perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


Rumah (tulisan lama)


home
Originally uploaded by scandinavian_idiot.

Ada beberapa hal yang mendorongku untuk kali ini menulis tentang rumah. Barangkali ini memang sekedar penyakit lama yang menjangkitiku setiap enam bulan sekali, ini juga tentu saja dipicu oleh pengalaman perjalanan liburanku bersama teman-teman barusan.

Rumah bagiku idealnya haruslah berkonotasi positif, suatu tempat yang sejuk, nyaman, tempat aku selalu merasa aman, dan juga tempat-tempat kenangan yang hampir lenyap ditelan kelupaan akibat segala problem, singkatnya rumah juga harusnya bisa berfungsi sebagai ekstasi untuk hidup. Mungkin tak banyak orang yang merasa harus membuat suatu idealisasi tentang rumah serumit dan sereseh diriku, mungkin juga banyak yang sudah merasa dan bisa juga karena terbiasa mengkonotasikan sebuah rumah cukup sama dengan kamar tidur mereka, dunia kecil mereka yang ditata sesuai pemenuhan keinginan mereka, atau ada juga yang hanya menganggap rumah ideal sebagai tempat untuk orang lain, untuk tamu-tamu mereka yang pada gilirannya hal itu akan mendatangkan kenyamanan tersendiri untuk dirinya. Apapun pendapat mereka tentang idealisasi sebuah rumah, ada sebab tersendiri yang membuatku ingin menulis tentang rumah.

Melihat dan membayangkan bagaimana mereka, para teman-teman mampir dan menjenguk rumah mereka beserta isinya serta para anggota keluarga mereka, terus terang saja sempat menimbulkan kegundahan di pikiranku. Dimana sebenarnya rumahku? Dimanakah itu sebuah tempat yang dapat membuatku merasa tenang dan aman, dan bisa melakukan apa saja sebagaimana apa adanya karena aku adalah si empunya tempat itu, serta tak lupa sebuah tempat dimana semua memori masa lalu terendap dan terserap di dalam setiap sudut, permukaan dan barang-barang di dalamnya? Tempat kost ini tentu saja tak dapat memenuhi persyaratan itu, terlalu dini untuk dapat membuat tempat ini bisa disebut sebuah rumah karena di sini ada kalanya masih sering membuatku merasa asing.

Rumah yang sekarang ditempati oleh mama, banyak yang mengatakan disitulah sebenarnya rumahku. Tapi rumah itu sekarang juga terasa agak asing untukku. Mungkin memang aku tak pernah mempunyai rumah… mungkin aku terlalu sering berpindah-pindah tempat tinggal, rumah di Nusukan, Sumpah Pemuda, Pucangsawit, Tambora, Rungkut, Solo Baru, Kutisari, atau disini di Siwalankerto (Surabaya) dan aku rasa akan terus bertambah panjang lagi daftarku namun hanya beberapa yang dapat aku sebut dan rasakan sebagai rumah.

Rumah di Nusukan adalah rumah pertamaku, rumah yang mungkin cukup bersejarah dan penuh dengan warna. Kedua orang tuaku lebih menganggap rumah itu sebagai masa lalu yang kelam dan harus sebisa mungkin dilupakan, pada kenyataannya memang mungkin lebih banyak cerita sedih dan pengalaman buruk yang terjadi disana. Hanya saja karena aku masih terlalu kecil untuk dapat merasakan kesedihan-kesedihan itu. Perampokan, pertengkaran-pertengkaran, banjir, perjuangan, kebangkrutan, penghinaan, nearly death experiences, dan kemiskinan, semua itu yang lebih dominan diingat dan dirasakan terjadi sepanjang keluargaku menempati rumah itu. Mungkin beberapa kakakku yang telah cukup besar saat itu juga merasakan hal yang sama. Sebaliknya aku hanya bisa mengingat masa kecilku yang berwarna-warni di rumah dan juga di kampung itu. Ingatan masa kecil, itu juga sebenarnya yang sangat aku harapkan ada di tempat yang kusebut rumah, apapun pengalamannya. Baiklah kini pertama-tama biar aku mulai bercerita tentang tempat itu menurut ingatan masa kecilku.

