perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


A Mad Report


madness
Originally uploaded by lalat hijau.
Hari-hari ini semakin cenderung depresif. Bukan hanya langit yang tak pernah bosan untuk mendung atau hujan yang menghantui setiap malam. Masih perlukah aku jelaskan apa itu ‘depresif’? Lagipula beberapa minggu ini kondisi leherku semakin parah saja, memang begitu jika capek atau tertekan, batang leher terasa kaku, tidak nyaman dan sepertinya ingin dipatahkan saja. Aku tak habis pikir bagaimana bisa kota ini membuatku depresif dan sedih. Tapi jika saja kau melihat bagaimana orang-orang yang kutemui selama 6 hari dalam seminggu, kau akan tahu juga bahwa bahkan kesantaian dan kebebasan kota ini pun agak sulit menghapusnya. Sesungguhnya aku rasa aku tidak begitu asing dengan suasana dan kumpulan baru, namun mungkin bolehlah kali ini aku sedikit menjadi seperti para orang tua itu. Kumpulan baruku kali ini, entah kenapa, membuatku merasakan hal-hal yang sangat aneh, salah satunya adalah perasaan depresif itu. Apa salah kalau aku berkata semakin tua seseorang semakin ia suka mengeluh akan hidup, karena ia merasa telah berpengalaman mengenai hidup itu sendiri? Aku sama sekali belum pernah merasa tua, di manapun aku berada (karena aku kini tak pernah lagi mendatangi acara-acara yang ditujukan untuk golongan usia tertentu). Yang membuatku merasa tua hanyalah saat melihat beberapa anak muda dengan berbagai pencapaiannya yang sangar dimuat profilnya di surat kabar, tivi, majalah atau internet, juga saat awal tahun, saat melihat SIM atau saat menyadari bahwa gajiku sudah menipis di tengah bulan (yang selalu membuatku berpikir “kalau begini terus, kapan bisa nabung? berapa yang akan kudapat waktu usia sudah 30 tahun nanti?”, dsb.).

Kabar baiknya kini adalah aku merasa sangat bebas menuliskan soal ini secara terang-terangan seperti ini, di sini. Aku menduga kuat bahwa mereka yang kubicarakan ini memang bukan tipe detektif atau hacker. Itu keanehan pertama yang kurasakan. Atau aku saja yang belum terbiasa melihat bagaimana bisa sekitar sepuluh orang yang selalu bertemu selama 6 hari seminggu dalam satu ruangan itu belum tentu saling mengetahui nomor ponsel satu sama lainnya. Sejauh ini aku menduga hal itu terjadi karena sebagian sudah tak terlalu muda dan sebagian lagi juga sudah menikah. Mungkinkah nanti aku juga akan seperti mereka itu? Lalu, yang berikut ini mungkin bisa membuat aku terkesan congkak, keanehan selanjutnya adalah mengenai masalah miskomunikasi. Miskomunikasi jelas bukan istilah yang tepat, yang lebih cocok adalah tidak nyambung. Sebenarnya ini pun bukan masalah besar, bukan sebesar miskomunikasi, karena tidak nyambung di sini adalah dalam soal-soal seperti guyonan, gurauan, celotehan, dsb. Tapi, hal seperti itu bukannya tidak menganggu juga. Jadi, bukankah tidak lebih baik diam ketimbang harus menjelaskan apa maksud komentarku yang memang kukatakan hanya untuk iseng atau hanya sekadar berusaha mengakrabkan diri di saat makan siang saja? Mungkin kau harus bertemu salah satu dari mereka yang paling sering mengaku tidak paham dengan segala komentarku. Semula dia kukira semacam nerd karena kacamata, jidat lebar dan bajunya yang rapi. Kesan pertamaku bahkan menganalogikan dia dengan Pak Hendra di sitkom OB itu. Namun agaknya dia bukan seperti Pak Hendra, paling tidak aku merasa dia berusaha ingin seperti karakter Gusti. Tahu maksudku ‘kan? Yang jelas lagi, ia tergila-gila Tukul. Untunglah ia hanya fans, bukan badutnya. Selalu tertawa terbahak-bahak, seakan ada sesuatu yang sangat lucu. Ck.. setiap mengetahui alasan ia tertawa, kini aku sungguh benci setiap mendengar suara tawanya dan suara-suara ketika ia berusaha tertawa tapi tak bisa. Apalagi ia juga sering membuat suara-suara yang bagiku terdengar seperti suara gorila sedang birahi. Tahu kenapa aku begitu terganggu? Karena ia ada persis di belakang punggungku selama 6 hari dalam seminggu. Tapi kini terima kasih untuk El’s yang menjual headset hanya seharga 15 ribu. Aku rasa saat ini memang masa puncak kemuntaban karena selama ini aku tak bisa mengungkapkannya pada siapapun, di kos belum ada komputer untuk menuliskannya dan tak mungkin membicarakan tentang dia dengan orang lain di ruangan itu. Aku baru sebulan lebih di situ.

