Sancaka, 15 Desember 2006
Aku sudah masuk. Beberapa bagian dari lantai kereta nampak basah. Apakah habis dipel atau air hujan berhasil masuk ke dalam? Dari jendela? Dari atap? Masih tidak ada adegan seperti di bagian akhir novel tadi. Duduk di sebelahku adalah seorang bapak tua. Agak kurus, kulitnya gelap dan rambutnya putih, noda hitam seperti kotoran atau oli yang lama tidak dibilas nampak menghiasi bagian luar cuping telinganya. Ia diam saja saat aku mohon permisi untuk melewatinya masuk ke bangku dekat jendela (sisi baiknya adalah aku bisa duduk di dekat jendela). Tasku yang besar tidak bisa dinaikkan ke atas karena sudah penuh.
Mulai main-main seperti detektif atau peramal. Bapak tua itu tubuhnya nampak masih sehat, boleh dibilang meski tak begitu ramah ia nampak cukup berpendidikan. Waktu aku datang hingga beberapa saat sesudahnya ia nampak masih sibuk mengirim SMS, saat kereta sudah berjalan kudengar ia beberapa kali menelpon anaknya. Bahasanya teratur dan suaranya mantap. Tebakan pertamaku mungkin ia adalah seorang pengajar, meski aku juga sempat curiga jangan-jangan cuma Tarsanesque (orang dengan model yang seperti pelawak Tarsan saja).
Investigasi masih terus dilakukan. Kali ini aku mencoba mencari tahu kenapa ia sama sekali tak berbasa-basi, bahkan nampak tak ingin membangun bahkan menerima kemungkinan terciptanya komunikasi denganku. Aku mencoba mencari jawaban sendiri. Dugaan pertama adalah yang paling otomatis. Apa dia anti-Cina? Yang kedua, apa anti anak muda? Aku mendongak ke atas, kulihat ada dua buah tas yang kemungkinan besar salah satunya adalah miliknya. Tas yang satu bermotif batik sedang tas yang kedua adalah tas kulit yang merupakan souvenir dari sebuah acara semacam Musyawarah Nasional yang diadakan sebuah partai agama yang lambangnya Ka’abah. Aku condong ke tas yang kedua kalau memperhatikan kesan pertamaku di atas serta mendengar percakapan teleponnya yang isinya berkisar tentang persiapan suatu acara rapat atau semacamnya. Nama-nama yang disebutkan waktu ia menelpon keluarganya juga khas, Zahra atau nama-nama berbau Timur Tengah semacamnya. Tapi, tas pertama juga bisa. Ini karena dari percakapan di telepon dan percakapannya dengan seorang ibu berjilbab di bangku sebelah kanannya, ia mengaku berasal dari Jogja. Ya, ketimbang bercakap-cakap denganku, ia lebih memilih berbasa-basi dan mengobrol dengan seorang ibu di samping kanannya (bangku di kereta ini adalah dua-dua). Namun aku sama sekali tak merasa rugi. Aku sendiri memang bukan orang yang suka mengulang-ulang obrolan, “mau ke mana?” dsb. Tapi aku akan lebih suka jika tidak ngobrol apapun karena memang tidak ada orang yang duduk di sampingku.
Untuk beberapa waktu, aku menulis di buku kecilku hal-hal lain yang tak ada hubungannya dengan kejadian di sekitarku. Sementara di luar, hujan deras yang disertai angin kencang membuat para penumpang menutup jendela-jendelanya. Bangkuku tidak kena cipratan air hujan, namun spontan aku mencoba ingin menutup jendela juga, tapi tak berhasil. Ada untungnya aku meninggalkan kebiasaanku membawa discman dan memutarnya di kereta sepanjang perjalanan. Bangku di depanku, seorang pria dan wanita (ini salah satu bukti kalau aku saja yang memang tak pernah beruntung mendapatkan teman sebangku wanita) sedang asyik membicarakan hal-hal seperti di koran. Semula si wanita terdengar mendominasi pembicaraan. Topik yang kudengar dari bibir si wanita adalah Indonesia di masa depan. Kayaknya ia baru membaca ramalan bahwa Indonesia di beberapa puluh tahun lagi akan bangkit dan semacamnya. Si pria tak banyak bicara, mungkin demi menjaga sopan santun.
