perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


Farewell Maestro (6-2-1925-30-4-2006)


Farewell Maestro
Originally uploaded by lalat hijau.

Aku berusaha mengingat, mencari atau merancang sebuah kutipan terbaik yang pantas untuk sebuah kematian, namun orang hidup memang tak tahu apa-apa soal kematian, hanya kehilangan dan hanya perpisahan atau malah tangis kesedihan. Namun mungkin ia memang tak akan pernah mati, tak akan hilang, dan tak akan berpisah dengan sejarah dan teladan yang sungguh akan selalu membuat kita menertawakan "ah, apalah kematian?"

Selamat jalan, bung

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Catatan Perjalanan April

Sudah lama saya tidak menonton konser atau bahkan live music sekalipun. Terakhir kali lihat live music seingat saya adalah ketika menengok sebentar (hanya beberapa menit, soalnya rame banget) penampilan Katon Bagaskara di Solo Grand Mall.

Nah, pada bulan April inilah kerinduan itu bisa dipuaskan lagi. Awalnya gara-gara pameran komputer di Graha, lho? Ya di pameran itulah saya akhirnya bisa beli flash disc yang memang tujuan utamanya adalah agar bisa lebih leluasa mendownload musik-musik dari internet. Yah karena MP3 di Solo ini semakin terasa mahal dan pilihannya sangat kurang, terpaksa harus memanfaatkan internet ini. Sebelumnya (sampai sekarang) memang saya lebih sering dari multiply, setelah itu teringatlah kembali saya pada account myspace saya yang sekian lama ga pernah dibuka. Ternyata sudah banyak sekali perkembangan (atau yg belum saya tau) di myspace, ada fasilitas download (atau sekedar mendengarkan) yang disediakan oleh artis-artis yang ada disitu. Wah, pengeluaran internet pun cukup membengkak bulan ini. Artis yang ada disitu memang kebanyakan bukan termasuk superstar atau diva atau sejenisnya, tapi yang sudah cukup terkenal dan lumayan bertaraf internasional seperti Cranes atau Saint Etienne pun masih berbaik hati mempersilakan lagu-lagunya untuk didownload. Begitu juga dengan artis dari Indonesia (tidak seperti FS, saya percaya yang membuka dan mengurusi account-account tersebut adalah mereka yg benar-benar berhubungan langsung dengan artis atau band yang ditampilkan dalam profilnya, jadi bukan cuma account tribute), lumayan banyak yang mempersilakan musiknya (4-5 lagu) mereka didownload oleh siapapun. Apalagi yang masih baru, atau yang albumnya masih satu, ya tentu cara ini ditempuh sebab mereka punya kepentingan dalam hal pengenalan karya mereka ke publik. Apapun itu, model ini memang adalah cara yang saling menguntungkan antara artis dengan masyarakat.

Ok kembali ke konser tadi, dari myspace ini pulalah saya mendapatkan banyak info seputar jadwal tour atau penampilan mereka di berbagai daerah. Dari situ saya tahu akhir bulan April ini band favorit saya asal Bandung 'Kubik' akan manggung di Colors Cafe Surabaya dan bulan Mei di TJ Cafe Jogja. Lalu, dari situ juga saya dapat info berharga, United7 yakni 7 band asal Jakarta dan Bandung (C'Mon Lennon, the Brandals, Pure Saturday, Tika, LAIN, Zeke and the Popo, Sore) lagi punya acara di Solo dan Jogja. Memang tidak semua dari mereka yang akan manggung, mereka juga akan bergabung dengan band indie lain selain 7 itu (dan jumlahnya tetap 7). Saya sangat girang, namun memang masih ada bedanya antara kedua kota itu. Di Solo ditulis bahwa kita harus pesan tiket dulu 25ribu (dapat perdana IM3 atau Simpati) di distro-distro setempat, sementara di Jogja FREE OF CHARGE! Yang agak mengecewakan memang ada, White Shoes hanya tampil di Solo saja dan tidak ikut ke Jogja. Saya segera mengatur rencana menempuh perjalanan ke Jogja, untungnya lagi Onie yang kontrakannya biasa saya jadikan tempat menginap tidak ada rencana pulang atau pergi kemana-mana. Malam harinya saya mengecek GOR Manahan, tempat diselenggarakannya acara United7 di Solo, gerimis yang masih turun rupanya telah membuat acara itu kurang banyak didatangi pengunjung, suasana Manahan pun dari luar relatif sepi. Dalam hati saya berharap pengalaman ini tidak membuat penyelenggara acara-acara seperti itu kapok membuat event di Solo. Keesokan harinya, sekitar jam 10 saya berangkat. 60-70 kilo pun untuk kesekian kalinya ditempuh dengan SupraFit itu. Teman saya si Onie tadi sudah memperingatkan dengan adanya kemungkinan turunnya hujan, namun dua hari satu malam disana langit Jogja ternyata tersenyum cerah. Semua rencana berjalan lancar.

