menunjukkan beberapa judul teenlit. Si jenggot yang mirip manusia purba (dan nampaknya memang dia adalah versi yang sudah berpakaian) itu terlihat bengong saja. Setelah tak ditemukan apa-apa,si pemimpin menyatakan peringatannya agar jangan sampai Gramed menjual Playboy atau sejenisnya, si manajer bilang bahwa kami (gramedia) memang tujuannya mendidik, pak.. jadi tak akan menjual Playboy dan sejenisnya. Gerombolan turun kembali, beberapa juga mengecek di rak majalah asing dan tak ada majalah gratisan untuk bahan masturbasi mereka hari ini.
Aku terus mendekati kerumunan dan para wartawan itu, siapa tahu akan ada wawancara dengan pengunjung tentang Playboy ini. Komentar sudah kusiapkan "Mari kita sweeping juga peredaran Playboy berjalan yang istrinya banyak itu.. Alahu akbar!!" Tapi para wartawan malah menyorot jajaran majalah lainnya, dan memang nampaknya Gramed sendiri telah mengubah susunan letak majalahnya, jika biasanya yang di depan adalah majalah kosmopolitan dsb, hari itu yang didepan adalah majalah dan tabloid-tabloid yang covernya wanita berjilbab. Para munyuk sudah turun, cuma kali ini mereka memang relatif tak begitu ribut seperti saudara-saudaranya di TV. Si pemimpin masih memberikan pernyataan di depan kamera wartawan di depan meja kasir, tentu dengan kata-kata dan kalimat yang diulang-ulang terus, mungkin kata-kata yang mereka pelajari memang masih terbatas, maklumlah.. 5 menit kemudian mereka sudah benar-benar pergi, seorang pengunjung wanita terlihat agak ketakutan karena dia barusaja membeli majalah Bazaar yang covernya wanita bule memakai gaun malam bertali, namun salah seorang karyawan menenangkan , "Nggak papa, sudah pergi semuanya kok.." Beberapa karyawati sambil mengintip lewat jendela ke arah jalan raya juga masih berbisik-bisik, sempat terdengar ada yang mengatakan "Ya, mereka memang maksudnya melindungi pihak perempuan gitu.." rekannya yang lain menimpali "Ya, tapi kalo memang perempuannya ga masalah difoto gituan ya hak mereka dong, wong namanya juga cari duit.." Percakapan bubar ketika pengunjung lain mendatangi rak buku di dekat mereka. Setelah hujan reda, akupun meninggalkan toko menuju ke warnet ini.
Karena tak ada kegiatan, aku teringat kalo Tidak ada Kelinci di Bulan sudah ada di Gramedia. Iseng-iseng, aku pun berangkat ke toko buku yang makin hari makin sering mengecewakanku itu. Kumpulan cerpennya Stef itu ternyata memang ada, dan tidak seperti Gramed di Jogja (kata Onie), yg di Solo ini ada satu yang tidak dibungkus plastik. 25 ribu, sebenarnya tak begitu mahal tapi aku baru sadar kalau aku belum mengambil ATM dan uang di dompet hanya 30 ribu. Sambil menimbang dan berpikir-pikir, aku berkeliling ke rak-rak lain, sempat terbersit keinginan kalau bulan ini aku akan membeli buku-buku karya penulis yang pernah ketemu aku saja. Lihat sekilas Isyarat Cinta Keras Kepala (juga ada satu yang tidak dibungkus plastik), trus apalagi? Cari Orang-orang Bloomington (ya.. memang aku belum baca, baru sempat curi baca pengantarnya saja) tapi sudah habis. Ada juga buku lain (non-fiksi) yang cukup menarik tapi harganya 130ribuan, ah.. aku makin ragu ingin beli satupun, apalagi ingat kalau aku ada niat jika Muhaimin jadi ke Jogja, aku juga akan kesana dan tentu kota tetangga itu menawarkan harga yang lebih murah dari Gramed Solo ini.
Beberapa jam jalan-jalan dari rak satu ke rak lain, juga ke rak majalah yang selalu ramai itu. Ada beberapa anak muda yang bercanda (atau memang berniat) ingin beli Playboy warna merah itu, tentu saja toko buku yang selalu cari aman ini tak menyediakannya. Akhirnya badanku terasa capek juga, ingin pulang. Baru berjalan ke lantai satu, dari jendela tiba-tiba terlihat butiran-butiran hujan yang besar-besar dan banyak menghujam ke atap/terop samping. Niat diurungkan, mampir ke Disctara seperti biasa tidak ada yang menarik sama sekali, disamping harga kaset yang jadi 24-25ribu. Aku naik ke atas lagi. Masih menaiki tangga tiba-tiba serombongan orang-orang datang, yang paling depan membawa kamera foto atau handycam. Kulihat dibawah, belum terlihat siapa yang difoto itu. Sempat aku terbayang bahwa suasana itu seperti ketika di menghadiri sebuah acara yang mendatangkan Pramoedya Ananta Toer di hotel Majapahit, ya suasananya mirip ketika sang maestro datang menaiki tangga dan sampai ke atas dengan senyumnya. Saat itupun, semula aku mengira telah datang seorang sastrawan atau penulis terkenal di toko buku ini, wajarlah.. namanya toko buku ya pasti akan menyambut orang yang menghidupinya.
