perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


Pijat

Sebelum belakangan ini, pengalamanku dengan pijat paling-paling hanya waktu masih balita. Dulu, keluargaku punya tukang pijat langganan namanya Mbah Karso. Karso tentunya adalah nama suaminya. Waktu aku masih kecil saja, Mbah satu ini sudah sangat tua. Aku tak ingat bagaimana pijatannya, tapi yang jelas Papa sangat cocok dan aku pikir ini bisa berarti pijatan Mbah Karso cukup mantap karena Papa termasuk yang berkulit badak. Pada waktu aku masuk TK, keluargaku lalu pindah rumah cukup jauh, sehingga hubungan dengan Mbah Karso praktis terputus. Tapi, siapa sangka belasan tahun kemudian, kami berkesempatan bertemu Mbah Karso lagi.

Waktu itu, Papa habis terserang stroke. Dan di waktu-waktu itu, ia sering minta macam-macam (aku tak tahu, mungkin itu karena ia sendiri sudah merasa kalau hidupnya tidak lama lagi). Salah satunya, merasakan pijatan Mbah Karso lagi. Kami tidak tahu apakah Mbah Karso masih hidup, dan kalaupun masih, apakah masih memijat. Beruntung ternyata beliau masih bersedia (meski kami rasa sebenarnya dia sudah pensiun) demi masa lalu, untuk dijemput dan memijat Papa. Mbah Karso sudah terlihat sangat ringkih, dan semua yang melihat tentu bisa menebak bahwa pijatannya sudah sangat lemah. Tapi, Papa pun puas. Mbah Karso juga tampak senang bisa membantu. Cukup mengharukan memang. Setidaknya, itu tanda bagaimana dalam hal pijat memijat, kecocokan sering kali sangat memengaruhi.
Seperti sudah kukatakan tadi, pada masa-masa TK, SD, SMP, SMU, kuliah, dan beberapa tahun setelah bekerja, aku praktis tidak pernah pijat lagi. Meskipun Mama sering memanggil tukang pijat (sebenarnya tidak selalu tukang pijat, kadang hanya tukang cuci kami diminta memijat dan mengeroki Mama) dan kakak-kakak juga kadang ikut nimbrung, aku sama sekali tak tertarik. Bahkan, kerokan pun aku termasuk sangat jarang. Aku memang tidak suka dan tidak tahan. Hanya jika sudah sakit demam tinggi saja yang kadang membuatku terpaksa merelakan diri dikeroki sambil menggeliat-geliat karena sakit terkena tulang atau jerawat di punggung.
Bahkan, meskipun kakak iparku, yang pernah beberapa tahun serumah waktu aku menumpang di rumahnya di Surabaya, ternyata berbakat memijat (refleksi) dan mulai sering diminati beberapa orang atas pijatannya, aku tetap bergeming. Awalnya adalah karena aku tidak percaya. Aku meragukannya karena dia belajar secara otodidak. Meski demikian, faktanya makin banyak orang cocok, bahkan sembuh setelah dipijatnya. Aku tahu itu. Tapi, aku memang tidak terlalu suka dipijat.
Namun, lama kelamaan, terutama karena kurang menjaga gaya hidup (sampai sekarang), aku mulai sering merasakan rasa sakit di punggung dan bahu. Kebiasaanku waktu kecil, suka tidak nyaman dengan leher (sehingga sering menggeleng-gelengkannya dengan aneh), mulai muncul lagi. Mungkin itu karena aku terlalu sering duduk. Mungkin karena aku sering duduk dengan cara yang salah (bongkok). Untuk bongkok, aku ingat Papaku sendiri dulu selalu memarahi jika aku duduk seperti itu. Bahkan, ia pernah bilang kalau punggungku aneh, jika benar-benar membungkuk akan ada tonjolan kecil mencuat di sela-sela tulang punggung bagian bawah. Aku tak tahu apa itu, apakah itu normal (aku pikir itu biasa saja), tapi yang jelas memang sejak dulu aku punya sedikit masalah dengan punggung dan leher.