Tiba di Jogja siang hari, setelah mampir di pusat penjualan MP3 di jalan Mataram, saya sengaja menunggu teman saya Onie yang baru bangun jam 1 siang di toko buku Togamas sekalian membandingkan harga diskon toko itu dengan harga buku di Solo Book Fair. Harganya tidak jauh beda, atau pikiran saya memang sedang tidak dalam mood membeli buku, jadi saya tidak beli apa-apa. Makan siang, nitip tas, saya menyarankan teman saya untuk melihat dulu lokasi 'gigs' itu. Info acara yang saya dapat sendiri cukup membingungkan, ada 2 versi jam tampil, yang satu jam 15.00 satunya lagi jam 18.00. Untuk amannya saya bersama teman saya mendatangi UPN Veteran, tempat diselenggarakannya acara itu, jam 15.00. Band-band masih cek sound, kami melihat-lihat sebentar, beruntung kami bertemu 2 orang teman ex-tetangga Onie yang menjadi personil band Teve tapi kali itu jadi road manager (walau ketika itu tugasnya jagain tas anggota band) band Jogja yang sudah lebih terkenal 'Seek Six Sick'. Ngobrol sebentar, jam 16.00 kami meninggalkan UPN dan sebelumnya mampir dulu ke 'kantor' nya tandabaca, sebuah usaha yang baru mulai dirintis kawan-kawan mantan AKY (Akademi Kebudayaan Yogyakarta), yang saya temui masih relatif orang yang itu-itu saja (selain Faiz yang sudah lama ga ketemu). Ngobrol sebentar dan ambil tas, saya dan Onie melanjutkan perjalanan ke Homerian yang bulan lalu gagal dikunjungi. Rumah baca itu ternyata kecil saja, buku yang ada juga tak begitu banyak (mungkin hanya ratusan), namun banyak buku bagus disana, buku-buku impor yang masih mulus juga dijual dengan harga yang rata-rata tidak sampai 100 ribu. Sayang memang, saya tidak bawa cukup uang untuk membelinya. Memang bisa sewa, dan syaratnya mudah dan murah, hanya tentu saja tak mungkin saya melakukannya. Lagi-lagi saya mengeluh kenapa kota saya tidak bisa seperti tetangganya ini.

Dari Homerian kamipun ke rumah kontrakan Onie di Nandan, meletakkan tas, istirahat sebentar, menengok apa yang baru di komputernya sementara si Onie pun mandi dulu. Saya tak mandi karena sudah terlanjur pake baju bersih dan sudahbersemangat untuk acara itu. Jam 18.00 lebih lima menit, saya sudah tak sabar dan memburu pemuda dengan mata yang selalu nampak lelah dan mengantuk itu untuk mengurungkan niatnya yang akan tidur-tiduran lagi. Kamipun berangkat, sampai disana pengunjung terlihat masih belum begitu banyak. Acara itu sendiri ternyata memang tidak begitu gratis, sebelum masuk parkiran, kami harus membeli produk sponsor yakni StarMild seharga 7.500, ga papalah, meski persediaan rokok kami sepertinya masih cukup untuk malam itu, paling tidak harganya tak semahal syarat yang diberlakukan di Solo. Ternyata sekali lagi kami datang terlalu awal, alhasil kami harus melihat dulu penampilan 4-5 band anak UPN yang membawakan lagu-lagu pop top40 Indonesia dan barat. Memang demikianlah adanya, sayang memang acara seperti itu tidak dimanfaatkan oleh anak-anak band UPN itu untuk membawakan yang agak sesuai. Menjelang jam 20.00 barulah acara sesungguhnya dimulai, dengan selingan dua MC (mahasiswa setempat) yang melontarkan guyon-guyon Jogja yang kadang menghibur, kadang garing, lama-lama rusuh, dan pada akhir acara sudah membosankan.

