Bukan karena terpengaruh tuduhan sebagai pembawa virus toksoplasma yang menyebabkan saya tidak suka kucing, tapi mungkin lebih karena sejak kecil saya lebih terbiasa memelihara musuhnya kucing; anjing. Saya juga sulit menikmati enaknya memelihara kucing, apalagi mengagumi keindahannya.
Pernah sih waktu kecil dulu mencoba memelihara, juga merasakan saat bulu-bulu kucing yang menutupi tubuhnya yang singset (biasanya) itu sengaja disentuhkan oleh si kucing ke kulit kaki saya. Sangat manja dan mengingatkan saya pada sifat egois atau juga perilaku narsis. Saya lalu jadi ingat pada ungkapan 'meong' (juga 'miauw') yang diasosiasikan dengan sikap manja wanita atau ajakan berkonotasi seks (seperti salah satu iklan jaman dulu), pastinya itu diambil dari sikap kucing yang satu ini. Bulu kucing sendiri memang sangat halus, hangat, bikin agak geli dan cukup nyaman juga. Jika saya angkat tubuh kucing yang ringkih, yang serasa bisa saya patahkan kapan saja, nuansanya juga sangat beda dengan mengangkat anjing (bahkan anak anjing sekalipun). Artikel yang saya baca kemarin menyatakan kalau membelai kucing bisa mengurangi stres, sedangkan Aldous Huxley juga pernah menyarankan untuk memelihara sepasang kucing (terutama kucing Persia) sebagai semacam tips agar kita bisa menulis. Artinya, di beberapa sisi, kucing punya keunggulan dibanding anjing. Walau begitu, sampai kini saya masih tak suka kucing.
Ada banyak kucing di (sekitar) rumah saya, entah darimana mereka semua datang, yang jelas di mata saya mereka hanyalah kucing-kucing pencuri yang suka bikin ribut saja. Kucing-kucing itu jumlahnya mungkin sekitar lima sampai enam ekor, ada yang besar dan ada yang kecil, rata-rata semua selalu lari kalau didekati. Saya dan keluarga juga selalu berusaha mengusir mereka, biasanya dengan menyiramkan segayung air tanpa tahu apakah itu bisa membuat bulu mereka jadi basah atau tidak. Yang jelas kalau udah begitu, mereka segera lari. Namun, akhir-akhir ini guyuran air sudah makin tak berkhasiat. Saat lomba mengerang tengah malam atau upaya mengendap-endap ke dapur diinterupsi dengan semburan segayung air (biasanya air cucian atau tumpahan air keran yang bocor), paling-paling hanya butuh waktu sekitar dua menit untuk mereka menyambung acaranya lagi. Maka, kadang saya harus menyempatkan berlari mengejar mereka sampai agak jauh. Tentu saja saya tak akan dan tak berminat untuk menangkap mereka, meski demikian cara itu lumayan efektif, kucing yang saya kejar biasanya butuh beberapa jam untuk kembali lagi ke rumah saya. Tak tahulah apa yang membuat mereka begitu lama.
Kucing memang mahluk yang cukup misterius. Fisik mereka beda dengan anjing, ukuran kucing yang pernah saya lihat paling juga segitu-segitu saja, rata-rata mereka relatif terlihat tak berbahaya. Bandingkan dengan anjing yang posturnya ada yang sebesar manusia. Nyatanya, banyak juga yang memiliki ketakutan dengan kucing, dan anehnya ketakutan tersebut serupa ketakutan akan kuburan atau tempat yang dianggap angker, yang berbau ngerinya kematian. Biasanya yang ditakuti terutama kucing yang memiliki mata besar, ujungnya lancip dan bercahaya (biasanya hijau atau merah), ciri lainnya adalah kucing yang berbulu hitam mengkilat, apalagi kalau ia sudah menggeram, memperlihatkan taring-taring kecilnya, seakan mahluk itu bisa menyakiti dan bahkan memangsa manusia yang ketakutan tersebut.
