Temanku dulu punya hobi aneh, nongkrong di krematorium. Aneh? Tidak juga. Terutama kalau kau tahu kondisi sebenarnya. Krematorium di Solo namanya Thiong Ting, dibangun oleh Perkumpulan Masyarakat Surakarta, sebuah yayasan yang mengurusi permasalahan kaum keturunan Cina di Solo. Letaknya di jalan Ir Sutami, Jebres bersebelahan dengan STM Warga yang merupakan sekolah temanku tadi. Mulai jelas bukan? Bahwa sudah diketahui kalau STM dimana-mana selalu minim atau malah tidak ada siswa wanitanya lagipula jam belajarnya bisa sampai seharian, jadi teman-temanku tadi hanya bisa melihat gadis-gadis yaitu para pelayat dari tempat itu.
Krematorium Thiong Ting sempat cukup kuakrabi terutama waktu ayahku meninggal tahun 1998. Satu-satunya krematorium di Solo tersebut memang tergabung dengan tempat persemayaman jenazah. Jadi disini aku sebenarnya agak bingung ingin bercerita tentang krematorium atau tempat persemayaman jenazah atau malah mau Thiong Ting saja. Tapi karena sejak kecil bayanganku tentang krematorium sudah jadi satu dengan tempat persemayaman, maka aku kira aku akan bicara baik tentang krematorium (aku hanya tahu yang di Thiong Ting) maupun tempat persemayaman (aku hanya pernah mengunjungi 2, satu Thiong Ting satunya Adi Yasa di Surabaya). Dari melihat foto-foto suasana pemakaman kakekku yang meninggal pada tahun 1980 (aku belum lahir), ternyata tempat persemayaman dan krematorium di Solo dulu terpisah. Krematorium letaknya di Thiong Ting yang sekarang (Jebres) sementara tempat persemayamannya ada di wilayah Kandangsapi, dekat rumah sakit Panti Kosala (sekarang dr. Oen), jarak keduanya sekitar 3 kilometer tapi jalannya relatif lurus saja. Jadi, kalau kau Cina yang mati pada tahun tujuh puluh atau delapan puluhan, mungkin boleh jadi urutannya begini: perawatan sampai meninggal di RS Panti Kosala, disemayamkan di belakangnya, lalu dikremasi di Jebres. Menariknya melakukan perjalanan sepanjang tempat persemayaman sampai krematorium itu sama saja dengan menelusuri aliran sungai Bengawan Solo yang rutenya memang sejajar. Apakah hal itu ada artinya aku belum tahu karena belum bertemu ahli feng shui.
Terakhir kali aku ke Thiong Ting adalah untuk mengantarkan ibuku melayat seorang kerabat jauh yang bahkan aku tak ingat pernah ketemu, sedangkan pertama kali ke Thiong Ting seingatku adalah untuk melayat meninggalnya salah seorang pamanku. "First thought is the strongest" katanya, dan aku juga mengamini jika kunjungan-kunjungan pertamaku di banyak tempat selalu masih kuingat dengan lumayan baik, termasuk kunjungan ke Thiong Ting, yang sekaligus pengalaman pertamaku melayat. Waktu itu adalah berbarengan dengan hari ketika untuk kedua kalinya aku mengikuti lomba menggambar (lupa tingkat apa karena yang kutahu waktu itu cuma menggambar saja) meski seingatku aku tidak memenangkan apa-apa dalam lomba tersebut. Setelah perlombaan, dengan diboncengkan oleh Bu Kris, guru TK ku yang gendut dan selalu tersenyum, aku diantar ke tempat persemayaman jenazah. Aku tak yakin itu adalah tempat persemayaman di Thiong Ting sekarang, karena seingatku sangat beda, ruang persemayaman itu banyak kayunya. Mungkin itu adalah ruang persemayaman jenazah yang lama, yang masih di daerah Kandangsapi. Aku sama sekali tak paham kemana Bu Kris membawaku, namun aku tak banyak tanya apalagi setelah disana aku bertemu ayah ibu dan kakak-kakakku. Sampai di tempat yang asing itu, nenek segera mengganti bajuku dengan kemeja dan celana pendek putih, seutas benang merah juga diselipkan diantara salah satu kancingnya, aku masih tidak paham apa yang sedang kami lakukan disana. Ruangan besar itu diisi oleh banyak kursi dan orang-orang, beberapa diantaranya adalah saudara dan kerabatku, di tengahnya ada sebuah peti kayu berhias bunga. Aku diberitahu bahwa itu namanya peti mati dan bahwa pamanku ada di dalamnya, aku rasa juga ada beberapa orang yang lebih dewasa waktu itu yang berusaha menjelaskan padaku apa itu kematian. Sayangnya aku juga belum bisa memahami apa yang mereka katakan apalagi bagaimana aku harus menentukan sikap. Tapi yang pasti, wajah nenek, ibu, ayah, paman bibi dan beberapa kakak terlihat sedih dan seperti habis menangis, sementara aku hanya bermain dengan beberapa sepupu, berjalan dan berlari kesana kemari di ruangan besar tersebut.