Penonton semakin banyak memenuhi lapangan universitas itu, mungkin sudah ribuan. Band yang sempat kami lihat cek soundnya, 'Seek Six Sick' tampil. Tak diduga band yang membawakan NewWave-emo (menurut saya sendiri) ini berasal dari Jogja. Penampilan mereka cukup atraktif dan bersemangat dengan ekspresi kemarahan yang berhasil ditampilkan. Bukan hanya si vokalis, yang lebih menguasai panggung malah si bassis yang gayanya lebih asik. Ikut main drum, memanjat ke atas drum set, jadi backing vokal dsb. Pembukaan yang cukup bagus. Setelah Seek Six Sick membawakan 6 lagu, selanjutnya adalah A Famous asal Jakarta yang baru kali ini saya dengar namanya. Mereka membawakan rock n'roll/blues ala the Doors atau Rolling Stones. Meski tampil dengan cukup baik dan maksimal, namun dibanding yang lain band inilah yang mungkin paling tidak membawa kesan berlebih untuk saya. 6 lagu juga yang mereka bawakan, setelah itu tampillah Tika. Kehadiran band asal ibukota inilah salah satunya yang membedakan pertunjukan di Solo dan Jogja, karena di Solo posisi Tika digantikan White Shoes and the Couples Company. Tika memang nama si vokalis band ini. Bekerjasama dengan personil band shoegaze yang tiap personilnya punya banyak side project yaitu LAIN, maka terbentuklah band beraliran trip hop yang mirip kelompok asal Inggris Portishead dan yang gosipnya saingan dengan band Jakarta lain, Everybody Loves Irene untuk menjadi icon trip hop Indonesia. Sangat disayangkan teman saya si Onie tidak bisa menyaksikan penampilan mereka karena ia pamit harus ikut misa dulu jam 21.00 ketika A Famous masih membawakan lagu pertamanya.

Tika mungkin adalah yang paling saya tunggu, dan mereka tidak mengecewakan. Meski pada lagu pertama mikrofon model klasik yang mereka bawa sendiri mati, namun teknologi musik yang mereka bawa benar-benar menghasilkan musik yang indah, gelap, dan vokal prima (walau kelihatan agak meniru, apalagi ketika pada satu kesempatan, si Tika itu benar-benar meniru gaya vokal Beth Gibbons). Aplaus hampir selalu mengiringi tiap lagu mereka berakhir, meski beberapa orang yang mungkin penggemar musik metal/punk terlihat agak kurang menikmati (atau kurang paham) dengan genre yang kelompok tersebut bawakan. Sempat dibagikan (dilemparkan) juga kaset-kaset gratis ke penonton tapi saya tidak dapat, demikian juga dengan puluhan poster/kaset yang nanti akan dilemparkan oleh band Sore dan C'Mon Lennon, tak ada satupun yang berhasil saya tangkap. Mungkin ini juga yang akan saya alami seandainya saya adalah perempuan lajang di suatu acara pesta pernikahan.

Penampilan Tika berakhir, selanjutnya adalah band yang ikut mengisi soundtrack di film Janji Joni dan Berbagi Suami dan direkomendasikan oleh sebuah majalah TIME Asia (mungkin juga Rolling Stones) sebagai band Asia yang wajib didengarkan: Sore. Agak sulit memang mendefinisikan aliran kelompok yang semua personilnya (ga tau dengan drummernya) kidal ini. Dengan mengikutsertakan terompet dan saksofon (tapi jelas bukan ska), saya lebih condong menyebut musik mereka itu lo-fi-jazz walau kadang kayak ada unsur bossanova-nya dan bernuansa sedikit 70an juga. Mereka memang cukup memukau, mungkin juga karena telah tertanam di pikiran saya bahwa mereka pernah direkomendasikan oleh kancah musik internasional. Seperti Beatles, mereka juga bernyanyi secara bergantian, tapi suara yang paling bagus mungkin si gitarisnya (jadi vokalis di OST kedua film di atas). Mood yang dibawakan juga lebih bersemangat dari yang saya dengar di rekamannya. Walau begitu, untuk menghindari kebosanan saya sempat berjalan-jalan keliling lapangan dulu, meminjam korek di kios-kios yang sengaja membuka (dan melipatgandakan harga) dagangan mereka di situ, melihat-lihat kaset, CD atau merchandise band yang dijual di pojok namun sudah tinggal sedikit saja pilihannya, sama dengan uang di dompet saya. Tampilan Sore ditutup dengan lagu 'Funk the Hole' yang paling dikenal penonton (termasuk saya) karena jadi OST Janji Joni.