Pekerjaanku yang menuntut banyak duduk juga makin memperparahnya. Dan ada satu lagi kejadian yang aku rasa menjadi puncaknya, yaitu ketika aku jatuh dari sepeda motor karena terpeleset di jalan. Waktu itu, tangan kiriku rasanya nyeri sekali hingga berhari-hari. Aku sempat datang ke tukang urut rekomendasi seorang rekan kantor. Tapi, yang ada malah aku diurut sebentar lalu dikeroki. Apa hubungannya sama kerokan ya? Aku juga dipijat oleh kakak iparku yang kini sudah membuka praktik pijat yang hasilnya cukup bisa dipakai menunjang keluarganya. Tapi, hingga beberapa bulan, entah karena hanya sugesti atau apa, aku masih sering merasa nyeri dan memang nyatanya tangan kiriku itu jadi tidak selentur tangan kanan.
Aku juga mulai sering kerokan dan mulai bisa menikmatinya, meski untuk daerah-daerah tertentu saja. Ketika punggung nyeri, kerokan ternyata bisa mengurangi sakitnya. Dan ketika kakak iparku tadi membuka praktik pijat, setelah beberapa bulan aku tidak pernah mencoba (padahal saudara-saudara yang lain langsung mencoba), aku akhirnya mulai beberapa kali ke sana untuk dipijat. Yang unik, setiap kali aku ke sana, selalu ada cara pijat baru. Kadang itu lebih mantap, tapi kadang juga kurang mantap (lebih mantap yang dulu, pikirku). Pijat ala kampung, yaitu memanggil tukang pijat/kerokan amatir, juga kulakukan. Kalau dulu namanya Mbah Karso, sekarang langganan keluargaku adalah Bu Cip (meski dia kadang lebih suka dipanggil Mbah Cip). Anehnya, kerokan dengan Bu Cip jauh lebih nyaman daripada kerokan dengan Mamaku sendiri. Aku rasa rahasianya adalah cara mengeroknya yang lebih rapat tapi mantap.
Di Jogja, aku sendiri memperkenalkan pacarku pada pijat profesional. Awalnya, dia kurujuk ke Kakiku yang ada di Galeria, meski waktu itu aku sendiri tidak pernah pijat refleksi atau semacam itu selain di tempat kakak iparku. Dan rupanya dia cukup cocok juga. Belakangan, kami bahkan sempat mencoba tempat pijat lain. Aku pernah mencoba di Jari-Jari di dekat pompa bensin Sagan. Tapi, jujur aku kurang puas. Selain hanya sebentar, pijatan lebih banyak ke refleksi kaki (tidak menyeluruh), dan juga memakai alat (kayu pijat). Maka, kunjungan pertama itu rasanya juga akan jadi kunjungan terakhir kami. Aku juga sempat mencoba kursi pijat yang ada di mal. Lumayan juga, terutama kalau mempertimbangkan harganya. Tapi, bagaimanapun kursi pijat tidak bisa benar-benar membuat fresh karena namanya juga hanya mesin.
Dua minggu lalu, aku juga diajak ke Kakiku, tempat yang sudah dua-tiga kali aku rekomendasikan tanpa pernah aku coba sendiri. Pijat di Kakiku menurutku termasuk yang cukup cocok untukku. Merata dan tidak terlalu berlama-lama di satu tempat (biasanya pijat paling lama adalah refleksi kaki). Dan tadi, aku melihat ada pijat yang sepertinya baru dibuka di Solo Grand Mall. Di situ, juga ada pijat ala Thailand, terapi wajah, dan pijat dengan batu-batu panas yang ditaruh di punggung. Mungkin kalau ada waktu aku ingin mencobanya. Aku juga penasaran dengan pijat totok jalan darah. Di Solo dan Jogja, ada yang namanya Anmo Peter Chung. Apakah totok itu bisa membuat rasa nyeri di punggung dan bahuku hilang, atau bahkan rasa tidak nyaman di leher yang sering kurasakan, hilang? Aku memang masih ragu, tapi semoga saja. Dan semoga aku berani mencoba.

Label:

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...


Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!