perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


Epileptik

Aku tahu dia adalah anak penghuni rumah di ujung jalan itu. Sewaktu kecil aku beberapa kali ke sana karena si nyonya rumah adalah teman ibuku. Sudah belasan tahun berlalu, banyak kabar tentang penghuni rumah itu. Kini, satu persatu anak si nyonya, seorang wanita berusia sekitar 60an tahun dengan wajah mongoloid dan kacamata yang dipasang melorot, sudah tidak tinggal di situ. Tuan rumah itu sendiri sudah lama meninggal. Kini, hanya ada si nyonya bersama satu putranya tinggal di situ. Dan satu kali, kulihat ia terbaring di jalan raya. Semula aku mengira dia orang gila. Tapi pakaian yang ia kenakan bersih dan rapi. Tak ada yang tampak kaget atau heran dengan pemandangan itu. Tidak ada juga yang memberi pertolongan. Seorang ibu yang tinggal di depan rumah itu tenang saja. Ia bilang, "biarkan saja, dia memang sudah sering seperti itu."

Ketika aku lihat siapa yang sedang rebah itu, aku baru ingat bahwa ia memang mengidap epilepsi. Pemuda itu, yang wajahnya sebenarnya lebih mirip sang ayah, tapi masih tetap agak mongoloid itu, aku dengar bekerja mengurus kios pakaian keluarganya di pasar. Ia memang dikenal dekat oleh para tetangganya bahkan para sopir angkot, meski paling tidak ia adalah mantan anak orang kaya. Ibu dulu pernah bercerita bagaimana pemuda itu mau memijat para sopir dan kenek angkot dengan imbalan. Sang ibu mungkin tidak terlalu bangga pada anaknya yang ini. Ia jarang bercerita tentangnya. Ia lebih suka menceritakan tentang putrinya yang menikah dengan seorang pejabat bank swasta. Siapa yang tahu bagaimana perasaan dan mengapa pemuda itu mengidap epilepsi, tapi yang jelas ia tampak masih bisa berkarya bahkan menghidupi dirinya sendiri.

Gambar-gambar seperti ukiran, semangat zaman tahun 60-an yang mungkin sedang berulang saat ini, ketika tidak aneh untuk orang tertarik pandangan, agama, falsafah atau komunitas aneh-aneh (dan untuk di sini saat ini, mungkin mereka juga merasa lebih spesial untuk itu). Epileptik boleh dibilang otobiografi, boleh disebut kisah perjuangan seorang ibu, boleh dibilang kisah drama keluarga. Di sinilah aku mendapat realitas dalam gambar-gambar yang benar-benar bisa membuatku muak, sedih, sepakat, dan heran dengan betapa anehnya dunia.

Label: , , , ,

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Anak Bajang Menggiring Angin

Kisah Ramayana memang sudah sangat dikenal terutama oleh orang Jawa. Sementara aku sendiri hanya tahu beberapa garis besarnya. Bahwa cerita itu tentang Rahwana yang bermuka sepuluh menculik Sinta. Sementara Sinta yang jadi eksil di hutan karena mengikuti Rama yang juga diikuti Lesmana, tertangkap Rahwana karena tidak mau menurut untuk terus berada di dalam lingkaran (cerita yang juga ada di kisah Sun Go Kong). Bahwa dalam usaha merebut Sinta itu, Rama dibantu oleh kera Anoman yang sempat membakar Alengka dengan ekornya. Bahwa setelah Sinta bisa didapatkan kembali, ternyata Rama ragu akan kesucian Sinta sehingga ia menyuruh supaya Sinta membuktikannya dengan masuk ke api, jika terbakar berarti tidak suci, tapi kalau tidak apa-apa berarti suci, masih belum diapa-apakan Rahwana. Tapi membaca buku karya Romo Sindhunata ini, aku baru sadar bahwa ada begitu banyak filosofi tentang cinta dan tentu saja fatalisme (yang di buku-buku karya orang asing disebut adalah ciri/karakter orang Jawa) di kisah itu.

Ketika aku melihat komentar di goodread, buku itu adalah tafsiran atau versi Sindhunata dalam membaca kisah Ramayana. Tapi aku rasa Sindhunata juga tidak mengubah-ubah cerita atau karakternya. Aku terkesan dengan banyak hal. Setelah sekian lama tidak menemukan cerita yang membuat "wah, sayang kalau tidak diteruskan sekarang", yang kata orang juga ada di cerita Kho Ping Hoo, kali ini aku menemukan hal seperti itu di dalam gerbong kereta api komuter selama sejam yang kuteruskan di persewaan buku tempat aku harus mengembalikan buku itu. Ya, aku terus teringat kisah-kisah silat saat membacanya. Judul buku itu memang sudah tidak asing, tapi aku toh baru ingin membacanya minggu lalu, itupun karena agak terpaksa dan terburu-buru.