Setelah itu, tampillah band yang kelihatannya cukup banyak fansnya. C'Mon Lennon, di profil myspace katanya bernama lengkap C'Mon Lennon Light My Fire, entah serius atau tidak soalnya band ini memang cukup suka bercanda. Vokalis C'Mon Lennon ternyata berhalangan hadir karena istrinya melahirkan, jadi 3 vokalis bergantian mengisi posisinya. Mereka itu adalah 2 personil the Brandals dan seorang pria bernama David Tarigan (entah siapa dia, tapi dari aplaus yang ia dapat kayaknya namanya lumayan terkenal). Dari tempat saya berdiri, penampilan dan aksi gitarisnya juga terlihat sangat mirip dengan teman saya Bhayu yang juga menjadi gitaris (mantan) Blues Sunday/Psychadellic Circus namun sekarang nyablon kaos. Kalo suatu saat saya ketemu dia, pasti akan saya katakan ini padanya. Lagu-lagu mereka cukup pendek dan liriknya kadang agak ngaco seperti lagunya Naif. Judulnya misalnya 'Jangan Lupa Minum Obat' 'Aku Cinta Jakarta' dsb, musik yang mereka bawakan seperti saya duga mengandung unsur-unsur seperti garage, punk, brits. Penampilan ketiga vokalis pengganti yang muncul bergantian itu cukup atraktif, interaktif (band lainnya juga sih), pokoknya menghibur. Di lagu terakhir bahkan mereka mengajak ketiga vokalis Sore, Tika, dan seorang pesuruh(?) naik ke atas dan menyanyikan 'Aku Cinta Jakarta' (liriknya memang cuma tiga kata itu) bersama sambil berjoget. Meriah memang..

Dua kali saya mengirim SMS ke Onie yang memang sangat menantikan band Indie Bandung senior 'Pure Saturday' (lebih lama mana sih, mereka atau Cherry Bombshell?). Pure Saturday yang setia membawakan aliran Britpop sejak pertengahan tahun 1990an ini muncul, persiapan set mereka lumayan lama, penonton banyak yang tak sabar tapi bagus untuk si Onie karena ia masih belum selesai mengikuti misa menjelang Paskah. 4 lagu sudah mereka bawakan, Onie belum muncul juga, barulah pada pertengahan lagu kelima 'Elora' ia datang. Nampaknya ia tak begitu kecewa karena lagu-lagu yang jadi 'gacoan' belum muncul. Dan tak seperti band-band lain, atau mungkin karena mereka sudah mengeluarkan banyak album (2 albumnya dapat didownload gratis di website mereka), band yang vokalisnya ternyata editornya majalah Ripple ini membawakan sampai 8 lagu. Lagu terakhir 'Enough' sendiri adalah lagu mereka yang paling saya kenal. Walau vokalisnya terkesan serius, dan kurang begitu ramah, namun penampilan mereka cukup bagus, apalagi didukung suasana yang dibawakan oleh penonton yang banyak menjadi penggemar mereka.

Pure Saturday turun, band terakhir yang tampil adalah band yang dibanding yang lainnya, adalah yang paling terkenal saat ini: the Brandals. Pada dasarnya saya tak begitu menggemari mereka dan sudah bosan dengan musik garage pada umumnya, namun melihat sikap mereka yang cukup atraktif, simpatik dan ramah, sayang jika harus pulang sebelum selesai. Mungkin karena sudah agak capek, para penonton terlihat tidak sebersemangat seperti di awal acara, saya dan Onie pun mundur agak ke belakang yang udaranya lebih segar. Band yang sudah sempat ikut mengisi soundrenaline ini hanya satu saja lagunya yang cukup saya kenal. Di tengah penampilan, vokalisnya yang cukup santun dan bahkan bersedia sebentar menuruti request anak-anak punk di depan panggung untuk membawakan lagu sebuah band asing, sempat mengatakan bahwa mereka (entah maksudnya the Brandals sendiri atau United7) masih merasa menjadi bagian dari band yang tidak dilirik industri musik mainstream. Jika mewakili United7, saya memang masih bisa setuju, tapi jika hanya mewakili band mereka sendiri dan melihat kepopuleran the Brandals, nampaknya mereka sudah cukup populer dan cukup menjadi bagian dari industri musik mainstream itu sendiri, yang tersisa mungkin hanya kenyataan bahwa label kalian yang (mungkin) masih indie. Itu saja Eka.. Hmm, apakah mungkin itupun sudah cukup?