Rumah pertamaku itu ada di sebuah gang berukuran sedang, kira-kira pas bisa dilalui 2 buah mobil, jalanannya tak beraspal hanya tanah lempung yang tentu saja becek bila hujan. Gang itu cukup padat penduduknya, terdiri dari berbagai macam manusia dari berbagai latar belakang walaupun rata-rata semua mempunyai predikat yang sama, keluarga sederhana dan bahkan miskin. Aku tak tahu sejak kapan keluargaku pindah di rumah kontrakan itu, aku rasa sudah cukup lama sebelum aku lahir atau bisa saja itu adalah rumah pertama setelah kedua orang tuaku menikah. Pantaslah kalau kami sudah cukup mengenal dan dikenal oleh tetangga-tetangga di sekitar kami, lagipula siapa yang tidak mengenal ibuku yang memang suka ngobrol dan bertandang ke rumah tetangga dimanapun itu, atau siapa juga yang tak kenal ayahku, pria yang selalu berpakaian sama setiap harinya, dengan semua atribut dan ciri khasnya yang mungkin sudah sangat jarang ditemukan kembarannya meskipun itu dua puluhan tahun yang lalu. Beberapa nama masih bisa aku ingat sampai saat ini, mbak Endang dan mas Sehono, orangtua dari Endar dan Diah, rumahnya tepat di samping kami. Endar adalah salah satu teman baikku saat itu, matanya besar dan melotot, badannya kurus, rambutnya berjambul di belakang tepat di bawah unyeng-unyengnya, sama juga seperti potongan rambutku. Ia lebih tua satu tahun di atasku, tapi tak menghalangi kami untuk selalu bermain sama-sama, main bola, gundu, kejar-kejaran dll. Terakhir kali kudengar kabarnya adalah saat ia masih baru saja masuk di SMP. Tak hanya dia saja temanku, masih banyak anak-anak kecil lain seumuran dan seukuranku yang sayangnya hampir semua aku lupa namanya. Ada yang kalau tidak salah namanya Didik yang rumahnya di sebelah mbah Mitro, 30 meter dari rumah kami, usianya lebih kecil kira-kira setahun dariku, tak banyak yang kuingat dari dia kecuali kulitnya yang hitam yang setelah mandi selalu dibedaki tebal dan agak sembarangan oleh ibunya, yang mungkin juga kadang ditiru oleh ibuku. Ada juga Roni, yang bergigi ompong, suka berteriak-teriak dan selalu berkeringat. Tian yang tinggi, mas Iwan anaknya Pak Kus, Tiong Ek adiknya Tiong An yang tidak begitu aku sukai. Nama-nama lain juga masih bisa diingat oleh otak pelupaku ini dengan baik. Bu Kat ibunya mbak Tik yang rambutnya sangat panjang sampai ke pantat, rumahnya di depan rumahku. Salah satu rumah yang dulu suka kukunjungi karena sangat dingin dan banyak majalahnya terutama Hai dan Ananda yang ada komik bersambung Storm nya. Kenapa juga aku suka komik itu adalah karena cara menggambarnya yang banyak mengekspos lekuk-lekuk tubuh tokohnya termasuk yang wanita, satu hal yang kini mungkin sudah sangat awam terjadi di dalam dunia perkomikan yang dibaca oleh anak-anak generasi sekarang.

Rumah kami mungkin banyak yang mengatakan jelek atau bahkan ada seorang yang bilang tidak layak untuk ditempati. Namun entah kenapa sampai sekarang aku tidak pernah ingat kalau tempat itu jelek dan membuatku malu atau tidak kerasan tinggal disitu. Mungkin juga karena aku masih terlalu kecil saat itu, tapi setelah besar selanjutnya aku baru mulai sedikit menyadari bagaimana sebenarnya kondisi keluargaku saat itu. Meski aku tak pernah tahu mana yang benar.

Kenapa aku bilang rumah pertamaku di dunia itu, adalah rumah yang menyenangkan untuk masa kanak-kanak yang baru kusadari memang benar-benar bebas dan tanpa beban? Beberapa hal yang masih kuingat jelas: luasnya pekarangan belakang yang ditumbuhi oleh beberapa macam pohon seperti srikaya, mangga, pepaya, pisang, jambu air dan belimbing. Belakangan saat kira-kira kelas 1 SMP, terakhir kali aku ke sana, ternyata pekarangan itu sama sekali tidak luas dan jalan di depan rumah yang kini sudah menjadi reruntuhan itu juga ternyata kecil dan sedikit kotor dan pengap, apakah memang demikian yang terjadi sejak dulu ataukah lingkungan itu sudah berubah masih belum bisa kutemukan jawabannya. Masa kecil memang masa yang selalu menyenangkan, tak peduli seperti apakah sebenarnya masa yang kita lalui itu. Dunia dan alam pikiran waktu kecil seakan tak pernah dan memang tak pernah mengenal akan arti kesusahan dan kesedihan, semua ini merupakan salah satu contohnya.

Rumah tanpa kamar tidur, hanya beberapa ruangan bersekat triplek yang sekarang lebih sering dilihat di tempat-tempat pengungsian korban kerusuhan atau bencana alam, ruangan bersekat triplek itulah kamar tidur ayahku. Adalah ayah yang saat itu mencoba membuat kamarnya lebih nyaman dan besar dengan menempatkan cermin-cermin besar di sekelilingnya, hampir mirip seperti sebuah salon namun dengan sebuah ranjang besi yang katanya dibeli dengan harga lima ribu rupiah dan aku rasa itu juga adalah ranjang pengantin kedua orang tuaku. Ayah memang tidur sendirian, sangat berbeda dengan kamar orang tua-orang tua temanku yang lain, itu juga bisa jadi adalah salah satu penyebab kami anak-anaknya kurang akrab dengannya, tapi yang jelas itu disebabkan karena kedua orang tuaku sudah kapok dan kini harus segera menghindari kemungkinan untuk memiliki anak lagi. Kamar tidurku, yang bercampur dengan semua anggota keluarga minus ayah, ada di depan, di samping ruang tamu. Di sana ada dua ranjang besi susun semua berwarna hijau seperti juga ranjangnya ayah yang begini susunannya: ranjang yang agak besar, di bagian bawah ditempati oleh ibu, kakakku yang paling muda dan aku sendiri, di atasnya adalah kakakku yang pertama. Yang juga sangat kuingat adalah bagaimana ibuku selalu mengharuskan anak-anaknya yang hendak naik ke ranjang atas itu apabila di saat bersamaan ibu sedang tidur-tiduran di bawah, haruslah kami mengucapkan "misi mi" yang kami lakukan di setiap langkah kami menaiki anak tangga itu, namun dasar anak-anak, hal yang sebenarnya adalah suatu bentuk penanaman rasa hormat pada orang tua malah dijadikan bahan mainan, kami sering sengaja naik turun ke ranjang itu namun dengan tentu saja mengucapkan kata itu "misi mi, misi mi, misi mi…"sambil tertawa-tawa dan berganti-gantian naik turun di depan hidung ibu. Namun untunglah ibu masih bisa maklum dan menganggap hal itu adalah sebuah keisengan khas kanak-kanak saja. Ranjang atas itu juga adalah salah satu tempat favoritku karena aku sering menemukan makanan kecil di sampingnya sebab memang penghuni ranjang itu adalah satu-satunya saudaraku yang paling suka makan dan ngemil, itu normal sebagai gejala yang selalu menghinggapi anak perempuan ketika masuk ke masa remaja.

