perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


Stadion Olahraga


stadion2
Originally uploaded by scandinavian_idiot.

Menyaksikan Piala Dunia membuatku mau tak mau memperhatikan stadion olahraga. Di Solo dan Surabaya ada beberapa stadion olahraga yang pernah kumasuki, ada juga yang lumayan sering kukunjungi. Tapi itu dulu, waktu aku masih suka berolahraga, melatih badan agar bisa berpostur bagus dan terutama agar disukai lawan jenis. Setelah mulai jarang dan akhirnya tak pernah berolahraga sama sekali, paling-paling aku hanya ke stadion untuk menyaksikan sebuah petunjukan.

Aku mulai dulu dengan stadion dimana disitu aku benar-benar melakukan kegiatan yang sepantasnya yakni berolahraga. Dimulai waktu masih SD, barangkali stadion olahraga pertama yang kukunjungi adalah sebuah lapangan tennis indoor. Jarak sekitar 400meter dari rumahku yang kedua. Ketika itu gedung tersebut masih baru, namanya Hartens kalau tidak salah nama itu menunjuk pada nama pemiliknya yang sekaligus walikota Solo waktu itu yang namanya Hartomo. Gedung itu juga salah satu dari sedikit tempat yang memiliki fasilitas telepon umum (masih berbentuk boks seperti di film Superman), jadi kami anak-anak juga sering main-main telepon dengan nomor acak di situ. Pertama kali dan untuk selamanya, aku masuk ke dalam gedung itu adalah atas undangan teman sekolahku yang ikut les tennis. Aku memang tidak berbuat apa-apa disitu selain menyaksikan temanku yang satu angkatan dengan kakak beradik Vania dan Wynne Prakusya itu melakukan pemanasan, berlatih dsb. Lama-lama membosankan, dan akupun meninggalkannya setelah menunggu selama sekitar 20 menit.

Gedung itu sendiri memang megah, terasa sangat besar bagiku, meski sebelumnya pemandangan macam yang ada disitu sudah pernah kulihat di televisi. Karpetnya masih baru dan sangat hijau, juga bersih walau suasana waktu itu relatif sepi. Meski Hartens termasuk gedung yang representatif, paling tidak untuk ukuran propinsi waktu itu, aku tak ingat pernah ada pertandingan tennis resmi diadakan di situ. Pertandingan resmi tingkat propinsi seingatku malah diadakan di lapangan tennis Mojosongo yang lebih kecil, lebih lama dan berlokasi sekitar 1 km dari situ. Aku kira gedung Hartens itu mungkin hendak dipakai untuk tempat pembinaan klub sekaligus tempat rekreasi keluarga. Tentu saja waktu itu aku belum mengerti soal ambisi atau soal proyek-proyek tak penting yang dibangun demi memamerkan ‘keberhasilan pembangunan orde baru’ macam itu. Apapun tujuannya, hanya dalam beberapa tahun setelah dibangun dan diresmikan, gedung Hartens semakin melorot popularitasnya. Menjelang masuk SMP, setiap kali aku lewat gedung itu, semakin banyak lumut yang melapisi gerbangnya, papan namanya, tembok-temboknya, batu-batu yang ada di tamannya, makin gundul pula tanaman-tanaman hias yang ada, dan makin sepi pengunjungnya. Menjelang aku pindah rumah, gedung itu nampaknya sudah tak dioperasikan dan sekarang telah menjadi bangunan mangkrak, tak jelas apa gunanya.

