perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


Sebuah Kabar Burung


Sebuah Kabar Burung
Originally uploaded by lalat hijau.

Kenapa juga aku perlu menceritakan semua ini? Kini aku bahkan tak memiliki wujud atau bentuk sama sekali. Namun aku pernah mendengar bahwa yang hidup selalu mau mendengarkan yang telah mati, aku kira kau akan mendengarkanku juga. Baiklah, tapi ingat, hanya beberapa saat saja yang bisa kau dengarkan dariku, karena memang aku ada tak begitu lama.

Di antara pengap aku lahir dan diantara hangat ibu aku menengok dunia untuk pertama kalinya. Dingin, itulah yang pertama kali memperkenalkan diri. Sungguh, dia datang hanya untuk menyiksa sekujur tubuhku. Semua terjadi dalam sekejap setelah aku menuntaskan perjuangan untuk bebas dari ruang mahasempit yang tak sanggup lagi memeliharaku. Awalnya, dingin terus menusuk, terasa ganas namun setelah itu tusukannya melemah sebelum akhirnya tergantikan oleh kesegaran. Itulah udara, sebebas-bebasnya kini aku boleh mengambilnya. Ibu segera menyambut, dengan sigap setelah sejenak memandangku, ia menyalurkan beberapa makanan dari mulutnya. Beda dari yang biasa kudapat, tapi akupun tak menolak. Ibu badannya begitu besar dengan bulu-bulunya berwarna hijau dan kuning cerah menaungi tubuhku walau tak ada hangat seperti yang kudapat di ruang sempit tadi. Aku sendiri baru dapat benar-benar melihat sekeliling dengan jelas, termasuk sosok ayah, dan beberapa sisa-sisa pecahan lapisan ruang sempitku, setelah hari ketiga. Namun masih begitu lemah tulang-tulangku, akupun hanya berbaring di antara jerami yang tertata melingkar. Kulihat sekeliling, nampaknya bukan hanya aku yang pernah lahir disini. Ayah memanjat, keluar menghilang di sebuah lubang yang putih menyala, seakan tak mungkin ia kembali lagi. Aku berteriak, ia tak peduli.

Saat-saat berlalu, aku semakin bisa melihat dengan jelas dan terutama lagi tulangku mulai kuat. Perlahan berjalan, tak ada kesulitan berarti karena semua tubuhku terasa begitu siap melakukannya. Namun tak gampang untuk memanjat seperti yang dapat dilakukan ibu dan ayah.
"Tunggulah, nanti kau tak hanya akan bisa memanjat namun terbang.." kata ibu
Terbang, satu kata baru yang demikian menghantuiku dalam beberapa waktu ke depan. Akupun makin bersemangat sebelum akhirnya benar-benar bisa memanjat, menuju lubang putih menyala itu yang seakan sanggup menelan apa saja di dalamnya.

Luas sekali!! Aku tertegun ketika akhirnya berhasil kupanjat lubang putih itu. Di depanku terlihat tak hanya cahaya menyilaukan yang lama-lama terbiasa dalam mata, namun juga berbagai benda, termasuk ayah dan ibu yang segera menyambut dengan sebuah nyanyian:

Betapa kau ingin tahu tentang kebebasan
Betapa kau mau sebuah kemerdekaan
Namun berapa kau punya untuk sebuah kebebasan
Berapa yang kau bisa demi membayarnya

Dunia bukanlah semesta
Tak ada tempat yang leluasa
Rentangkan tanganmu, peluk kawanmu
Kebersamaan dalam sayang, di situlah kebebasan


Ayah dan ibu nampak tak begitu besar lagi, namun lihat betapa menakjubkan mereka, melompat dan dalam sekali gerakan sanggup mencapai begitu jauh.
"Kau mau bisa terbang, nak?" teriak ayah
"Tentu!!"
"Ikuti aku, lompatlah keluar sini.." sahut ibu dari atas dahan yang menggantung.
"Tolong aku!!" teriakku saat sayap kecil ini ternyata sama sekali tak berfungsi seperti yang dipunya ayah dan ibu. Wajahku terjerembab dalam butiran-butiran gabah, makanan yang kulitnya lengket di sekujur badanku. Ayah dan ibu tertawa saja.

