perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


Sekedar Ngeblog

Mau mulai dari mana ya? Libur 17an kemarin aku tidak kemana-mana, di rumah saja. Tapi, itu bukan berarti liburanku kemarin membosankan, malah aku sebenarnya cukup menunggu saat-saat itu, terutama untuk membaca buku-buku yang makin banyak yang baru dibaca separuh, seperempat, bahkan beberapa halaman saja.

Ya begitu saja, kejadian cukup menarik baru terjadi hari ini dan kemarin, atau mungkin mulai dari beberapa hari lalu juga. Info saja, sejak bulan Juli aku kembali sibuk mencari dan mengirim lamaran-lamaran demi memburu batas usia meniti karir yang katanya harus sudah didapat waktu usia 28 tahun. Jadi kurang dari 3 tahun lagi. Memang, puluhan lamaran sudah aku kirim, semuanya lewat email. Entah apakah karena via email itu pula maka sejauh ini baru ada satu yang menanggapi (dan langsung batal setelah tahu aku tidak tinggal di Jakarta). Tapi aku masih ragu kalau mengirim via pos, aku masih terbayang saat dulu melihat satpam yang mensortir lamaran sekarung. Lagipula seharusnya kalau lewat email bisa disort dan bahkan search, jadi mestinya email lebih efektif. Itu bayanganku, aku sendiri ragu apa itu benar.

Oke, jadi begini, Jumat kemarin waktu sedang libur di rumah; main game di komputer dan mereka-reka kompilasi plasylist di winamp, tiba-tiba mamaku datang. "Kowe gelem, jare tantene kono ning Luwes lagi golek cung guo ren es satu, dadi manajer.." Seperti biasa, info lowongan kerja yang dibawa mamaku tidak pernah info yang kusukai. Beberapa kali ia membawa info untuk kerja di bank dan sejenisnya. Aku tahu ia bermaksud baik, tapi mama nampaknya memang belum juga paham bahwa aku tak mau kerja di kota ini, dan bahwa bukan karir seperti itu yang kuinginkan dan kuminati. Aku pun bereaksi negatif seperti biasa. Namun, kali ini lama-lama aku melunak. Info dari tantene, -- sebuah sebutan yang diberikan oleh mama kepada belasan wanita, etnis Tionghoa, usia paruh baya atau lansia, yang sudah sering mengobrol dengan dia, tapi tanpa tahu siapa namanya -- itu mengatakan bahwa Luwes group, sebuah perusahaan keluarga yang bergerak di bidang usaha toserba di Solo, akan membuka cabang baru di wilayah Nusukan, dan bosnya yang kenal dengan tantene tadi itu bilang bahwa ia sedang butuh manajer, syaratnya cung guo ren dan es satu.

Aku memberi isyarat tidak menolak. Kali ini motivasiku secara jujur adalah murni uang, meski aku juga ragu karena aku tahu pemilik Luwes itu orang kuno, yang seringkali pelit. Mama bersemangat dan lansung menelpon tantene, seorang wanita seumuran mama yang membuka toko kelontong di dekat rumah, yang "bojone kerjo nggon Ajinomoto", kata mamaku. Aku berharap mama menelpon dan bisa menambah info lebih mengenai persyaratan, misalnya: lulusan manajemen, pengalaman dimana selama sekian tahun, dll. Ternyata si tantene tadi juga hanya memberi tambahan informasi alamat rumah si pemilik Luwes itu. Datang saja kesana.
Mamaku nampak sudah cukup puas dengan info itu sementara aku kembali marah-marah dan menunjukkan keengganan dengan lowongan tersebut.

Esok paginya, sejak pagi hingga siang mama sudah pergi. Aku sudah punya firasat tak enak. Benar, mamaku datang ke rumah si pemilik Luwes itu. Aku merasa cacat. Entah apa yang ia bicarakan dengan si pemilik luwes, seorang wanita keturunan Tionghoa, katanya berusia sekitar 60an tahun, yang bedanya kali ini tidak disebutnya dengan istilah tantene. Mungkin kalau orang kaya tidak masuk kriteria mamaku akan sesosok tantene untuk anaknya. "Kowe teko o Rebo, nggowo surat-surat.." Waktu itu, aku terlampau kecewa dengan tindakan mama yang membuatku seakan cacat itu. Aku kembali marah sebentar, aku menyatakan kalau aku tak tertarik kerja di bidang-bidang dagang seperti itu, apalagi di Solo, sengaja kukatakan agar mama kecewa. Selanjutnya aku bertekad tak akan mau membahasnya sampai menjelang hari Rabu, tujuanku agar mama tahu aku kecewa dengan langkah yang ia tempuh (meski sekali lagi, maksud mama tentu yang terbaik untuk anaknya), aku berlagak seakan tak mau datang pada hari Rabu, tak mau menanyakan apapun tentang pertemuannya tadi, meski dalam hati aku sangat penuh pertanyaan.

