perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


Pebruari

Aku tidak hendak mengulang apa yang kulakukan tahun lalu. Pebruari kali ini sama sekali bukan berhubungan denganku. Bukan juga tentang gejala bahwa akan terjadi sesuatu dalam hidupku, yang selalu berusaha kuanggap sebagai bukan hal yang terlalu luar biasa.

Pebruari, bulan yang sempit ini belum berjalan separuhnya, tapi sudah ada dua, yang kita utamanya, yaitu para pemuda, diajarkan untuk menista, melupakan, pokoknya menjauhlah dari mereka dan orang-orang semacamnya. Aku selalu ingat, tahun lalu sedih dan kecewa menyapa kita. Salah seorang pejuang yang dihinakan bangsanya (dan awal kehidupannya berawal dari bulan Pebruari juga), ia telah meninggal tahun lalu. Dan bulan dan tahun ini, dua lagi telah mengatupkan jari jemarinya dan menutup mata. Berita televisi mungkin tak menganggapnya penting untuk dikabarkan. Mereka jauh, mereka tak berhak mendapat tempat dalam hati, dalam sejarah, dalam rak perpustakaan sekolah, dalam dokumentasi, apalagi dalam penghargaan.

Namun mereka bukanlah tokoh yang hanya bisa bicara dan berteriak-teriak protes saat dirinya kesakitan. Mereka punya kata. Kata itu yang tertera dan tidak akan kalah oleh bara api dan bara benci. Mereka punya cerita yang tak pernah didengar para anak muda kita. Antusias pun berkembang dan inspirasi membekas. Mungkin saat ini makin muak kita lihat para bajingan di istana-istana mereka yang sayang tak tenggelam, mungkin jijik kita lihat para bangsat berbicara moralitas, mungkin ingin rasanya njendul kepala seniman, mahasiswa, anak muda yang polahnya boleh kamu temukan sendiri katanya, dan mungkin makin malu juga aku dengan diri sendiri yang makin layu, namun cerita, kata, semangat mereka itu, aku harap tetap ada dan bukan sekadar koleksi.
(lain kali semoga aku bisa lebih jelas dan baik lagi)
Good thanks and farewell
AS Dharta & Sobron Aidit

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

ICU


icu oen
Originally uploaded by scandinavian_idiot.

Ketika memasuki lagi bangsal ICU RS dr. Oen Kandang Sapi baru-baru ini, aku jadi ingat dan aku seakan jadi merasakan lagi suasana yang dulu. Memang, hanya tiga hari yang benar-benar aku rasakan, tapi aku pikir aku juga pernah menjejakkan kaki di situ lebih dari tiga hari tersebut. Hanya saja yang aku rasakan tadi memang lebih banyak dipengaruhi oleh ingatan yang terjadi selama tiga hari, lebih dari delapan tahun yang lalu itu. Yang kuingat dari lorong menuju bangsal ICU itu adalah bahwa itu adalah semacam jalur VIP di mana kau bisa berjalan agak petantang petenteng tanpa merasa khawatir akan ditegur satpam yang mengingatkan bahwa jam besuk sudah habis. Yang aku ingat memang adalah ketika aku berposisi sebagai keluarga pasien, dan bahkan juga sebagai penunggu. Jika sebagai penunggu, saat paling menarik, ditunggu namun juga emosional adalah saat ketika kau bisa melihat kematian. Tentu saja, kematian orang lain selain pasien yang kau tunggui. Melihat ranjang didorong dengan sesosok tubuh yang seluruhnya ditutupi kain putih adalah seperti melihat sendiri sebuah perkelahian fisik atau tembak-tembakan di jalan, karena hal tersebut sebelumnya hanya bisa dilihat di TV saja, itupun palsu. Lalu, yang membuat emosional tentunya adalah wajah-wajah para penunggu pasien yang meninggal tersebut. Ada yang mulutnya terkunci meski rautnya jelas bingung dan matanya bahkan seperti kosong (ekspresi yang ini cukup mayoritas), tapi sempat kulihat juga yang berteriak-teriak histeris dan meminta agar ranjang jangan dibawa ke luar (atau "kematian jangan kau bawa pergi dirinya").

Ruang ICU di RS. dr Oen memang berada di jalur yang lain dari bangsal inap biasa. Yang jelas jalur masuknya lebih cepat dan 'penjagaan'nya lebih longgar. Aku bisa merasa berbeda karena aku pernah merasakan menjenguk/menunggui pasien baik yang dirawat di bangsal biasa (yang kelas satu, dua, tiga hingga yang VIP), UGD, ruang bersalin dan ICU tadi. Walau UGD dan ruang bersalin lebih bebas lagi, namun suasananya jelas beda. Di ICU, suasana dan pikiran kita lebih tenang (atau lebih pasrah, mengingat saat pasien dirawat di ICU artinya itu adalah ruang yang paling dekat dengan ruang mayat). Aku juga ingat bahwa aku juga cukup senang atau bersemangat jika melihat tamu yang datang adalah tamu kita. Karena biasanya, kalau sudah masuk di ICU, para pengunjungnya kadangkala juga meliputi orang-orang yang sebelumnya jarang kita temui (seperti kerabat dari luar kota), sehingga ada suasana semacam reuni atau silaturahmmi. Lebih lagi, untuk para pembesuk 'biasa' (alias mereka-mereka yang tinggal di dalam kota atau mereka yangsudah sering kita temui), seringkali bawaan mereka juga bisa tak terduga karena semakin kita susah biasanya orang juga cenderung makin perhatian. Satu lagi, seingatku ada lebih banyak senyuman di sekitar bangsal itu, lebih banyak dari ruang tunggu bangsal bersalin malah. Ini paling tidak karena para pembesuk tidak melihat pasien secara langsung. Harus antri saat hendak melihat pasien di ruang ICU. Dan karena itu, info yang didapat atau hipotesa spekulatif para pembesuk juga relatif sedikit, jadi mereka pun lebih banyak datang benar-benar untuk menghibur. Suasana baru beda kalau kondisi pasien tiba-tiba berubah atau bahkan meninggal. Jelaslah itu... Aku belum sempat melanjutkan ngelamun lagi karena mama sudah keluar dan mengatakan bahwa pasien yang hendak dibesuk sudah meninggal dunia sore tadi.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...


Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!