Lagu 'terakhir' (kata mereka, karena saya yakin masih akan ada satu lagi setelah itu) masih berkumandang ketika kami memutuskan pulang, selain karena lapar (sudah jam 01.00 dan kami belum makan malam, walau semula saya sendiri tak begitu merasakannya karena sudah diganjal asap) juga untuk menghindari kemacetan waktu pulang. Lelah, capek, gerah, agak ngantuk tapi saya merasa beruntung bisa menyaksikan penampilan 7 band itu. Dua kali sudah saya mendapat kesempatan menyaksikan penampilan banyak band sekaligus (dulu Soundrenaline) dan semuanya eh.. ndilalah gratis. Jika membandingkan secara kualitas, band-band yang tampil di kedua acara itu, mungkin kali ini bisa disebut peningkatan.

Esok harinya praktis tidak banyak yang saya lakukan di Jogja. Pertama karena bangunnya lumayan siang (jam 10-11an), kedua karena saya berencana untuk pulang siang hari agar bisa punya waktu untuk mengerjakan pekerjaan kantor yang tertunda. Setelah brunch dan menukarkan MP3 yang rusak ke penjual MP3 bajakan di Mataram (mereka memang memberikan garansi 2 hari untuk dagangannya), sempat agak tergoda dengan ajakan Dodi, penghuni lain di rumah kontrakan yang saya tumpangi, untuk ngafe. Entah apakah ia serius atau tidak tapi akhirnya saya tetap memutuskan pulang. Meski agak gerimis namun perjalanan cukup menyenangkan sebelum tiba-tiba ada kerumunan orang yang memenuhi jalanan dekat Prambanan. Saya melihat seorang bapak tua berjaket hijau berambut sudah beruban wajahnya merah sekali, kecelakaan! Entah apa yang kendaraan yang menabrak bapak yang kelihatannya hanya seorang pejalan kaki itu. Mungkin sebelumnya saya sudah sering melihat kecelakaan, namun ketika motor terus melaju dan sampai di dekat mobil pick-up yang akan mengangkut bapak itu, tiba-tiba bulu kuduk saya merinding melihat darah yang menggenangi aspal jalanan. Merah dan ceceran terbanyak yang pernah saya saksikan ada di aspal jalan, saya kira mungkin juga ada sedikit ceceran otak diantara genangan itu. Musik di earphone yang seharusnya membuat saya lebih bersemangat itu untuk selanjutnya menjadi hambar karena terus membayangkan ceceran atau genangan darah tadi. Sempat saya lihat mobil itu melaju di depan saya, karena ingin tahu keadaan bapak itu, sayapun mengejarnya. Ternyata bapak yang ditopang seorang pria itu masih terlihat bergerak-gerak bahkan meronta ingin bangkit duduk. Sedikit lega juga melihatnya karena paling tidak ia masih memiliki semangat untuk meneruskan hidup di dunia yang kacau ini.


Beberapa menit kemudian, di sekitar Klaten hujan gerimis lembut yang saya rasakan sejak di sekitar Prambanan tadi tiba-tiba berubah menjadi hujan lebat dengan butiran air yang besar dan tajam. Musik dari konser live Prodigy yang kemudian berganti dengan musik sejenis dari Media Distorsi dsb masih terus mengalun ketika dalam balutan jas hujan, saya menentang deru hujan dan angin yang membuat laju sepeda motor tidak bisa lebih dari 60km/jam tersebut. Tangan terasa agak pedih diterpa butiran air yang terasa keras seperti lemparan kerikil, barulah sesampainya di daerah sekitar Pabelan serangan itu mulai tak begitu gencar. Beberapa saat kemudian saya tiba kembali di rumah, ingin beristirahat namun suasana masih ramai. Sempat terpikir pula ingin malam itu mengunjungi pameran buku, namun jelas itu tak mungkin dilakukan. Sekitar pukul 20.00, rasa capek dan keinginan untuk lama-lama beristirahat itu gagal melawan kekhawatiran pekerjaan kantor yang tak selesai. Bergegas ke rumah kakak yang berjarak sekitar 300 meter untuk meminjam komputer sampai jam 00.30, ketika ide yang sempat buntu akhirnya berhasil dipaksa keluar meski hasilnya tak demikian sempurna. Mengirim bahan tersebut ke warnet Yahoo yang mahal namun aksesnya cepat dan buka 24 jam (sepertinya). Pukul 01.30 sayapun pulang, membaca beberapa artikel Kompas yang diambil dari rumah kakak untuk akhirnya terlelap sekitar jam 02.30. Namun kali ini saya tak terlambat keesokan harinya.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Ketemu Playboy Berjalan

