Aku tidak hendak mengulang apa yang kulakukan tahun lalu. Pebruari kali ini sama sekali bukan berhubungan denganku. Bukan juga tentang gejala bahwa akan terjadi sesuatu dalam hidupku, yang selalu berusaha kuanggap sebagai bukan hal yang terlalu luar biasa.
Pebruari, bulan yang sempit ini belum berjalan separuhnya, tapi sudah ada dua, yang kita utamanya, yaitu para pemuda, diajarkan untuk menista, melupakan, pokoknya menjauhlah dari mereka dan orang-orang semacamnya. Aku selalu ingat, tahun lalu sedih dan kecewa menyapa kita. Salah seorang pejuang yang dihinakan bangsanya (dan awal kehidupannya berawal dari bulan Pebruari juga), ia telah meninggal tahun lalu. Dan bulan dan tahun ini, dua lagi telah mengatupkan jari jemarinya dan menutup mata. Berita televisi mungkin tak menganggapnya penting untuk dikabarkan. Mereka jauh, mereka tak berhak mendapat tempat dalam hati, dalam sejarah, dalam rak perpustakaan sekolah, dalam dokumentasi, apalagi dalam penghargaan.
Namun mereka bukanlah tokoh yang hanya bisa bicara dan berteriak-teriak protes saat dirinya kesakitan. Mereka punya kata. Kata itu yang tertera dan tidak akan kalah oleh bara api dan bara benci. Mereka punya cerita yang tak pernah didengar para anak muda kita. Antusias pun berkembang dan inspirasi membekas. Mungkin saat ini makin muak kita lihat para bajingan di istana-istana mereka yang sayang tak tenggelam, mungkin jijik kita lihat para bangsat berbicara moralitas, mungkin ingin rasanya njendul kepala seniman, mahasiswa, anak muda yang polahnya boleh kamu temukan sendiri katanya, dan mungkin makin malu juga aku dengan diri sendiri yang makin layu, namun cerita, kata, semangat mereka itu, aku harap tetap ada dan bukan sekadar koleksi.
(lain kali semoga aku bisa lebih jelas dan baik lagi)
Good thanks and farewell
AS Dharta & Sobron Aidit
0 Responses to “Pebruari”