Catatan Tentang Kumpul-Mengumpulkan
5 Comments Published by ary on Rabu, 30 September 2009 at 11:44 PM.Barangkali karena aku adalah anak rumahan. Barangkali karena aku ini anak bungsu sehingga terbiasa tidak perlu memberi lungsuran kepada saudara yang lain. Barangkali karena semua saudaraku adalah perempuan, maka sejak kecil barang-barang dan mainanku memang hanya milikku dan aku terbiasa menyimpannya untuk diriku sendiri. Barangkali karena di pekerjaan pertama, salah satu tugasku adalah mengumpulkan dan mensortir berbagai artikel. Entah apa alasannya, aku hanya ingin bilang bahwa yang namanya mengumpulkan sesuatu adalah salah satu kegiatan yang paling kunikmati.
Tapi mungkin aku salah soal masa kecilku. Seingatku, untuk mainan aku tidak terlalu punya banyak. Demikian pula benda-benda lain. Itu waktu kecil. Namun, kira-kira ketika pertengahan masa SD (oh, apa ini masih termasuk kecil?), aku mulai suka mengumpulkan sesuatu. Yang kuingat, awalnya aku mengumpulkan batu. Ya, batu. Setelah diterangkan tentang zaman purba, aku tertarik pada batu. Guruku menjelaskan bahwa batu yang ada di sekeliling kita bisa jadi umurnya sudah sangat tua. Ketika diterangkan tentang candi dan berkesempatan mengunjungi Borobudur, aku makin tertarik lagi. Terlebih kakakku juga bilang bahwa batu-batu yang ada ini juga bisa berasal dari gunung. Gunung itu sudah ada sejak zaman purba. Lebih tua dari candi. Dan sekalipun satu saat batu bisa menjadi pasir, tapi beberapa waktu kemudian, pasir itu bisa bersatu menjadi batu lagi. Dan aku makin terperangah saat diterangkan mengenai fosil. Sebuah batu bisa jadi punya banyak cerita. Kalau batu punya mata, maka batu pasti sudah melihat berbagai hal, dinosaurus, diinjak derap langkah pasukan Majapahit, atau terkena bom tentara Belanda.
Aku pun mengumpulkan batu yang bentuknya menurutku bagus. Batu yang licin dan hitam, aku bayangkan ini mungkin pernah menjadi kapak perimbas yang digunakan manusia purba. Aku juga ingat cerita tentang Daud melawan raksasa Goliat. Apa batu seperti ini yang bisa membunuh raksasa? Saat menemukan batu yang kasar tapi tampak sangat kukuh, kubayangkan mungkin itu bekas cuilan sebuah bangunan istana Majapahit. Namun, aku tidak terlalu tertarik dengan setumpuk batu yang dipakai untuk bahan material bangunan di samping rumahku. Aku lebih tertarik pada batu yang ada di jalan, yang tak sengaja kutemukan. Maka, sering kali di kantong celana pendek merah itu, ada beberapa batu, kecil-kecil saja. Kalau aku kelupaan dan ditemukan Mama, maka tentu saja segera ia buang. Namun, aku tidak berani menyimpan batu-batu itu di dalam rumah. Aku menempatkannya di sudut bangunan tempat bekerja para tukang, masih di area rumahku.
Itulah koleksi pertamaku. Batu. Aku tidak terlalu lama mengumpulkannya, karena batu-batu itu sering hilang setelah kusimpan. Aku juga tidak terlalu sayang waktu batu itu hilang, karena toh di mana-mana aku tetap dikelilingi batu-batu. Setelah batu. Aku sempat sebentar mengumpulkan silet. Namun, kali ini, aku mengumpulkannya bukan karena silet-silet itu indah. Ini adalah caraku agar dapat merasa aman. Waktu itu, jika berangkat dan pulang sekolah aku harus naik angkot. Tapi, sebelumnya menyetop angkot, aku perlu berjalan sekitar 250 meter dulu. Terutama saat perjalanan pulang itulah, aku sering berpapasan dengan seorang anak. Belakangan baru kuketahui bahwa ia adalah anaknya pak RT. Yang jelas, usia dan tubuhnya lebih besar dariku, meski tidak besar sekali. Aku kadang dikompas di situ. Aku selalu langsung merasa lemas dan gemetar saat melihatnya dari jauh, entah waktu dia sedang berjalan atau bermain. Ia pun tampak bersemangat jika melihatku. Biasanya aku lalu memperlambat langkahku, tapi ia tahu dan menunggu. Atau kalau tidak ia yang menghampiriku. Seratus perak atau lima puluh perak melayang. Atau kalau aku tidak punya uang sama sekali, maka ia yang memberiku.. pisuh-pisuhan. Tidak pernah ada kekerasan fisik memang, tapi itu cukup membuatku takut.
