Kawan lama
Kawan setia
Sana sini dicerca
Sana sini ada
Kawan ketawa
Kawan ternganga
Di kardus tumpukan terbawah
Di bungkus dua lapisan
Kawan sepi
Kawan suka dikopi
Tukar sana sini
Hilang sukar dicari
Kawan bawa kawan
Kawan malu rebutan
Bareng oke, asal pulang kupinjam
Pinjam oke, asal yang sudah bosan
Kawan bujang
Kawan pembuktian
Seleramu kayak gitu
Amatiran lu
Label: mahasiswa
Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...Demikianlah dolop. Tapi, dolop mungkin lebih baik dari si pembeli gadungan tadi. Paling tidak dia tidak merugikan orang lain, tidak membuat orang mengeluarkan uang untuk membeli sesuatu yang tidak berguna atau kualitasnya buruk. Dolop hanya membuat si pelawak lebih bersemangat, tidak putus asa karena lawakannya tidak berhasil memancing tawa penonton. Aku rasa seorang dolop kemungkinan besar juga tidak dibayar karena mungkin ia sendiri adalah teman atau bahkan manajer si pelawak sendiri (kalau memang dimanajeri). Dolop juga agak beda dengan orang-orang yang dibayar komedian Andy Kauffman untuk menyaru sebagai penonton dan kemudian menjadi objek penderita dalam lawakan gelapnya. Dolop tentu juga tidak seperti bos mafia yang tertawa sambil menoleh ke anak buahnya, sehingga para anak buah itu segera ikut tertawa, meski mereka sebenarnya tidak ingin tertawa.
Dolop mungkin hanya akan tertawa dengan agak berlebihan, misalnya berbunyi “hahahaahaaaeeeyy…”, “huaaahaaeeyy…”, dsb. Kadang terdengar agak maksa memang. Yang jelas, tawanya harus keras dan menonjol. Seperti suara tawa alm. Basman atau suara tawa lain di rekaman lawak Kartolo, cs yang konon adalah tawa sesama pelawak di grup itu yang sedang tidak main di adegan tersebut. Dalam kasus Kartolo, sering kali tawa Basman memang berhasil memancing penonton atau pendengar ikut tertawa. Bukan menertawakan lawakan, tapi cara tertawa Basman sebagai dolop. Kalau orang sudah tertawa sekali, biasanya akan mudah dipancing untuk tertawa lagi. Si dolop berhasil. Namun, risikonya tentu ia bisa dianggap berlebihan, overakting, mengganggu atau bahkan dianggap menghina.
Kalau bisa disebut sebagai profesi, dolop mungkin bukan profesi yang sangat menyenangkan tapi juga tidak menyedihkan. Tidak seperti pelawak yang menjadi fokus sorotan, dolop berbaur di balik kerumunan penonton. Dolop juga beda dengan provokator tepuk tangan di acara-acara TV yang digelar di studio, atau dirigen suporter bola di Liga Indonesia. Dari segi penampilan, dolop tidak berseragam atau sengaja membedakan diri. Yang ia lakukan juga ‘mudah’ saja. Tidak perlu berakting seperti rekan Andy Kauffman, dolop cukup hanya memulai tawa. Tertawa yang keras dan menonjol, yang membuat orang lain terpengaruh, meski kita tahu untuk kepentingan siapa ia tertawa. Tapi tentu saja, tidak semua orang yang tertawa keras dalam sebuah pertunjukan lawak adalah dolop. Ini karena gaya tertawa orang beda-beda. Kebanyakan orang juga harusnya tidak perlu marah jika ia tertawa akibat terpengaruh si dolop. Bahkan mestinya justru berterima kasih karena meski pertunjukannya tidak lucu, ia tetap bisa tertawa. Yang biasanya marah adalah orang yang tidak bisa tertawa saat orang lain tertawa. Mungkin karena terlalu curiga pada adanya konspirasi tawa itu. Mungkin juga karena takut dianggap sehati dengan si dolop. Sekali lagi, itulah risiko menjadi provokator tawa seperti dolop. Lebih sial lagi orang yang dianggap sebagai dolop hanya karena tertawa lebih keras atau tertawa di saat tidak ada orang lain yang tertawa.
(tiba-tiba jadi kepingin nulis soal tawa dan humor lagi)
Label: dolop, lawak, manusia, tawa
Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...