Walau hari ini masih hari pertama dari 3 hari libur, aku tidak memiliki rencana hendak kemana atau melakukan apa untuk mengisi 3 hari ini. Bangun sekitar jam 11, yang paling gampang dilakukan adalah menonton beberapa acara memasak (walaupun yang bersama kecap bango itu tidak kelihatan) dan tentunya yang tak bisa dihindari: infotainment. Kebetulan press conference nya Gusti Randa cukup menarik, lalu seperti kemarin lagi-lagi masih dibahas juga Andara Early, Habib Rizieq yang baru dapet Playboy edisi perdana gratis (yang saking nafsunya, atau karena mungkin buat rebutan pengikutnya, gambarnya sampai sobek-sobek,.. hehe ternyata gitu kelakuannya FPI karo lagi coli) dan gambar-gambar lainnya. Bosen juga sih lama-lama...

Karena tak ada kegiatan, aku teringat kalo Tidak ada Kelinci di Bulan sudah ada di Gramedia. Iseng-iseng, aku pun berangkat ke toko buku yang makin hari makin sering mengecewakanku itu. Kumpulan cerpennya Stef itu ternyata memang ada, dan tidak seperti Gramed di Jogja (kata Onie), yg di Solo ini ada satu yang tidak dibungkus plastik. 25 ribu, sebenarnya tak begitu mahal tapi aku baru sadar kalau aku belum mengambil ATM dan uang di dompet hanya 30 ribu. Sambil menimbang dan berpikir-pikir, aku berkeliling ke rak-rak lain, sempat terbersit keinginan kalau bulan ini aku akan membeli buku-buku karya penulis yang pernah ketemu aku saja. Lihat sekilas Isyarat Cinta Keras Kepala (juga ada satu yang tidak dibungkus plastik), trus apalagi? Cari Orang-orang Bloomington (ya.. memang aku belum baca, baru sempat curi baca pengantarnya saja) tapi sudah habis. Ada juga buku lain (non-fiksi) yang cukup menarik tapi harganya 130ribuan, ah.. aku makin ragu ingin beli satupun, apalagi ingat kalau aku ada niat jika Muhaimin jadi ke Jogja, aku juga akan kesana dan tentu kota tetangga itu menawarkan harga yang lebih murah dari Gramed Solo ini.

Beberapa jam jalan-jalan dari rak satu ke rak lain, juga ke rak majalah yang selalu ramai itu. Ada beberapa anak muda yang bercanda (atau memang berniat) ingin beli Playboy warna merah itu, tentu saja toko buku yang selalu cari aman ini tak menyediakannya. Akhirnya badanku terasa capek juga, ingin pulang. Baru berjalan ke lantai satu, dari jendela tiba-tiba terlihat butiran-butiran hujan yang besar-besar dan banyak menghujam ke atap/terop samping. Niat diurungkan, mampir ke Disctara seperti biasa tidak ada yang menarik sama sekali, disamping harga kaset yang jadi 24-25ribu. Aku naik ke atas lagi. Masih menaiki tangga tiba-tiba serombongan orang-orang datang, yang paling depan membawa kamera foto atau handycam. Kulihat dibawah, belum terlihat siapa yang difoto itu. Sempat aku terbayang bahwa suasana itu seperti ketika di menghadiri sebuah acara yang mendatangkan Pramoedya Ananta Toer di hotel Majapahit, ya suasananya mirip ketika sang maestro datang menaiki tangga dan sampai ke atas dengan senyumnya. Saat itupun, semula aku mengira telah datang seorang sastrawan atau penulis terkenal di toko buku ini, wajarlah.. namanya toko buku ya pasti akan menyambut orang yang menghidupinya.