madness2
Adakah ini kedengaran kasar dan apakah kali ini aku terkesan terlalu cerewet seperti nenek-nenek? Tapi ini masih belum selesai. Aku tadi mengatakan bahwa dia penggemar berat Tukul. Tapi jangan lupa bahwa ia juga berada di tengah lingkungan di mana kesan ‘nampak cerdas’ akan membuatmu lebih dihargai. Ya, penghargaan, aku belum bilang bahwa dia juga belum menikah (bahkan sepertinya juga belum punya pacar), seperti aku, walau aku rasa dia lebih tua dariku. Pria, muda, belum menikah, belum punya pacar, bukankah penghargaan adalah satu hal yang akan ia kejar untuk menaikkan statusnya? Akupun demikian, meski yang kukejar lebih pada penghargaan dalam bentuk benda (hidup atau mati) atau juga pengalaman ketimbang yang berupa omongan, tatapan atau hal-hal semacamnya. Terlalu blak-blakankah yang kuomongkan ini? Terserah, aku akan lanjutkan. Berkebalikan dengan tawanya yang lepas, keras, berderai-derai, meski setelah melihat penyebabnya malah menimbulkan kesan berlebihan. Maka ketika berbicara ‘serius’ suaranya berubah menjadi lebih pelan dari suaraku. Boleh kusebut sebagai gaya Moerdionoesque. Aku lupa apakah Moerdiono dulu juga kalau ngomong berbelit-belit, berputar ke sana kemari untuk mengatakan satu poin yang tak begitu penting dan mendalam, atau tidak. Tapi itulah kesanku mengenai sikap rekan kerjaku yang satu ini kalau harus ngomong serius. Oh, betul.. ia juga jauh lebih lancar dan tidak berbelit-belit jika ngomong ‘serius’ dengan bahasa Jawa. Namun, tolong jangan sampai kau mendengarkan segala pembicaraannya jika dalam situasi tengah-tengah, artinya ngomong bukan di forum resmi tapi juga tak bisa dalam bahasa Jawa (karena lawan bicaranya bukan orang Jawa), terlebih lagi kalau lawan bicaranya perempuan. Beberapa laki-laki cenderung untuk bersikap menggurui atau menasihati atau kasarnya berlagak lebih pintar, jika berbicara dengan perempuan. Ia termasuk yang cukup ekstrim menerapkannya. Mulai dari jawaban-jawaban yang kental diwarnai dengan petuah moral, agama, hingga sikap diam jika si perempuan itu membantah nasihatnya, seolah sikap diamnya itu memiliki makna “terserah, pokoknya sudah aku beritahukan apa yang baik dan seharusnya bagi seorang perempuan.” Dia ini memang kadang menjawab terlalu serius (meski tak ada isinya selain moralitas dan nilai-nilai zaman baheula tadi) untuk pertanyaan santai, terutama jika yang menanyakannya perempuan. Sebenarnya cukup menghibur juga kalau menguping pembicaraan dan jawaban-jawabannya, tapi lama-lama muak juga mendengarkan laki-laki model begituan. Sekali lagi aku harus kembali menyampaikan ribuan terima kasih, kali ini untuk pabrik-pabrik Cina yang di antaranya memproduksi headset murah seperti yang kudapatkan di El’s tadi.