Singkat kata, hal itu membuatku merasa perlu mempersenjatai diri. Aku tidak ingat dari mana saja aku bisa mendapatkan belasan silet. Silet itu kebanyakan adalah silet lipat yang biasanya dipakai untuk anak SD mengerjakan prakarya. Kadang aku mengambil punya kakakku, atau dari Mama dan Papa, atau aku membelinya. Ke mana-mana, bahkan di rumah waktu tidur pun, kantungku penuh dengan silet. Namun, silet itu tidak pernah benar-benar kugunakan untuk menyilet kulit siapa-siapa. Beberapa minggu aku mulai mengumpulkan silet. Tapi, selama itu, aku tidak berpapasan dengan anak pak RT itu. Sampai akhirnya kakakku memergoki silet-silet tersebut. Ia melaporkannya pada Mama dan silet tersebut diambil. Kakakku bertanya apa tujuanku membawa belasan silet. Aku hanya berkata, buat jaga-jaga. "Jaga-jaga dari apa? Apa kamu mau berkelahi?" "Tidak." jawabku. Aku jelaskan bahwa aku hanya ingin jaga-jaga kalau dicegat anak-anak kampung. Kakak hanya mentertawakan. Tapi masalah itu tidak diperpanjang.
Setelah silet-siletku diambil, saat aku sedang berjalan dengan seorang temanku, Han Cang sialnya aku bertemu lagi dengannya! Anak itu terlihat sedang bermain layang-layang dengan teman-temannya di lapangan pinggir jalan. Dan dadaku kembali berdebar-debar. Aku rasa jika aku masih membawa silet pun, aku tetap sama takutnya. Anak itu berteriak memanggilku. Aku terus berjalan tapi ia memanggil lagi sambil mengepalkan tinjunya. Han Cang pun tampak sama takut denganku. Tiba-tiba dari belakangku, terdengar suara yang kukenal. Rupanya Mama kebetulan sedang lewat. Hari itu naas bagi anak itu. Mama tidak berhenti dengan memarahi anak tersebut. Tapi, ia juga melaporkannya pada orang tuanya yang ternyata adalah pak RT. Sore hari, bu RT dan anak itu datang ke rumahku. Anak itu tampak sangat murung. Kata ibunya, ia habis dihajar ayahnya dan kini disuruh datang ke rumahku. "Terserah, biar silakan mau diapakan saja." kata bu RT menirukan ucapan suaminya. Mungkin itu hanya basa-basi. Tapi, kami kemudian bersalaman. Di hari-hari selanjutnya, beberapa kali aku sempat berpapasan lagi dengannya. Meski aku masih agak deg-degan, tapi kemudian lega karena kini dia tersenyum dan menyapa, "Pulang?". Aku hanya balas tersenyum.
Hal selanjutnya yang kukoleksi adalah sekrup. Karena keluargaku tinggal di rumah milik bosnya Papa, seorang pengusaha alat komunikasi dan elektronik, maka ada banyak sekrup bisa ditemukan di area rumahku. Bagian belakang rumah yang cukup luas itu difungsikan sebagai gudang. Sementara di bagian lebih belakang lagi, ada sebuah tanah lapang tapi dikelilingi tembok tinggi yang dipakai sebagai tempat mengelas, cor, dll. Di situ, aku sering bermain atau sekadar menyepi. Ketika melihat di sana berserakan banyak sekrup bekas, aku mulai berimajinasi. Kali ini aku bayangkan cerita fiksi ilmiah. Sekrup-sekrup beraneka ukuran yang sebagian sudah berkarat itu aku bayangkan sebagai pesawat. Yang bentuknya memang bagus aku kumpulkan.