Solo nampaknya memang bukan kota yang suka tennis, olahraga yang cukup digemari disini adalah sepakbola tentunya, selain itu juga basket dan badminton. Ya, seperti umumnya orang Indonesia. Voli? Rasanya kurang, lagipula voli lebih banyak dimainkan di lapangan outdoor. Karena agak berhubungan dengan Hartens tadi, aku akan bercerita tentang stadion sepakbolanya dulu. Kau masih ingat apa nama kesebelasan yang sempat menjadi kebanggaan kota Solo. Namanya Arseto Solo, pernah juara Galatama dan di awal keberadaan format Liga Indonesia juga berprestasi cukup baik. Sialnya prestasi itu ternyata adalah bagian dari sebuah rezim yang korup dan kejam. Arseto dimiliki oleh Sigit, anaknya Suharto. Sebelum tahun 1998, Arseto pernah dibayangkan akan memiliki 2 pilihan stadion tingkat nasional. Stadion Sriwedari yang dibangun sejak PON I direncanakan akan diberikan kepada Persis Solo, kesebelasan milik pemkot yang masih berkutat di Divisi I, namun juga boleh dipakai Arseto untuk pertandingan tidak resminya. Sementara itu untuk pertandingan liga dan pertandingan resmi lainnya, sebuah stadion baru nan megah dan hanya nomor dua termegah setelah Senayan (sekarang Gelora Bung Karno) bernama Stadion Manahan telah dikebut dibangun, dan tahun 1998 sudah siap dipakai. Mimpi Arseto tak pernah jadi kenyataan, tengah tahun itu rezim yang menaungi mereka runtuh (ok, mungkin mereka masih kuat tapi paling tidak sudah tidak punya kekuasaan secara langsung lagi). Arseto pun bubar tak lama kemudian.

Dari dua stadion bola tadi, hanya Sriwedari yang pernah kumasuki. Sementara itu Manahan yang katanya adalah bangunan prestisius lain selain Taman Mini yang dibangun atas perintah permaisuri Tien Suharto belum pernah kumasuki sampai sekarang, meski demikian aku sempat sering lewat dan mengintip ke dalamnya mengingat SMU ku letaknya hanya 300 meter dari situ.

PON I saja diadakan sekitar tahun 1948, tapi stadion Sriwedari kabarnya telah dibangun sejak awal abad 20 oleh pihak keraton. Tekstur tembok dan warna arena pertandingan itu selalu mengingatkanku akan batu di candi-candi, temboknya dari batu andesit besar, hitam dan tua. Sekitar 5 kali aku masuk ke stadion itu. 2-3 kali untuk upacara hari nasional, sekali untuk nonton barongsai, dan sekali untuk niatan main bola (hanya main sekitar 3-5 menit karena aku jadi cadangan dan datang telat). Stadion itu tergolong kecil dan tentu sekarang sudah tak layak untuk pertandingan kelas internasional (waktu aku SMP stadion itu masih dipakai untuk menjamu kesebelasan dari Thailand). Terakhir masuk di situ (untuk nonton Barongsai pertama kalinya pada Imlek 1999), rumputnya sudah banyak yang tidak hijau lagi tak rata, kursi penonton kelas tribun atau bahkan kelas VIP juga sudah terlihat lusuh. Dua hal yang agak membuatnya terhormat di mataku adalah lintasan lari berwarna merah bata serta dua buah menara lampu yang masih nampak gagah kalau dinyalakan pada malam hari, mungkin karena 2 hal itu jarang kulihat setiap hari.

Dulu stadion itu sempat diganti namanya menjadi Stadion Maladi untuk menghormati mantan Menteri Olahraga, kiper timnas PSSI dan pencipta lagi itu, tapi penggantian nama itu hanya bertahan sepanjang masa jabatan walikota Slamet Suryanto. Kini ia sudah kembali menjadi Stadion Sriwedari lagi. Ya, meski stadionnya tidak istimewa, Sriwedari tetap menjadi salah satu simbol utama kota Solo. Banyak kegiatan atau sarana-sarana umum lain didirikan di sekitarnya, seperti numpang ngetren meski sebenarnya tidak juga. Stadion itu dekat dengan taman budaya Sriwedari, aku tak tahu mana yang dibangun lebih dulu. Di belakangnya dulu pernah ada bioskop Solo theatre, lalu ada restoran internasional Boga, juga ada deretan kios-kios penjual buku bekas yang katanya termasuk yang terbesar di Indonesia, ada juga semacam pasar barang-barang seni dan kerajinan tangan seperti lukisan, pigura dan kerajinan samak kulit. Tragisnya, hampir semuanya bernasib sama, kian hari makin tersisih dan fungsinya makin menurun. Solo theatre sudah lama tutup, taman budaya hanya dipakai jika ada pertunjukan dangdut, para penjual buku bekas makin berkurang digantikan pengetikan, penjilidan, reparasi komputer, warung makan, RM Boga mungkin kadang masih sering dipakai menyelenggarakan perkawinan namun juga mulai tergeser oleh cabangnya yakni Wisma Boga di Solo Baru, hanya aku tak tahu dengan kios kerajinan seni tadi.