Sesudah pemakaman paman yang terjadi waktu aku berumur 5 tahun itu, sampai usia 17 tahun (ketika ayah meninggal) jelas ada beberapa kali kesempatan aku melayat di Thiong Ting (yang di Jebres) namun kebanyakan sudah tak kuingat lagi. Yang masih lumayan kuingat adalah pemakaman salah seorang adik kelas yang tak kukenal, namun toh aku dan banyak teman satu kelasku waktu itu tetap melayat. Bukan karena apa-apa, cuma memanfaatkan kesempatan mengingat layatan itu dilakukan waktu jam pelajaran, dan pihak sekolah yang entah karena euforia atau takut dibilang tak berperasaan juga membolehkan yang mau layat untuk pergi. Adik kelasku itu meninggal akibat kecelakaan motor, salah seorang tamu sempat bertanya padaku, "Temennya ya? Dia nakal nggak sih anaknya.." Dengan jujur kujawab bahwa aku tidak mengenalnya, tapi sesudah itu Erik, teman yang berdiri di sampingku bergumam, mengajari, "harusnya tadi kamu bilang dong, baik kok anaknya.." Aku tak berkomentar lebih lanjut. Membolos dengan alasan layat juga kami lakukan lagi, namun kali ini yang meninggal adalah ibu dari salah seorang teman sekelas kami, jadi sekolah nampaknya juga lebih tak bisa melarang, maka kami yang bawa motorpun sengaja ikut hingga ke tanah pekuburan di Delingan, Karanganyar sekalian hingga jam sekolah usai.
Ingatan tentang krematorium dan tempat persemayaman jenazah yang paling kuingat tentu adalah ketika ayah meninggal. 3 harmal (Kamis-Minggu) jenazah ayah disemayamkan, dan tiap malam juga harus ada yang menginap di depan peti, menjaganya. Meski aku ingin merasakan menginap, namun ibu dan kakak tak begitu mengizinkan dengan alasan tenagaku lebih dibutuhkan di rumah untuk membantu menyiapkan segala sesuatunya. Ketika ayah meninggal itu pulalah aku berkesempatan menyusuri sampai ke sudut-sudut Thiong Ting. Dimulai saat siang hari, beberapa jam setelah ayah dipastikan meninggal, aku dan beberapa saudara segera bergerak ke Thiong Ting untuk melihat-lihat peti. Penyimpanan peti mati yang dijual ternyata terletak di sebuah gudang di pinggir, yang selama ini memang selalu ditutup. Peti mati yang ada nampaknya tak begitu banyak, sekitar sepuluh atau belasan saja, diletakkan di rak-rak kayu. Memilih mana peti mati yang akan dibakar mungkin adalah pekerjaan yang harusnya gampang, seharusnya yang terjelek atau termurah yang dipilih. Namun tentu saja tidak demikian pertimbangannya, pertimbangan juga tidak semata karena peti itu nanti akan dilihat banyak orang, tapi lebih karena bayangan bahwa peti itu akan dipakai untuk meletakkan jenazah ayah, bahwa peti itu bisa disebut tempat tinggal ayah yang terakhir. Sempat juga aku dan beberapa saudara iseng membahas hal ini, tentang kenapa kita bisa takut dan memperlakukan secara berbeda jenazah yang notabene benda mati sama halnya dengan meja atau korek api. Fakta bahwa benda mati itu pernah hidup atau dihuni sebuah nyawa, itulah kesimpulan kami tentang perbedaan keduanya. Barangkali pelajaran tentang apa itu hidup dan mati hanya bisa kita dapatkan secara lebih mendalam ketika kita sudah mengalami dan terlibat langsung dalam prosesi kematian orang yang kita kenal dekat atau yang kita sayangi.
