Perjalanan Singkat yang Berserakan
0 Comments Published by ary on Selasa, 19 September 2006 at 10:32 PM.
1.
Percakapan di malam sebelum berangkat (tentang firasat dan ketakutan yang coba ditutupi)
Wish my self good luck
2.
Tiba
3.
Sabtu siang menjelang sore
Tangan ini makin banyak menghancurkan
Terutama masa depanku
(16 Sept 2006)
4.
Pulang
(17 September 2006)
Filsafat Pelancong
baca selanjutnya..
(18 September 2006)
Percakapan di malam sebelum berangkat (tentang firasat dan ketakutan yang coba ditutupi)
Wish my self good luck
Aku tak berani lagi percaya pada perasaan, naluri, insting, firasat atau apapun itu yang tak ditangkap oleh kelima indera. Kalau hendak menghubung-hubungkan dengan semuanya itu, aku harus bilang kalau kali ini semua itu tak ada. Pemberitahuan yang cukup mendadak, perencanaan, membeli tiket dan menyiapkan anggaran, dan waktupun berlalu sangat cepat, tak sempat aku memikirkan hal-hal macam itu, meski tidak berarti aku tak ingin. Nampaknya aku memang tidak akan bisa menjadi seorang materialis benar-benar. Malam ini, jika tidak aku menyibukkan diri dengan menulis ini (meski menulis inipun sebenarnya tak ingin kulakukan, aku menghadap ke komputer sebenarnya ingin membaca artikel-artikel yang mungkin bisa menambah pengetahuan tentang tugas copywriter), barangkali aku akan berbaring atau pura-pura membaca namun pikiranku melayang-layang, mencoba mencari sesuatu untuk menjustifikasi bahwa aku punya firasat bagus. Firasat? Apa aku memang butuh firasat? Orang yang sangat sulit bergerak tanpa dorongan ini memang butuh. Jika ibu dari tadi terus menerus hanya memberi nasihat-nasihat yang lebih mirip ancaman, atau yang karena kesal aku sebut itu dengan doa jelek, sementara kakak seperti terlalu jauh membayangkan seolah aku sudah pasti diterima bekerja, aku pun seperti biasa harus menciptakan satu pribadi lain, kali ini dalam bentuk firasat. Divine intervention, meski firasat aku maknai sebagai berasal dari diriku sendiri, namun itu tetap sangat absurd dan yang absurd itu punya sifat yang mirip dengan yang tak nyata.
Besok harus bangun lebih pagi, malam ini aku masih tak ada firasat apa-apa, meski sekali lagi tulisan ini adalah satu indikasi bahwa aku menginginkannya. Aku ngantuk seperti biasanya, packing sudah dilakukan, yang agak membingungkan cuma memilih bahan bacaan yang akan kubawa, yang bisa menemani perjalanan yang cukup lama, mengingat kali ini tak ada musik di telinga. Aku juga sudah bawa buku catatan dan pulpen. Ini rencana yang lain, jika kunjungan pertama ke ibukota masih menyisakan sebuah cerita yang berhenti di tengah jalan, semoga kali ini bisa kulanjutkan. Namun ini hanya rencana. Aku memang terlampau banyak rencana jika hendak bepergian, padahal nantinya hanya satu dua saja yang sempat dilakukan. Mungkin ini karena aku memang jarang bepergian. Aku mungkin bisa menulis sesuatu (menarik tidaknya jelas belum pasti) utamanya sepulang dari aku melakukan sebuah perjalanan. Untuk hal ini, blog memang temuan luar biasa.
Tiba-tiba aku membaca judul dalam kurung yang kubuat sendiri. Aku sudah berjanji akan membicarakan tentang ketakutan. Namun, ini memang lucu, tanpa sadar aku benar-benar mencoba menutupinya, seolah judul di atas bukan aku yang membuat. Aku memang takut, lebih dari takut karena telah mengeluarkan sedemikian banyak biaya, bagaimana jika ini sia-sia? Takut ini lebih dari cuma itu. Aku takut kembali lagi ke pekerjaan lama, takut aku akan putus asa (meski putus asa dan memilih kerja di pekerjaan lama dengan lebih lama lagi aku rasa jelas masih sangat jauh langkahnya), takut aku trauma dengan proses lamaran, wawancara, mencari rejeki di negeri bangkrut ini. Lebih baik aku tidur. Mungkin aku bisa bermimpi kali ini. bertemu kakek tua yang memberi wejangan yang menguatkan atau apa saja. Sekian dulu, privasiku sudah hilang..
