Waktu macet untuk DIY dan sekitarnya
0 Comments Published by lalathijau on Senin, 07 Januari 2008 at 11:10 PM.Asap putih cerah dan kadang agak kelabu itu memerihkan mata. Tetap perih, apakah itu malam hari yang dingin bahkan hujan, terlebih lagi jika itu siang panas. Saya lekas menutup kaca helm yang hanya sampai di bagian bibir bawah. Paling tidak mata terhindar dari perih. Siang itu (apesnya) matahari sedang panas-panasnya bersinar. Orang-orang saat ini (kadang juga termasuk saya) segera mengeluhkan bahwa hal seperti itu adalah dampak pemanasan global. Istilah yang makin lama seperti jargon belaka, di mana mungkin banyak yang sadar tapi ya begitu saja. Itupun masih banyak yang belum (atau akhirnya malah tidak) percaya. Makin menakutkan saja.
Panas matahari terasa membakar bagian-bagian tangan yang tak tertutup jaket hitam yang warnanya sudah berubah agak kemerahan, sementara kaki saya yang hanya dibalut celana jeans selutut dan sandal juga terasa sama gerahnya. Di depan, beberapa mobil masih tidak bergerak. Dari jarak sekitar 200 meter ini, saya bisa melihat lampu lalu lintas di depan berubah dari merah menjadi hijau lalu merah lagi. Seperti melihat pintu lift yang kosong tertutup, hanya beberapa detik di depan mata kita padahal kita sedang sangat buru-buru. Namun, ini lebih lagi.. sengatan matahari begitu panas, udara terasa menyesakkan dan punggung serta kaki saya sudah begitu capek. Waktu saya hanya sekitar dua puluh menit untuk tiba di rumah, mandi dan segera pergi lagi. Yang jelas, paling tidak nanti sesampai di kamar saya bisa merebahkan diri sebentar. Ini jauh lebih mengesalkan daripada lift yang tertutup. Dan, apa yang terjadi? Mobil-mobil serta kendaraan di depan malah tampak tak bergerak. Saya mengutuki pilihan saya melewati jalan ini. Saya berpikir, pasti baju dan badan saya sudah bau apek kena keringat. Saya benci sebab baju kesayangan saya ini baru saya pakai sekali, padahal aturan untuk menghemat cucian adalah harus dua kali pakai dulu baru dicuci. Saya kesal karena saya lebih menuruti kebiasaan melewati jalan ini. Seharusnya tahu bahwa pada jam-jam segini, jalan ini macetnya luar biasa.
Beberapa motor tampak naik ke trotoar. Saya mencoba membelokkan setir motor, ingin mengikuti. Tapi ternyata saya lihat di sana keadaannya lebih parah. Beberapa motor berhenti di trotoar sementara seorang tukang parkir dan beberapa pengemudi motor yang ingin keluar dari sebuah toko tampak marah karena jalurnya diambil para pengemudi yang juga tampak cukup menyesal dan menyadari kesalahannya. Saat seperti ini saya membayangkan kembali macet di jalanan Surabaya yang dulu juga saya akrabi. Hasil dari kemacetan di kota yang terkenal panas itu adalah celana dan baju warna hitam yang warnanya sekarang kemerah-merahan di beberapa bagian. Selain itu, retakan-retakan di helm saya yang lama juga menggambarkan bagaimana bentuk kepala saya kalau ditempa panas terus menerus. Dulu juga masih ditambah dengan cap huruf V terbalik di kedua punggung kaki saya yang suka memakai sandal jepit. Namun, entah apakah karena saya sudah lupa atau karena beberapa alasan berikut, saya merasa lebih benci dengan macet di Jogja daripada di Surabaya. Di Jogja, jalannya kecil dan sempit, sementara di Surabaya jalannya banyak yang lebar dan satu arah. Jalur yang sempit membuat saya seperti diikat karena tidak bisa mencari celah di antara kendaraan lain (satu 'keahlian' saya dalam bersepeda motor yang diam-diam cukup saya banggakan) untuk kemudian melaju ke alam bebas. Selain itu, di Jogja ini saya merasa bahwa mobil-mobilnya seperti tidak punya cukup kemauan untuk melepaskan diri dari kemacetan itu. Saya sering mendapati (lebih jengkel lagi jika itu terjadi saat hujan deras atau panas terik) bahwa saat jalan macet, beberapa pengemudi dan penumpang di dalam mobil malah mengobrol, tertawa-tawa, mungkin juga mendengarkan musik, membaca koran, pokoknya wajahnya tidak jengkel atau marah seperti para pengemudi angkot di Surabaya. Lindungan atap mobil dan semburan AC seperti membuat para pengemudi muda (karena kota ini mayoritas anak muda) itu masih klimis, segar, mungkin juga harum. Saya yang berada di atas sadel motor mengamati indikator bensin. Sudah mendekati wilayah merah, padahal baru kemarin malam diisi sepuluh ribu. Saya menyalahkan, ini gara-gara Jogja sering macet.