Ranjang kedua di kamar itu sedikit lebih kecil ditempati oleh dua kakakku yang lain, yang atas adalah kakakku yang kedua sedang yang bawah oleh yang ketiga. Ranjang itu nampaknya dibeli agak belakangan, karena buktinya sampai sekarang ranjang itu masih kuat dan masih digunakan oleh salah satu penghuni setianya yakni kakakku yang ketiga. Ranjang yang satunya juga masih digunakan oleh ibu walaupun dulu sempat ada ranjang lain yang dipakai ayah waktu ia terbaring sakit, namun ibu kelihatannya masih memilih untuk terus setia tidur di ranjang yang penuh cerita itu. Keluargaku dan terutama ibu memang nampaknya adalah orang yang sangat menghargai sejarah dan selalu sayang untuk membuang atau mengistirahatkan suatu barang atau perabotan rumahnya betapapun keadaannya, selain karena tidak begitu mudah bagi kami untuk membeli yang baru, namun uniknya hal itupun berlaku bagi barang-barang remeh lain seperti selimut, sprei, tutup makanan, piring, wajan, panci, rantang atau yang lainnya

Kamarku berwarna biru muda dengan cat yang kusam, sebagian dari catnya ada yang sudah mengelupas tapi yang menarik adalah hiasan di dindingnya, terutama di samping bagian dalam dari ranjang-ranjang kami. Bekas-bekas noda darah nyamuk yang begitu banyak bertebaran itu adalah ciri khas dari kamar yang ditempati ibu. Aku merasa kalau noda-noda darah itu adalah suatu bentuk prestasi dari ibu yang telah dengan gigih menghalau serbuan nyamuk yang akan menyerang anak-anaknya, aku juga merasa itu lebih indah dan menimbulkan inspirasi daripada gambar-gambar kalender artis yang suka ditempel oleh ibu di sekeliling kamar kami, juga selain piagam-piagam penghargaan yang kebanyakan adalah piagam juara kelas yang diperoleh kakakku yang pertama selama ia di sekolah dasar. Orang tuaku mungkin memasangnya untuk memacu anak-anak yang lain supaya mencapai prestasi yang sama, meskipun waktu tiba giliranku meraih dan mendapat piagam-piagam yang sama, tradisi pemajangan piagam itu sudah tidak dilakukan lagi. Kamar itu, sebagaimana ruangan lain di rumahku, tidak berubin namun hanya disemen namun hal itu malah membuat rumah kami terasa lebih sejuk walaupun terlihat kotor. Itu juga sempat membuat ayah menetapkan peraturan bagi anak-anaknya yakni wajib bersandal, dan persis sama seperti tingkah orang-orang dalam menjalankan peraturan perundang-undangan, kami anak-anak juga hanya menuruti peraturan itu sebatas bila ayah ada di rumah sementara ibupun tenang-tenang saja melihatnya, jadilah hal ini, setiap kami mendengar bunyi vespa ayah mendekat, segeralah berebutan kami mencari sandal untuk dipakai, persis seperti pengendara motor yang segera memakai helm atau pengendara mobil yang segera mengenakan sabuk pengaman bila mereka mencium adanya tanda-tanda kehadiran polisi.

Sebagai anak-anak, kamar tidur tentulah merupakan bagian rumah yang paling akrab dan akan selalu dikenang. Beberapa kejadian menarik dan tak terlupakan memang sering terjadi di kamar itu antara lain: peristiwa dimana kakakku yang keempat saat masih bayi, nyaris berada dalam bahaya karena ibu yang kebetulan agak lalai meninggalkannya sendirian saat tidur untuk pergi membeli sesuatu, dan yang membuat masalah adalah ia meninggalkannya dengan seekor anjing gembala jerman besar yang memang jarang diberi makan. Untung saja seorang tetangga memergokinya dan terus mencoba mencegah si anjing yang bernama Yado itu untuk mendekati kakakku yang terus menangis dari luar jendela kamar yang terkunci, sementara menunggu ibu pulang dan sementara Yado terus menggonggong entah ke arah tetanggaku atau ke arah kakakku, syukurlah tidak terjadi apa-apa. Kejadian kedua kali ini kualami sendiri, saat tanpa sengaja aku yang masih berusia balita menelan koin 10 rupiah, namun beruntung koin itu bisa segera diambil oleh tangan kakak tertuaku yang nekad memasukkan tangannya ke mulut dan mungkin kerongkonganku untuk mengambilnya, kepanikan yang dipadu dengan keberuntungan memang terkadang bisa menutupi kecerobohan.