Duduk di salah satu tribun atau undak-undakan batu di Sriwedari, jarak pandang yang kita dapat terasa tidak terlalu jauh dari lapangan karena stadion itu memang tak begitu tinggi. Kalau kita naik ke tingkat teratas dari undak-undakan batu, yaitu bagian tempat duduk penonton yang tidak beratap, dengan melongok ke luar ke arah jalan sempit di bawah, kita bisa memperkirakan bahwa jaraknya dari tanah hanya sekitar 5 meter. Dengan jarak sedemikian, tentu tak sulit bagi mereka yang punya niat untuk memanjat masuk dari luar dan menonton pertandingan secara gratis. Oh ya, bagian belakang stadion itu juga sering dipakai untuk berlatih menyetir mobil, termasuk ketika aku mengikuti kursus menyetir yang sekarang ilmunya hampir habis tak tersisa hilang entah kemana. Semuanya makin membuktikan betapa vital lokasi di sekitar stadion Sriwedari itu.

Stadion Sriwedari kini nampaknya masih belum benar-benar ditinggalkan meski sudah ada stadion baru di Manahan. Setelah pertengahan tahun 1998, kemegahan stadion Manahan sempat terlupakan, bahkan sempat mangkrak cukup lama hingga lapangannya ditumbuhi ilalang setinggi manusia. Stigma bahwa bangunan itu adalah hasil karya rezim yang sempat dihujat habis-habisan itu nampaknya membuat masyarakat atau juga pemerintah daerah tidak berani mengutak atik apalagi mengoperasikannya. Mungkin mereka takut jika berani memfungsikannya kembali akan disebut sebagai tidak reformis dan sebagainya. Aku dan cukup banyak orang waktu itu sesungguhnya merasa agak sayang melihat disia-siakannya fasilitas tersebut. Betapa tidak, komplek olahraga Manahan bukan hanya memiliki lapangan sepakbola saja, ada velodrome untuk balap sepeda, ada lapangan basket, voli, atletik, mungkin ada yang lain lagi di dalam yang tak terlihat dari luar olehku.

Terbengkalainya kondisi Manahan juga dipengaruhi oleh bubarnya Arseto dan makin tak jelasnya prestasi Persis. Alhasil, beberapa tim dari luar kota yang tak memiliki stadion silih ganti berdatangan untuk menggunakan stadion tersebut sebagai kandangnya. Tim-tim macam Pelita Jaya (atau Pelita Bakrie atau Pelita Krakatau Steel atau apapun namanya) juga Persijatim, keduanya berasal dari Jakarta namun banyak dicuekin oleh warga Jakarta, melihat peluang itu. Diawali dengan Pelita Jaya dan diikuti Persijatim, merekapun tiba-tiba mengaku sebagai timnya wong Solo, cukup hanya dengan ‘minta ijin’ pada pemda dan mencantumkan kata Solo di depannya (jadilah ada tim bernama membingungkan: Persijatim Solo FC, singkatan dari Persatuan Sepakbola Indonesia Jakarta Timur Solo Football Club). Namun demikian keduanya tidak pernah tinggal di Solo karena homebase mereka tetap di Jakarta, jadi hanya ketika bertanding saja mereka ke Solo, memakai stadion Manahan dengan didukung ribuan supporter asal Solo yang menamakan diri Pasopati. Dua buah tim yang di ibukota kalah pamor dengan Persija itu sempat bergantian menghabiskan beberapa tahun memakai Manahan sebagai kandang mereka, namun karena hal itu tak banyak mempengaruhi prestasi mereka, pindahlah mereka ke kota-kota lain seperti sebuah sirkus keliling. Warga Solo penggemar sepakbola nasional, terutama Pasopati baru merasa telah ditipu dan diperalat setelah kedua tim yang pernah mereka dukung habis-habisan itu pergi meninggalkan mereka begitu saja. Merekapun sempat berjanji tak akan menerima tim luar kota yang hanya mau ngekost di stadion mereka lagi.