Mungkin Papa mengetahui kesukaanku itu, mungkin juga tidak. Tapi, Papa tiba-tiba punya ide memberikan banyak sekrup dan besi-besi berbentuk aneh yang merupakan salah satu bagian dari spare part antena parabola. Papa mencontohkan, besi-besi itu bisa dirangkai menjadi bangunan, pesawat, robot dll. Meski bentuknya aneh, tapi aku suka juga. Namun, secara khusus aku membayangkan sekrup-sekrup itu (kali ini sekrup bersih) sebagai tentara atau manusianya. Aku kumpulkan sekrup tersebut dalam sebuah toples. Aku bahkan bisa membedakan sekrup yang satu dengan yang lainnya. Meski secara sekilas semuanya tampak sama. Kadang kala, aku juga membawa sekrup-sekrup bersih itu ke belakang, ke tanah lapang itu, untuk bermain dengan sekrup kotor, trafo berkarat, dan beberapa rongsokan yang ada di sana. Demikianlah, di masa SD sesungguhnya aku memang tidak punya mainan yang sebenarnya. Namun, aku tetap bisa bermain dengan benda-benda tersebut.
Menginjak usia remaja, tepatnya SMP, aku sudah tidak lagi bermain seperti itu. Aku kini lebih suka bersama teman-teman. Ketika itu yang sedang ngetren adalah kartu-kartu basket (yang sebenarnya stiker) dari Panini, meski ada juga kartu basket betulan. Jika saja aku punya kemampuan, maka pasti ada masa aku mengkoleksinya. Tapi, karena uang saku cekak, maka aku hanya ikut nimbrung saja dengan teman-teman mengagumi kartu-kartu itu. Kebetulan waktu itu, aku juga mulai ikut latihan basket di sebuah klub sehingga teman sepermainanku banyak yang suka basket. Pokoknya, basket, terutama NBA, memang sedang top-topnya saat itu. Arie Sudarsono, Helmi Yahya, Reinhard Tawas, Agus Mauro sering muncul di TV. Aku pernah meminjam segepok kartu milik dua temanku, Yofran dan Rachmad, dan selama beberapa hari terus berurusan dengannya. Kadang aku pura-pura menyusun formasi. Permainan yang beberapa tahun kemudian dinikmati orang melalui games Championship Manager.
Satu kali, guru olahragaku memberi tugas membuat kliping berjudul: Olahraga Bola Besar. Kliping ini minimal memuat tiga cabang: sepak bola, basket, dan voli. Bersama temanku, Yofran aku pun mencari berbagai koran dan terutama tabloid Bola. Beruntung, ada Ronald yang kalau tidak salah ayahnya seorang agen koran. Kami mendapat banyak bahan melimpah di sana. Aku juga meminta bantuan dari siapa saja. Puncaknya, dari Papa aku mendapatkan satu edisi tabloid Bola yang memuat daftar lengkap pemain dari semua klub NBA musim kompetisi 1994-1995. Untuk beberapa tahun berikutnya, guntingan 5 lembar kertas itu menjadi hartaku yang sangat berharga. Aku juga terus mengikuti perkembangan kompetisi NBA. Setiap ada berita perpindahan pemain atau pemain pensiun, aku merevisinya di kertas yang makin lama makin lusuh itu. Ya, bisa dibilang kali ini koleksiku bukan benda betulan. Tapi, koleksiku adalah data-data para pemain NBA. Aku mendedikasikan sebuah buku tulis yang berisi catatan tanggal lahir para pemain NBA tersebut. Halaman 1 dan 2 berisi daftar pemain yang lahir pada bulan Januari. Lalu, ada kolom-kolom yang berisi data-data lainnya, seperti asal klub, tinggi/berat, dan posisi. Halaman 2 dan 4 berisi daftar pemain yang lahir pada Februari, demikian selanjutnya. Ketika sudah mulai bosan, aku mengambil buku tulis yang lain. Di situ kutuliskan data pemain-pemain berdasarkan kategori lainnya.
Jika saja waktu itu aku sudah kenal internet atau setidaknya komputer, maka yang kulakukan mungkin hanya browsing, print, atau membuatnya di Excel. Tapi, untungnya belum. Setelah membuat berbagai data dan catatan di buku tulis, selanjutnya yang kulakukan adalah bermain manajer-manajer-an tadi. Membuat berbagai formasi yang sebenarnya lebih tentang nama-nama, karena aku tidak mengerti soal strategi basket. Beberapa waktu kemudian, gegap gempita siaran basket meredup. Maka, aku mengganti data itu dengan pemain sepakbola. Kali ini tampaknya lebih asyik dan aku menjadi lebih sibuk. Tentu saja karena pemain bola jumlahnya jauh lebih banyak dan sifatnya lebih global. Sampai sekarang aku belum pernah bermain games Championship Manager yang ngetren waktu aku SMA itu. Meski demikian, aku sudah pernah merasakan nikmatnya memainkan versi primitifnya, jauh sebelum teman-temanku.