Sebenarnya masih banyak lagi yang terjadi di kamar itu, kamar itu juga yang selalu menjadi tempat yang kami anggap paling aman di dunia, satu contoh yang terjadi adalah saat aku sendiri bersama kedua kakakku yang kedua dan yang keempat merasa ketakutan sendiri. Waktu itu hujan memang turun dengan sangat deras sementara di luar Yado, anjing yang memang sungguh malang itu dirantai di luar dan sedang dalam keadaan sekarat. Anak-anak yang terlalu kecil untuk menarik atau bahkan mengangkat anjing sebesar itupun kebingungan tak tahu harus berbuat apa untuk menghadapi seekor anjing yang hampir dijemput ajal. Di sisi lain, sebagai anak yang masih polos dan halus perasaannya, tentu kami tak mau atau juga takut melihat si anjing yang sudah begitu lama bersama-sama di tengah kami, mati perlahan-lahan, kematian nampaknya adalah hal yang masih begitu asing bagi anak seusia kami. Akupun masih ingat bagaimana kakakku yang keempat, yang memang sampai sekarang selalu sangat bersungguh-sungguh untuk urusan keselamatan hewan dan kadang demi hal itu ia rela berkorban dan bersusah payah melakukan apa saja, berusaha menarik anjing sekarat itu dengan sekuat tenaga, tubuhnya yang jelas tak sebanding dengan berat tubuh anjing itu akhirnya menyerah sampai di teras depan pintu rumah kami. Apa yang dilakukan oleh kakakku yang kedua, yang jelas lebih kuat dari adiknya? Disini benarlah anggapan kalau kita bisa melihat karakter dari setiap orang sejak ia masih anak-anak sekalipun. Karakter yang mungkin masih ia bawa sampai sekarang ditunjukkan dengan keputusannya untuk mengajak kedua adiknya yang sama ketakutan dan paniknya dengan dirinya untuk berkumpul di kamar tidur dan mengambil sebuah alkitab perjanjian baru kecil warna biru, untuk dibaca? Entahlah, aku tak ingat, namun kelihatannya yang ia lakukan hanyalah memeganginya sambil berharap orang tua kami segera datang. Karakter yang kumaksud disini bukan berhubungan dengan keputusannya yang sangat religius itu, namun sebagai adik yang paling tidak telah belasan tahun tinggal bersamanya, aku lebih condong mengatakan itu lebih berhubungan dengan kegemarannya untuk melakukan hal-hal yang nampaknya baik namun kontraproduktif dan sedikit irasional dalam menghadapi masalah, faktanya sampai sekarang ia memang seseorang yang sangat emosional dalam menjalani hidupnya.

Di lain pihak, kamar ayah mungkin adalah satu-satunya ruangan yang paling tidak familiar dan paling jarang kumasuki dan tentunya paling sedikit kenangan yang aku dapat dari situ dibanding ruangan atau bagian rumah yang lain. Kamar ayah memang tidak begitu nyaman, agak panas dan penuh dengan bau keringat ayahku yang berbau sangat khas sama seperti bau badan dari ibu dan nenekku. Walaupun bau mereka tidak mengganggu dan bahkan malah seringkali kurindukan untuk kuhirup kembali, nampaknya teori tentang pengaruh bau dan rangsangan saraf serta pikiran yang terjadi di otak itu benar adanya. Bau dari orang tua, yang mungkin juga hal ini terjadi pada orang-orang lain, selalu memberikan rasa aman dan nyaman bagiku betapapun baunya yang barangkali bagi orang lain dianggap sebagai aroma yang diasosiasikan dengan hal lain yaitu gerakan menutup hidung secepatnya. Sampai sekarangpun hal itu masih berlaku, terbukti bila di rumah, aku akan lebih cepat tertidur di ranjang di kamar ibuku daripada di kamar lain, meski sekarang kadang pasir dan kotoran di kasur ibu yang memang malas mencuci kaki sebelum tidur sering menggangguku yang mulai terbiasa dengan kasur yang bersih. Kamar ayah juga gelap karena ia suka tidur di dalam gelap sementara aku sampai saat ini masih lebih sering tidur dengan lampu dinyalakan meski sekarang bila dimatikanpun tidak apa-apa dan terkadang malah lebih nyaman. Selain cermin-cermin ukuran besar yang mengelilingi tempat tidurnya, ada juga gambar atau hiasan dinding yang dua diantaranya sangat kuingat jelas. Yang pertama adalah gambar tokoh wayang Semar yang seingatku terbuat dari semacam kulit, gambar itu berwarna kuning dan coklat dengan tulisan huruf Jawa berbunyi Semar di bawah gambarnya, yang satunya adalah gambar harimau atau macan yang merupakan shio dari ayahku di samping gambar itu juga tertulis tulisan yang kali ini berhuruf kanji yang tak pernah kuketahui maknanya. Keduanya kini telah musnah dibakar atas anjuran seorang pendeta dari Timor Barat yang tiba-tiba muncul dan menginjil di rumahku beberapa tahun yang lalu karena diduga kedua benda itu mengandung kuasa gaib atau kuasa jahat yang menyebabkan ayah terserang stroke. Kali ini aku tak berminat berkomentar apapun mengenai hal ini, yang jelas kedua benda itu memang menunjukkan keunikan ayahku.

