Aku sangat ingat kapan dan dimana aku mulai mengenalnya. Dari Djohan, kawanku, aku mengenal Ladytron tahun lalu. Sebenarnya ia tidak mengenalkan atau merekomendasikannya secara langsung. Aku toh cuma mengambil sebanyak mungkin koleksi lagu yang ia punya tapi aku belum punya. Namun, saat file-file itu masih di komputernya, aku rasa aku hanya mendengarkan sekilas saja. Mendengarkan lebih cermat terjadi di warnet tempat si Djohan mendownloadnya dengan memakai teknologi limewire. Folder yang rupanya belum terhapus, aku dengarkan isinya dan tertegun sejenak. Reaksi yang pernah beberapa kali aku rasakan sebelumnya, hampir sama waktu pertama kali aku mendengar Kelly Dayton, Emiliana Torrini, Siobhan de Mare, saat melihat langsung suara Risa dan bisikan Dina berpadu dengan laptop Dea, juga beberapa lainnya.
Ladytron, mungkin gabungan dari kata Lady dan Elektronik(a). Dua kata ajaib yang akan segera menarik perhatianku jika dihubungan dengan musik. Suara vokal wanita dan elektronika. Benar itu yang kudapat dari mendengarkan mereka. Semula adalah "International Dateline" saja. Saat itu dan bahkan hingga kini, aku seakan terbawa ke satu malam muram meski penuh hiasan lampu jalanan, dalam kecepatan konstan, di situ duduk kegetiran yang berbaur kekesalan dan bayangan banyak kejadian. "Let's end up here.." merasuk lembutmengiringi roda yang sama sekali tak berniat berhenti.
Di lain hari, hadirlah "Destroy Everything You Touch", yang bahkan kuabadikan sebagai lagu tema di usia yang ke dua puluh lima. Pertama kali aku membayangkan sebuah diskotik di Rusia, Norwegia, Islandia (dan malah bukan Ibiza) atau tempat yang sejujurnya jarang kulihat sekalipun lewat tivi. Berdansalah dengan marah. "Destroy everything you touch today, please destroy me this way.. Everything you touch, you don't feel, do not know what you steal" tak pernah aku bosan hingga setahun ini. Juga sesudah itu, "Blue Jeans" dengan "an insect living in my memory", "Seventeen", "Playgirl" yang kelam. "Why do you dancing in tommorow's world" tanyanya, serta "Evil" yang membawakan beberapa dansa kecil. Dan aku masih belum paham kenapa aku tak begitu 'in' dengan beberapa lagu yang kudapat secara terpisah, bukan yang ikut dalam kumpulan pertama dari Djohan. Maksudku lagu tema X-Men dan lainnya. Mungkin cuma remix dari Interpol yang kusuka. Aku rasa itu karena kualitas suaranya.
Ladytron bukan hanya Mira Arroyo, sebuah nama yang segera mengingatkan pada Filipina. Bukan, ia bukan orang Filipina, mudah sekali pikiranmu kutebak. Aku tahu ia dari Bulgaria, dan oleh karenanya sampai ada lagu berjudul "CSKA Sofia". Tapi itu tak begitu penting. Gaya apa yang mereka bawa, robot-robot atau patung-patung, aseksual dan seragam militer ah barangkali penggambaran tentang manusia-manusia pucat yang tanpa ekspresi dalam dunia yang membingungkan. Alienasi. Apapun itu, aku suka. Aku tersentak saat sebuah kabar mengatakan bahwa mereka akan segera datang ke Jakarta di sebuah acara. Tapi ternyata batal. Tak ada cerita-cerita dan kegairahan seperti saat Kings of Convenience datang. Wah, Adri Subono saja sering mendapat kabar konser yang batal, apalagi mereka yang tanpa liputan gencar ini. Kenapa? Konteksnya beda ya? Biar saja.. Tapi kenapa bukan dia saja yang mempromotori kedatangan Ladytron? Kita semua tahu jawabnya. Oh, siapa sih yang membawa Prodigy dulu? Aku rasa bukan dia. Sudahlah, tapi saat itu aku rasanya tidak terlalu kecewa atas kebatalan mereka datang. Mungkin perasaan sesungguhnya baru ada saat membaca sebuah resensi. Ternyata aku sama sekali tak sendiri. Memang aku tahu bahwa ada banyak yang menggemari mereka, buktikan saja di myspace atau youtube. Hanya saja selama ini tak banyak yang mengatakannya.
Dentuman-dentuman dan suara bisikan dengan dialek yang khas masih terus bersamaku. Misterius? Entah. Hidup pun makin tak bisa dibedakan dari panorama ketika roda melindas jalanan dengan kecepatan tinggi namun dalam putaran yang tetap. Aku mencoba mengambil sedikit tampilan dan terutama imajimu, tapi hingga kini masih juga tak tahu caranya.
0 Responses to “Imagining Ladytron”