Kumpul-mengumpul atau koleksi yang agak pantas disebut koleksi baru kulakukan saat kuliah. Waktu itu, aku mengumpulkan kaset pita. Kaset-kaset itu semuanya masih ada hingga kini. Mengapa kaset? Mengapa bukan CD atau MP3? Karena waktu itu aku belum punya komputer. Namun, meski aku mulai mengumpulkan kaset-kaset, aku sama sekali tidak ingin memiliki sebuah walkman. Sebenarnya, jika walkman, aku masih mampu mengusahakannya. Tapi, walkman saat itu juga sudah mulai ketinggalan zaman. Jadi, aku bertahan mendengarkan kaset itu hanya saat di kos, dengan tape saja. Berburu kaset ini adalah pengalaman mengasyikkan yang kalau saja ada waktu, mungkin masih akan kunikmati hingga kini. Tentu saja, berburu kaset tidak cukup dilakukan dengan membeli di DiscTarra, Aquarius, distro, atau toko kaset. Yang lebih mengasyikkan adalah berburu kaset bekas.
Dari Onie dan Djohan, aku mengetahui tempat-tempat penjualan (dan pembelian) kaset bekas. Harganya bisa lebih dari separuh dari harga kaset biasa. Kalau bisa menawar, bisa mendapat harga 7 ribu, bahkan 5 ribu, tapi kalau tidak, 10 ribu pun dapat. Beberapa kaset yang sudah susah didapat di toko kaset kadang bisa kutemukan. Jika tidak, kaset yang masih ada di toko pun juga bisa kutemukan dengan harga jauh lebih murah. Selain cara di atas, kadang koleksiku kudapat dengan cara yang agak nakal. Misalnya: meminjam dan lama tidak dikembalikan, hingga pemiliknya kemudian lupa. Koleksiku pun bertambah. Tapi, kadang aku juga melakukan barter. Kaset yang kumiliki mungkin bukan termasuk kaset yang langka sekali, tapi setidaknya banyak yang sepengetahuanku sudah agak susah didapat. Tapi, mungkin saja kenikmatan mengkoleksi sebenarnya adalah lebih pada prosesnya, perburuannya, pengorbanannya, dll.
Aku mulai surut mengkoleksi kaset setelah memiliki sebuah MP3 player. Penggantinya, aku mengkoleksi MP3, tentu saja. MP3 jelas lebih murah dan membuatku punya lebih banyak lagu. Untuk MP3 ini, boleh dikata aku masih melakukannya hingga saat ini. Hanya saja, caranya sudah berubah-ubah. Awalnya, karena aku hanya bisa mendengarkannya melalui MP3 player, yang kucari adalah MP3 dalam bentuk fisik, kepingan CD. Ada banyak cara mendapatkan ini. Yang pertama adalah cara biasa. Yaitu membeli dari lapak-lapak penjual MP3. Di Surabaya, mulai dari lapak tunggal yang ada di depan minimarket, pasar, atau lainnya hingga pusat penjualan MP3 dan CD bajakan di Tunjungan Center adalah tempat kunjungan rutin. Di Tunjungan Center (TC) aku bisa berjam-jam menghabiskan waktu menyusuri deretan lapak yang berada di lantai 3 bangunan yang dulu bernama Harmoni itu.
Kadang memang ada perlakuan tidak mengenakkan. Beberapa pedagang merasa tidak suka jika aku berlama-lama dan mengaduk-aduk dagangannya tapi tidak kunjung membeli. Lagipula, jika aku ditanya, "mau cari apa?" Aku biasanya hanya menjawab, "mau lihat-lihat dulu." Itu memang jawaban jujur. Namun, kadang aku tidak mau menjawab seperti itu. Kadang aku hanya diam dan membuat mereka marah. Kadang saat aku menjawab dengan menyebut nama seorang artis atau band yang 'tidak terkenal' maka mereka langsung bilang tidak ada. Dan aku terpaksa menyingkir sementara (untuk kemudian kembali lagi, berharap dia sudah lupa denganku). Tapi, bagaimana lagi? Jika tidak berlama-lama mengaduk-aduk, maka kita akan sulit menemukan satu CD MP3 yang berisi banyak album yang benar-benar bagus dan 'langka'. Dalam setiap MP3 yang merupakan kompilasi semau pembuatnya, kadang aku bisa temukan ada 1 album bagus dan 1 yang lumayan. Tapi, di kompilasi lain, ada 3 album bagus atau 2 bagus tapi 2 lumayan. Nah, yang bikin lama adalah membanding-bandingkan seperti itu. Ada kalanya aku bisa membeli hingga 5 keping, tapi kadang juga tidak beli sama sekali.