Pengaruh film mungkin cukup signifikan, namun kemunculan kucing-kucing hitam yang jadi peliharaan nenek sihir di film-film horor itu juga bukan tanpa sejarah. Yang paling gampang kita lihat yaitu sejarah Mesir. Di piramid peninggalan bangsa Mesir kuno, kita bisa lihat Bast, kucing peliharaan dewa Ra, dewa matahari yang merupakan dewa tertinggi mereka. Bahkan bukan hanya di Timur Tengah yang juga terkenal dengan ras kucing Persianya saja, kita juga mendapati bangsa Jepang yang menaruh penghargaan khusus pada hewan karnivora ini. Semua pasti tahu Maneki Neko, hiasan kucing melambai di toko-toko/restoran yang dipercaya bisa mengundang rejeki (konsumen) untuk datang. Meski menurut kabar, sejarah kemunculan mitos itu berawal dari kucing yang sebenarnya sedang menjilati kakinya di sebuah kuil, dan oleh seorang pahlawan bangsa Jepang gerakan itu seperti sedang melambai. Ketika lambaian kucing itu ia turuti, dan si pahlawan masuk ke dalam kuil, ia pun terselamatkan dari badai yang datang sesaat kemudian. Meski demikian, konon jika ada kucing yang melakukan gerakan tersebut (sering juga dianggap gerakan membersihkan muka), bangsa Jepang juga menganggapnya sebagai pertanda rejeki. Saya pikir di titik ini, penghargaan bangsa Jepang terhadap kucing adalah melebihi bangsa Mesir karena pengaruhnya sudah masuk ke bidang ekonomi. Jangan lupa juga karakter-karakter kucing di komik-komik Jepang macam Doraemon, Hello Kitty atau Sailormoon, dll. Meski tak menutup kemungkinan ini terjadi karena bangsa Jepang lebih bisa mempertahankan budayanya daripada bangsa Mesir.
Contoh lain yang agak nyerempet mungkin budaya bangsa Cina (dan India) yang menaruh penghormatan terhadap 'nenek moyang' kucing yakni harimau. Mungkin ini karena tradisi Buddhist, yang menempatkan harimau sebagai lambang kekuasaan atau kekuatan. Tapi sesungguhnya, untuk yang ini, saya masih belum yakin apakah itu karena pengaruh Buddhisme atau budaya asli kedua bangsa itu yang mempengaruhi Buddhisme? Yang pasti, mereka juga punya tradisi penghargaan terhadap mamalia spesies ini.
Bagaimana dengan bangsa lain? Mitos bangsa Barat bahwa berpapasan dengan kucing hitam dari sebelah kiri sebuah persimpangan akan membawa sial saya duga berasal dari tradisi Mesir kuno tadi. Mitos lainnya adalah bahwa kucing punya sembilan nyawa. Lagi-lagi kucing dikaitkan dengan kematian. Dalam budaya pop, ada yang menyebut profil Catwoman dan Felix the Cat memiliki kemiripan profil dengan Bast, si kucing Mesir tadi.
Lalu Indonesia? Saya masih belum tahu kalau ada budaya suku-suku di nusantara ini yang punya tradisi semacam itu terhadap kucing, namun saya bisa bilang kalau di Indonesia terbilang agak sepi (atau kurang terkenal). Hewan-hewan mistis di Indonesia (atau Jawa, karena budaya ini yang paling saya kenal) yang terkenal adalah ular, babi, buaya, kera, atau bangsa unggas. Mungkin ada sedikit mitos tentang harimau, seperti manusia harimau, harimau jadi-jadian, dll yang terutama lebih subur di daerah Sumatera. Sekali lagi, dugaan saya, itu karena pengaruh India (Buddha) tadi, mengingat Sumatera adalah bekas pusat budaya Buddha yang jaya di zaman kerajaan Sriwijaya. Namun, saya kira, di Indonesia atau terutama Jawa, kucing memiliki kedudukan yang lebih terhormat daripada anjing. Contoh gampang bisa dilihat pada umpatan, umpatan 'Asu!' atau 'anjing kau' sebagaimana 'babi kau' adalah yang paling kasar, ini saya kira karena anjing dan babi dianggap hewan yang paling rendah martabatnya. Mungkin ini karena pengaruh budaya Islam (atau Arab dan sekitarnya). Semua tahu bahwa babi dan anjing dalam ajaran Islam termasuk hewan haram atau najis. Sedangkan kucing dikisahkan adalah salah satu hewan kesayangan Muhammad, namanya Muezza. Maka wajar saja kalau di masyarakat mayoritas muslim ini, kucing diberi kedudukan terhormat, malas-malasan tapi tetap dipelihara, juga tidak ada (atau jarang) orang yang berani membunuh atau menyembelih kucing untuk dimakan, bahkan jenis garangan (sebutan untuk kucing liar yang suka nyolong di desa-desa) sekalipun.