Di antara gabah, dahan kayu, air, kotak tempat lahirku, aku mendapati bahwa kami sama sekali tak sendiri. Secara berkala saja, ia datang. Begitu besar dan sesungguhnya juga menakutkan, namun ia lah yang memberi kami gabah dan air. Meski begitu kami sama sekali tetap tak pernah menyukainya. Ayah dan ibu selalu memperingatkan aku untuk tidak dekat-dekat dengannya. Sayapnya yang panjang, tebal dan begitu jelek hingga nampaknya tak mampu membuat ia terbang (memang kami tak pernah melihat dia terbang) selalu direntangkan, dan sayapnya itulah yang paling berbahaya buat kami. Ibu pernah bercerita tentang bagaimana sayap itu berubah seperti seekor ular yang menangkap, meremukkan dan menelan salah satu saudara ibu. Sementara ayah selalu mengingatkan pengalamannya waktu ia melihat sendiri kekuatan sayap tersebut, yang sekali kibas sanggup membuat dunia bergoncang.

Keberadaannya, si mahluk itu memang selalu menimbulkan keresahan, apalagi jika ia datang waktu gelap, namun begitu sekali lagi ia jugalah yang membuat kami tak kelaparan. Dalam hati aku malah sedikit tertarik dengan keberadaan dirinya, terutama tentang dunia darimana ia datang. Dan siang itu dia datang, kami cukup lega ia tak pernah lagi datang waktu gelap, saat kami dalam keadaan benar-benar tak siap. Ia datang dan sayapnya kali ini kembali menjadi ular, mencengkeram sesuatu. Aha, ternyata di balik yang dibawanya itu keluarlah tiga ekor yang seperti kami. Kini kamipun menjadi berenam.

Tiga burung baru itu rata-rata masih seumuranku, aku sendiri cukup senang dengan kehadiran mereka. Hanya saja ibu tidak demikian, ia sering mengusir, terutama salah satu dari mereka yang terkecil, si Biru setiap saat ia ada di wilayahnya. Tak jarang Biru tak kebagian makan, badannya pun agak kurus, gerakannya lemah, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, apalagi kalau harus melawan ibu. Ketidakselarasan pandangan antara ibu dan aku mengenai si Biru pada dasarnya bukan masalah besar, namun demikian hal itu sering membuatku mulai kurang nyaman. Suatu kali ayah bilang padaku bahwa mereka yang baru harus mengikuti aturan dari yang lama, oleh karenanya sedikit ketidakramahan memang diperlukan, katanya sambil bergerak merapatkan dirinya ke badan ibu. Gelap datang bersama dingin, aku masih kurang begitu puas dengan penjelasan ayah.

"Bangun!! Dia datang!! Awas, selamatkan diri kalian!!" ayah dan ibu menjerit sambil mengepak-kepakkan sayapnya dengan keras untuk membuat yang lain terbangun. Gelap masih memenuhi dunia dan merasuki mata kami, aku hanya berusaha menuruti teriakan ayah dan ikut mengepak-kepakkan sayap, meneriakkan hal yang sama, sambil terus mencoba sekuat tenaga untuk tidak menetap di satu lokasi saja. Suasana begitu tegang, jauh lebih tegang dan mencekam daripada saat terakhir ia datang malam itu. Aku sangat takut dan merasa begitu lemah. Aku tak tahu nasib ketiga teman baruku tadi, sempat kudengar beberapa teriakan, entah siapa yang berteriak, si Buri, si Biri atau si Biru. Sayapkupun lelah terus bergerak, saat itu sempat terdengar sebuah suara aneh, -- sepertinya bukan suaranya -- diantara kegaduhan dan teriak peringatan yang kami buat. Aku berhenti, bertengger di salah satu lokasi, berharap segera bisa melihat dan semoga tidak ada apa-apa. Aku sungguh benci gelap, dan sungguh benci dengan dia.

