Untuk Ciu Ciu* (31 Desember 1954- 25 April 2007)
0 Comments Published by ary on Rabu, 25 April 2007 at 7:06 PM.Jadi, Ciu. Ary seperti biasa tidak bisa mulai ngomong apa-apa waktu hari Sabtu kemarin besuk di rumah sakit. Kalau bukan karena kabel-kabel dan selang-selang itu, Ciu Ciu waktu itu memang nggak seperti orang yang lagi sakit. Ciu Ciu masih bisa mengenali Ary yang hari itu baru potong rambut. Yang Ciu Ciu tanyakan juga sama kalau misalnya waktu itu sehat. Soal kerjaan di mana dan lainnya. Terakhir sebelum itu, kalau nggak salah kita ketemu waktu Sin Cia atau sesudahnya juga ketemu waktu Ary lewat-lewat jalan Malabar sana. Rasanya memang belum begitu lama. Mungkin juga karena namanya kita tetangga. Keluarga selain anak-anak Mamah yang paling dekat sama keluarga di Tambora bisa dibilang memang keluarga Ciu Ciu. Tapi, Ary dan Ciu Ciu memang nggak akrab juga. Ciu Ciu dalam beberapa hal agak seperti Papah yang dulu juga selalu berjarak dengan Ary. Ary ingat juga waktu besuk kemarin Ciu Ciu ngomong sama Yan sambil senyum “kui golek kerjo ning Nyogja piye?” Dalam hati, pada kesempatan-kesempatan seperti itu Ary agak iri melihat keakraban ayah anak macam itu. Yah, cicik-cicik suka bilang Ciu Ciu orangnya sulit. Tapi menurut Ary, itu cuma karena beda lingkungan. Ya lingkungan, suasana di jalanan yang sudah Ciu Ciu geluti sejak remaja jelas beda sekali dengan anak-anak Mamah yang orang-orang rumahan. Tapi, mantu-mantu Mamah buktinya cukup akrab, malah lebih akrab dibanding Ary sendiri.
Mungkin kalau saja hari ini Ary bisa pulang Solo. Yang akan Ary lihat bukanlah raut-raut muka yang Ary suka. Tapi Ciu, bukannya kenapa kenapa, Ary juga tidak kaget kalau hari ini cepat datang. Suasana tenang dan damai, khususnya pada Yan dan Teguh, waktu Ary pulang Sabtu Minggu lalu membuat hari ini tidak mengagetkan. Ary harap semoga perasaan ini juga sudah dirasakan Bulik, Yan dan Teguh selama sekitar seminggu ini. Oya, tidak ketinggalan juga dengan foto itu. Yan yang mendesak agar foto hasil jepretan puluhan tahun lalu segera discan dan diprint. Foto ketika Ciu Ciu masih kecil bersama semua anak Nyama kecuali Mamah itu, seperti sebuah isyarat siap. Kalau mau mundur beberapa waktu sebelumnya lagi. Ary menduga beberapa minggu (atau bulan?) saat Ciu Ciu tiba-tiba memutuskan untuk ke Kalimantan lagi juga adalah misteri sendiri. Bukankah siklus manusia itu sering begitu? Waktu akhir hampir datang, tiba-tiba muncul yang awal-awal lagi.