Stadion Manahan juga kerap dipakai untuk acara-acara selain sepakbola. Ada acara konser musik dari artis-artis ibukota macam Dewa, juga acara konsernya band-band Aksara Records tempo hari. Namun Manahan sepertinya juga masih belum bisa menggantikan Sriwedari karena beberapa artis macam /rif, Ratu, Radja ketika manggung di Solo lebih memilih mempergunakan Sriwedari. Tapi bisa saja aku salah, mungkin itu karena harga sewa keduanya beda. Di televisi tempo hari aku juga melihat bahwa pertemuan penggemar VW tingkat nasional juga diadakan di situ. Hanya seingatku aku belum pernah mendengar ada acara balap sepeda yang memanfaatkan velodrome di stadion itu. Sementara itu aku belum mengecek apakah acara-acara keagamaan macam doa bersama atau kebaktian Kristen atau tabligh akbar pernah diadakan di situ. Untuk tabligh akbar sih biasanya diadakan di lapangan kota barat (sekitar 1 km dari situ), salah satunya aku ingat pernah diadakan di satu hari Minggu oleh Laskar Jihad, dkk dengan tema kerusuhan Ambon dan berakhir dengan konvoi melempari beberapa gereja. Untuk doa atau KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) yang biasanya diadakan oleh kalangan Kristen karismatik (yang di Surabaya pernah memakai stadion Tambaksari), andaikan belum pernah mungkin hanya menunggu waktu saja untuk diadakan di situ. Tentu acara mereka tidak akan berakhir dengan pelemparan namun kemacetan dan euforia selama beberapa hari hampir pasti terjadi. Meski levelnya beda, tapi lumayan sama-sama berpotensi mengganggu. Jika tak ada kegiatan, kompleks stadion Manahan itu terutama kalau hari Sabtu atau Minggu pagi juga cukup ramai dengan orang-orang yang berolahraga. Lari pagi, senam, sepeda-sepedaan, atau hanya sekedar ingin makan bubur dan makanan lain yang warungnya banyak bertebaran di depan stadion. Mungkin meniru Senayan, aku masih belum bisa membuat sebuah tebakan kenapa stadion selalu dikelilingi kios-kios di sekelilingnya. Aku kira tak perlu penjelasan berbelit atau penjelasan historis mengenai ini, mungkin motifnya ya cuma ekonomi saja.

Sebuah stadion lain yang juga mulai terkenal dan tentu tak kalah megah dengan Manahan dan Sriwedari adalah sebuah stadion basket. GOR Bhinneka yang letaknya masih di belakang stadion Sriwedari baru dibangun pada tahun 1990an. Inilah stadion olahraga yang aku rasa paling akrab denganku. Masa remajaku, di usia SMP terutama, memang sempat sering kulewatkan di tempat ini. Gedung basket yang termasuk termegah di Indonesia ini didirikan oleh swasta. Kalau dalam versi resminya, gedung itu dibangun oleh para pengusaha Solo pecandu basket yang masa mudanya memang pemain basket tim bernama sama Bhinneka. Bhinneka konon artinya keragaman, nama itu memang sepertinya dipilih sebagai semacam pembelaan diri namun juga pernyataan identitas dari tim basket yang didirikan oleh pecinta-pecinta basket yang hampir semua beretnis Cina itu. Itu versi resmi, namun aku juga percaya versi tak resmi yang diungkapkan ayahku. Adalah Halim Sugiarto atau Hong Me salah seorang pemain besar dalam dunia judi di Solo atau bahkan di Jateng atau di pulau Jawa ini, ayahku mendeskripsikan sosoknya ini seperti ini: “jika Hong Me itu punya uang cuma seribu, dia tetap akan bisa membeli atau membuat sesuatu yang harganya lima ribu, darimana empat ribu itu berasal tidak ada yang tahu selain dirinya sendiri.” Aku rasa informasi ayah yang juga sudah puluhan tahun berkecimpung dalam dunia itu lebih masuk akal dari versi resmi yang mengatakan dana pembangunan stadion yang konon kira-kira menelan lebih dari 6M itu adalah hasil patungan.