Namun ternyata kenyataannya sungguh mengecewakan. Seorang berjenggot seperti Sisingamangaraja terlihat di depan memimpin belasan anak buahnya. Naik dengan ekspresi seolah-olah bos yang membawa tukang pukul-tukang pukulnya, suasana toko menjadi sangat tegang. Para karyawan-karyawati berdiri mematung, aku membayangkan bahwa ini persis seperti sebuah suasana perampokan. Orang paling belakang yang mengikuti kelompok itu adalah seorang polisi, wajahnya terlihat tenang padahal ia hanya seorang diri saja walau entah apa yang bisa ia lakukan jika terjadi sesuatu. Belasan orang yang terlihat habis kehujanan itu segera menuju ke rak majalah, manajernya Gramed mendampingi mereka sambil sedikit berlari untuk mengimbangi langkah cepat si jenggot separuh itu, aneh memang tiba-tiba manajer dan para satpam seperti tidak memiliki wewenang apa-apa atas wilayahnya sendiri. Aku dan beberapa pengunjung juga mengikuti mereka, ingin tahu apa yang akan mereka lakukan dan katakan. Sempat aku dengar seorang ibu setengah baya dari suku Tionghoa menarik dan membisiki anak gadisnya yang kira-kira masih duduk di bangku SMP, "ayo pulang wae yok, rame nanti ini.."
Jelas akan mengherankan kalau masih ada juga buku yang akan diambil oleh gerombolan itu karena sebelumnya di sebuah milis ada kabar bahwa Gramedia disebuah (atau diseluruh) kota sudah menurunkan buku-buku sex education dari rak mereka karena takut ada penyokong RUU APP yang mendatangi mereka. Belasan orang itu ternyata berasal dari MMI (Majelis Munyuk Indonesia atau Maniak Mejeng Infotainment). Setelah aku sampai di kerumunan itu, terlihat yang berjenggot lainnya dengan bimbingan pihak Gramed juga mengecek dari komputer, selain anak buahnya yang mengecek langsung bukti fisik apa yang mereka cari. Di monitor terlihat kata Playboy dan hasil pencarian menunjukkan beberapa judul teenlit. Si jenggot yang mirip manusia purba (dan nampaknya memang dia adalah versi yang sudah berpakaian) itu terlihat bengong saja. Setelah tak ditemukan apa-apa,si pemimpin menyatakan peringatannya agar jangan sampai Gramed menjual Playboy atau sejenisnya, si manajer bilang bahwa kami (gramedia) memang tujuannya mendidik, pak.. jadi tak akan menjual Playboy dan sejenisnya. Gerombolan turun kembali, beberapa juga mengecek di rak majalah asing dan tak ada majalah gratisan untuk bahan masturbasi mereka hari ini.
Aku terus mendekati kerumunan dan para wartawan itu, siapa tahu akan ada wawancara dengan pengunjung tentang Playboy ini. Komentar sudah kusiapkan "Mari kita sweeping juga peredaran Playboy berjalan yang istrinya banyak itu.. Alahu akbar!!" Tapi para wartawan malah menyorot jajaran majalah lainnya, dan memang nampaknya Gramed sendiri telah mengubah susunan letak majalahnya, jika biasanya yang di depan adalah majalah kosmopolitan dsb, hari itu yang didepan adalah majalah dan tabloid-tabloid yang covernya wanita berjilbab. Para munyuk sudah turun, cuma kali ini mereka memang relatif tak begitu ribut seperti saudara-saudaranya di TV. Si pemimpin masih memberikan pernyataan di depan kamera wartawan di depan meja kasir, tentu dengan kata-kata dan kalimat yang diulang-ulang terus, mungkin kata-kata yang mereka pelajari memang masih terbatas, maklumlah.. 5 menit kemudian mereka sudah benar-benar pergi, seorang pengunjung wanita terlihat agak ketakutan karena dia barusaja membeli majalah Bazaar yang covernya wanita bule memakai gaun malam bertali, namun salah seorang karyawan menenangkan , "Nggak papa, sudah pergi semuanya kok.." Beberapa karyawati sambil mengintip lewat jendela ke arah jalan raya juga masih berbisik-bisik, sempat terdengar ada yang mengatakan "Ya, mereka memang maksudnya melindungi pihak perempuan gitu.." rekannya yang lain menimpali "Ya, tapi kalo memang perempuannya ga masalah difoto gituan ya hak mereka dong, wong namanya juga cari duit.." Percakapan bubar ketika pengunjung lain mendatangi rak buku di dekat mereka. Setelah hujan reda, akupun meninggalkan toko menuju ke warnet ini.
0 Responses to “Ketemu Playboy Berjalan”