Atap rumah kami terasa bergemeretak, bunyinya bising sekali. Butiran-butiran pasir bercampur batu-batu kerikil dan semacam lempung beraneka ragam bentuknya sedari tadi terus menimpa atap genting, seng, plastik dan meranti yang beberapa bagian di antaranya terlihat sudah mulai jebol, tak tahan dengan gempuran hujan aneh ini.
“Dusun ini telah dikutuk!” kata Mbah Atmo kemarin. Memang, sudah ada serangkaian peristiwa musibah dan keanehan-keanehan yang menimpa beberapa warga dusun kami. Mulai dari peristiwa yang menimpa Anang, bocah berusia sepuluh tahun yang hilang tersedot sumur gas beracun dekat kaki gunung. Anang memang anak yang aktif, jika tidak bisa dibilang bandel. Waktu itu ia nekat mengejar seekor kelinci yang rupanya tak hanya lebih sigap dari langkah kaki-kaki kecil Anang, namun mungkin binatang itu juga sudah lebih mengetahui medan sehingga ia hafal jika di daerah itu ada sebuah lubang yang hanya ditutup dengan kawat tipis, namun di bawahnya langsung menuju ke lorong neraka perut bumi. Jenazah Anang memang tak pernah diketemukan. Ia hilang begitu saja. Hanya sebuah sendal dan sepedanya yang tergeletak sekitar dua belas meter dari lubang itu saja yang menjadi bukti bahwa anak itu telah terperosok jatuh ke sumur alam tersebut.
Kejadian kedua terjadi hanya selang dua hari setelah hilangnya Anang. Kali ini yang menjadi korban adalah keluarga Pak Wiro, mantan lurah di sini. Pagi-pagi benar di hari Minggu, sudah menjadi kebiasaan bagi Pak dan Bu Wiro beserta Dini dan Nona plus Mbah Agni (ibunya Bu Wiro) untuk bersama-sama melaju dengan Corollanya menuju ke pasar jajan. Keluarga Wiro termasuk salah satu yang terkaya di daerah sini. Pak Wiro yang pensiunan pegawai negeri itu kini membuka toko pracangan di rumahnya, mereka juga memiliki sebuah rumah kos-kosan di kota yang selalu membuat dapur mereka ngebul, bahkan tak pernah berhenti ngebul karena keluarga itu juga terkenal sangat doyan masak dan makan enak. Perawakan yang gemuk-gemuk mungkin buktinya. Pengecualian mungkin untuk si Nona yang sedang dalam masa puber sehingga selalu merasa dirinya sebagai perawan paling gemuk sedunia, meski para pemuda kerempeng yang sering nongkrong di depan gang justru menganggapnya montok, semok, bahenol dan semacamnya. Minggu itu mobil Corolla hitam keluaran tahun 92 dengan plat nomor ibukota Pak Wiro terlihat melewati deretan rumah yang kebanyakan dihuni oleh para tukang kayu, tukang pelitur dan juga pedagang mebel dan furnitur di kota. Di dalamnya, seperti biasa formasinya lengkap, begitu menurut para warga saksi mata yang sempat melambai saat mendengar bunyi klakson ramah mobil hitam mengkilat itu. Biasanya, sekitar satu sampai dua jam saja mereka jajan dan pulang membawa pulang setumpuk jajanan lainnya. Yang tak mengenal kebiasaan keluarga itu mungkin mengira mereka akan menjualnya, tapi ternyata itu adalah stok jajanan seminggu untuk lima orang penghuninya, kecuali kalau ada tamu. Namun kali ini, sudah sampai jam 9 malam rumah mereka masih nampak gelap. “Sedari tadi rupanya belum kembali juga” gumam Pak Suta yang terpaksa harus kembali pulang dan menunda mengantarkan undangan pernikahan anaknya. Adalah Pak Suta ini yang mulai mencari-cari informasi. Pertama pada Bu Prapti, tetangga depan rumah Pak Wiro yang mengaku tidak dititipi pesan apa-apa untuk menjagakan rumah bercat biru langit itu. Artinya, keluarga Wiro memang tidak berencana pergi lama.