Aku masih hidup, terbangun dan melihat betapa kacau segala sesuatunya. Bulu-bulu bertebaran, gabah berserakan, dan… si Biru tak ada! Ayah, ibu, Biri dan Buri terlihat tertegun bersama. Aku mendatangi mereka, Biri dan Buri yang sebagian bulunya rontok bilang si Biru telah dibawa pergi entah oleh siapa, namun mereka yakin bukan oleh dia. "Lantas siapa?" tanyaku, tak ada yang menjawab. Siang itu juga dia datang kemari, membenahi tempat gabah dan air yang jungkir balik akibat keributan semalam, mengisinya dengan yang baru. Aku tak begitu selera makan. Tapi ternyata bukan hanya itu saja yang ia lakukan. Sayap ajaib itu sekali lagi mencengkeram sesuatu, tipis, hampir seperti tak kelihatan, namun aku bisa melihat bahwa itu adalah sebuah benda. Menuju ke sebuah lokasi, dipasangnya benda itu di sana. Hatiku berdesir, kenapa ia dipasang di sana? Tanpa sadar aku sempat nekad mencoba mendekatinya namun segera diusir dan ibu pun memarahiku. Aku hanya melihat dari kejauhan. Sebelum benda itu ditempatkan disana, apa itu yang kulihat tadi? Sebuah rongga, tempat dimana udara dan sinar matahari terasa lebih tajam masuk. Sungguh menarik.

"Aku rasa tempat ini sama sekali bukan dunia" kataku, "Ini adalah sebuah kotak saja, sama seperti kotak lahir dan bahkan ruang sempit sebelum aku lahir disini!"
Ibu memandangi ayah yang masih asyik makan. Tak berapa lama mereka berdua tertawa.
"Inilah dunia kita, jika kau tidak lahir dalam wujudmu, barulah kau bisa bilang begitu.."
"Aku tak percaya, pernahkah ayah keluar dari sini?"
"Keluar dari sini? Masuk ke dalam sana? Jadi kau ingin ayahmu mati nak???" bentak ibu. Aku tak menjawab dan perlahan menyingkir ke lokasi dimana benda itu dia pasang.

Aku membayangkan seluruh langit itu adalah milikku, udara yang begitu berlimpah bebas ialah punyaku, tanah yang luas tak terbatas semua untukku, sinar matahari secara penuh bisa kuserap sesukaku dan darimana gabah dan air yang tiap hari ia bawa kemari itu berasal? Pastilah ada sebuah tempat dimana gabah dan air tak akan pernah habis, pastilah juga ada tempat dimana aku bisa lari dari gelap untuk tetap melihat apa yang sedang terjadi, pastilah ada! Ah jika saja semua itu ada dan kumiliki dari dulu, tentu si Biru masih bersama kami. Kemana ia pergi? Mungkinkah ia dibawa ke dunianya itu? Matikah dia? Jika ini memang dunia milik kami, kenapa ia masih tetap mati dan kami tak bisa berbuat apapun? Tapi aku tak ingin mengatakan ini pada ayah dan ibu. Makin lama mereka selalu memberi jawaban yang tak pernah memuaskanku. Aku tak akan bertanya apa-apa lagi pada mereka.