Namun ternyata kenyataannya sungguh mengecewakan. Seorang berjenggot seperti Sisingamangaraja terlihat di depan memimpin belasan anak buahnya. Naik dengan ekspresi seolah-olah bos yang membawa tukang pukul-tukang pukulnya, suasana toko menjadi sangat tegang. Para karyawan-karyawati berdiri mematung, aku membayangkan bahwa ini persis seperti sebuah suasana perampokan. Orang paling belakang yang mengikuti kelompok itu adalah seorang polisi, wajahnya terlihat tenang padahal ia hanya seorang diri saja walau entah apa yang bisa ia lakukan jika terjadi sesuatu. Belasan orang yang terlihat habis kehujanan itu segera menuju ke rak majalah, manajernya Gramed mendampingi mereka sambil sedikit berlari untuk mengimbangi langkah cepat si jenggot separuh itu, aneh memang tiba-tiba manajer dan para satpam seperti tidak memiliki wewenang apa-apa atas wilayahnya sendiri. Aku dan beberapa pengunjung juga mengikuti mereka, ingin tahu apa yang akan mereka lakukan dan katakan. Sempat aku dengar seorang ibu setengah baya dari suku Tionghoa menarik dan membisiki anak gadisnya yang kira-kira masih duduk di bangku SMP, "ayo pulang wae yok, rame nanti ini.."

Jelas akan mengherankan kalau masih ada juga buku yang akan diambil oleh gerombolan itu karena sebelumnya di sebuah milis ada kabar bahwa Gramedia disebuah (atau diseluruh) kota sudah menurunkan buku-buku sex education dari rak mereka karena takut ada penyokong RUU APP yang mendatangi mereka. Belasan orang itu ternyata berasal dari MMI (Majelis Munyuk Indonesia atau Maniak Mejeng Infotainment). Setelah aku sampai di kerumunan itu, terlihat yang berjenggot lainnya dengan bimbingan pihak Gramed juga mengecek dari komputer, selain anak buahnya yang mengecek langsung bukti fisik apa yang mereka cari. Di monitor terlihat kata Playboy dan hasil pencarian menunjukkan beberapa judul teenlit. Si jenggot yang mirip manusia purba (dan nampaknya memang dia adalah versi yang sudah berpakaian) itu terlihat bengong saja. Setelah tak ditemukan apa-apa,si pemimpin menyatakan peringatannya agar jangan sampai Gramed menjual Playboy atau sejenisnya, si manajer bilang bahwa kami (gramedia) memang tujuannya mendidik, pak.. jadi tak akan menjual Playboy dan sejenisnya. Gerombolan turun kembali, beberapa juga mengecek di rak majalah asing dan tak ada majalah gratisan untuk bahan masturbasi mereka hari ini.

Aku terus mendekati kerumunan dan para wartawan itu, siapa tahu akan ada wawancara dengan pengunjung tentang Playboy ini. Komentar sudah kusiapkan "Mari kita sweeping juga peredaran Playboy berjalan yang istrinya banyak itu.. Alahu akbar!!" Tapi para wartawan malah menyorot jajaran majalah lainnya, dan memang nampaknya Gramed sendiri telah mengubah susunan letak majalahnya, jika biasanya yang di depan adalah majalah kosmopolitan dsb, hari itu yang didepan adalah majalah dan tabloid-tabloid yang covernya wanita berjilbab. Para munyuk sudah turun, cuma kali ini mereka memang relatif tak begitu ribut seperti saudara-saudaranya di TV. Si pemimpin masih memberikan pernyataan di depan kamera wartawan di depan meja kasir, tentu dengan kata-kata dan kalimat yang diulang-ulang terus, mungkin kata-kata yang mereka pelajari memang masih terbatas, maklumlah.. 5 menit kemudian mereka sudah benar-benar pergi, seorang pengunjung wanita terlihat agak ketakutan karena dia barusaja membeli majalah Bazaar yang covernya wanita bule memakai gaun malam bertali, namun salah seorang karyawan menenangkan , "Nggak papa, sudah pergi semuanya kok.." Beberapa karyawati sambil mengintip lewat jendela ke arah jalan raya juga masih berbisik-bisik, sempat terdengar ada yang mengatakan "Ya, mereka memang maksudnya melindungi pihak perempuan gitu.." rekannya yang lain menimpali "Ya, tapi kalo memang perempuannya ga masalah difoto gituan ya hak mereka dong, wong namanya juga cari duit.." Percakapan bubar ketika pengunjung lain mendatangi rak buku di dekat mereka. Setelah hujan reda, akupun meninggalkan toko menuju ke warnet ini.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Alterpedia



Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!