Di luar sudah mulai gelap, kereta sudah mencapai daerah yang tidak turun hujan, komunikasi masih tidak ada sama sekali. Pria tua yang kalau dilihat dari samping garis bibirnya serupa dengan garis bibir ikan itu kadang masih ngobrol dengan ibu-ibu di seberang kanan. Aku juga sudah memutuskan untuk tidak perlu lagi membangun komunikasi. Maka, aku mengeluarkan Hemmingway tapi beberapa halaman sudah membuat mataku ngantuk. Aku mulai merasa lapar sementara si bapak dari tadi tak henti-hentinya menghisap Class Mild dan berSMS.
Sudah sampai di Madiun. Si ibu yang menjadi teman ngobrol bapak itu turun di sana. Sempat sebuah bungkusannya ketinggalan, namun bapak itu segera membawa dan berusaha menyusul si ibu yang ternyata juga hendak kembali mengambil bawaannya. Di luar masih seperti biasa. Hiruk pikuk penjual pecel yang selama ini baru sekali atau dua kali saja kubeli. Satu keluarga etnis Tionghoa naik, semula mereka bingung kenapa keretanya jelek. Ternyata mereka adalah penumpang kelas eksekutif. Tapi ada tiga orang yang tinggal di gerbong kami selama beberapa saat. Mereka nampak bingung mencari tempat duduknya. Bapak tua itu sempat menyarankan agar duduk saja di sembarang bangku yang kosong, tidak apa-apa. Hanya salah satu saja dari keluarga itu yang naik. Seorang wanita usia sekitar 30an duduk di bangku bekas ibu berjilbab tadi. Namun pengantarnya masih beberapa menit bercakap-cakap dengan dia. Seorang anak kecil dari keluarga itu diperintahkan ibunya dengan memakai bahasa Cina. Kali ini aku mengambil kesimpulan sementara yang baru. Bahwa bapak tua itu sebenarnya orang yang suka berbicara, namun kecuali mungkin dengan anak muda. Entah, aku kembali ke dugaan semula. Dia adalah dosen atau semacamnya.
Aku masih mencoba untuk tidur. Segala posisi dicoba hingga tubuh terlipat-lipat karena harus berbagi tempat dengan tasku yang besar ini, kaki dilipat cukup nyaman dan aku bisa tidur, tapi lama-lama kok kesemutan. Aku pun bangun lagi. Terpengaruh dengan si bapak yang sedari tadi mengepulkan asap Class Mild, aku jadi ikut-ikutan ingin merokok. Namun, tak mungkin beli di kereta karena harganya dipastikan sangat mahal, mungkin melebihi bandrol.
Beberapa kali kereta berhenti. Dan di saat-saat seperti itu, di mana tak ada suara mesin, tak ada pergerakan udara dan ditambah suasana gelap di luar, di dalam sini, waktu seakan turut berhenti. Hawa panas dan beberapa serangga mulai masuk ke dalam gerbong. Pembicaraan orang-orang jadi terdengar sangat jelas juga. Bapak di sebelahku terlihat sering meninggalkan bangkunya sejak beberapa waktu terakhir. Aku duga ia merokok di dekat toilet sana sebab wanita yang baru naik di Madiun dan duduk di seberangnya itu nampak menutupi hidungnya menghindari asap rokok, meski matanya terpejam. Meski demikian, aku sempat berprasangka lagi. Apakah ia sering meninggalkan bangku karena bosan? Panas? Karena sikapku yang diam saja? Atau karena kesemutan? Gerah akibat duduk di antara dua Cina? Aku jadi rasis sendiri.