Memang, untuk pengendara motor khususnya, kita tahu ada beberapa alternatif menghindari rasa kesal akibat terjebak kemacetan. Yang pertama, menghafalkan jam-jam macet di jalan yang akan kita lewati. Yang umum tentu adalah jam berangkat dan pulang kantor. Kedua, menghafalkan jalan tikus. Ketiga, menyiapkan diri menghadapi macet. Kendala dengan cara pertama adalah saya sering lupa. Karena sudah kebiasaan, saya selalu melewati jalan yang sama karena kalau lewat jalan lain juga lebih jauh dan menghabiskan bensin. Saya selalu bisa melepaskan diri dari kemacetan di pagi hari, mungkin karena pagi hari saya masih segar dan bersemangat, termasuk dalam berkendara. Tapi beda dengan sore hari, memang susah lepas dari kebiasaan. Untuk cara kedua, kendalanya adalah bahwa kecerdasan ruang saya jelek sekali, boleh dibilang masuk kategori idiot. Di kota ini, saya beberapa kali mencoba melewati jalan-jalan tikus dan jarang yang sukses kalau sendirian. Lebih sering adalah saya malah tersesat, memboroskan bensin, dan kalau disuruh mengulangi lagi mana jalur yang benar, saya lupa. Cara ketiga mungkin kadang terpaksa saya pakai. Saat dari jauh melihat kerumunan kendaraan di depan, saya agak pelan-pelan, menghela napas panjang, mulai mencoba memikirkan sesuatu yang positif atau menikmati pemandangan di sekitar. Posisi kaca spion saya betulkan, kaca helm saya turunkan, dan bagian-bagian kulit yang terbuka berusaha saya sembunyikan dari terkena sengatan sinar matahari. Selain itu, jika sudah mempersiapkan diri dari jauh, akan lebih bisa tampak mana celah-celah yang bisa dilewati.
