Hari ini aku berangkat pagi, sekitar pukul 4 subuh. Setelah memanaskan kompor, aku mengayuh pesawat jet bikinanku sampai ke kantor yang pagi ini rupanya habis kemalingan. Para polisi tampak berkeliling sambil menguap ngantuk. Apa yang dimaling? Ternyata keping keberuntungan pak JG. Salah satu direktur, yaitu SP pun datang, dia masih berkaus oblong merek Swan dengan ada lubang pas di bagian pusarnya. Terang saja beberapa karyawan mentertawakannya. Ia pun marah, matanya melotot, lidahnya terjulur-julur, otot bisepnya diregang-regangkan seperti binaragawan. Karyawan di kantorku itu pun langsung terdiam. Takut.
Tiga jam kemudian bel berbunyi. Rupanya aku lupa absen dan baru sadar setelah bel berbunyi. Hilang sudah tunjangan bulan ini. Sebuah doa dikumandangkan, diiringi sayup musik keroncong, beberapa karyawan sampai ketiduran, air liurnya bahkan menggenangi kursi sampai 5 senti. Sampai waktu itu, semua masih biasa saja. Aku bekerja seperti biasa, mengedit buku tentang cara melacak blog tanpa menggunakan mesin pencari. Buku yang luar biasa susah sampai-sampai aku ngopi tiga gelas besar. Sampai siang pun, dengan menu makan siang sop dan tempe mungil, suasana tampak biasa saja. Namun, beberapa jam sebelum pulang, sebuah suara memanggilku mesra, "halo cowok, ayo ke ruangan saya.." Aku tidak mengenali suara siapa itu, tapi setelah diberitahu aku ikut saja. Sampai di ruangan tanpa jendela itu, tiba-tiba mataku ditutup, sebuah puisi bikinanku dibacakan. Aku tentu saja tersanjung, apalagi setelah dia berbisik bahwa puisiku itu juga sudah disebar-sebarkan sebagai pamflet hari ini.
Setelah pembacaan selesai, kain yang menutup mataku pun dibuka. "Plak!" Sebuah tamparan dihajarkan ke mukaku. Aku terhuyung ke belakang, namun beberapa detik kemudian tendangan kuterima dua kali di wajah. Darah mengalir dari hidung yang patah. Salah satu direktur yang juga mendampingiku saat masuk kerja dulu, yang katanya pernah satu sel dengan Mike Tyson di penjara Indiana County, tersenyum. Orang ini memang cukup unik. Ia berweton Senin Pahing tapi selalu mengaku lahir Jumat Kliwon. Sebelum ini ia agak takut denganku karena satu saat ia pernah kupergoki merokok di ruangannya, padahal di sini dilarang merokok karena dekat kantor ini ada pom bensin. Setelah melihat darah , ia pun menangis. Katanya ia ingat istrinya yang pernah bekerja di Palang Merah. Aku kembali menanyakan tujuannya memanggilku. Ternyata, ia mengatakan telah menemukan secarik kertas berisi makian kepada dirinya dan bosnya. Ia bilang itu tidak sopan dan karena itu aku harus dihukum. Maka aku pun disuruh tidak usah lagi bertemu dengannya. Ia membawakan duit seketip untuk biaya taksi katanya. Padahal, aku toh naik jet.
Kejadian mungkin sangat cepat, ia mengaku mendapat wangsit untuk melakukan itu. Hasil dari puasa makan tahu Sumedang selama seminggu. Aku heran dan berusaha membantah, tapi ia seperti sedang trance, ia terus menyebut, "ning geulis... alus.. kumaha.." dan semua kosakata Sunda yang asal saja. Pokoknya, ia ingin aku tidak usah menemui dia lagi karena ia ingin makan tahu Sumedang lagi. Setelah melihat dia mengiba-iba, aku pun tertawa, menggeleng dan berbalik pergi. Aku pulang seperti biasa. Hari ini memang aneh, tapi ini benar-benar terjadi! Anak kecil pun tahu ini bukan fiksi! Serius!
Tiga jam kemudian bel berbunyi. Rupanya aku lupa absen dan baru sadar setelah bel berbunyi. Hilang sudah tunjangan bulan ini. Sebuah doa dikumandangkan, diiringi sayup musik keroncong, beberapa karyawan sampai ketiduran, air liurnya bahkan menggenangi kursi sampai 5 senti. Sampai waktu itu, semua masih biasa saja. Aku bekerja seperti biasa, mengedit buku tentang cara melacak blog tanpa menggunakan mesin pencari. Buku yang luar biasa susah sampai-sampai aku ngopi tiga gelas besar. Sampai siang pun, dengan menu makan siang sop dan tempe mungil, suasana tampak biasa saja. Namun, beberapa jam sebelum pulang, sebuah suara memanggilku mesra, "halo cowok, ayo ke ruangan saya.." Aku tidak mengenali suara siapa itu, tapi setelah diberitahu aku ikut saja. Sampai di ruangan tanpa jendela itu, tiba-tiba mataku ditutup, sebuah puisi bikinanku dibacakan. Aku tentu saja tersanjung, apalagi setelah dia berbisik bahwa puisiku itu juga sudah disebar-sebarkan sebagai pamflet hari ini.
Setelah pembacaan selesai, kain yang menutup mataku pun dibuka. "Plak!" Sebuah tamparan dihajarkan ke mukaku. Aku terhuyung ke belakang, namun beberapa detik kemudian tendangan kuterima dua kali di wajah. Darah mengalir dari hidung yang patah. Salah satu direktur yang juga mendampingiku saat masuk kerja dulu, yang katanya pernah satu sel dengan Mike Tyson di penjara Indiana County, tersenyum. Orang ini memang cukup unik. Ia berweton Senin Pahing tapi selalu mengaku lahir Jumat Kliwon. Sebelum ini ia agak takut denganku karena satu saat ia pernah kupergoki merokok di ruangannya, padahal di sini dilarang merokok karena dekat kantor ini ada pom bensin. Setelah melihat darah , ia pun menangis. Katanya ia ingat istrinya yang pernah bekerja di Palang Merah. Aku kembali menanyakan tujuannya memanggilku. Ternyata, ia mengatakan telah menemukan secarik kertas berisi makian kepada dirinya dan bosnya. Ia bilang itu tidak sopan dan karena itu aku harus dihukum. Maka aku pun disuruh tidak usah lagi bertemu dengannya. Ia membawakan duit seketip untuk biaya taksi katanya. Padahal, aku toh naik jet.
Kejadian mungkin sangat cepat, ia mengaku mendapat wangsit untuk melakukan itu. Hasil dari puasa makan tahu Sumedang selama seminggu. Aku heran dan berusaha membantah, tapi ia seperti sedang trance, ia terus menyebut, "ning geulis... alus.. kumaha.." dan semua kosakata Sunda yang asal saja. Pokoknya, ia ingin aku tidak usah menemui dia lagi karena ia ingin makan tahu Sumedang lagi. Setelah melihat dia mengiba-iba, aku pun tertawa, menggeleng dan berbalik pergi. Aku pulang seperti biasa. Hari ini memang aneh, tapi ini benar-benar terjadi! Anak kecil pun tahu ini bukan fiksi! Serius!
Label: cerita, kaos oblong, nyata, tahu sumedang
0 Responses to “Truest Story Ever Told!”