Gedung modern berwarna putih itu terakhir kali kukunjungi waktu masih SMU, namun dari televisi aku lihat bahwa isi dalam lapangan utamanya masih tak banyak berubah sejak dulu. Ketika bergabung dengan tim pembinaan Tunas (di bawah tim Junior), aku dan teman-teman waktu latihan memang lebih sering memakai lapangan yang di luar yang outdoor, kecuali jika hujan. Lapangan yang di luar memang sudah termasuk bagus dan bersih tapi tetap saja kami lebih suka kalau main di dalam. Aku sendiri waktu itu selalu merasa bisa main lebih baik, rebound lebih mudah didapat, tembakan lebih sering masuk jika main di dalam, meski kalau untuk lari lapangan di luar lebih enak karena sedikit lebih kecil. Dan perbedaan itu makin kentara kalau mainnya waktu siang hari yang panas. Aku sendiri paling suka papan pantul di dalam yang terbuat dari bahan gips transparan seperti yang di NBA. Dengan papan gips itu, pantulan bola akan lebih kesat, tidak akan sekencang pantulan di papan kayu, jadi kemungkinan masuk akan lebih terbuka. Bayangan siaran pertandingan NBA di TV juga semakin kuat dengan keberadaan lantai arena yang ada lapisan kayunya, seperti yang ada di televisi, oleh karena itulah kalau main di dalam biasanya juga akan disediakan bola yang lebih mahal, merek Spalding. Sebagai olahraga binaan bangsa Amerika, basket memang dalam perkembangannya makin banyak ditentukan oleh merek, dari sepatu, bola sampai bahan celana aku rasa semuanya itu bisa mempengaruhi permainan seseorang.

Kami sempat dilatih 3 pelatih, yang pertama seorang pelatih cukup senior (tua) tapi terlihat banyak pengalaman bernama Bambang Hermansyah (kini jadi pelatih tim Bhinneka putri). Aku sempat menyaksikan pak Bambang bermain dengan anggota tim veteran lainnya dan ia memang mengagumkan, meski rambutnya sudah memutih namun larinya lincah dan bahkan masih bisa membuat operan-operan tanpa melihat seperti Magic Johnson. Yang kedua seorang bapak-bapak keturunan Arab bernama Ahmad Syalabi. Syalabi adalah juga guru olahraga di SMA Warga yang kemudian ternyata aku ketahui juga memiliki profesi sebagai seorang wasit tingkat nasional. Syalabi tidak begitu kami sukai, namun ada yang lebih tak kami sukai lagi yakni Arifin. Pelatih bernama Arifin ini masih cukup muda, aku rasa waktu itu masih sekitar 28 tahunan. Alasan kami tidak begitu menyukainya rasanya hanya karena kami menganggapnya ‘kemaki’, padahal sebetulnya wajarlah namanya masih muda.

Yang khas dan belum berubah dari gedung yang stadion indoornya bisa menampung kapasitas sekitar 5000 penonton itu adalah temboknya yang diberi graffiti gambar pemain-pemain NBA. Dulu memang kelihatan keren, tapi aku rasa kini sudah agak terlihat norak dan terlalu 90’s. Apalagi pemain-pemain NBA yang gambarnya ada disitu sekarang sudah pada pensiun, mungkin oleh karena itu juga sekarang ada tambahan gambar salah satu pemain bintang mereka sendiri, I Made Sudiadnyana (Lolik) yang sekarang juga sudah hampir pensiun. Bagian-bagian lain yang menarik dari stadion itu masih ada lumayan banyak lagi. Mari kita telusuri pelan-pelan berdasar ingatanku atasnya.

