Bulan separuh belum muncul di satu Kamis petang tahun 1981. Namun, hujan sudah tiba untuk mengguyur bumi. Sejak dari rumah kecil itu, ke becak, dan ke ruang perawatan rumah sakit besar tersebut datanglah sakit. Harap. Takut. Lalu tangis. Dan kelegaan yang menggembirakan. Ibu mengatakan aku dilahirkan oleh Kasih. Ibu tidak sedang bersyair meski ia menuliskannya. Di selembar kertas kusam yang juga disimpan di album yang sama dengan kertas kalender tua itu tertulis, Bidan: Bu Kasih. Lahir: 18.40. Lalu beberapa keterangan tentang weton atau pasaran, angka-angka dalam aksara Mandarin, tak lupa berat dan panjang (bukan tinggi) bayi itu.
Untuk penggemar simbol, aku memiliki simbol-simbol mulai dari ayam yang ulet, pembawa air yang cinta damai, pohon poplar yang tidak pasti, batu arang yang romantis, sampai dewa bumi bernama Geb yang katanya membuatku kadang cenderung narsis. Sikap-sikap lain yang disematkan dengan cukup luas kepadaku juga cukup menarik. Tradisi bangsa Celtic mengatakan aku menarik, tidak terlalu percaya diri, hanya berani kalau terdesak, butuh lingkungan yang menyenangkan dan bersahabat, sangat pemilih, sering merasa sendiri, kasar, berjiwa seni, pintar mengatur, cenderung suka filsafat, dapat dipercaya di segala kesempatan, memandang serius sebuah hubungan. Agak lain dengan tradisi Aztec yang mengatakan aku sederhana. Sementara itu, bangsa Mesir kuno malah menyebut aku sensitif, rendah hati, ungu, dan bisa sangat sombong. Ya.. ya.. sebagian tidak terlalu benar, yang baik sekalipun, bahkan menurut aku sendiri. Tapi tidak ada yang memintamu untuk percaya juga.
Dulu, aku sering dihubungkan dengan kakekku. Dia adalah kakek dari pihak ayah yang tidak pernah kutemui. Memang tipe wajah kami cukup mirip. Ini cukup membuatku heran karena ayahku sendiri tidak mirip dengan dia. Meski demikian, aku tidak keberatan disamakan dengan kakek. Sejauh yang kutahu, sampai saat ini kakek toh selalu punya reputasi baik di benak orang-orang yang pernah mengenalnya. Malah, jika percaya pada reinkarnasi, silakan saja mengait-ngaitkan fakta tentang kematian kakek yang terjadi pada awal bulan Juni, yang berjarak 8 bulan dari kelahiranku. Namun, aku masih belum pernah mendengar ada orang yang iseng-iseng menghubungkan jarak waktu kedua peristiwa itu.
Aku merasa baru mengenali waktu ketika tahun 1985. Yang kujadikan patokan adalah bahwa aku sangat ingat dengan kalender warna biru yang bertuliskan angka 1985, masa yang terasa sangat lama berlalu itu. Mungkin karena waktu itu aku sudah mulai bisa membaca jam dan mengenal angka. Tapi di hari-hari berikutnya, aku mulai merasa berjarak dengan angka. Barangkali perjumpaan dengan katalah biang keroknya. Mengenali waktu ternyata jauh lebih menarik saat dituturkan dengan kata. Sejarah harusnya lebih banyak mengingat tentang kata ketimbang angka. Demikian pula sejarah hidupku. Aku tidak sedang mempertarungkan angka dan kata. Namun, aku ingin kelak dikenang dengan lebih banyak cerita, meski tetap dengan beberapa angka.
Petang hari ini, akan datang angka 28 itu. Entah apa yang sudah siap menungguku setelah itu. Yah, siapa yang menyangka 28 tahun berlalu sedemikian cepat? Aku memang melewati umur Chairil, dkk. tapi mereka telah memakai waktu dengan jauh lebih sempurna. Dan kini, aku masih belum percaya 30 tahun adalah 2 tahun lagi. Dan aku baru ingat belum memperpanjang KTPku!