Terakhir ke sana tahun 2006, Thiong Ting kini memiliki 6 ruang, sebuah ruang baru telah dibangun dengan menggusur kantin dan toko yang dulu khusus menjual keperluan macam amplop, air mineral, pulpen, spidol merah, korek, lilin, minyak kolonyet (cologne), balsem untuk mengobati gigitan nyamuk atau rasa sedih di dada, termasuk jasa fotocopy untuk tetek bengek administrasi surat kematian, yang untungnya tidak senjelimet mengurus KTP, SBKRI atau akte kelahiran, dll. Mungkin pengurusan dokumen-dokumen itulah cara pemerintah menyatakan eksistensinya. Lalu, seperti halnya di rumah sakit, kalau kau bingung mana jenazah yang harus dilayat, bisa melihat dulu di papan tulis putih di depan. Jangan heran kalau melayat di tempat persemayaman jenazah seperti Thiong Ting memang bisa menjadi sesuatu yang tidak semudah maksud sebenarnya dari melayat. Terus terang dulu aku sendiri sempat kadang kurang pede jika harus melayat di tempat persemayaman jenazah umum Tionghoa seperti itu. Datang, apakah harus memberi hormat dengan pai cia, ke kanan dulu atau ke kiri dulu atau ke foto dulu, atau malah tidak perlu melakukannya, untuk menunjukkan diriku sebagai pemeluk Kristen, berapa lama harus pura-pura memejamkan mata, berdoa di depan foto orang yang meninggal, apakah setelah itu perlu bersalaman, untuk menggantikan pai cia atau lakukan keduanya? Itulah yang sempat membuat aku bingung paling tidak sebelum SMA. Masa SMA memang masa ketika aku mulai banyak melayat ke Thiong Ting. Melayat keluarga teman sekolah, gereja, tetangga maupun kerabatku sendiri, dengan puncaknya tentu saja adalah ketika aku menjadi keluarga yang dilayati itu sendiri. Kini aku tidak lagi bingung, bahkan kadang merasa agak superior saat aku melihat ada teman atau orang lain yang terlihat bingung atau melakukan 'kesalahan' dalam melakukan 'ritual' sederhana itu. Bahkan, saat tulisan ini pertama kali dibuat, lebih dari setahun yang lalu, aku justru cukup bersemangat dan ingin sekali mendapat alasan untuk mengunjungi Thiong Ting lagi. Sayangnya, tidak ada Ho Im dikirimkan ke rumah di masa-masa itu.
Rumah persemayaman Adi Yasa di Surabaya kalau tidak salah pernah kukunjungi dua kali. Aku merasa Adi Yasa tidak lebih bagus dari Thiong Ting. Aku merasa Thiong Ting lebih nyaman karena lebih luas dan tidak seramai Adi Yasa. Ruang-ruang di Adi Yasa barangkali hanya 80 % besar ruangan di Thiong Ting yang aku tahu. Kalau tidak salah, aku pikir di Adi Yasa tidak bercampur dengan Krematorium. Tapi aku tidak yakin soal ini. Waktu ke sana, aku merasa suasananya lebih seperti tempat pernikahan atau upacara peresmian pembukaan gedung baru ketimbang tempat persemayaman jenazah. Terlalu banyak karangan bunga, besar atau kecil, beberapa ruang memasang musik, mobil-mobil bersliweran karena area parkirnya langsung di depannya, banyak sampah, tempat itu pun terasa kotor dan tidak teratur. Kalau aku menjadi keluarga yang dilayat, mungkin akan tidak begitu mudah untuk bersedih atau menangis di sana.
Ada dua atau tiga makanan yang belum aku ketahui alasannya dipilih sebagai hidangan di layatan orang Cina di sini (atau di sana sini?). Yang pertama kacang, bisa juga digantikan kwaci, lalu juga roti semir. Dan sekarang kadang juga ada yang memakai permen. Untuk minuman dulu masih memakai air teh yang diwadahi gelas, tapi sekarang orang lebih suka memakai air mineral dalam gelas. Waktu Papa meninggal, paling tidak satu bungkus kacang garuda ukuran paling besar kuhabiskan sendiri, roti semir tidak begitu banyak, terutama setelah mereknya pada malam ke-2 diganti yang lebih murah. Paling tidak itu menunjukkan alasan beberapa konsumsi diganti dengan yang lebih murah, praktis, dan tahan lama. Dalam tradisi Cina, jenazah biasanya disemayamkan dalam hitungan hari ganjil sebelum dikubur atau dibakar karena katanya angka ganjil menggambarkan unsur Yang (unsur positif). Kalau soal makanan tadi, mungkin saja juga alasannya mirip, yang satu mewakili rasa asin dan manis, atau penganan kering dan basah, hanya saja aku belum pernah melihat roti semir digantikan donat atau roti isi pisang coklat, misalnya.