Polisi? Saya tidak pernah mengalami peristiwa baik yang menghubungkan peran polisi mengatasi kemacetan. Yang ada, saya ingat dulu waktu SMA malah pernah helm saya digetok dengan telapak tangan pak polisi karena posisi kendaraan saya terlalu maju. Juga peristiwa baru-baru ini, di mana saya mengalami salah satu kemacetan paling menjengkelkan beberapa bulan lalu. Di Jogja, satu malam pernah terjadi kemacetan yang luar biasa panjangnya dan di berbagai jalur. Dari jarak yang sebenarnya tak begitu jauh, saya tetap tidak bisa melihat apa yang terjadi di depan situ, yang menyebabkan tak ada satu kendaraan pun yang bergerak sejak beberapa menit lalu. Beberapa motor malah mematikan mesin, bahkan memasang standar berdiri. Setelah melewati berbagai celah, sampailah saya di depan dan tahulah saya bahwa jalan ringroad yang membelah bagian utara kota dikosongkan oleh bapak-bapak polisi seperti Musa membelah laut Kolsom. Anda pasti sudah menebak bahwa itu tandanya seorang pejabat negara hendak lewat. Tapi, kali ini iringan mobil pejabat itu lama sekali datangnya. Sampai puluhan menit, lalu lintas macet dan motor-motor mulai berlomba-lomba membunyikan klaksonnya. Sungguh bising tapi mungkin hanya itulah yang bisa dilakukan untuk menyatakan kejengkelan pada sikap overakting polisi. Saya sudah sampai di perempatan, melihat jalan besar itu sangat lengang padahal di belakang dan di seberang sana, berbagai jenis kendaraan dengan penumpangnya yang kesal sehingga membunyikan klakson tadi sudah seperti peserta marathon yang menunggu aba-aba bergerak dari wasit. Tak ada satupun kendaraan diizinkan bergerak. Saya lalu melihat warung nasi liwet langganan saya berada sekitar 5 meter dari perempatan lampu merah itu. Karena jelas tak boleh mengendarai motor, saya pun turun dan menuntun motor menuju warung itu. Seorang polisi meniup peluit dan membentak, "Mas, berhenti dulu mas!" Meski agak kaget, saya memberi kode dengan menunjuk warung itu. Pak polisi hanya memandang sebentar kemudian berpaling lagi. Di warung, sampai beberapa menit setelah memesan, barulah iringan mobil si pejabat yang entah siapa dia itu melaju dengan cepat. Pemilik warung hanya berkata dengan bahasa Jawa, "padahal mereka itu semua maling lho, dik. Ngapain sampai begitu, memacetkan jalan segala.." Itulah salah satu kemacetan paling menyebalkan yang saya alami. Dalam pikiran saya, setiap melihat peristiwa iringan mobil pejabat lewat seperti itu, saya selalu teringat JFK.
Kemacetan bagi saya tidak pernah membawa inspirasi, paling tidak jika saya merasakannya sebagai pengemudi motor. Yang ada waktu macet, saya kadang membayangkan salah satu adegan dalam film Jepang, "The Eye". Di situ ada adegan di mana satu jalan macet total, tiba-tiba ada bensin bocor, api rokok, dan tak lama kemudian kebakaran disusul ledakan yang segera merambat ke semua kendaraan yang tak bisa melihat keadaan di depan, tak bisa bergerak, dan penumpangnya bahkan tak bisa membuka pintu. Seluruh orang di jalan yang macet itupun mati. Macet memang bisa mengerikan, tapi yang jelas itu menyebalkan.
Panas matahari terasa membakar bagian-bagian tangan yang tak tertutup jaket hitam yang warnanya sudah berubah agak kemerahan, sementara kaki saya yang hanya dibalut celana jeans selutut dan sandal juga terasa sama gerahnya. Di depan, beberapa mobil masih tidak bergerak. Dari jarak sekitar 200 meter ini, saya bisa melihat lampu lalu lintas di depan berubah dari merah menjadi hijau lalu merah lagi. Seperti melihat pintu lift yang kosong tertutup, hanya beberapa detik di depan mata kita padahal kita sedang sangat buru-buru. Namun, ini lebih lagi.. sengatan matahari begitu panas, udara terasa menyesakkan dan punggung serta kaki saya sudah begitu capek. Waktu saya hanya sekitar dua puluh menit untuk tiba di rumah, mandi dan segera pergi lagi. Yang jelas, paling tidak nanti sesampai di kamar saya bisa merebahkan diri sebentar. Ini jauh lebih mengesalkan daripada lift yang tertutup. Dan, apa yang terjadi? Mobil-mobil serta kendaraan di depan malah tampak tak bergerak. Saya mengutuki pilihan saya melewati jalan ini. Saya berpikir, pasti baju dan badan saya sudah bau apek kena keringat. Saya benci sebab baju kesayangan saya ini baru saya pakai sekali, padahal aturan untuk menghemat cucian adalah harus dua kali pakai dulu baru dicuci. Saya kesal karena saya lebih menuruti kebiasaan melewati jalan ini. Seharusnya tahu bahwa pada jam-jam segini, jalan ini macetnya luar biasa.