Perpaduan dari hal-hal berbau kejawen, kebudayaan Tionghoa, agama Kristen dan mungkin ada lagi yang lain memang mewarnai rumah itu. Semua barang itu juga rasanya dibeli atau dipajang oleh orang yang sama yakni ayahku. Burung perkutut, hiasan Leak, gambar sulam Yesus berdoa di taman Gethsemane, selain altar abu kakekku, semua ada dan bahkan berdamping-dampingan di rumah itu. Mungkin juga orang yang berkunjung akan bingung untuk menerka-nerka apa sebenarnya kepercayaan penghuni rumahku itu. Di sebelah kamar ayahku ada kamar belakang yang kami beri nama aneh "Kamar Ayam". Kalau tidak salah dulunya kamar itu digunakan untuk menampung ayam-ayam (atau telurnya?) yang ayah coba ternakkan, namun setelah bencana banjir yang menyapu kota Solo pada tahun 80an, usaha itupun musnah bersama dengan air yang surut tersebut. Bencana banjir itu memang merupakan salah satu pukulan yang sangat keras bagi keluarga kami, ibuku bahkan dalam beberapa tahun kedepan sempat mengalami semacam trauma yang ditunjukkan bila waktu hujan tiba, ia akan selalu menggulung kasur, dan menempatkan barang-barang ke tempat tinggi layaknya banjir akan datang walaupun sebenarnya banjir tidak pernah datng lagi setelah itu. Saat ayah masih belum mendapatkan pekerjaan tetap, ia mencoba berusaha dengan memulai usaha memelihara dan membudidayakan ayam-ayam yang seingatku adalah ayam broiler yang kami anak-anaknya menyebut jenis ayam itu dengan ayam raksasa, selain juga beberapa ayam kate (entah ayam kate itu turut diternakkan atau tidak, aku masih kurang ingat). Yang juga aku ingat jelas selain beternak ayam, ayah juga membuat usaha yang mungkin sedang musim pada saat itu (barangkali sama halnya dengan sekarang musimnya budidaya ikan lou han dan lainnya) yaitu beternak burung puyuh. Untuk menampung burung-burung puyuh itu, dibangun kandang-kandang kayu yang seingatku memuat banyak sekali burung puyuh letaknya kalau tidak salah di samping garasi di samping rumah kami. Aku tak tahu penyebab berakhirnya usaha ternak puyuh itu, mungkin karena wabah penyakit yang menyerang burung-burung itu atau ada sebab lain, yang jelas paling tidak salah satu yang menyebabkan keluarga kami cukup dikenal di kampung itu adalah karena usaha ternak burung puyuh itu. Yah memang bisa dibilang peternakan burung puyuh itu cukup bisa menunjang perekonomian keluarga kami sebelum masalah-masalah kembali meruntuhkannya. Selain burung puyuh dan berbagai jenis ayam, ayah juga memelihara binatang-binatang lain. Selain seekor anjing gembala Jerman yang tidak dirawat dengan baik di atas, ada juga berbagai jenis burung seperti perkutut dan parkit dan pernah juga beberapa ikan walaupun hanya sebentar.

Bagian dari rumah kami yang paling bagus mungkin hanyalah bagian ruang tamu, sama seperti rumah-rumah di Jawa lainnya yang hanya merawat dan lebih mementingkan bagian depan yang dilihat orang saja. Ruang tamu itu cukup luas paling tidak di pandangan anak balita seperti aku dulu. Kursi tamu modelnya sederhana, tidak seperti sofa, kursi ini terlihat kurus dan kecil, dibuat dari besi dan joknya berwarna merah. Yang cukup eksotik adalah dinding ruangan itu, walaupun dibuat dari triplek namun di satu sisi yang memisahkan ruangan itu dengan kamar tidurku separuhnya dibuat dari potongan-potongan kayu yang terlihat seperti potongan kayu bakar namun lebih indah karena diplitur dan dicat warna coklat mengkilat. Kebanyakkan dari ruangan-ruangan di rumah itu tidak memiliki pintu atau walau ada juga amat jarang difungsikan, mungkin ini ide dari ibu dimana ia lebih memilih memasang sebuah kain seukuran pintu sebagai pembatas antar ruangan. Di ruang tengah kami yang luas malah lebih lagi, untuk membuat sebuah ruang makan, diberdirikan sebuah triplek di satu sisinya yang menghadap ke ruang penerima tamu itu. Dapur selalu menjadi tempat paling kotor dan tak terurus di rumah-rumah orang Indonesia terutama dan di Jawa khususnya. Hal itu juga berlaku pada rumah itu, dapur kami sangat gelap dan seingatku tidak memiliki penerangan. Tanpa sekat atau pembatas apa-apa, di situ juga kadang dilaksanakan kegiatan seperti memandikanku dan khusus untukku di parit depan dapur itulah aku biasa buang air besar. Mencuci baju dilakukan oleh seorang tukang cuci yang baik hati bernama Mbok Temu, seorang simbok-simbok berbadan besar yang suka menggendongku setiap kali bertemu. Warga kampung itu memang baik-baik dan polos, sangat berbeda dengan warga di rumah-rumahku selanjutnya. Satu lagi ruangan terakhir yang mungkin paling jarang kukunjungi adalah WC, kenapa demikian? Selain karena aku selalu buang air di parit yang kusebutkan di atas, WC itu juga terletak terpisah dari rumah kami tepatnya agak jauh di pinggir rumah di samping sumur yang dinaungi sebuah pohon mangga besar, bayangkan saja bagaimana keadaannya bila malam hari sementara bagian itu seingatku tidak berlampu atau mungkin juga hanya sekedar lampu bohlam 5 watt seperti toilet-toilet di rumahku yang lain. Hal lain yang membuatku enggan menggunakan WC itu adalah pispot, ya memang ritual buang air besar di situ ditampung di sebuah pispot, paling tidak itulah yang aku dengar dari kakak-kakakku yang mungkin hanya sekedar menakut-nakutiku, sampai sekarangpun aku masih sangat jijik dengan pispot atau kata pispot itu sendiri.