Besok harus bangun lebih pagi, malam ini aku masih tak ada firasat apa-apa, meski sekali lagi tulisan ini adalah satu indikasi bahwa aku menginginkannya. Aku ngantuk seperti biasanya, packing sudah dilakukan, yang agak membingungkan cuma memilih bahan bacaan yang akan kubawa, yang bisa menemani perjalanan yang cukup lama, mengingat kali ini tak ada musik di telinga. Aku juga sudah bawa buku catatan dan pulpen. Ini rencana yang lain, jika kunjungan pertama ke ibukota masih menyisakan sebuah cerita yang berhenti di tengah jalan, semoga kali ini bisa kulanjutkan. Namun ini hanya rencana. Aku memang terlampau banyak rencana jika hendak bepergian, padahal nantinya hanya satu dua saja yang sempat dilakukan. Mungkin ini karena aku memang jarang bepergian. Aku mungkin bisa menulis sesuatu (menarik tidaknya jelas belum pasti) utamanya sepulang dari aku melakukan sebuah perjalanan. Untuk hal ini, blog memang temuan luar biasa.
Tiba-tiba aku membaca judul dalam kurung yang kubuat sendiri. Aku sudah berjanji akan membicarakan tentang ketakutan. Namun, ini memang lucu, tanpa sadar aku benar-benar mencoba menutupinya, seolah judul di atas bukan aku yang membuat. Aku memang takut, lebih dari takut karena telah mengeluarkan sedemikian banyak biaya, bagaimana jika ini sia-sia? Takut ini lebih dari cuma itu. Aku takut kembali lagi ke pekerjaan lama, takut aku akan putus asa (meski putus asa dan memilih kerja di pekerjaan lama dengan lebih lama lagi aku rasa jelas masih sangat jauh langkahnya), takut aku trauma dengan proses lamaran, wawancara, mencari rejeki di negeri bangkrut ini. Lebih baik aku tidur. Mungkin aku bisa bermimpi kali ini. bertemu kakek tua yang memberi wejangan yang menguatkan atau apa saja. Sekian dulu, privasiku sudah hilang..
2.
Tiba
Aku pun datang lagi. Aku tak ingat bulan apa kemari. Yang jelas tak banyak yang berubah. Gambir masih terburu-buru, ribut dan panas seperti saat perkenalanku yang pertama. Jika harus menyebutkan apa yang beda yaitu adanya smoking dan no smoking area serta petugas yang harus berdiri dekat tangga masuk dengan megaphone meneriakkan kereta yang akan berangkat. Mungkin itu karena pengeras suara yang dari pusat justru tak terdengar jelas di tempat penumpang menunggu dan membeli tiket. Suaranya menggema.
Perjalanan di kereta tadi lebih lama dari jadwal. Aku tiba disini pukul lima. Gagal tidur, tak begitu sukses membaca, namun aku sudah tak begitu bermasalah dengan ketiadaan musik pilihanku sendiri di telinga.
Dan sampai saat ini bisa dibilang aku masih belum sepenuhnya sadar telah tiba di Jakarta. Kota ini bagaimanapun terasa begitu jauh. Kota yang sepertinya hanya eksis di TV! Dalam hal ini, Jakarta pun menjadi sejauh Amerika, Eropa, Irak, Aceh dll.
Ya, inilah si anak kampung datang lagi, mengetes lagi bisakah hidupku diadu di metropolitan, bisakah otak, raga dan badan ini bertahan, tidak terlempar dari puting beliung pusat negara yang mengira diri dan rakyatnya akan kuat menghadapi kompetisi, ah bukan, kata itu terlalu sportif, kuat melawan gasak menggasak dan jegal menjegal para korporat yang telah penuh pengalaman termasuk dalam kekejamannya?
Mungkin cukup ini dulu..
(Jam saat ini menunjukkan pukul 17.30, hari ini hari Jumat tanggal 15 Sept 2006 di area tunggu stasiun Gambir, di bangku besi dekat seorang ibu canggung yang seperti khawatir bawaannya hilang)
Perjalanan di kereta tadi lebih lama dari jadwal. Aku tiba disini pukul lima. Gagal tidur, tak begitu sukses membaca, namun aku sudah tak begitu bermasalah dengan ketiadaan musik pilihanku sendiri di telinga.
Dan sampai saat ini bisa dibilang aku masih belum sepenuhnya sadar telah tiba di Jakarta. Kota ini bagaimanapun terasa begitu jauh. Kota yang sepertinya hanya eksis di TV! Dalam hal ini, Jakarta pun menjadi sejauh Amerika, Eropa, Irak, Aceh dll.
Ya, inilah si anak kampung datang lagi, mengetes lagi bisakah hidupku diadu di metropolitan, bisakah otak, raga dan badan ini bertahan, tidak terlempar dari puting beliung pusat negara yang mengira diri dan rakyatnya akan kuat menghadapi kompetisi, ah bukan, kata itu terlalu sportif, kuat melawan gasak menggasak dan jegal menjegal para korporat yang telah penuh pengalaman termasuk dalam kekejamannya?
Mungkin cukup ini dulu..
(Jam saat ini menunjukkan pukul 17.30, hari ini hari Jumat tanggal 15 Sept 2006 di area tunggu stasiun Gambir, di bangku besi dekat seorang ibu canggung yang seperti khawatir bawaannya hilang)
3.