Cukup dulu untuk dia. Aku sebenarnya ingin menceritakan juga tentang teman baiknya, atau partner in crime-nya. Ia pria yang sudah menikah, meski belum menjadi bapak, namun dalam beberapa hal ia lebih terkontrol dan tidak begitu berlebihan selain juga kadang lebih nyambung daripada temannya tadi. Cukup menyebalkan jika ia sudah terlalu terpengaruh dengan orang yang kubicarakan di atas tadi. Aku memang tidak begitu menyukai pria ini juga, tapi aku tidak sampai membenci atau muntab dengannya. Kalau kembali lagi kepada keseluruhan, mungkin tidak begitu banyak yang membuatku depresif atau merasa aneh. Memang, aku masih merasakan adanya suasana yang kaku yang meliputi, paling tidak di dua atau tiga ruangan yang sering kukunjungi. Kadang aku juga merasa aku sedang ditipu dengan diberi pengarahan yang keliru. Tapi itu mungkin hanya prasangkaku saja, yang jelas suasana ketika harus berhubungan dengen beberapa orang memang agak kaku sehingga bisa menimbulkan pikiran-pikiran sendiri seperti tadi itu. Atau mungkin kekakuan itu juga menunjukkan semacam aroma persaingan? Entah persaingan untuk apa? Untuk gaji? Rasanya tidak karena mekanismenya bukan seperti itu. Perhatian bos juga bukan karena caranya bukan seperti itu? Perhatian staf wanita? Siapa tahu ada yang begitu, tapi memangnya anak SMU? Atau mungkin karena yang satu ini. Uh.. harus diakui bahwa beberapa praduga yang berkaitan dengan etnis (oke tak usah ditutupi, maksudnya ya antar staf etnis Jawa dan etnis Cina, atau juga yang Batak, Ambon, dsb dengan yang Cina) tentu ada, meski dibungkus dan ditutup dengan cukup rapi. Namun aku kira itu hal yang cukup biasa. Aku cukup siap menghadapinya. Memang tak mungkin juga hal seperti itu tidak ada sama sekali mengingat dirut dan juga ownernya yang Cina, bos kecil (anaknya si owner) yang menurutku memang terlalu bergaya petantang petenteng, para manajer yang kebanyakan juga Cina, juga kabag yang meski kerjanya amburadul tapi tetap menduduki posisinya (mungkin karena dia Cina). Untuk soal yang seperti itu aku sebenarnya malah tertarik. Apalagi ada yang lucu, beberapa kali jika aku sedang berpapasan dengan staf dari bagian lain di mana aku dan dia tak saling mengenal, beberapa staf itu (jelas mereka bukan etnis Cina) entah kenapa sering mengangguk memberi hormat padaku. Padahal aku yakin dia staf yang lebih senior, lebih lama berada di perusahaan itu daripada aku. Saat hal seperti itu terjadi, rasanya aku selalu ingin melakukan tindakan yang aneh, yang tidak terhormat, semacam ngupil untuk dimakan atau menempelkan upilnya ke dinding atau semacamnya. Memang belum pernah kesampaian, tapi sepertinya itu akan menjadi semacam bahan refleksi yang menarik untuk dia. Apakah selain karena warna kulit dan pakaianku, aku masih seperti seorang bos atau atasan? Tapi yang jelas untuk masalah praduga atau stereotype etnis ini, terutama untuk para staf di dua tiga ruangan yang sering kukunjungi tadi, memang benar harus ada semacam shock therapy. Hari gini belum tau ada Cina yang nggak bisa dagang?

Sejak semula aku menginjakkan kaki di kantor itu untuk wawancara, aku sudah merasa bahwa paru-paruku mungkin akan perlu bekerja keras untuk beradaptasi dengan bau tinta dan kertas yang tajam dan menyengat. Memang hal itu terjadi, selain mungkin karena lanjutan dari sakit bulan lalu yang membuatku kena batuk hebat (akibat kehujanan), bau tinta itu juga membuat napasku sering berbunyi. Aku penasaran dengan tunjangan-tunjangan yang dijanjikan itu. Pekerjaan sebelumnya merusakkan mataku, apa mungkin sekarang giliran paru-paruku? Ah terlalu sarkastis ya?

Heran, saat ini aku merasa sudah cukup baikan dari tadi siang. Apakah ini karena aku sudah bisa meluapkan perasaanku? Atau hanya karena ini hari libur, tidak ketemu beberapa orang menyebalkan di kantor? Atau karena saat ini aku bisa pulang ke rumah dan berkomputer serta makan sepuasnya? Mungkin ini termasuk salah satu postingku yang paling memalukan. Tidak biasanya aku bergosip dan ngrasani orang di blog seperti ini. Tapi paling tidak aku perkirakan selama 3 bulan ke depan, tidak akan ada orang di kantorku yang cukup peduli, cukup penasaran atau cukup canggih untuk menemukan blog ini atau mengetahui bahwa posting ini ditulis olehku. Ya aku bukan Nila Tanzil. Hehe.. Tapi mungkin satu saat aku berharap akan ada staf yang seruangan denganku yang akan membaca blog ini. Lebih baik lagi jika yang membaca adalah salah satu dari orang yang kubicarakan di atas.

0 Responses to “A Mad Report”

Posting Komentar


Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!