Mari kita ke kantin dulu. Kantin GOR Bhinneka didominasi warna putih, membuat suasana terlihat bersih, dengan keramik mengkilat dan lampu yang terang benderang. Hanya harga makanan minuman disitu lumayan mahal. Dulu yang melayani pembeli adalah seorang ibu yang ternyata juga pemain basket veteran putri (mungkin diapun istri salah seorang pengurus). Yang sering kubeli tentu minuman paling murah yakni es teh, selain itu aku juga suka dengan pisang goreng coklatnya yang besar, sedang kalau ada uang lebih baru aku beli masakan terutama bakmoy, meski porsinya tak begitu banyak namun hangat dan enak disantap sehabis olahraga. Bagian kantin itu mungkin juga adalah bagian yang paling sering ditingkatkan tampilan interiornya. Dengan pintu dan jendela yang serba transparan, kita bisa duduk melepas lelah sambil melihat ke luar, ke arah lapangan outdoor maupun mengintip ke lapangan indoor.

Di dekat kantin ada lorong menuju ruang ganti pemain dan juga ruang konferensi pers. Lengkap memang. Ruang ganti pemain sendiri tidak begitu besar, hanya ada tempat duduk dan kamar mandi. Seingatku waktu itu juga tidak ada loker-loker seperti di ruang ganti di luar negeri, entah sekarang. 2 ruangan itu tidak pernah kulihat ketika dipakai dan aku juga hanya beberapa kali saja numpang lewat atau numpang kencing di kamar mandi pemain itu. Di luar ada sebuah bangunan yang bersebelahan dengan lapangan outdoor. Lantai dua dari bangunan itu adalah kamar mess pemain. Tak begitu besar, aku pernah mengintip di dalam kamar pemain waktu itu hanya ada deretan ranjang dan kasur saja, seperti di Panti Asuhan atau semacamnya. Di lantai satu, kami pernah beberapa kali diajak entah pak Bambang atau Arifin menyaksikan video teknik permainan, highlight atau video latihan basket bersama Magic Johnson. Semua video itu keluaran NBA jadi cukup menarik dan membuat kami para remaja betah menontonnya. Itulah beberapa bagian tambahan yang cukup menarik yang ada di GOR Bhinneka. Bagian-bagian lain seperti lorong-lorong yang mengelilingi gedung tentu tetap memiliki tempat tersendiri di ingatanku, tapi akan terlalu banyak jika kuungkapkan semuanya disini.

Sama halnya dengan stadion sepakbola, GOR Bhinneka juga sering dipakai untuk menyelenggarakan kegiatan yang bukan basket. Bulutangkis Indonesian Open pun diselenggarakan disini, cukup dengan melapisi lantai dengan karpet warna biru, jadilah lapangan badminton kelas internasional. Selain itu, di gedung tersebut aku juga sempat menyaksikan sebuah pertunjukan atraksi murid-murid Shaolin yang benar-benar datang dari biara di negeri asalnya. Meski aku kesana atas sedikit desakan dari ayah, bersama sepupuku aku cukup menikmati atraksi mereka menyiksa diri demi tepuk tangan penonton. Acara lain, seperti biasa adalah acara keagamaan. Acara konser artis rohani Kristen, meski dengan gaya anak muda ibukota. Aku tak ikut menghadirinya tapi kurasa mengingat siapa pemiliknya, agak sulit rasanya untuk dai-dai atau ustad ustad mengadakan acara keagamaan mereka di gedung itu.