Beberapa motor tampak naik ke trotoar. Saya mencoba membelokkan setir motor, ingin mengikuti. Tapi ternyata saya lihat di sana keadaannya lebih parah. Beberapa motor berhenti di trotoar sementara seorang tukang parkir dan beberapa pengemudi motor yang ingin keluar dari sebuah toko tampak marah karena jalurnya diambil para pengemudi yang juga tampak cukup menyesal dan menyadari kesalahannya. Saat seperti ini saya membayangkan kembali macet di jalanan Surabaya yang dulu juga saya akrabi. Hasil dari kemacetan di kota yang terkenal panas itu adalah celana dan baju warna hitam yang warnanya sekarang kemerah-merahan di beberapa bagian. Selain itu, retakan-retakan di helm saya yang lama juga menggambarkan bagaimana bentuk kepala saya kalau ditempa panas terus menerus. Dulu juga masih ditambah dengan cap huruf V terbalik di kedua punggung kaki saya yang suka memakai sandal jepit. Namun, entah apakah karena saya sudah lupa atau karena beberapa alasan berikut, saya merasa lebih benci dengan macet di Jogja daripada di Surabaya. Di Jogja, jalannya kecil dan sempit, sementara di Surabaya jalannya banyak yang lebar dan satu arah. Jalur yang sempit membuat saya seperti diikat karena tidak bisa mencari celah di antara kendaraan lain (satu 'keahlian' saya dalam bersepeda motor yang diam-diam cukup saya banggakan) untuk kemudian melaju ke alam bebas. Selain itu, di Jogja ini saya merasa bahwa mobil-mobilnya seperti tidak punya cukup kemauan untuk melepaskan diri dari kemacetan itu. Saya sering mendapati (lebih jengkel lagi jika itu terjadi saat hujan deras atau panas terik) bahwa saat jalan macet, beberapa pengemudi dan penumpang di dalam mobil malah mengobrol, tertawa-tawa, mungkin juga mendengarkan musik, membaca koran, pokoknya wajahnya tidak jengkel atau marah seperti para pengemudi angkot di Surabaya. Lindungan atap mobil dan semburan AC seperti membuat para pengemudi muda (karena kota ini mayoritas anak muda) itu masih klimis, segar, mungkin juga harum. Saya yang berada di atas sadel motor mengamati indikator bensin. Sudah mendekati wilayah merah, padahal baru kemarin malam diisi sepuluh ribu. Saya menyalahkan, ini gara-gara Jogja sering macet.
Memang, untuk pengendara motor khususnya, kita tahu ada beberapa alternatif menghindari rasa kesal akibat terjebak kemacetan. Yang pertama, menghafalkan jam-jam macet di jalan yang akan kita lewati. Yang umum tentu adalah jam berangkat dan pulang kantor. Kedua, menghafalkan jalan tikus. Ketiga, menyiapkan diri menghadapi macet. Kendala dengan cara pertama adalah saya sering lupa. Karena sudah kebiasaan, saya selalu melewati jalan yang sama karena kalau lewat jalan lain juga lebih jauh dan menghabiskan bensin. Saya selalu bisa melepaskan diri dari kemacetan di pagi hari, mungkin karena pagi hari saya masih segar dan bersemangat, termasuk dalam berkendara. Tapi beda dengan sore hari, memang susah lepas dari kebiasaan. Untuk cara kedua, kendalanya adalah bahwa kecerdasan ruang saya jelek sekali, boleh dibilang masuk kategori idiot. Di kota ini, saya beberapa kali mencoba melewati jalan-jalan tikus dan jarang yang sukses kalau sendirian. Lebih sering adalah saya malah tersesat, memboroskan bensin, dan kalau disuruh mengulangi lagi mana jalur yang benar, saya lupa. Cara ketiga mungkin kadang terpaksa saya pakai. Saat dari jauh melihat kerumunan kendaraan di depan, saya agak pelan-pelan, menghela napas panjang, mulai mencoba memikirkan sesuatu yang positif atau menikmati pemandangan di sekitar. Posisi kaca spion saya betulkan, kaca helm saya turunkan, dan bagian-bagian kulit yang terbuka berusaha saya sembunyikan dari terkena sengatan sinar matahari. Selain itu, jika sudah mempersiapkan diri dari jauh, akan lebih bisa tampak mana celah-celah yang bisa dilewati.