Aku perhatikan penumpang lain. Entah kenapa setiap melakukan perjalanan dengan kereta, aku sering sekali satu gerbong dengan tentara/calon tentara atau orang yang berambut cepak. Demikian juga kali ini. Namun, meski pria itu berbadan tegap dan berambut cepak, kali ini aku ragu kalau ia seorang tentara. Tak lain karena cara bicaranya yang mengandung kesan feminim. Menulis di kereta yang sedang berhenti seperti saat ini telah menimbulkan kesan yang begitu eksotik bagiku. Duduk dan agak membungkuk karena menulis beralaskan tas sementara di luar sebuah kereta melesat begitu cepat membawa angin yang masuk melalui jendela di samping kiriku. Amat menyenangkan.
Aku menguping lagi pembicaraan dua orang di bangku depanku. Kali ini si pria sudah mulai banyak bicara. Topiknya sudah sampai kepada perbankan dan perekonomian Orde Baru. Tentang aturan jaman Orba yang membolehkan orang buka bank cukup dengan modal 500 juta. Tentang bagaimana dulu, sarjana jurusan apapun bisa diterima untuk bekerja di bank (sekarang sepertinya masih). Dan bahwa banyak orang di masa itu sangat bangga jika sudah diterima bekerja di bank (kayaknya masih juga, setidaknya untuk para orang tua). Pembicaraan yang menarik, namun beberapa kurang dapat kutangkap dengan baik. Untuk sisa perjalanan selanjutnya, akupun hanyut dalam Farewell to the Arms.
Sebelum ini
Bulanan
- April 2005
- Mei 2005
- Juni 2005
- Juli 2005
- Agustus 2005
- September 2005
- Oktober 2005
- November 2005
- Desember 2005
- Januari 2006
- Februari 2006
- Maret 2006
- April 2006
- Mei 2006
- Juni 2006
- Juli 2006
- Agustus 2006
- September 2006
- Oktober 2006
- November 2006
- Desember 2006
- Januari 2007
- Februari 2007
- Maret 2007
- April 2007
- Mei 2007
- Juni 2007
- Juli 2007
- Agustus 2007
- Oktober 2007
- November 2007
- Januari 2008
- Februari 2008
- Maret 2008
- April 2008
- Mei 2008
- Juni 2008
- Juli 2008
- Agustus 2008
- September 2008
- Oktober 2008
- November 2008
- Desember 2008
- Januari 2009
- Februari 2009
- Maret 2009
- April 2009
- Mei 2009
- Juni 2009
- Juli 2009
- Agustus 2009
- September 2009
- Oktober 2009
- November 2009
- Desember 2009
- Januari 2010
- Februari 2010
- Maret 2010
- April 2010
- Mei 2010
- Juni 2010
- Juli 2010
- Agustus 2010
- September 2010
- Oktober 2010
- Desember 2010
- Januari 2011
- Februari 2011
- Maret 2011
- April 2011
- Mei 2011
- Juni 2011
- Agustus 2011
- September 2011
- Oktober 2011
- November 2011
- Desember 2011
- Januari 2013
- Maret 2013
- Maret 2015
- Mei 2015
- Februari 2022
Egos&Temans
- alterpedia
- onemoretunes
- onie
- julie
- dwi
- carol
- jessie
- dian
- tyka
- vero
- panjul
- daru lak
- debbie
- rossalyn
- bayu
URL Lainnya
- titikoma | dead air | koil | andreas-h | enda-n | eka | kliping buku | hoax | saltum | DRS | biopsychiatry | jogja | pasarsolo | mediabersama | matabaca | ruangbaca | indymedia | youtube | indoprogress | popculture | kunci | endonesa | rumah kiri | marxist | NLR | marxists | burgomeister | manybooks | OBT | donlot youtube | sing365 | deviantart | songmeanings | imdb | britfilm | readprint | googlelit | gutenberg | links indo | digital books | books download | preterhuman | information | mininova | wikipedia | anarchopedia | uncyclopedia | stanford | myth | encyclopedia | alamat | teori | lit-teori | misshacker | awful | vtunnel | make up | tutorial | mandarjn | banner | colors | javascript | blogthings | archive | nguping | lentera
XML
0 Responses to “Catatan Nyaris Seminggu #2”