Pada dasarnya, masa kecil yang kulalui di rumah itu bisa dibilang cukup menyenangkan. Hal-hal yang dibilang sebagai kegagalan atau kesedihan ternyata belum sempat untuk kuakrabi pada waktu-waktu itu meskipun berdasar atas informasi dari saudara-saudaraku, aku juga mengetahui apa yang sedang terjadi. Saat ayah terlilit utang dan bangkrut sehingga satu persatu perabotannya harus dijualpun aku juga mengetahuinya, bahkan aku melihat sendiri bagaimana televisi di rumah diangkut sementara di sampingku kakakku membisikanku sesuatu bahwa ayah sedang bangkrut. Jadi sampai sekarang, begitu mendengar kata "bangkrut", yang pertama terlintas di kepalaku adalah bayangan masa kecil saat ayah membawa televisi di rumah itu. Memang menarik, televisi agaknya suatu simbol untuk keadaan ekonomi, sama seperti sekarang. Masa tidak bisa menonton televisi selalu bersamaan dengan masa sulitnya kemampuan ekonomiku, kalau dulu aku bersama saudara-saudaraku setiap sore terpaksa namun dengan gembira harus melompat ke rumah Endar untuk menonton film kartun maka sekarang aku juga harus menumpang nonton TV milik teman. Peristiwa-peristiwa lain seperti banjir dan usaha perampokan yang gagal sama sekali tidak ada yang kuingat. Yang masih agak kuingat adalah bagaimana usaha-usaha orang tuaku untuk menambah penghasilan, yang agak mengharukan mungkin adalah ibu. Ia seringkali mencoba membantu manambah penghasilan dengan berjualan kecil-kecilan yang untungnya tidak seberapa dan biasanya juga tidak awet seperti berjualan mainan, makanan yang dibungkus kecil-kecil, bihun dll yang harganya tentu saja sangat murah. Untuk yang berikut di atas, akupun masih ingat jelas bagaimana usaha jualan itu hanya berlangsung selama beberapa hari saja sehingga lebih mirip suatu permainan atau mungkin juga sebuah bazaar daripada sebuah usaha menambah pendapatan keluarga dan lagipula banyak yang mengatakan kalau ibu menjual dengan harga yang terlalu murah. Kejadian lain yang sampai sekarang telah menjadi semacam monumen peringatan tentang masa lalu keluarga kami adalah yang terjadi pada kakakku yang kedua. Atas perintah ibu, dengan memboncengkan kakakku yang lain di sepeda mininya, ia yang waktu itu masih duduk di bangku sekolah dasar disuruh berkeliling ke rumah-rumah sekitar kampung itu, membawa sekeranjang sayur rebung dan menawari setiap rumah di situ untuk membelinya. Aku sering membayangkan bagaimana hal itu terjadi dan aku juga yakin jika sebagian dari para pembelinya yang notabene adalah tetangga-tetangga itu bila memutuskan untuk membeli sayur rebung itu pertimbangannya lebih didasarkan pada rasa kasihan daripada kebutuhan.

Sebenarnya wilayah Distrikan atau bahkan daerah Nusukan itu tidaklah begitu besar. Dengan pola kemasyarakatan yang hampir bisa dibilang mirip di setiap kampung-kampungnya, seperti juga tipikal warga yang tinggal di perkampungan yang jelas berbeda jauh dengan warga di perumahan yang mungkin lebih seragam, berbagai macam warna dan pengalaman menarik khas warga kampung juga sempat kurasakan sendiri. Waktu kecil, karena keluarga paman juga tinggal di daerah sekitar situ, maka aku dan juga saudara-saudara yang lain sering ke sana. Jarak antara rumah kami dan rumah paman sebenarnya tidak begitu jauh untuk ukuran orang dewasa. Rute yang ditempuh itulah yang menurutku waktu kecil yang lebih sering menjadi masalah. Aku juga masih ingat rutenya dengan jelas beserta rintangan-rintangan yang harus dihadapi, pertama setelah melewati rumah Bu Mitro yang cerewet dan sering tidak akur dengan ibu, harus belok kanan jalan terus sampai melewati perempatan kecil yang seringkali di situ ada anak-anak remaja yang mengejekku. Setelah melewati perempatan itu, akupun melintasi rumah dari orang tertua yang pernah aku tahu saat itu, Mbah Karso. Mbah Karso adalah seorang nenek yang berprofesi sebagai tukang pijat yang juga merupakan langganan keluarga kami, saat aku masih kecil saja aku bayangkan umurnya telah mencapai seratus tahun dan ternyata belasan tahun kemudian ia juga masih sanggup saat ia dipanggil kembali untuk memijati ayah yang terkena stroke Mbah Karso masih nampak seperti dulu, pertambahan umur tak nampak di raut wajahnya yang sedari aku kecil memang sudah seperti simbah tertua di dunia. Di sebelah rumah mbah Karso, tinggal seorang gadis yang agak aneh, entah siapa yang memberi tahuku bahwa ia mengidap sedikit kelainan jiwa atau mungkin hanya sekedar stress. Yang pasti, ia sering berdiri di jalan di gang itu dengan pandangan mata yang kosong, kadang bersembunyi di balik pohon-pohon yang tentu saja membuat aku membayangkan ia akan melakukan sesuatu yang dapat menyakitiku dan yang jelas aku paling takut dengannya. Semua itu masih belum berakhir, masih ada rintangan lain di dekat rumah pamanku itu, kawanan bebek yang sekali lagi karena cerita-cerita provokatif dari terutama kakak-kakakku membuatku takut dengan mereka. Kakak sering bercerita mengenai bebek yang dalam bahasa Jawa disebut "banyak" itu sering mengigit atau "menyosor" kaki orang sampai memar kebiru-biruan, itu sebab kenapa bahkan kadang sampai sekarang aku masih agak takut dengan banyak-banyak yang memang kadang kelihatan suka menunduk-nunduk dan berancang-ancang untuk mengejar aku yang sedang lewat di depan mereka.

Semua kenangan itu tak akan pernah terlupakan dan semua itu terjadi di antara kondisi yang kadang di atas dan kadang di bawah, namun bila kini kami mengenangnya akan selalu membuat kami tersenyum daripada menyesal. Aku sendiri sekarang juga akan selalu merasa beruntung pernah mengalami semuanya itu, yang barangkali tak semua orang pernah mengalaminya, yakni hidup dalam masa kesusahan namun semua dapat dilewati dengan gembira dalam dunia sebagai seorang anak kecil.

Tak salah bila saat kami pindah dari rumah itu, begitu berat rasanya untuk berpamitan dan menyadari kalau keesokan harinya kami tidak akan bangun dan mendengar suara Mbok Temu sedang menyapu halaman, suara anak-anak tetangga yang berlari-lari bakul tenongan yang enak dan lainnya lagi.

