Mama meninggal dalam mimpiku semalam. Dan tampaknya otakku kali ini seperti tidak perlu berusaha keras untuk merancang satu skenario baru atau susah payah menggabung-gabungkan berbagai ingatan menjadi satu hal baru. Cukup satu ingatan tentang kematian Papa dengan menggantinya menjadi Mama. Dalam mimpi semalam, apa yang kupikirkan bukanlah kesedihan, namun kepada siapa saja dan dengan cara apa aku bisa menyebarkan kesedihan itu.
Aku bangun tanpa mengira bahwa hari ini justru akulah yang meninggal dunia. Aku masih ingat bahwa hari ini bakal tidak begitu indah, namun aku toh nekad berharap itu tidak begitu parah.
Perkenalkan, aku adalah Pinokio yang disulap menjadi manusia beberapa bulan yang lalu. Dan kini aku merasa bahwa sebagian besar tubuhku (tanpa aku sadari betapa cepat itu terjadi hanya dalam beberapa hari ini) telah mulai berubah kembali menjadi sebatang kayu. Kayu itu lapuk, bukan kayu baru seperti sebelum sihir itu mengubah diri dan hidupku. Apakah itu karena aku telah berdosa pada sang Peri Biru. Apakah aku telah mengkhianati Jimmy Jangkrik? Apakah aku berbuat salah pada Pak Gepetto? Bukan. Tapi aku telah melukai pembuat cerita. Aku menggagahi Peri Biru. Aku meracuni Jimmy Jangkrik. Dan aku menghajar si tua Gepetto dengan martilnya sendiri. Dan bahkan sirkus konyol Stromboli telah kuporakporandakan tanpa mereka sempat menyadarinya.
Aku tak mampu menemukan kata lain selain semua ini. Aku mengirim sebuah pesan. Aku melakukan sebuah kesalahan yang selalu saja kuulang. Aku masih ingat bahwa tampaknya itulah yang membuat kegagalanku. Namun, aku mengulanginya setiap kali. Aku tak bisa berkata apa-apa karena semua sudah terjadi. Aku pun menurunkan derajat menjadi seorang yang suka mencari perhatian. Aku pun memikirkan alasan bahwa itu karena semua lagu sedih yang kudengar hari ini. Aku juga sempat hendak mencoba dengan "keterasingan, ketertutupan diri" hingga "kegilaan, tapi yang tidak seperti kau pikirkan." Tapi aku tidak melakukannya. Itu satu poin yang cukup penting. Aku pun diam. Aku biarkan perkiraan pertama lewat, tapi tidak untuk yang lainnya.
Aku membayangkan seorang yang lain. Seorang perfeksionis yang sesungguhnya lebih kepada obsesif. Dan aku kesal mengapa tidak ada yang membicarakan tentang hal itu. Aku mungkin dulu juga seperti itu, tapi aku tidak akan mengatakannya karena dia sepertinya jauh lebih parah dari aku yang dulu.
Entah pesan itu akan dipikirkan atau sudah hilang. Aku harus segera menulis dengan lekas karena jari-jariku sudah mulai terasa membeku. Perutku sudah menjadi kayu, demikian pula dengan punggungku. Sebentar lagi ini tentu akan segera menjalar ke otakku. Aku tidak pernah mendengar bahwa aku meninggal dalam mimpi Mama. Kayu yang lapuk dengan para rayap terkekeh kekenyangan di sana. Semua seakan hilang. Dia tidak pernah tahu. Sebenarnya aku pun tak tahu apakah ini benar begitu. Aku tak tahu apakah semua orang juga mengalami kengerian semacam ini.
Aku bangun tanpa mengira bahwa hari ini justru akulah yang meninggal dunia. Aku masih ingat bahwa hari ini bakal tidak begitu indah, namun aku toh nekad berharap itu tidak begitu parah.
Perkenalkan, aku adalah Pinokio yang disulap menjadi manusia beberapa bulan yang lalu. Dan kini aku merasa bahwa sebagian besar tubuhku (tanpa aku sadari betapa cepat itu terjadi hanya dalam beberapa hari ini) telah mulai berubah kembali menjadi sebatang kayu. Kayu itu lapuk, bukan kayu baru seperti sebelum sihir itu mengubah diri dan hidupku. Apakah itu karena aku telah berdosa pada sang Peri Biru. Apakah aku telah mengkhianati Jimmy Jangkrik? Apakah aku berbuat salah pada Pak Gepetto? Bukan. Tapi aku telah melukai pembuat cerita. Aku menggagahi Peri Biru. Aku meracuni Jimmy Jangkrik. Dan aku menghajar si tua Gepetto dengan martilnya sendiri. Dan bahkan sirkus konyol Stromboli telah kuporakporandakan tanpa mereka sempat menyadarinya.
Aku tak mampu menemukan kata lain selain semua ini. Aku mengirim sebuah pesan. Aku melakukan sebuah kesalahan yang selalu saja kuulang. Aku masih ingat bahwa tampaknya itulah yang membuat kegagalanku. Namun, aku mengulanginya setiap kali. Aku tak bisa berkata apa-apa karena semua sudah terjadi. Aku pun menurunkan derajat menjadi seorang yang suka mencari perhatian. Aku pun memikirkan alasan bahwa itu karena semua lagu sedih yang kudengar hari ini. Aku juga sempat hendak mencoba dengan "keterasingan, ketertutupan diri" hingga "kegilaan, tapi yang tidak seperti kau pikirkan." Tapi aku tidak melakukannya. Itu satu poin yang cukup penting. Aku pun diam. Aku biarkan perkiraan pertama lewat, tapi tidak untuk yang lainnya.
Aku membayangkan seorang yang lain. Seorang perfeksionis yang sesungguhnya lebih kepada obsesif. Dan aku kesal mengapa tidak ada yang membicarakan tentang hal itu. Aku mungkin dulu juga seperti itu, tapi aku tidak akan mengatakannya karena dia sepertinya jauh lebih parah dari aku yang dulu.
Entah pesan itu akan dipikirkan atau sudah hilang. Aku harus segera menulis dengan lekas karena jari-jariku sudah mulai terasa membeku. Perutku sudah menjadi kayu, demikian pula dengan punggungku. Sebentar lagi ini tentu akan segera menjalar ke otakku. Aku tidak pernah mendengar bahwa aku meninggal dalam mimpi Mama. Kayu yang lapuk dengan para rayap terkekeh kekenyangan di sana. Semua seakan hilang. Dia tidak pernah tahu. Sebenarnya aku pun tak tahu apakah ini benar begitu. Aku tak tahu apakah semua orang juga mengalami kengerian semacam ini.
0 Responses to “Meninggal”