Kembali lagi soal hubungan kita. Sebenarnya Ary banyak lupa kalau waktu kecil, yang Ary ingat kalau Ciu Ciu pernah membuatkan (atau membelikan ya?) sebuah mainan truk dari kayu warna merah. Ary lupa juga apa dulu pernah naik truknya Ciu Ciu apa tidak. Tapi Ary mungkin bukan anak laki-laki yang Ciu Ciu suka. Sama seperti Papah yang barangkali agak kecewa melihat Ary tidak tertarik soal utak atik barang elektronik. Ary memang nggak begitu suka truk atau begitu tertarik dengan hal-hal soal mesin, teknik, elektronik, dsb. Sampai sekarang, minat soal itu mungkin asal kalau butuh saja. Waktu SMU dulu Ciu Ciu juga sempat geregetan melihat Ary yang gamang waktu harus naik ke atas genting rumah. Tapi waktu kuliah, rasanya Ciu Ciu sudah bisa mulai melihat bahwa meski nggak begitu pintar soal teknik dan utak atik mesin, Ary bukannya tidak bisa jadi apa-apa, meski kalau waktu SMU dulu Ary mungkin memang benar pengecut. Waktu kuliah, Ary lupa dalam rangka apa dulu Ciu Ciu ke Surabaya dan nginap di Rungkut selama beberapa hari. Pengalaman naik bis ekonomi untuk perjalanan sejauh itu mungkin tidak akan pernah ada kalau waktu itu perginya bukan dengan Ciu Ciu. Tapi Ary ingat kalau Ciu Ciu ternyata terbukti bukan orang yang sulit. Ciu Ciu bisa dengan mudah akrab dengan para tetangga, mungkin karena mereka semua sama-sama bapak-bapak dan suka kongkow. Ary bisa dengar Ciu Ciu cerita soal sejarah (sejarah 'jarene' hehe), yah itu memang bahan obrolan bapak-bapak yang menyenangkan. Yang agak membosankan terus terang memang kalau ngobrol soal politik pemerintah, dsb. Kayaknya sudah tidak akan ada lagi Bung Karno lain di Indonesia ini, sementara Iwan Fals juga jadi macam pertapa, dua itu idola Ciu Ciu 'kan?
Hidup Ciu Ciu sepanjang yang Ary lihat, atau yang Mamah ceritakan mungkin masih selalu dekat dengan perjuangan banting tulang. Tapi, lihatlah sekarang Ciu. Yan dan Teguh jelas adalah anak-anak yang pantas dibanggakan. Mereka berdua mandiri dan sudah dewasa serta bertanggung jawab di usia mereka. Jauh dari Ary waktu seusia mereka. Apalagi Yan yang Ary tahu Ciu Ciu sendiri membanggakannya. Banyak saudara juga kagum dengan kedewasaan sikapnya, tidak manja seperti anak-anak sebayanya. Rasanya sudah sejak beberapa tahun ini, Ciu Ciu terbukti sudah mempersiapkan dia dengan sangat baik untuk menjadi kepala keluarga. Jadi di manapun Ciu Ciu berada saat ini, memang nggak usah ada kekhawatiran lagi. Bulik akan cukup tenang. Mengenai Mamah, meski beberapa masalah sempat dibuat olehnya, Ary cukup lega bahwa keluarga Ciu Ciu sudah bisa memaklumi sifat Mamah.
Jadi, mungkin ini yang bisa Ary sampaikan saat ini. Dari warnet ini, karena besok nggak bisa pulang, Ary cuma bisa menyampaikan toast dengan asap Djarum Super ini untuk Ciu Ciu di sana. Biarlah orang berkata kalau Djarum itulah yang merusak jantung Ciu Ciu, tapi semoga akan ada banyak Djarum, mungkin juga bir dingin, sebuah paru-paru, jantung serta tubuh kuat dan segar yang Ciu Ciu dapatkan sekarang. Salam dan sampai jumpa satu waktu nanti. Terima kasih Ciu untuk memorinya.
* seharusnya paman saya ini dipanggil sebagai Aq (Akiu) atau Gyu Gyu. Ciu Ciu adalah pelafalan salah yang sudah terbiasa kami (kelima ponakan, anak-anak dari kakaknya yang nomor lima) ucapkan sejak kecil. Tapi ia tidak pernah mempermasalahkan soal hal-hal seperti itu.
* almarhum paman saya adalah bocah kecil yang berdiri di paling kanan. Di foto yang mungkin diambil sekitar pertengahan tahun 60an itu, dari semua anak nenek saya, mama saya adalah satu-satunya yang tidak ikut berfoto (karena waktu itu ia sedang di Solo bersama kakek). Saat ini, praktis dari keenam orang di foto itu, tinggal dua orang saja yang masih hidup yaitu dua bibi saya yang berdiri di sebelah kiri. Foto ini tiba-tiba muncul di hari-hari terakhir paman saya yang baru saja meninggal. Saya sebelumnya belum pernah melihatnya.
0 Responses to “Untuk Ciu Ciu* (31 Desember 1954- 25 April 2007)”