Beberapa kali TC menjadi korban razia polisi. Jika sudah demikian, mereka bisa tutup sekitar seminggu. Aku pun sebal. Namun, yang cukup berkesan dengan TC itu adalah satu hal. Hal ini kadang bikin geli. Ini terjadi jika aku hendak masuk dan keluar ke gedung itu. Di parkiran atau di depan pintu masuk, biasanya akan ada beberapa mas-mas. Mereka kadang sok akrab, kadang sok menyapa, bahkan kadang sok merangkul dan berbisik-bisik, atau sekadar membuat tanda isyarat, baik dengan gerak mata atau tangan. Mereka penjual bokep. Aku tidak pernah tertarik membeli dagangan mereka. Sebagai anak kos, kalau memang ingin nonton bokep, meminjam saja sangat mudah dan pilihannya jauh lebih banyak. Apalagi, menurut beberapa teman yang pernah membeli bokep di TC, ternyata dagangan mereka memang tidak istimewa atau kadang juga jelek. Meski demikian, 'sambutan' mereka itu selalu membuatku tersenyum.
Mengenai koleksi kepingan MP3(kadang juga CD), ada satu waktu ketika aku selalu tidak pernah melewatkan setiap kesempatan pun untuk mendapatkannya. Ketika menghadiri interview kerja di Jakarta, dua kali aku sempat ke Glodog. Meski menurutku untuk MP3 masih lebih ramai di TC, tapi di Glodog tampaknya lebih variatif walaupun di sana lebih lengkap untuk DVDnya. Ketika lulus kuliah dan kembali ke Solo, kadang aku pergi ke Jogja, terutama di jalan Mataram di mana berderet lapak-lapak penjual MP3 dan CD bajakan. Namun, untuk tempat asalku sendiri, yaitu Solo, aku malah kurang bersemangat. Di Solo, tidak ada tempat macam TC, Glodog, atau Jalan Mataram. Dulu ketika masih kuliah dan sedang pulang untuk liburan, aku memang menyempatkan mendatangi mal atau pertokoan yang menjual MP3. Namun, aku jarang beli karena harganya memang lebih mahal.
Menurutku, tiap kota memang ada ciri khasnya. Di Surabaya, menurutku lebih banyak MP3 musik Barat (Mandarin juga banyak, tapi aku tidak suka lagu Mandarin). Di Glodog, sebenarnya bisa dibilang seimbang. Tapi, koleksinya lebih baru. Di Jogja, lebih banyak musik lokal, tapi bagusnya lokalnya juga termasuk musik independen. Sementara di Solo, koleksinya kurang update (tapi kadang juga menemukan yang jadul dan cukup 'langka'), tapi di Solo yang menonjol adalah cukup banyak album rohani. Sayangnya aku tidak mengkoleksi MP3 lagu rohani. Itulah beberapa perbedaan menurut sepengetahuanku. Tentu saja bisa jadi aku salah karena aku sudah tidak pernah mencari kepingan MP3 lagi sejak sekitar 3 tahun ini.
Sewaktu teman sekamarku, Onie, membawa komputernya. Aku menambah cara baru mencari MP3. Yang ini jauh lebih kusukai dari membeli di lapak. Lebih murah, bisa dicoba, dan isinya pasti lebih sesuai seleraku. Caranya adalah dengan mengaduk-aduk koleksi teman. Ada beberapa teman yang suka mengoleksi lagu-lagu, entah di komputernya atau dalam kepingan MP3 juga. Bahkan kalaupun ia tidak suka, asal ia punya komputer aku yakin pasti ada folder musiknya. Nah, sudah merupakan kewajiban untuk memeriksanya. Untuk yang ini, karena waktu itu belum ada yang namanya flash disk, aku pun harus membawa CD kosong dan memastikan komputer temanku itu memiliki CD Writer. Dari komputer satu ke komputer lain, aku sering mendapatkan banyak lagu bagus. Bahkan, ada juga yang sampai membuatku beberapa kali bolak-balik, seperti koleksinya Djohan, misalnya. Jika koleksi temanku itu masih ada di kepingan MP3, aku bujuk dia agar aku diizinkan mencoba di komputernya. Kadang hingga subuh aku begadang memilih dan memastikan setiap space di CD itu dipenuhi lagu yang memang aku belum punya. Dan jangan remehkan ingatanku untuk ini. Aku cukup hafal puluhan atau mungkin ratusan ribu lagu yang ada di ratusan keping MP3 dan bergiga-giga file MP3 yang ada di komputerku hingga saat ini. Tapi, belakangan memang sering lupa juga sih.