Rupanya dua kejadian belum cukup. Saat gosip tentang hilangnya keluarga Wiro dan kesedihan orang tua Anang belum juga reda, muncul peristiwa yang tak kalah heboh dan makin aneh lagi. Bencana ini datangnya dari langit. Dua hari sebelum hujan pasir, batu dan lempung melanda dusun, hujan masih berupa air seperti biasa. Meski hari itu tidak begitu deras, namun waktu itu kilat menyambar-nyambar dengan galak. Salah satu kilat itu menyambar pohon jati dekat kandang sapinya Pakde Sul. Mungkin karena dirangsang reaksi dari gas amoniak nya kotoran sapi sehingga tiba-tiba tercipta api yang menyala dan mulai membakar kandang kayu itu. Dua sapi Pakde Sul yang diikat menjadi berontak dan ingin lari. Akhirnya, walau berhasil lari namun salah satunya langsung roboh setelah lebih dari separuh bagian tubuhnya terlanjur terpanggang cambuk amarah Zeus. Pakde Sul dan para tetangga kalang kabut namun api itu nampak tenang dan mantap menjalar ke rumah Pakde Sul, lalu ke warung Mbok Restu, sebuah rumah kosong Wak Zaini yang dikontrakkan, rumah Ahmad pegawai bank itu, berlanjut ke rumah Pak Surip, rumah ibunya Ndari, rumah Cak Darsim, rumah Koh Seng, bengkel Pak Tarno, toko dan rumah Bu Dodot, gardu siskamling,… Segala upaya untuk memadamkan dan bantuan empat buah branwir sama sekali tak membuat api mengecil. Akan tetapi, sekali waktu ketika api mulai mencapai tembok samping rumah Mbah Atmo, tiba-tiba api itu padam dan hilang sama sekali. Keheranan warga tak hanya sampai di situ. Setelah diperiksa, rupanya rumah-rumah dan bangunan yang dilalap api berwarna merah kuning tadi ternyata tidak lantas menjadi keropos atau hancur. Tembok, kerangka, kusen dan pintu yang ada di setiap rumah itu hanya terlihat hitam, namun tetap kuat. Bahkan saat dicoba memasangkan sebuah paku ke salah satu pintu yang “terbakar” itu, paku dapat tertancap kuat dan kayu pintu itu masih kokoh seperti tidak pernah terbakar sama sekali. Meski demikian, barang-barang dan perkakas yang ada di dalam rumah tetap saja ludes hangus terbakar, termasuk burung-burung dara dalam kerangkeng besi di rumah Pak Surip. Bau sangit pun tercium sangat tajam sampai ke ujung dusun. Sementara untuk Mbah Atmo, pria berusia sekitar 70 tahun yang tinggal sendirian dan kalau malam berjualan wedang ronde itu langsung menjadi buah bibir warga. Mbah Atmo orang sakti, punya ilmu kanuragan, jimat, aji-aji, atau semacamnya. Jika sebelumnya orang tua itu hanya dianggap sebagai tak lebih dari orang tua kesepian, yang jika siang sering tertidur di masjid, bahkan juga seorang yang sampai tua pun masih mata keranjang karena sering berusaha memegang tangan jika pembelinya wanita muda. Namun kini, perkataan Mbah Atmo didengar dan diperhitungkan warga yang kebingungan menghadapi banyaknya misteri dan kejadian aneh beruntun yang menimpa mereka selama seminggu ini. Tiba-tiba pula warung wedang ronde Mbah Atmo menjadi ramai. Banyak orang yang datang ke sana, pura-pura membeli, meskipun sebenarnya mereka ingin mendengarkan petuah atau sukur-sukur bisa melihat Mbah Atmo memunculkan kesaktiannya. Siapa tahu pula jika selama ini ternyata wedang rondenya ia buat dengan memakai kesaktiannya. Dan terutama lagi, tentu mereka ingin mendengar nasihat atau petuah tentang bagaimana warga harus menghadapi atau melawan bencana selanjutnya. Hanya saja, Mbah Atmo memang sejak dulu jarang bicara tentang hal-hal mistis seperti yang diharapkan banyak orang. Sejauh ini, hanya kalimat “Dusun ini telah dikutuk!” saja yang cukup memuaskan keinginan banyak orang. Saat ia mengatakannya, sambil mengaduk gula di cangkir wedang angsle pesanan Maman, semua mata pengunjung warung segera terpaku pada raut wajah penuh keriput itu. Tapi Mbah Atmo selanjutnya malah berbicara tentang berita-berita politik nasional, ngrasani presiden dan kabinetnya, juga tentang beberapa artis dan tentu juga soal tetangganya. Sebuah TV kecil yang dipasang di ruang tamu namun masih terlihat dan terdengar jelas dari warung yang ada di teras rumahnya tersebut menjadi semacam moderator arah pembicaraan pria yang punya banyak koleksi kaos parpol dan kaos merek rokok ini. Pengunjung agak kecewa, namun mereka masih tetap menunggunya mengucapkan sesuatu yang tidak mereka ketahui.
Meski sebagian besar warga, terutama kaum prianya menjadi hormat dengan Mbah Atmo, namun para gadis yang tangannya pernah coba dipegang atau dielus duda kurus satu anak dan dua cucu itu tetap tidak setuju dan bahkan menolak mentah-mentah peningkatan status yang dialami Mbah Atmo. Malam setelah hujan aneh tadi semakin membuat warung Mbah Atmo makin ramai. Akan tetapi tidak ada nasihat, petuah atau ritual kesaktian yang ditunjukkan si Mbah. Bahkan kebalikannya, seorang warga mendapati jika genteng rumah Mbah Atmo ternyata ikut pecah-pecah dan tak luput dari hujan tadi sore. Hal ini menimbulkan bisik-bisik. Jangan-jangan padamnya api yang dulu itu hanya kebetulan. Pria tua yang nampaknya belum juga sadar kalau statusnya kini mulai berubah menjadi salah satu tetua dusun itupun semakin tak mirip orang sakti di depan mata beberapa pengunjung. Mbah Atmo bahkan masih sempat mencoba bergenit-genit menyapa Maryati, mahasiswi yang ngekos di dekat situ.Wibawa dan pengaruh Mbah Atmo rupanya tak berumur panjang. Meski demikian, ia tetap tak menyadarinya, atau jangan-jangan ketidaksadarannya inilah yang telah mematikan pengaruh yang sempat ia miliki itu.
0 Responses to “Cerita Pengantar Hujan (Bagian 1)”