Krematorium di Thiong Ting letaknya di belakang tempat persemayaman jenazah, di samping ruang mayat, dekat gudang peti mati, di depan semacam taman kecil, untung saja di taman itu tidak dipasang ayunan, bayangkan kalau di tempat seperti itu ada ayunan, terkena angin di waktu malam. Setelah menaburkan bunga untuk keluarga-keluarga yang terhitung dekat dengan almarhum, dipersilakan bagi entah siapa di antara anggota keluarga yang mau mendapat kehormatan menekan dua buah tombol untuk membakar peti berisi jenazah itu. Waktu Papa dikremasi, aku yang menekannya. Setelah itu, kita bisa melihat atau tepatnya mengintip bagaimana api mulai membakar peti dan kalau jeli juga bisa melihat daging dan tulang yang dibakar api. Keesokan harinya, setelah abu menjadi dingin, keluarga bisa datang untuk mengambil abu jenazah. Ternyata, abu kayu peti mati dan barang-barang lain yang disertakan di dalamnya sangat mudah dibedakan dengan abu sisa pembakaran tulang manusia. Abu jenazah jauh lebih halus, lembut, dan bersih. Kita bisa memilah-milah dan memasukkannya sendiri ke guci atau wadah yang biasa dipakai sebagai tempat abu jenazah, lalu kita bisa membuangnya ke laut atau menyimpannya, seperti yang dilakukan Papa terhadap abu jenazah ayahnya yang bertahan selama sekitar 17 tahun, sebelum abu dan gucinya itu raib dicuri entah oleh siapa.
Ada seorang bapak yang bertugas di Thiong Ting, aku lupa namanya, yang ternyata memang sangat awet bekerja di sana. Bukti dari itu bisa dilihat di foto upacara kremasi kakek di tahun 1980, waktu Papa meninggal tahun 1998, bapak itu masih tetap bertugas di sana dengan gaya yang masih tetap sama. Topi pet dan tidak banyak omong. Petugas di Thiong Ting sendiri memang kebanyakan sudah tua, termasuk para pengusung peti. Aku rasa yang menggaji mereka adalah PMS. Mereka semua etnis Jawa, dan keawetan terhadap profesi yang seperti itu barangkali hampir seperti awetnya para abdi dalem, meski aku kira PMS tidak menggaji mereka sebesar gaji para abdi dalem yang setia mati dan bangga dengan pekerjaannya itu. Tugas para petugas di Thiong Ting itu macam-macam. Bisa aku pastikan mereka jauh lebih mengerti tradisi atau budaya Cina ketimbang anak muda seperti aku atau kakak-kakakku. Mereka mungkin juga mengenal banyak keluarga Cina di Solo beserta kerabat-kerabatnya. Kalau pagi, siang, atau sore, sewaktu tidak ada pelayat, siapa lagi yang bisa diajak bicara oleh para penunggu jenazah selain mereka? Aku tak akan heran jika beberapa keluarga yang anggotanya banyak atau sering meninggal, sudah seperti dianggap dan menganggap saudara dengan bapak-bapak petugas di Thiong Ting itu. Dan para petugas itu memang sangat membantu, terutama untuk keluarga yang baru sekali mengalami kematian dalam keluarga inti seperti keluargaku waktu itu.
Mungkin cukup di sini saja ceritaku tentang dua krematorium/tempat persemayaman jenazah yang pernah kukunjungi. Waktu aku mulai memiliki ide membuat tulisan ini sekitar satu setengah atau bahkan dua tahun yang lalu, sebenarnya aku ingin membuat tulisan yang lebih berisi ketimbang ingatan samara seperti ini. Aku sudah browsing ke banyak tempat, mencoba melempar topik ini dan meminta tolong di sebuah milis tentang budaya Cina, tapi tidak ketemu dan tidak ada yang menanggapi. Jadi, beberapa paragraf akhir mungkin hanya upaya merampungkan saja, secara kurang niat dan data. Tapi saat membicarakan tentang krematorium, dari dulu aku masih bertanya-tanya, kalau mati aku ingin dikubur atau dibakar atau dibenamkan atau dibalsam atau dipotong-potong? Dulu aku yakin ingin dibakar, sekarang aku tak begitu peduli. Kalau aku menjadi orang yang cukup punya sesuatu untuk dikenang banyak orang lain, dikubur mungkin lebih baik. Tapi aku sungguh tak terlalu peduli lagi sekarang, atau belum.
Label: krematorium, solo, surabaya, thiong ting
Kematian adalah suatu proses yang alamiah dan pasti akan terjadi pada setiap orang. Kematian memisahkan kita dengan orang yang kita kasihi di dunia ini. Selayaknya segala hal terbaik kita berikan terhadap orang yang kita kasihi sebagai wujud kasih dan penghargaan yang mendalam.
Tetapi yang sering terjadi adalah kita tidak bisa memberikan yang terbaik kepada orang yang kita kasihi saat meninggal dunia, hal tersebut karena kematian datangnya tidak ada yang tahu dan biaya kematian yang tinggi menyebabkan kita tidak siap secara finansial.
Selanjutnya ; http://excellentkab.com