Untuk gedung olahraga terakhir di Solo yang harus kusebut, aku punya 2 kandidat. Yang pertama SKB Semanggi dimana aku sempat selama setengah tahunan, 2 kali dalam seminggu berlatih sebuah ilmu beladiri bernama kateda. Yang kedua adalah GOR Kepatihan dimana disitu aku pernah mengikuti ujian kenaikan tingkat kateda dan menghadiri sebuah acara keagamaan. GOR Kepatihan adalah lapangan basket yang sudah lama dan jelas semakin kalah pamor dengan GOR Bhinneka, bangunannya sudah agak reot dan terkesan lusuh, meski demikian kadang masih dipakai untuk beberapa kegiatan. SKB Semanggi adalah sebuah gedung badminton yang juga dipakai untuk tempat pertemuan atau rapat. Entah darimana Ernest, temanku yang usianya lebih tua 2 tahun dariku (waktu itu aku masih SMP) mendapatkan bangunan itu untuk menyelenggarakan latihan katedanya. Kateda memang ilmu beladiri yang agak aneh, jurus-jurusnya hanya dinamai dengan angka, jumlahnya pun sedikit. Yang menjadi prioritas dalam beladiri ini adalah pernafasan dan pada gilirannya pernafasan itu nanti akan diatur sehingga bisa membuat perut, ulu hati, lambung, punggung, tangan, kaki bahkan batok kepala menjadi seakan mati rasa. Jadi latihan kami adalah dengan memukuli bagian-bagian tubuh dari pelatih-pelatih kami, tergantung dari tingkatannya, seorang master bahkan merelakan kepalanya menerima hujan tinju dari murid-muridnya dalam pemanasan.

Di satu sisi, pengaruh SKB Semanggi bagi diriku juga agak seperti yang dibawa di GOR Bhinneka. Aku juga menjalani masa pencarian identitasku lewat latihan-latihan kateda yang merupakan olahraga selanjutnya yang kutekuni setelah basket. Meski aku tak melanjutkan sampai tingkat yang tinggi karena dilarang oleh takhayul keluargaku (mereka menganggap latihan itu mengandung pemujaan setan), sekarang aku baru melihat bahwa olahraga yang kepopulerannya hanya seumur jagung itu memiliki unsur-unsur yang seperti pelatihan leadership praktis, walau kadang juga MLM (dalam hal kesatuan sebagai komunitas dan mengajak orang lain menjadi anggotanya). Betapa tidak, Ernest dan pelatih-pelatih lain waktu itu rata-rata umurnya masih 16-17 tahun tapi mereka memimpin teman-teman atau murid-muridnya sendirian (peserta pernah mencapai 20an), dan latihan kami memang serius. Ayahku pun sempat meremehkan begitu mengetahui bahwa yang melatihku adalah teman sendiri. Biarlah, yang jelas paling tidak aku pernah memiliki tubuh yang kuat untuk push-up tangan menggenggam hingga 150 kali, juga sit up dan lari keliling lapangan secara berturutan.

Semua kenangan akan olahraga memang lebih banyak terjadi di Solo. Ketika di Surabaya, kian hari aku makin tidak bersemangat untuk berolahraga. Namun bagaimanapun, meski sebentar aku masih sempat mengunjungi dan berolahraga di beberapa stadion di Surabaya. Yang pertama adalah di Stadion basket Go Skate Tunjungan. Stadion tua yang kalau tidak salah kini sudah digusur itu aku datangi dalam rangka mengikuti BOM (Bulan Olahraga Mahasiswa). Karena sebelumnya sudah merasakan sering main di stadion mewah macam Bhinneka, kesanku akan Go Skate adalah kotor dan jelek. Gedung itu juga agak panas dan seperti sudah tidak dirawat lagi, terutama jika kau melihatnya dari tempat parkir Tunjungan Plaza, seperti gedung yang tak terpakai saja. Keikutsertaanku di acara tahunan kampus BOM sendiri terjadi 2 kali sebagai cadangan, aku memang sempat bermain di beberapa game, masing-masing hanya beberapa menit dan cuma membuat 2 poin. Go Skate sendiri sebenarnya tergolong besar. Selain lapangan basket, aku pernah menyaksikan latihan tinju maupun kickboxing diadakan di lantai bawahnya.