Ketika kemudian aku bekerja di Jogja, sebenarnya aku sudah agak meredup dalam mengkoleksi MP3. Tapi, di kota itu, ada cara yang lebih ekonomis dan tak kalah efektif dari mengkopi koleksi MP3 teman. Aku sungguh senang dengan warnet-warnet di Jogja. Di sana, koleksi MP3nya biasanya sangat banyak, selalu update (bahkan bisa request), dan bervariasi. Meski di Solo pun ada warnet yang menshare folder MP3nya, tapi koleksinya kalah jauh dibanding warnet di Jogja. Yang mengasyikkan, beberapa warnet aku lihat cukup idealis. Maksudnya, mereka tidak hanya menyediakan lagu-lagu yang sedang populer di TV, tapi juga berbagai jenis musik dan artis yang tidak semua orang tahu. Kadang, beberapa artis lokal juga sepertinya sengaja menitipkan track rekaman mereka di warnet-warnet agar musik mereka lebih dikenal. Sebelum itu, saat aku masih belum bekerja di Jogja dan karena kapasitas flash disk masih kecil-kecil, maka ada kalanya aku terpaksa membeli CD kosong di warnet itu (biasanya mereka jual). Memang cukup mahal, harga burningnya juga mahal, tapi tidak apa-apa karena aku sudah berpenghasilan. Setelah aku sempat bekerja di Jogja dan kapasitas flash disk mulai besar-besar, maka aku lebih bebas. Bisa kembali kapan saja. Bahkan beberapa kali aku ke warnet tanpa browsing sama sekali, hanya memilih-milih MP3.
Ada enam tas dan dua wadah CD yang ada padaku saat ini. Semua berisi MP3 dan beberapa CD. Beberapa memang ada yang jamuran, tergores, dan tidak bisa terbaca, baik di komputer maupun player lagi. Dulu, caraku menyelamatkannya mau tidak mau adalah mengkopinya ke kepingan yang baru. Tapi setelah aku punya komputer, aku bisa sedikit lebih tenang. Cara selanjutnya untuk mendapatkan MP3 adalah mendownload. Ketika situs filesharing masih belum populer, aku menggunakan software limewire yang ada di beberapa warnet tertentu. Cara tersebut sudah terasa sangat canggih waktu itu. Pertama kali mencoba limewire, aku langsung menginap di warnet dan paginya membawa pulang dua keping MP3 yang diburn di sana. Sekarang, dengan adanya kebebasan koneksi internet, aku hanya sesekali saja mendownload di berbagai tempat, seperti situs filesharing, situs resmi band atau artis tertentu yang memang menyediakan download gratis, atau mendownload dari video untuk kemudian diubah bentuk menjadi MP3. Memang, sepertinya kesetiaanku dengan format MP3 akan masih bertahan cukup lama.
Seperti sudah kubilang, semangatku berburu MP3 saat ini sudah jauh berkurang dibanding waktu kuliah. Satu penyebab utamanya adalah karena aku punya bahan koleksi lain. Koleksi ini adalah koleksi tulisan. Buku, ebook, artikel, beberapa majalah, jurnal, paper, hingga rekaman diskusi kini menjadi tampak sama bahkan kadang lebih seksi dari alunan musik. Untuk artikel, mungkin Mamalah yang memberi contoh. Hingga beberapa tahun lalu, ia masih suka menggunting-gunting resep masakan serta resep obat-obatan tradisional. Kakakku mungkin bilang itu nyusuh, seperti pemulung. Tapi, Mama tidak ambil pusing dan tetap dengan telaten ia tempelkan setiap guntingan kertas itu di buku yang beraneka bentuknya. Cukup banyak bukunya dan cukup tebal-tebal. Dulu aku tidak terlalu tertarik, tapi sekarang aku justru berusaha mencari di mana semua buku-bukunya itu.