Untuk masalah koloni kucing di sekitar rumah saya tadi, ada yang bilang itu adalah kebiasaan kucing-kucing rumahan (jadi bukan kucing liar). Biasanya itu disebabkan karena adanya sumber makanan, atau paling tidak aromanya, mengingat kucing memiliki indera penciuman yang sangat tajam. Jadi, lokasi ngetem mereka biasanya di sekitar rumah makan, pasar ikan, dsb. Artinya, rumah saya sepertinya telah mendapat 'kehormatan' untuk ditahbiskan kucing-kucing sebagai rumah yang paling banyak makanan/yang penghuninya paling sering masak di lingkungan saya. Padahal, menurut saya tidak juga. Tapi kalau memang benar begitu, jelas salah satu cara membubarkan koloni kucing itu adalah dengan mengurangi makan/masak daging. Tapi apakah kami harus mengalah demi kucing? Itu yang sulit. Meski demikian saya tetap
merasa beruntung hidup di Indonesia, karena saya dengar di satu negara Barat (mungkin Amerika) ada 'tim advokasi' yang khusus membela keberadaan koloni kucing tersebut, tujuannya agar manusia tidak membubarkan arisan kucing tersebut seenaknya.
Itulah kucing, saya pribadi tak begitu suka dengan kucing karena perilakunya yang terkesan pemalas dan seenaknya sendiri itu. Kucing saya kira juga hewan yang suka menaruh curiga. Bisa dilihat betapa ia sangat tidak suka dimandikan dengan air, namun sebaliknya ia sangat suka 'mandi' dengan cara menjilati tubuhnya (kadang begitu ekstrim hingga sampai bisa ada segumpal bulu yang menyangkut di tenggorokan/perutnya). Meski masih diperdebatkan, kucing katanya juga mudah dilatih. Terutama dilatih untuk buang air. Beda dengan anjing, hanya butuh waktu sebentar untuk kita mengajari kucing agar buang air di kotak atau tempat yang telah disediakan. Bahkan, ada yang bilang ia bisa dilatih untuk buang air di kloset (hambatannya hanya pada aroma WC itu sendiri). Para pembela kucing juga menyebut perilaku kucing saat bermain-main dengan bola adalah mencerminkan intelektualitasnya, karena saat itu kucing seakan sedang meneliti bola tersebut, mereka akan memutarnya, mencoba berbagai posisi, bagaimana jika bola itu dibeginikan atau dibegitukan, dsb. Seperti halnya seorang ilmuwan. Pada akhirnya, mungkin Huxley memang agak bercanda dalam esainya tentang memelihara kucing agar bisa menulis tadi, tapi kali ini, saya tidak bisa bilang juga apakah sarannya kurang tepat. Soalnya saya masih tidak memelihara kucing untuk menulis sedikit ringkasan tentang hewan ini, tapi katanya juga benar, kucing memang inspiratif.
* : sumber memang kebanyakan dari wikipedia
Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...Panas! Tahun lalu aku kira pernah bilang yang serupa di sini. Panas! Mungkin juga agak beda, sebab kini hawa di kota ini benar-benar kembali menjadi bangsat. Panas! Bukan hanya di pikiran, mata, kepala, bibir dan tenggorokan yang mengering dengan lekas. Panas! Susah bayangkan mereka yang sebelumnya telah rasa begitu panas. Panas! Saat dingin malam tiba, waktu ingat rumah, sanak dan/atau kerjanya yang ilang, terampas! Panas! Tak ada nyali, tak ada yang peduli. Panas! Lebaran tak ada libur, impotensi ancam pikiran apalagi perbuatan, sulit sekali lepas walau tahu mana yang lebih baik. Panas! Minum Coca Cola, sedikit lega di leher tapi serik di mata dan telinga. Panas! Kalau sudah begini, sendiri makin benci, maunya cuma lari pergi.
Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...