Selasa malam aku baru tanya. Waktu itu, aku menjelaskan bahwa mama seharusnya tidak usah ikut-ikutan dalam hal ini. Biar aku saja yang kesana dan mengurusnya sendiri. Tak lupa aku bilang bahwa aku sebenarnya tak begitu tertarik dan sangat sangat ragu akan memenuhi kualifikasi, walau seandainya si pemilik Luwes sangat percaya bahwa semua orang Cina pasti bisa dagang sekalipun. Tapi dalam hati aku ingin juga mencoba, siapa tahu ada pengalaman menarik kudapat, toh aku tak rugi apa-apa, cuma di dalam kota.

Rabu aku ke kantor agak rapi, rencananya pulang kantor langsung ke rumah si pemilik Luwes. Mama memang sudah dikenal keluargaku bukan navigator yang baik. Dalam memberi denah rumah ia hanya mengatakan bahwa rumahnya adalah rumah paling besar di sepanjang jalan itu. Aku desak soal warna sepertinya ia sudah lupa. Ternyata memang tak sulit, rumah itu memang yang paling besar, karena bangunan lain yang besar adalah sebuah stasiun pemancar radio. Letaknya di pinggir sungai yang kotor, di depan perumahan kumuh. Ah, mungkin itu rumah turun temurun yang awalnya tidak sebesar itu. Setelah menemukan, aku masih merasa kurang dan aku hubungi rumah untuk menanyakan siapa nama tantene yang jadi referensi ku itu. Mama benar-benar tak tahu. Sebelumnya ia sudah diberitahu dan sudah mencatat nama suaminya, tapi kertasnya terselip entah kemana. Katanya aku akan dihubungi kalau sudah ketemu, ternyata mama sampai harus datang ke toko si tantene itu. Kalau aku, tentu akan sangat aneh, orang yang sudah cukup akrab dan sering ngobrol, tiba-tiba datang hanya untuk bertanya, "Eh jenengmu sopo?" Memang begitulah.

Setelah nama kudapat, aku tiba di rumah besar itu dan menanyakan pada seorang bujangnya yang lagi pacaran dengan pembantu sebelah. "Mau cari tantene ada" Terpaksa aku memakai istilah mama karena tak punya ide mau mengganti dengan panggilan apa. Tak lama yang keluar pembantunya. "Baru sakit, tadi barusan makan obat, sekarang lagi istirahat.." Saling tawar bagaimana enaknya, akhirnya disepakati agar aku datang saja lagi besok, tapi agak siang, waktu jam kantor. Oke, esoknya aku kembali ke kantor berpakaian rapi. Jam 10 aku ijin keluar. Sesampainya di sana, rumah itu terlihat ramai. Banyak orang, karyawan, sales, dll yang sedang antri mengurus masalah tagihan dsb. Aku agak canggung, dan setelah melihat ada karyawati yang tidak terlihat sibuk, aku tanya apa bisa ketemu tante? Sekali lagi aku harus menjelaskan maksud kedatanganku, tak lupa menyebut nama referensiku. Dan aku kembali tidak bisa ketemu si bos besar. "Ooo... tante mondok tuh, tadi pagi barusan dibawa ke rumah sakit, minggu depan aja kesini lagi.."

Dalam hati aku khawatir, melihat situasi yang dialami si bos setiap aku datang. Pertama sakit, kedua dilarikan ke RS, mondok, jangan-jangan yang ketiga nanti... bisa-bisa koran Solopos dapat pesanan pasang iklan satu lembar nih.. Jangan ah. Teman-teman di kantor, dan juga keluargaku langsung tertawa terbahak waktu kuberitahu bahwa si pemilik hari ini mondok.

1 Responses to “Sekedar Ngeblog”

  1. # Anonymous Anonim

    hmm... menertawakan org sedang sakit itu bukan hal yang bagus loh

    cuman numpang komentar  

Posting Komentar


Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!