Sensasi setelah menyelesaikan sebuah buku mungkin selalu membuatku ingin menulis sesuatu. Tapi sudah lama keinginan itu tidak tercapai. Keinginan untuk membeli buku yang sudah selesai dibaca mungkin juga terbilang jarang muncul. Tapi buku ini memunculkan lagi hal-hal di atas. Ini yang akhirnya membuatku bisa menuliskan blog ini. Aku sebenarnya tidak begitu suka gaya tulisan Sindhunata yang kadang terasa rumit. Tapi mungkin inilah model bahasa karya sastra tahun 80-an. Dan mungkin juga itu karena aku sudah terlalu rusak oleh bahasa Indonesia karya-karya terjemahan. Bagiku, halaman yang paling sulit dibaca dari sebuah buku mungkin adalah 100-50 halaman terakhir. Di halaman-halaman itu, biasanya penulis akan mengulur-ulur cerita atau kalau buku fiksi sudah mulai bicara ngalor ngidul dan rumit. Aku sendiri di waktu itu biasanya sudah mulai 'takut' atau merasa puas diri karena merasa sudah cukup tahu isi buku itu secara keseluruhan, lagaknya seperti aku membaca untuk menulis resensi saja. Ini tidak terjadi di sini, bahkan halaman-halaman itu justru seru-serunya.

Bagian tentang perang dan pertumpahan darah, siasat dan ilmu-ilmu yang dikeluarkan tentu saja adalah yang paling menarik. Seperti kembali ke masa anak-anak saat menyaksikan film-film seri silat yang menampilkan jagoan-jagoan dengan ilmu-ilmu khusus, apalagi kalau pendekar-pendekarnya itu sudah berkumpul dan membentuk koalisi. Tapi buku ini bukan sekadar kisah silat. Dan syukurlah karena memang begitu. Aku mungkin tidak terlalu tertarik filsafat Jawa atau filsafat wayang. Aku merasa aku bisa mengetahuinya dari orang-orang di sekitarku langsung. Tapi aku tertarik pada ceritanya. Membaca atau melihat orang-orang Barat bicara dengan mengutip kisah-kisah mitologi Yunani membuatku sering merasa iri. Aku juga sering agak merasa aneh saat orang-orang Indonesia, apalagi kalau orang Jawa, juga menulis dengan mengutip kisah yang sama. Seperti hanya supaya terlihat cerdas atau karena tidak kenal cerita mitos di kalangannya sendiri. Ah, mungkin aku hanya mengolok diri sendiri. Apapun itu, aku kini mulai tertarik dengan kisah-kisah wayang seperti itu. Tapi mungkin akan lebih baik jika mencari tahunya dari buku saja, bukan dari pagelaran wayang maupun film macam yang dari India di TPI dulu itu. Apakah buku ini sudah ada lanjutannya?

Lalu tentang cinta yang dibalut sikap fatalistik. Iya, ada beberapa yang aku suka tapi ada juga yang membuatku hanya memutar-mutar mata ke atas sambil terus membaca. Tentang makna-makna, meski mengingatkanku dengan para pejabat, terutama di zaman Suharto, yang mencoba berfilsafat, tapi aku juga suka. Nama-nama yang sekarang banyak dipakai untuk nama orang membuatku tersenyum. Aku terutama mulai tertarik saat membaca bagian yang menceritakan lahirnya ksatria bernama Gunawan Wibisana. Hehehe... yang bikin menarik tentu saja karena itu satu-satunya nama tokoh yang pakai nama depan, Gunawan lagi, jadi aku malah membayangkan itu seperti nama pengusaha yang etnis Tionghoa. Bahwa ada orang tua yang menamai anaknya dengan nama karakter gandruwa seperti Andarini juga cukup mencengangkan. Tentang pocong, jrangkong, banaspati, wewe, dsb, membuatku ingin tahu lebih banyak. Yah, aku masih belum bisa merangkai kesan yang utuh. Seperti biasanya akan sulit jika harus menceritakan ulang sebuah film yang baru saja selesai ditonton. Yang jelas, memang jelas hebat manusia luar biasa seperti Sindhunata bisa merangkum sebuah cerita epos dalam 360an halaman saja.

Label: , , ,

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...


Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!