"Tolol!" sebuah suara tiba-tiba membuat lamunanku buyar. Aku mencari-cari asalnya sebelum kulihat sesosok burung raksasa, tertawa-tawa memandangku. Ia berada di depan, namun tak bisa kudekati, ya ia ada di dalam dunia milik dia.
"Sssii.. ssiapa.. kk.. kau? Kena.. kenapa kau berada disitu?" jawabku terbata, bukan hanya karena terkejut melihat postur raksasanya, namun terlebih lagi bahwa ucapan ayah bahwa bangsa burung tidak bisa berada di dunia yang sama dengan dia kali ini benar-benar terbukti salah.
"Tolol! Kenapa aku berada disini? Ya cari cacing! Justru aku yang harusnya bertanya sedang apa kau di dalam situ?"
Di dalam situ? batinku. Sesaat kalimat itupun menjadi begitu dalam maknanya. Semakin besarlah keyakinan bahwa aku memang tak lebih dari seekor burung dalam sebuah kotak, ya.. aku, kami seharusnya tidak berada disini. Ini bukan dunia para burung, ini hanyalah sebuah kotak!!
"Kenapa kau selalu memanggilku tolol? Siapa kau?"
"Tolol! Dasar bodoh, akulah yang ingin bertanya kenapa burung sekecil dirimu terus mengataiku sebagai Siapa?" Aku semakin bingung dengan jawaban-jawaban burung besar ini, tapi karena terlalu penasaran, aku meralat pertanyaanku. "Burung apa kau? Baru pertama kali ini aku lihat burung sebesar dirimu.."
"Tolol! Panggil saja aku bangsa ayam, tak pernahkah kau melihat bangsa angsa? Mereka jauh lebih besar dari diriku.. Kalau kau, aku sudah sering melihat burung sekecil dirimu, biasanya mereka begitu gesit namun kenapa kau malah hanya meloncat-loncat saja di dalam situ?"
Aku meloncat agak turun, mencoba melihat yang menyebut diri sebagai bangsa ayam ini secara lebih dekat. Kakinya terlihat begitu kuat, sayapnya tak demikian besar dan terkatup rapat, tapi.. aduh, dada dan perutnya itu, aku takjub bagaimana ia bisa membawa semua beban itu terbang?
"Kenapa kau keberatan setiap kali aku tanya siapa kau?" lanjutku.
"Tolol!.."
"Jangan panggil aku tolol!"
"Kenapa?"
"Aku tidak tolol"
"Oh begitu? Tapi aku bukan Siapa!"
"Apa maksudmu?"
"Bahkan angsa pun tidak pernah bilang aku Siapa?"
"Apa maksudmu dengan Siapa? Aku rasa ada salah paham"
….
Siapa, dalam bahasa bangsa ayam (juga angsa) ternyata artinya adalah kecil, remeh, tak berharga. Sedangkan tolol adalah sebuah panggilan, artinya kawan.

Kamipun tertawa terbahak setelah menyadarinya. Kawan baruku ini sungguh menyenangkan dan ramah, setelah perkenalan yang diwarnai salah paham itu, kami cepat menjadi akrab. Ia berjanji akan datang lagi mengunjungiku esok hari. Aku tak sabar ingin bertemu dengannya lagi, aku ingin bertanya banyak hal mengenai dunianya, dunia burung yang sebenarnya, sedangkan dia rupanya juga sedang kesepian selain memang punya sifat suka bercerita apa saja kepada siapa saja. Tak kuceritakan ini kepada ayah, ibu, Buri atau Biri. Tidurku kali ini lebih lelap meski ibu selalu mengingatkan agar aku terus waspada jangan-jangan kejadian malam kemarin terulang lagi.