Meski demikian, aku juga agak beda dengan Mama. Bentuk kliping artikelku bukanlah dalam bentuk fisik, melainkan file (sekalipun sebenarnya ingin juga mengkliping kertas). Kesukaan ini mungkin juga dipengaruhi oleh pekerjaan pertamaku. Waktu itu, Bos pernah memberi tugas memilah-milah artikel dan mensortir mana yang bagus. Meski artikel yang kusortir bukan artikel dengan topik favoritku, tapi aku cukup menikmati tugas itu. Aku juga terdorong oleh kebiasaan satu tokoh idolaku, Pramoedya Ananta Toer. Sebagaimana mungkin sudah banyak yang tahu, selain HB Jassin, Pram adalah tokoh yang setia dengan pendokumentasian. Hanya karena kebiadaban rezim tentara, koleksi dalam perpustakaannya tersebut telah dirampas dan dibakar. Satu hal ini masih terus membuatnya dendam hingga akhir hayat. Kabar bahwa setelah keluar penjara Pram bekerja mengumpulkan kliping yang tebalnya hingga bermeter-meter juga membuatku terkesima. Jangan meremehkan kliping. Bahkan Pram pernah bilang bahwa ia tahu sesuatu bukan karena pintar, tapi hanya karena ia suka mengkliping. Pernyataannya tersebut membuatku yakin bahwa kliping itu berguna. Pendokumentasian adalah pekerjaan mulia. Apalagi kita berada di negara yang punya sejarah suka menghancurkan, negara yang sering dikangkangi para penguasa yang tidak tahu menghargai apalagi belajar dari masa lalu.
Untuk mengkoleksi buku cetak, aku masih memakai cara konvensional. Kalau tidak membeli yang baru ya yang bekas. Aku masih tidak terlalu tertarik untuk memfotokopi. Sejauh ini, bukuku yang hasil fotokopi hanya ada satu; sebuah buku asing, biografi salah satu band favoritku. Buku itupun pemberian (atau pinjaman yang direlakan?) dari Onie. Dan yang kini kadang kusesali adalah, keputusanku menjual berkilo-kilo buku fotokopian di masa kuliah kepada tukang rombeng demi menghemat biaya pemaketan barang-barangku. Uang yang kudapat hanya 23 ribu. Semula Onie mengusulkan uang itu dibelikan sebuah kaset sebagai pengingat. Tapi, ternyata uang itu kemudian melayang untuk membeli bensin mobilnya.
Menurutku, jika bicara soal membeli buku, rasanya lebih mantap jika bekas. Untuk buku bekas lokal, masalah banyaknya penerbit yang tutup, banyaknya buku yang meski ditulis dengan bagus tapi tidak laris dan tidak dicetak ulang, hingga masalah hak cipta yang belum jelas aturannya, membuat sebuah buku bekas kadang bisa menjadi sangat berharga. Yang sangat menarik dari buku bekas adalah jika menemukan selipan atau coretan-coretan di dalamnya. Kadang aku bisa mendapatkan selipan buku yang bagus. Tapi, kadang juga kertas pengingat atau surat kecil. Aku juga menikmati yang namanya coret-coretan di buku bekas, asal itu tidak mengganggu teksnya. Mungkin itu coretan tulisan nama si pemilik buku. Mungkin nama pemberi buku. Mungkin alamat atau nomor telepon seseorang yang kebetulan harus ia catat, tapi ketika itu ia tidak punya kertas. Mungkin tanggal dan tempat membeli buku itu. Mungkin catatan tambahan di sela-sela pembahasan. Apapun itu, semuanya itu adalah satu goresan sejarah. Menurutku, sejarah minor memang sering kali lebih menarik dari sejarah-sejarah besar, selain tentunya bisa saling melengkapi. Demikian pula, goresan di halaman buku bekas itu sering kali bisa melengkapi apa yang tertulis di sana.
