Mungkin bukanlah salahmu kalau aku begitu risau malam ini. Aku yang meluputkan janji, meski tak sepenuhnya, di malam yang lalu. Dan kemarin lusa, akulah yang menyalakan api. Aku tak tahu dengan apa kau sambut api itu. Aku baru akan tahu besok, atau lusa, atau kapan kau tentukan harinya. Apakah kau akan menyambutnya dengan sebatang lilin, sebatang rokok (tapi kau tak merokok), atau dengan sebuah tiupan lantang, atau malah kau buru-buru mengambil seember air untuk memadamkannya.
Mungkinkah aku salah (semoga) jika aku mengira ada keraguan di matamu setiap kali memandangku. Namun, ragumu bagaimanapun berarti kau masih memiliki sekian persen setuju, karena itulah yang aku harap dapat kau bisikkan ke telingaku. Mungkin saja ini hanya trauma jika aku khawatir bahwa api itu tanpa disengaja justru membakar sebagian kulit tubuhmu, sehingga kau merasa begitu marah karena panasnya yang menyengat itu. Sumpah, aku akan takut karena sama sekali tak ada niatku untuk menyakitimu. Hanya rasa hangat dan nyala terang dari api itu yang ingin kuberikan untuk menghadang hawa dingin dan gelap yang membutakan itu.
Tahukah kamu bahwa waktu bergerak lebih cepat saat hari makin malam. Dan setelah itu pagi dan siang hari pun akan saling menelan dan ditelan oleh malam, seperti sebuah rantai makanan. Aku telah menunggu dan sering kali menunda, hingga waktu beranjak tua. Karena itu sekarang aku berusaha untuk tetap terjaga. Aku tak ingin waktu melaju terlalu cepat seperti juga aku tak ingin ia berhenti, apalagi di titik yang tak tepat. Kau tahu bahwa kata dan lembar-lembar surat tak akan dapat habis atau dihentikan sepanjang waktu itu masih deras. Tapi tak ada bagusnya hanya melihat waktu melaju membawa para penumpang di depan mata yang berusaha ditahan untuk tak terlelap, tanpa ada satu pun yang diperbuat.
Maka untuk pertama kalinya dalam hidupku aku menggunakan pena untuk menghadang deretan peristiwa dan perasaan yang menggelora, memohon dan dinista. Aku tak akan sekadar mencatat peristiwa-peristiwa. Aku ingin membuat peristiwa dengan pena dan kertas. Aku mengalunkan lagu, meski bukan satu irama yang sempurna. Aku tahu aku tetap harus bicara dalam tatap mata. Semoga kau mendengarkannya. Dan aku akan lega.
Mungkinkah aku salah (semoga) jika aku mengira ada keraguan di matamu setiap kali memandangku. Namun, ragumu bagaimanapun berarti kau masih memiliki sekian persen setuju, karena itulah yang aku harap dapat kau bisikkan ke telingaku. Mungkin saja ini hanya trauma jika aku khawatir bahwa api itu tanpa disengaja justru membakar sebagian kulit tubuhmu, sehingga kau merasa begitu marah karena panasnya yang menyengat itu. Sumpah, aku akan takut karena sama sekali tak ada niatku untuk menyakitimu. Hanya rasa hangat dan nyala terang dari api itu yang ingin kuberikan untuk menghadang hawa dingin dan gelap yang membutakan itu.
Tahukah kamu bahwa waktu bergerak lebih cepat saat hari makin malam. Dan setelah itu pagi dan siang hari pun akan saling menelan dan ditelan oleh malam, seperti sebuah rantai makanan. Aku telah menunggu dan sering kali menunda, hingga waktu beranjak tua. Karena itu sekarang aku berusaha untuk tetap terjaga. Aku tak ingin waktu melaju terlalu cepat seperti juga aku tak ingin ia berhenti, apalagi di titik yang tak tepat. Kau tahu bahwa kata dan lembar-lembar surat tak akan dapat habis atau dihentikan sepanjang waktu itu masih deras. Tapi tak ada bagusnya hanya melihat waktu melaju membawa para penumpang di depan mata yang berusaha ditahan untuk tak terlelap, tanpa ada satu pun yang diperbuat.
Maka untuk pertama kalinya dalam hidupku aku menggunakan pena untuk menghadang deretan peristiwa dan perasaan yang menggelora, memohon dan dinista. Aku tak akan sekadar mencatat peristiwa-peristiwa. Aku ingin membuat peristiwa dengan pena dan kertas. Aku mengalunkan lagu, meski bukan satu irama yang sempurna. Aku tahu aku tetap harus bicara dalam tatap mata. Semoga kau mendengarkannya. Dan aku akan lega.
0 Responses to “Selalu Meresahkan”