Rumah kami yang kedua adalah rumah besar di Mojosongo, tepatnya di jalan Sumpah Pemuda kira-kira tiga menit dari rumahku yang sekarang. Rumah itu adalah milik dari bos yang sekaligus adalah bekas teman masa kecil ayah yang kami panggil dengan Oom Yong Kwee. Masa awal tahun 90an adalah masa jayanya, bisnis membuka toko alat elektronika kemudian dilanjutkan dengan toko alat komunikasi terutama antenna parabola yang pada waktu itu sedang booming dan sangat laris dipakai sebagai simbol kemapanan di kalangan masyarakat kelas menengah atas yang apalagi di Solo, suka pamer.

Rumah itu sangat kontras dan berbeda segala-galanya dengan apa yang kami punyai dan rasakan di rumah Nusukan. Dengan warna putih dan bergaya arsitektur yang entah mungkin Romawi karena pilar-pilarnya, rumah dua lantai itu masih baru saja selesai dibangun, catnya masih baru, lantainya berubin keramik kecuali di bagian gudang, tak ada lagi lantai semen, areanya sangatlah luas sekitar lima kali luas rumah kami yang dulu itupun kelak masih akan ditambah dengan satu rumah lagi di sampingnya yang tak kalah besar dari yang kami tempati. Maksud dari Oom Yong Kwee mempercayakan rumah itu untuk kami tempati juga karena rumah itu di bagian belakangnya difungsikan sebagai gudang penyimpanan peralatan dan kerangka-kerangka parabola dari tokonya, sehingga bisa dibilang rumah itu juga dipakai sebagai tempat kerja usahanya itu dan juga "usaha"nya yang lain yakni bisnis perjudian. Rumah itu seperti juga rumah di samping yang kelihatannya oleh si empunya dibangun untuk difungsikan sebagai rumah peristirahatan sangatlah unik karena banyak memanfaatkan kondisi daerah di Mojosongo yang tanahnya bergelombang naik turun. Rumah itu sendiri terletak di puncak dari suatu jalan menanjak sehingga nampak seperti sebuah istana di antara rumah-rumah kecil di sekelilingnya. Dikelilingi oleh tembok dan pintu gerbang setinggi kira-kira empat meter dan kawat berduri, sungguh begitu angkuh dan mungkin juga sering menimbulkan prasangka yang tidak-tidak dari warga di sekitarnya. Dari luar mungkin tidak akan begitu nampak bahwa sebenarnya rumah yang di dalam ternyata lebih besar dari yang terlihat oleh pengamatan dari luar tembok dan gerbang yang tinggi itu. Hal itu disebabkan karena sebagian dari dua rumah itu ternyata dasarnya berada beberapa meter di bawah jalanan di depan rumah itu sehingga seperti mempunyai rumah tiga lantai namun bagian lantai dasarnya berada di bagian yang sudah digali beberapa meter (kira-kira tidak kurang dari lima meter) dalamnya.

Pindah dari rumah yang begitu sederhana ke sebuah rumah yang begitu mewah dan besar tentu saja sempat membuat kami shock dan terheran-heran sendiri seakan tak percaya bahwa kami akan menempati rumah ini. Aku sendiri masih ingat bagaimana kami nampak seperti sekelompok anak desa atau anak jalanan yang baru pertama kali masuk ke sebuah istana yang karena begitu terheran-herannya kami memuji-muji kamar mandi kami sembari mengelus-elus dindingnya yang kesemuanya dilapisi oleh ubin keramik yang bernuansa hiasan bunga-bunga, suatu bahan yang tidak kami miliki di rumah sebelumnya sekalipun itu di ruang tamu kami. Apa yang disebut sebagai masa-masa kaget itu mungkin berlangsung tidak hanya dalam hitungan hari ataupun bulan sekalipun, itu karena selanjutnya kami juga kembali dibuat terkagum-kagum dengan kecanggihan teknologi informasi yang kami lihat dalam bentuk radio panggil dan tentu saja antenna parabola. Bisa dimaklumi, dari menonton televisi di rumah tetangga menjadi mempunyai televisi besar yang modern dan dapat melihat acara-acara televisi selain TVRI tentu saja sempat membuat kami merasa lebih superior dari orang lain bahkan dengan mereka yang kaya sekalipun.

Pada awalnya, sebagai anak-anak yang dulunya biasa bermain di jalanan bersama tetangga yang lain di gang sempit di kampung Distrikan itu, kepindahan kami semua ke rumah besar bertembok tinggi ini jelas sempat membuat kami terasa canggung dan bahkan bagiku yang saat itu masih berusia sekitar 6 tahun, hal ini tentu saja sedikit membuatku kurang kerasan. Untuk menyikapi kekangenanku pada teman-teman di rumah yang lama, ibu seringkali mengajakku berkunjung ke Nusukan, entah hanya untuk sekedar potong rambut di tukang cukur langgananku yang lama, menemani ibu menagih atau membayar hutang ke tetangga-tetangga lama atau memang khusus berkunjung ke sana. Beberapa kali para tetangga-tetangga yang lama itu juga balas berkunjung ke tempat tinggalku yang baru. Namun biasanya, aku malah merasa kehilangan kedekatan dan keakraban yang dulu selalu ada diantara kami, termasuk aku dan si Endar, teman terdekatku. Kami terasa seperti tidak begitu kenal akrab, Endar dan aku yang biasa berbicara dengan bahasa Jawa ngoko sekarang malah berganti dengan berbahasa Indonesia. Aku juga kehilangan cara berkomunikasi dengannya, kami tidak bisa saling mengejek dan yang jelas tidak bisa bermain bola bersama lagi. Akupun sebenarnya tak begitu yakin jika hal itu disebabkan oleh sekedar rumah mewah yang membuat kami seperti penghuni yang biasa menempatinya. Namun jika memang itu yang terjadi, jelaslah kami semua telah berbuat suatu kesalahan dan pemikiran fatal yang tidak seharusnya ada karena toh kami semua sudah tahu bagaimana kehidupan kami yang sebenarnya.