"Jadi dia memang punya persediaan makanan yang tak ada habisnya?"
"Tepat, dan untuk air, akupun sudah tahu tempat dimana air tak akan pernah ada habisnya walau diminum oleh siapapun." Raut si ayam terlihat demikian bangga saat menjelaskan hal ini, aku sendiri mencoba tidak terlalu menunjukkan bahwa sebenarnya aku sungguh tak tahu apa-apa.
"Aku dengar ribut-ribut kemarin disini, apa yang terjadi?" raut si ayam agak serius meski pandangannya terus menghadap ke bawah demi mencari makanan.
Aku kembali teringat pada si Biru yang entah pergi kemana, "Aku tak tahu, tak ada yang tahu, namun banyak yang bilang bahwa bukan dia penyebabnya. Yang pasti, salah satu kawanku sejak saat itu tidak pernah kembali lagi.."
"Ular? atau Kucing?"
Sebagai bangsa burung, cerita tentang keganasan atau bentuk ular mungkin sudah pernah kudapat, namun apakah kucing itu? Kembali aku merasa diriku sebagai burung yang amat bodoh.
"Kucing itu memang seringkali lebih berbahaya dari ular, aku pernah dikejar dan nyaris ditangkapnya sebelum ia datang dan mengusir sialan itu." lanjutnya
"Berbahaya sekali?"
"Ya, larinya sangat kencang dan bisa memanjat juga, walau panjatannya tak secepat ketika lari.." kata ayam sambil cakarnya menggaruk dan menyibakkan tanah.
"Terbang?"
"Tidak.."
"Kenapa kau tak terbang?"
Ia berhenti dan memandangku lurus, "Mungkinkah aku bisa terbang dengan badan sebesar ini? Nenek moyang kami telah ditangkap dan tubuhnya dibentuk sedemikian rupa oleh nenek moyangnya, agar daging bagian dada, perut juga paha kami jadi semakin besar dan besar lagi.. Kau tahu untuk apa? Agar setelah dagingnya banyak ia bisa memakannya. Bagaimana sayap sekecil ini bisa membawa kami terbang ke awan-awan? Dia memang tak pernah memikirkan apa-apa selain kepentingannya sendiri, bahkan setiap kali kami bangsa ayam menceritakan kabar gembira mengenai telur-telur, eeh.. ia malah mengambil telur-telur itu seenaknya, untuk dimangsanya juga." Ayam terlihat sangat berapi-api ketika mengatakan semua itu.
"Aku juga tak pernah percaya dengannya, kini aku tahu kenapa ia mau memberi makan kami semua, ternyata ia jauh lebih bahaya dari ular, kucing atau apapun.." kataku menambahi. Dalam hati aku sendiri tak mengira bahwa ayam ternyata bernasib sangat malang, aku juga menyesal telah menanyakan perihal ketidakmampuannya untuk terbang itu, satu hal yang akan sangat memalukan bagi bangsa burung manapun.

"Aku sudah tidak tahan harus terus berada di dalam sini.." kataku satu kali.
Ayam tersenyum, "Ya, tentu saja, burung dengan postur sepertimu seharusnya bisa tinggal diantara pepohonan itu, bersarang di atas sana dan mencari makan sendiri dari tanah."
"Banyakkah bangsa burung lain yang hidup di luar?"
Dan ayam tertawa sangat keras.. "Tolol! Disinilah dunia bangsa burung, bukan di dalam situ!"
Kali ini aku tak peduli dengan ucapan tolol tadi, entah itu berarti tolol dalam bahasa ayam atau tolol dalam bahasaku sendiri, aku pikir aku akan tetap menjadi burung bodoh jika masih terus berada di dalam sini. Tak ada yang bisa menahanku untuk terus berada dalam kotak yang kian lama kian terasa sempit ini, aku harus mencari cara untuk keluar! Hanya saja, bagaimana aku bisa keluar?

Hari demi hari berlalu, setiap hari ayam selalu datang masih mencoba mencari cacing yang tak kunjung ia temukan. Sementara itu, aku semakin sering mendengarkan cerita ayam tentang dunia luar yang begitu indah, bebas, walau juga cukup berbahaya. Namun setiap kali menceritakan tentang bahaya, ayam selalu menambahi dengan mengatakan burung kecil sepertiku jauh lebih bisa bertahan hidup daripada burung berbadan besar tapi tidak bisa terbang seperti dirinya. Aku sendiri terus memutar otak untuk dapat keluar dari tempat ini, aku tak peduli lagi jika ayah, ibu atau semuanya lebih suka disini, aku hanya ingin menjadi burung sejati, yang bebas terbang tinggi dan mampu mencari makanannya sendiri. Akhirnya aku menemukan juga satu cara, atau satu-satunya cara, untuk keluar, yaitu saat ia datang membawakan makanan dan air.