Tapi, aku juga suka dengan buku baru. Bukan baru dalam artian tahun terbitnya. Tapi, maksudnya adalah yang kudapat sebagai tangan pertama, biarpun itu obralan. Aku memang belum terlalu telaten dan tahu soal cara merawat buku agar tidak rusak. Untungnya, bukuku yang ada kebanyakan belum rusak. Paling ada beberapa yang hanya terkena noda atau kertasnya mengeras akibat pernah terkena air dan dijemur. Karena itulah, dengan membeli buku baru aku merasa lebih aman bahwa umur buku itu setidaknya bisa lebih panjang dari buku bekas. Namun, yang memberatkan memang harganya. Yang paling aku suka dari buku cetak adalah aromanya. Oleh karena itulah, tempat membaca yang paling kusukai adalah yang dekat dengan banyak buku lainnya.
Meski buku cetak lebih enak dilihat, tapi koleksi bukuku yang dalam bentuk ebook masih lebih banyak ketimbang yang kertas. Kebanyakan memang berbahasa Inggris, dan kebanyakan juga belum sempat dibaca. Tapi, aku bayangkan jika memang kelak ebook akan menggeser kedudukan buku kertas, aku tidak perlu khawatir. Demikian juga dengan artikel. Semoga Tuhan memberkati hard diskku sehingga berbagai artikel yang ada tidak akan pernah yang namanya hilang. Aku membayangkan, apa yang kulakukan saat ini, suatu hari nanti akan bisa kuperlihatkan kepada anak hingga cucuku dan seterusnya. Dengan begitu, generasi mendatang tidak akan mudah ditipu seperti generasi-generasi sebelumnya. Tidak peduli bagaimana sejarah nantinya dibengkak-bengkokkan, setidaknya aku berharap bisa memberi pandangan dan masukan melalui catatan tulisan yang kukumpulkan dari berbagai sumber yang menurutku kompeten.
Dalam mengkoleksi tulisan, godaannya adalah menjadi tidak fokus. Aku mungkin juga kadang asal comot. Asal tulisannya bagus dan menarik. Meski kadang aku berdalih itu bisa kugunakan untuk pekerjaanku, tapi aku sadar bahwa kadang itu bisa membuatku mengumpulkan hal tak berguna. Tapi, makin lama aku juga mulai belajar untuk lebih fokus. Beberapa bidang lebih kuutamakan dan lebih gemuk koleksinya ketimbang bidang lain. Makin lama, kadang juga makin menyempit. Misalnya, tidak hanya mengoleksi buku dan tulisan tentang sejarah, tapi sejarah yang lebih spesifik yaitu sejarah kekerasan. Lalu menyempit lagi ke sejarah kekerasan di Indonesia, lalu di pulau Jawa, lalu khusus kekerasan antar warga saja, dst. Namun, ada kalanya aku juga tergoda untuk melebar lagi. Tiba-tiba aku ingin tahu tentang bagaimana kekerasan bisa seolah menjadi budaya, lalu melebar mengamati mitologi, filsafat, bahkan psikologi, dll.
Kebebasan mengakses internet saat ini sangat mendukungku melakukan kegiatan ini. Seperti halnya MP3, aku masih mengandalkan mendownload ebook melalui situs filesharing. Tapi, karena ini tulisan, bahannya tentu saja jauh lebih melimpah. Senang rasanya kalau menemukan situs yang menyediakan jurnal atau paper yang bisa didownload gratis serta legal. Dan kalau memang sangat tertarik dan koneksi sedang bagus, maka kadang aku juga mendownload satu website atau blog utuh. Jeleknya, kebebasan akses internet juga membuatku hanya mencari dan mengumpulkan terus menerus. Yang sudah dikumpulkan kadang belum dibaca, diolah, atau masih hanya diskimming saja, eh aku sudah mencari yang lain. Tapi menurutku, itulah hebatnya internet. Tidak heran jika sampai ada seorang artis yang mengaku punya 4 Terabyte file hasil mendownload dari internet saja! Bisa tidak ya aku seperti dia?
Di sela-sela mengumpulkan artikel-artikel di internet, dulu sempat terbersit keinginan mengumpulkan foto-foto bersejarah. Namun, rupanya aku belum cukup telaten untuk itu. Sempat mengumpulkan daftar foto tokoh-tokoh yang berseberangan pandangan yang tertangkap dalam satu frame. Sempat juga mengumpulkan foto tokoh dunia saat saling bertemu. Atau foto bersejarah lainnya. Tapi, kadang aku lebih terbawa menikmati artikel karena caraku mencari foto juga masih belum seberapa canggih. Mungkin kegiatan itu bisa dilakukan lagi nanti.
Label: batu, buku, data, gambar, hobi, koleksi, masa kecil, masa lalu, mp3, sekrup, silet
Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...