Polisi? Saya tidak pernah mengalami peristiwa baik yang menghubungkan peran polisi mengatasi kemacetan. Yang ada, saya ingat dulu waktu SMA malah pernah helm saya digetok dengan telapak tangan pak polisi karena posisi kendaraan saya terlalu maju. Juga peristiwa baru-baru ini, di mana saya mengalami salah satu kemacetan paling menjengkelkan beberapa bulan lalu. Di Jogja, satu malam pernah terjadi kemacetan yang luar biasa panjangnya dan di berbagai jalur. Dari jarak yang sebenarnya tak begitu jauh, saya tetap tidak bisa melihat apa yang terjadi di depan situ, yang menyebabkan tak ada satu kendaraan pun yang bergerak sejak beberapa menit lalu. Beberapa motor malah mematikan mesin, bahkan memasang standar berdiri. Setelah melewati berbagai celah, sampailah saya di depan dan tahulah saya bahwa jalan ringroad yang membelah bagian utara kota dikosongkan oleh bapak-bapak polisi seperti Musa membelah laut Kolsom. Anda pasti sudah menebak bahwa itu tandanya seorang pejabat negara hendak lewat. Tapi, kali ini iringan mobil pejabat itu lama sekali datangnya. Sampai puluhan menit, lalu lintas macet dan motor-motor mulai berlomba-lomba membunyikan klaksonnya. Sungguh bising tapi mungkin hanya itulah yang bisa dilakukan untuk menyatakan kejengkelan pada sikap overakting polisi. Saya sudah sampai di perempatan, melihat jalan besar itu sangat lengang padahal di belakang dan di seberang sana, berbagai jenis kendaraan dengan penumpangnya yang kesal sehingga membunyikan klakson tadi sudah seperti peserta marathon yang menunggu aba-aba bergerak dari wasit. Tak ada satupun kendaraan diizinkan bergerak. Saya lalu melihat warung nasi liwet langganan saya berada sekitar 5 meter dari perempatan lampu merah itu. Karena jelas tak boleh mengendarai motor, saya pun turun dan menuntun motor menuju warung itu. Seorang polisi meniup peluit dan membentak, "Mas, berhenti dulu mas!" Meski agak kaget, saya memberi kode dengan menunjuk warung itu. Pak polisi hanya memandang sebentar kemudian berpaling lagi. Di warung, sampai beberapa menit setelah memesan, barulah iringan mobil si pejabat yang entah siapa dia itu melaju dengan cepat. Pemilik warung hanya berkata dengan bahasa Jawa, "padahal mereka itu semua maling lho, dik. Ngapain sampai begitu, memacetkan jalan segala.." Itulah salah satu kemacetan paling menyebalkan yang saya alami. Dalam pikiran saya, setiap melihat peristiwa iringan mobil pejabat lewat seperti itu, saya selalu teringat JFK.
Kemacetan bagi saya tidak pernah membawa inspirasi, paling tidak jika saya merasakannya sebagai pengemudi motor. Yang ada waktu macet, saya kadang membayangkan salah satu adegan dalam film Jepang, "The Eye". Di situ ada adegan di mana satu jalan macet total, tiba-tiba ada bensin bocor, api rokok, dan tak lama kemudian kebakaran disusul ledakan yang segera merambat ke semua kendaraan yang tak bisa melihat keadaan di depan, tak bisa bergerak, dan penumpangnya bahkan tak bisa membuka pintu. Seluruh orang di jalan yang macet itupun mati. Macet memang bisa mengerikan, tapi yang jelas itu menyebalkan.
0 Responses to “Waktu macet untuk DIY dan sekitarnya”