"Akhir-akhir ini kau nampak banyak gerak?" tanya Biri
"Ya, aku memang sedang ingin melatih sayapku. Kau sendiri, apakah kau sudah puas hanya bisa terbang paling cepat diantara 5 ekor burung saja?"
"Kenapa harus tercepat?"
"Karena yang terlambat akan mati seperti Biru"
"Aku memang bukan yang tercepat namun juga bukan yang terlambat…"
"Apa kau juga berpikir bahwa disinilah duniamu yang sesungguhnya?"
"Kau terlalu banyak berkhayal? Kau pikir siapa dirimu?"
"Kau juga harus berpikir siapa dirimu? Untuk apakah kita punya sayap sesempurna ini jika dengan melompat pun kita sudah bisa mengelilingi 'dunia'?"
"Tapi sayapmu itu juga tak akan sanggup mengelilingi dunia miliknya.."
"Apa kau pernah mencobanya?"
"Aku tak berminat masuk ke dalam dunianya seperti dirimu"
"Yah, nanti.. nantilah.. mungkin nanti akan kujenguk kau dari luar sana…"
Perbincangan kami terputus. Kali ini aku dengar suara ayam. Namun bukan suara ramah, cerita-cerita atau pengumuman tentang telur atau tentang mentari seperti yang biasa ia lakukan. Kali ini jelas kudengar ia minta tolong. Aku segera terbang melihat, Biri juga ikut dan ternyata semua sudah bertengger di tempat yang paling strategis untuk melihat apa yang terjadi.

Pemandangan yang nampak di depan sungguh mengerikan. Lagi-lagi dia, kali ini tak hanya sayapnya, bahkan kakinya pun digunakan untuk mencengkeram seluruh tubuh ayam yang tak berkutik. Ayam terus berteriak minta tolong, aku tahu ia melihatku, namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku masih di dalam sini, terkurung dalam ketidakbisaan, dan untuk kedua kalinya aku tak bisa menolong kawanku. Semua mata tertegun melihat darah mengalir. Sebuah benda lain, lebih tajam dari cakar dan paruhku maupun si ayam, perlahan tapi pasti merobek dan menghancurkan leher si ayam. Darah masih mengalir semakin deras, jeritan ayam makin lemah hingga akhirnya tak ada lagi. Dia, si pembunuh paling kejam yang pernah kulihat itu melepaskan semua cengkeramannya, membiarkan ayam tergelepar, ayam sempat mencoba lari, masih dengan leher yang terbuka dan darah mengalir deras, namun tentu itu usaha yang sia-sia. Beberapa langkah ia lari, akhirnya robohlah tubuh itu, tak bergerak lagi. Mati. Seperti saat paruh kami mengupas gabah, ia pun dengan cepat mengupas bulu-bulu ayam dalam sebuah wadah berisi air panas. Kami semua mengutuk perbuatannya. Aku tak bisa berkata apa-apa, untuk beberapa saat aku melupakan semua. Lupa akan bayangan kebebasan, lupa akan rencana melarikan diri. Harapanku seakan hancur bersamaan dengan setiap jeritan ayam, setiap tetesan darah, dan dengan setiap adegan menyeramkan itu. Yang aku ingat hanyalah berbagai kisah yang pernah diceritakan ayam.

Beberapa hari aku tidak lagi memikirkan tentang rencana kabur, bahkan aku tidak memikirkan apapun. Aku menolak untuk makan karena semakin hari kini aku semakin yakin bahwa dialah yang membunuh si Biru. Setiap makanan yang ia bawakan adalah sebuah langkah yang akan semakin mendekatkan kami kepada kematian. Ayah dan ibu nampak cukup kuatir dengan keenggananku untuk makan, mengingat mereka tidak mengetahui persahabatanku dengan si ayam. Hanya beberapa waktu saja aku tidak makan, dua hari setelah kematian ayam aku menyadari kesalahanku.