Go Skate sepertinya memiliki nasib yang agak mirip dengan Sriwedari, hanya Sriwedari selain lebih tua juga dianggap lebih mengandung nilai kesejarahan, apalagi yang membangun juga beda (keraton), maka Sriwedari pun sejauh ini masih bertahan karena cukup banyak yang ingin mempertahankannya. Untuk kasus Go Skate, penggantinya adalah GOR Kertajaya. GOR itu terletak di jalan Kertajaya tentunya, di daerah pemukiman elit meskipun sekali lagi masih kalah bagus dengan Bhinneka. Seingatku aku hanya sempat sekali saja masuk ke dalamnya, hampir dua kali seandainya tiket menonton Harlem Globetrotters tidak demikian mahal. Tapi aku tidak kesana untuk berolahraga atau menonton pertandingan olahraga, aku malah kesana dalam rangka diajak teman untuk sebuah KKR gereja. Sempat heran juga begitu melihat bagian dalam gedung itu tidak sebagus apa yang terlihat dari luar. Karena aku duduk di bagian tribun, rasa kurang puas semakin terasa, lagi-lagi karena aku membandingkannya dengan Bhinneka. Di Kertajaya bagian tribunnya jauh lebih kotor, tidak diberi ubin keramik seperti di Bhinneka tapi hanya lantai cor beton saja, penerangannya juga kurang, bagian belakang (tribun paling atas) lebih pendek dari Bhinneka sehingga kita bisa melihat ke arah lapangan dengan lebih jelas, yang agak enak ialah adanya jendela yang membuat kita bisa melihat ke arah jalanan dan merasakan angin malam, tapi jendela itu juga kotor dan lusuh sehingga gedung itu sesaat lebih mengingatkanku kepada GOR Kepatihan. Akupun makin percaya dengan kisah pembangunan GOR Bhinneka versi ayahku.

Stadion, GOR, Gelora, arena, atau apapun namanya aku dengar adalah peninggalan arsitektur Romawi, dengan patron yang bisa dilihat di Amphitheater atau film Gladiator. Bahkan ruang nonton TV di banyak rumah pun katanya juga menganut sistem peninggalan budaya bangsa yang pernah adidaya ini, yaitu dalam hal posisi arena diganti oleh kotak TV. Perancang arsitektur itu jelaslah sangat cerdas, terutama dengan kemampuannya mengatur agar penempatan arena atau lapangan bisa dilihat oleh semua penonton. Dan undak-undakan tempat duduk penonton itulah salah satu masterpiecenya, kita kini juga tahu jika sistem tersebut tak pernah berubah dan selalu dipakai sejak berabad-abad lalu. Lalu bagaimana dengan keberadaan TV sendiri, sejauh mana ia mempengaruhi atau mungkinkah ia bisa mengubah sistem yang telah dipakai berabad-abad itu? Kita bisa melihat bahwa arena-arena pertandingan seperti lapangan sepakbola, basket, ataupun konser musik kini juga telah dipasangi layar televisi raksasa agar penonton dapat melihat dengan sajian tontonan utamanya. Di rumah, jika penempatan televisimu memang di tengah-tengah ruangan atau di tempat yang bisa dilihat dari semua sudut, ketika kita melihat sebuah pertandingan bola, bisa dibilang kita malah telah mempraktekkan sistem purba itu dua kali. Hanya saja sampai saat ini aku belum pernah menyaksikan sebuah pertunjukan di stadion yang memasang layar raksasa, jadi akupun membayangkan mana yang akan lebih banyak kulihat? Layar raksasa di pojok yang memungkinkan aku melihat pertunjukan dengan lebih jelas ataukah aku akan melihat langsung ke arena/lapangan walau mungkin tidak jelas. Jadi sekarang, mana yang lebih hebat? Penemu sistem arsitektur stadion atau penemu televisi?

0 Responses to “Stadion Olahraga”

Posting Komentar


Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!