Memang, sebagai seorang anak yang masih hidup di alam fantasi, jujur saja kami seringkali merasa harus "menyesuaikan diri" dengan penampilan kami yang baru walaupun itu adalah hal yang palsu. Praktis sejak pindah ke rumah yang baru itu sampai selanjutnya, aku tak pernah lagi bergaul akrab atau bermain dengan anak-anak tetangga di sekitar rumah lagi, dan demikian juga dengan kakak-kakakku yang lain. Teman-temanku kini hanya ada di sekolah yang tentu saja waktu bertemunya sangat terbatas. Tetapi sebenarnya bukan karena kami semata-mata memang tak mau berkenalan ataupun mempunyai teman-teman tetangga kami yang baru, pada kenyataannya suasana dan kondisi lingkungan yang barupun jauh berbeda dengan yang dulu. Kakak-kakak perempuanku sekarang sudah beranjak remaja, dan tentunya masa itu merupakan masa kekhawatiran bagi semua orang tua. Merekapun tidak bisa lagi sebebas dulu, mereka tidak lagi bisa bermain petak umpet atau kejar-kejaran dengan anak laki-laki dan perempuan yang lain. Lebih jauh lagi, orang tuaku juga tentunya seringkali harus lebih mengontrol dengan siapa mereka bergaul, apalagi dengan teman lawan jenis mereka. Bagi aku yang masih jauh di bawah usia mereka, hal itu secara tidak langsung juga berpengaruh besar. Sebagai anak paling bungsu, sejak kecil aku seringkali terbiasa untuk ikut-ikutan. Saat mereka mulai jarang pergi keluar untuk bermain lagi dan hanya menghabiskan waktu di kamar entah untuk membaca-baca, ngerumpi atau belajar. Aku sekali lagi ikut-ikutan malas bermain di luar rumah dan hanya menonton siaran TV dan video setiap hari.

Di luar, ketidakakrabanku dengan anak-anak tetangga seringkali malah membuat masalah lain. Dengan predikat sebagai anak Tionghoa penghuni rumah mewah terbesar di lingkunganku, aku seringkali menjadi sasaran anak-anak usil di sekitar rumahku, entah sekedar diejek, ditantang berkelahi atau yang paling aku benci, dikompas. Masalah kompas mengompas ini juga sempat membuatku yang pada waktu itu sudah mulai duduk di bangku SD takut pergi ke sekolah. Memang semenjak duduk di bangku sekolah dasar dan semenjak Pak Prapto sopir yang mengantarku ke sekolah berhenti, aku harus pulang sendirian dengan angkutan umum karena aku memang baru bisa naik sepeda waktu kelas 3 SD. Sedangkan angkutan umum yang mengantarku hanya mau berhenti sekitar 300 meter dari rumah dan selanjutnya mau tak mau jarak itu harus kutempuh dengan berjalan kaki. Disanalah seringkali semua kejadian itu berlaku, dari sekedar dikompas anak-anak SD di dekat rumah sampai dikejar-kejar oranggila yang membuatku sampai bersembunyi dan akhirnya kembali bolos sekolah. Ibu biasanya hanya tersenyum saat aku yang sudah berangkat beberapa menit yang lalu, kembali lagi ke rumah dengan wajah ketakutan.

Namun di balik semuanya itu, akupun mulai mengenal teman-teman baru di sekolah yang bisa dibilang sedikit berbeda dengan teman-teman yang biasa aku kenal waktu aku masih tinggal di kampung. Teman-teman di sekolah kebanyakkan sama sepertiku sekarang, mereka juga lebih senang bermain di dalam rumah dengan entah video game, monopoli atau mobil-mobilan daripada main bola di lapangan atau bertandang ke rumah teman-teman tetangga sekitar.

Tapi waktu-waktu di SD bermain bersama mereka itupun tetap asyik juga…!

Dan rumah besar itu juga yang lantas menjadi teman setiaku yang masih belum pernah bosan untuk menelusuri setiap sudutnya untuk kemudian menemukan hal-hal dan permainan yang baru.

Rumah-rumah yang aku tempati selanjutnya praktis tidak pernah ada yang lebih dari 4 tahun. Hal itu dibarengi dengan perkembangan masa-masa remajaku, seperti remaja lain yang lebih berkutat pada pikiran mengenai pencarian jati diri, akupun sempat mengabaikan rumah dan keluarga atau bahkan menganggap mereka sebagai momok yang menakutkan, pihak yang selalu mengganggu dan tidak paham dengan apa yang kumaui. Rumah menjadi tempat yang asing. Ini semua mungkin siklus yang normal, walaupun kenyataannya kini, segala perubahan yang telah terjadi di dalam keluargaku seiring bertambahnya usia dan prinsip-prinsip yang menyertai setiap benturan antar anak-anaknya telah membuatku begitu merindukan rumah sebagai sebuah tempat berkumpulnya kenangan dan kenyamanan yang tak bisa dirasakan oleh siapapun selain penghuninya sendiri. Dua rumah itu mungkin tidak seratus persen dapat memenuhi bayanganku atas sebuah rumah ideal, namun dua rumah itu pula yang paling sering muncul dalam setting mimpiku sejak dulu hingga sekarang

0 Responses to “Rumah (tulisan lama)”

Posting Komentar


Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!