Sabtu siang menjelang sore
Tangan ini makin banyak menghancurkan
Terutama masa depanku
(16 Sept 2006)
4.
Pulang
Sangat singkat, uang jauh lebih cepat hilang daripada waktu. Sejak malam kedatanganku, dan terutama di setiap pagi, aku selalu merasa waktu di Jakarta lebih lambat dari kota-kota lain. Pagi yang tergesa tidak kurasakan disini. Memang hanya dua pagi saja yang kurasakan, namun perbedaannya sangat terasa.
Kereta yang sama, nomor bangku sama, dengan tayangan di televisi kereta yang persis sama waktu berangkat juga, aku berharap aku dapat mengulangi keberangkatanku, mengulangi apa yang telah kulakukan di kota ini, bahkan mengulangi satu minggu ini. Namun aku bukanlah remaja lagi untuk mengharapkan hal seperti itu.
Yang duduk di sampingku kali ini sungguh menyebalkan sejak datang. Namun jika ia memang berusaha menunjukkan sikap antisosial dan keegoisannya untuk entah menyatakan identitas atau malah mencoba mengintimidasi, jelas ia tak tahu orang berwatak macam apa yang ia hadapi sekarang. Apakah dia lesbian? Feminis yang ingin menunjukkan bahwa ia di atas laki-laki? Sekali lagi ia jelas telah sia-sia dan salah mengambil sikap. Ah mungkin dia hanya korban obsesi orang tuanya.
Kereta memang telah mulai berjalan, namun aku tak merasakannya. Jiwa, antara yang keparat dan yang sekarat masih tak mau menerima jika memang harus ini saja yang bisa kulakukan di atas segala biaya dan waktu dan tenaga dan jasa baik teman yang diberikan. Jika menggelengkan kepala sepanjang perjalanan dapat mengubah sesuatu aku akan melakukan. Tapi anggukan atau gelengan hanya berpengaruh pada orang lain, untuk mempengaruhi perasaannya saja. Jiwaku benar-benar sedang tercerai berai meski kereta hanya berjalan perlahan. Lindas saja supaya otak ini mengurangi suara decit roda dan geram pada diri sendiri. I’m done.
Kereta yang sama, nomor bangku sama, dengan tayangan di televisi kereta yang persis sama waktu berangkat juga, aku berharap aku dapat mengulangi keberangkatanku, mengulangi apa yang telah kulakukan di kota ini, bahkan mengulangi satu minggu ini. Namun aku bukanlah remaja lagi untuk mengharapkan hal seperti itu.
Yang duduk di sampingku kali ini sungguh menyebalkan sejak datang. Namun jika ia memang berusaha menunjukkan sikap antisosial dan keegoisannya untuk entah menyatakan identitas atau malah mencoba mengintimidasi, jelas ia tak tahu orang berwatak macam apa yang ia hadapi sekarang. Apakah dia lesbian? Feminis yang ingin menunjukkan bahwa ia di atas laki-laki? Sekali lagi ia jelas telah sia-sia dan salah mengambil sikap. Ah mungkin dia hanya korban obsesi orang tuanya.
Kereta memang telah mulai berjalan, namun aku tak merasakannya. Jiwa, antara yang keparat dan yang sekarat masih tak mau menerima jika memang harus ini saja yang bisa kulakukan di atas segala biaya dan waktu dan tenaga dan jasa baik teman yang diberikan. Jika menggelengkan kepala sepanjang perjalanan dapat mengubah sesuatu aku akan melakukan. Tapi anggukan atau gelengan hanya berpengaruh pada orang lain, untuk mempengaruhi perasaannya saja. Jiwaku benar-benar sedang tercerai berai meski kereta hanya berjalan perlahan. Lindas saja supaya otak ini mengurangi suara decit roda dan geram pada diri sendiri. I’m done.
(17 September 2006)
Filsafat Pelancong
Setiap kali baru pulang dari perjalanan jauh, untuk beberapa lama biasanya saya tidak banyak bercerita. Kalaupun ada yang bertanya, "Piye?", "Gimana?" dll. biasanya saya hanya akan menjawab sepatah dua patah kata saja dan sesudah itu melakukan kegiatan yang membuat saya sukar diajak komunikasi (mis: mandi, baca, pergi atau tiduran). Sebenarnya yang saya rasakan waktu itu bukan semata kecapaian atau saya sengaja bertingkah 'menyebalkan'. Saya paham bahwa orang-orang di rumah atau di tempat saya pulang ingin segera mengetahui apa yang saya lakukan, lihat atau dengar dari tempat jauh yang saya kunjungi itu. Namun, waktu itu saya justru seperti tidak punya sesuatu untuk dikatakan.
baca selanjutnya..
(18 September 2006)
0 Responses to “Perjalanan Singkat yang Berserakan”