Sikap ayah, ibu, Biri dan Buri tidak banyak berubah sejak melihat pembantaian ayam, apalagi sejak aku kembali makan lagi. Hari-hari mereka tetap berkisar pada gabah, air, loncat kesana kemari serta nyanyian. Ah nyanyian itu… Aku merasa sepertinya akhir-akhir ini mereka sengaja membawakannya lebih sering lagi:

"… Dunia bukanlah semesta
Tak ada tempat yang leluasa!!"
seru ayah

"Namun tiada perlu kau gelisah
Rentangkan tanganmu, peluk kawanmu
Kebersamaan dalam sayang, di situ… di situlah kebebasan…"
Biri dan Buri menyahut bersamaan.

Mereka pun saling berpandangan dan tersenyum. Suara keduanya lebih bagus dari ayah maupun ibu. Aku sendiri memang sangat jarang bernyanyi bersama, setiap kali mereka menyanyikan lagu itu berulang-ulang aku mencoba tidak melibatkan diri dengan cara sibuk mengupas gabah. Suasana nampaknya lebih damai sekarang. Setidaknya begitu yang sering mereka katakan. Mungkin benar, tidak ada lagi malam-malam tegang dan terutama, barangkali karena aku relatif lebih banyak diam sekarang. Tak ada perkataan tentang pergi dari tempat ini, tak ada saling ejek dan tak ada ajakanku agar mereka memikirkan apa yang sedang kupikirkan.

Pagi itu seekor cacing kecil nampak merayap di satu sudut. Inilah dia mahluk yang kata ayam dagingnya sangat lezat itu. Aku tak berminat untuk mencoba menyantapnya, aku cuma heran kenapa tiba-tiba bisa ada cacing di tempat ini? Nampaknya ia seperti tahu bahwa kini sudah tak ada lagi yang mengincar ingin memangsanya. Cacing itu merambat sangat pelan, dan ternyata ia tidak sendirian. Ada dua lagi di dekat-dekatnya. Aku hanya tertegun, memerhatikannya, aku teringat kembali dengan si ayam. Ini wilayahku, bukan disini seharusnya cacing itu berada. Akan sangat mudah bagiku untuk menangkap atau mencabik-cabik tubuh cacing ini, hanya untuk kesenangan. Kudorong saja tubuh cacing itu, ia jatuh, begitu lemah, namun hanya itu saja yang bisa kulakukan. Ia jatuh cukup jauh dan tak dapat kujangkau lagi dari sini. Aku jauh lebih kuat darinya namun memang hanya itu saja yang bisa kulakukan terhadap mahluk lemah itu. Angin bertiup menerpa dan menggoyangkan bulu-bulu wajahku, samar-samar aku masih mendengar nyanyian itu dilagukan lagi.

"Kraak.." suara keras itu menandakan kedatangannya. Biri meloncat ke arahku menghindari dia. Seperti biasa, dia datang dengan membawa gabah di sayap kanannya serta air di sebelah kirinya. Seperti biasa, lorong keluar juga dibuka lebar, ditahan oleh kepalanya, kalau aku terbang dengan kecepatan penuh, dia tak akan bisa berbuat apa-apa karena kepalanya itu memang tak bisa bergerak leluasa, apalagi menghalangiku.
"Sampaikan salamku pada ayah, ibu, dan Buri" bisikku kepada Biri.
"Apa yang.."

Dia mengeluarkan bunyi begitu keras, kasar dan menyakitkan telinga. Sempat juga sayap mematikan, senjata pembunuhnya itu hampir mengenaiku. Namun aku tetap mengepakkan sayapku sekuat tenaga, dengan cepat aku merasa lelah, semua latihan terbang seperti tidak ada artinya, rasanya inilah jarak terbang paling jauh yang pernah kutempuh. Dalam hati aku mengharapkan akan ada batas untuk menghentikanku agar aku bisa beristirahat, namun tak ada lagi batas itu. Tubuhku seakan mati rasa, yang kutahu adalah angin berhembus begitu kencang, menusuk-nusuk seperti saat pertama kali aku merasakannya di hari kelahiranku. Beberapa saat akupun baru menyadari apa yang terjadi. Kubuka lebar-lebar mataku, aku terbang! Benar-benar terbang, kulihat dia nampak kecil dibawah sana, ia masih mencoba berlari dan sayapnya menggapai-gapai. Ia sama sekali tak bisa terbang, aku merasa telah mengalahkannya. Sesuatu yang bahkan tak pernah kubayangkan apalagi kurencanakan. Kutemukan sebuah dahan yang sangat besar, hinggap disana. Inilah dunia bangsa burung, aku benar-benar merasa siap untuk petualangan hebat ini. Kini tentu aku juga lebih dari ayam karena aku bisa terbang. Aku merasa begitu bodoh telah menunda-nunda rencanaku selama ini. Kulihat di bawah, itulah duniaku dulu. Memang benar-benar tak lebih dari sebuah kotak, dengan sekat-sekat yang membuatnya sangat sangat kecil dibandingkan segala sesuatu di sekelilingku ini. Duniaku sekarang adalah dunia dimana segalanyai bisa kusentuh, kurasakan, kudekati bahkan kusantap.

Cukup lama, dan ingin lebih lama lagi sebenarnya aku ingin menikmati dan merasakan dunia baruku ini. Namun lapar datang cepat, apalagi setelah mengeluarkan tenaga demikian banyak. Ia kini sudah tak ada lagi, dan ternyata ia pun masuk ke dalam sebuah kotak! Hanya saja kotaknya memang sangatlah besar apalagi ia juga bisa keluar dan masuk sesukanya. Itulah bedanya. Aku mencoba mencari-cari kira-kira dimana tempat gabah tak pernah habis itu. Perutku makin melilit, aku memutuskan untuk terbang turun dari tempatku. Nah, di dekat kotak atau 'dunia' ku dulu itu ada beberapa gabah sisa yang tercecer, cukup banyak untuk dimakan seorang diri. Satu.. dua.. kosong.. isi.. kosong.. kosong.. Ah, ternyata memilah-milah diantara gabah yang kosong dan isi dalam tempat yang begitu luas ini malah lebih menarik daripada memakan sekumpulan gabah penuh isi di tempat sempit itu. Setelah makan, aku berencana akan mulai mencari dimana sumber gabah yang tak pernah habis itu.

Di dekatku seekor cacing pelan-pelan merambat menyusuri tanah. Aku hanya tertawa, kini menggoda cacing itu sama sekali bukan tantangan. Akupun melanjutkan makan. Sreet.. aku menoleh, kulihat mahluk lain disana. Mahluk lain pertama yang kujumpai di dunia bebas ini. Tubuhnya sedikit lebih besar dari ayam, lebih panjang tepatnya, sedang tubuh panjang itu meski ditutupi bulu yang indah namun berbentuk aneh. Yang lebih aneh lagi, sosok tersebut tidak memiliki sayap namun memilki empat kaki yang semuanya dipakai untuk berjalan. Aku masih bingung apakah aku harus menyapa atau lari. Mulut mahluk itu terbuka, dan mengeluarkan sebuah suara. Suara itu!! Suara itu!! Aku tahu.. Aku kenal suara itu! Dalam sekejap aku merasa mahluk itu adalah bahaya, lebih bahaya dari dia. Mahluk itu mundur, kembali dengan sekuat tenaga aku mengepakkan sayapku...

Ah ayah, ibu, Biri, Buri, Biru, ayam.. kenapa badanku terasa berat, nyeri, sempat kurasakan sesuatu yang menusuk, aku mencoba berteriak minta tolong namun sedetik kemudian tak ada sakit kurasakan lagi, tak kurasakan apa-apa lagi, bahkan tak kurasakan tubuhku, semua gelap. Lagu itu, kembali terdengar.. dinyanyikan oleh suara yang tak pernah kukenal. Aku merasa demikian ringan, telah benar-benar bebaskah aku sekarang?

0 Responses to “Sebuah Kabar Burung”

Posting Komentar


Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!