perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


Dokter Lo & Dokter Oen

KUBURAN PURWOLOYO

disini terbaring
mbok cip
yang mati di rumah
karena ke rumah sakit
tak ada biaya

di sini terbaring
pak pin
yang mati terkejut
karena rumahnya digusur

di tanah ini terkubur orang-orang yang
sepanjang hidupnya memburuh
terhisap dan menanggung hutang

di sini
gali-gali
tukang becak
orang-orang kampung
yang berjasa dalam setiap pemilu
terbaring
dan keadilan masih saja hanya janji

di sini kubaca kembali:
sejarah kita belum berubah!

Jagalan, Kalangan
Solo, 25 Oktober 1988
"Turah (kebanyakan) duit ya?" bentaknya tanpa memandang wajah Mama. Mama tersipu, lalu mengucapkan terima kasih kepadanya. Badanku masih panas, tapi roti semir Luwes yang tadi dibeli Mama dari penjual roti di depan agak menghiburku. Pria tinggi, setengah botak, setengah beruban dengan suara keras itu terkenal di seantero kota dengan kegalakannya. Kata-kata seperti "sudah 4 hari baru dibawa kemari? Mau nunggu mati dulu apa?" sudah tidak mengejutkan lagi. Aku sendiri pernah mendengarnya. Tapi, ia sangat dicintai banyak orang. Ketika aku sudah bisa membaca, aku lihat kertas yang ia berikan sebagai resep untuk ditebus di apotek tertulis nama lengkapnya: dr. Lo Siauw Ging. Dokter Lo, demikian ia dipanggil. Dokter galak tapi baik hati. Bahkan, meski terkesan kasar, kata-kata tadi pun kalau direnungkan memang ada benarnya. Dokter Lo ini adalah seorang dokter langka dan makin langka dari hari ke hari. Bukan karena galaknya. Tapi karena jiwa sosial yang melekat kuat sampai masa tuanya sekarang ini.
Menjadi dokter sejak 1963, dokter dengan gelar MARS (Manajemen Administrasi Rumah Sakit) ini dikenal sebagai dokter yang tidak pernah mau dibayar. Tak heran jika pasien yang kebanyakan dari kalangan kurang mampu selalu antre di tempat praktik pribadinya di daerah Jagalan, Solo. Dalam sehari, ia melayani dua kali jam praktik. Pagi dan sore. Di luar dari itu, kalau tidak salah ia menjabat sebagai direktur RS Kasih Ibu (entah apa sekarang masih atau tidak). Yang mengagumkan, sampai sekarang dokter ini tetap melayani pasien, meski jalannya saja kini sudah dibantu tongkat. "Saya belum mau pensiun. Saya ingin mereka yang tidak mampu membayar masih bisa menikmati pelayanan kesehatan," katanya dalam sebuah wawancara. Orang bilang, itulah yang membedakan 'orang kuno' dengan pemuda zaman sekarang. Aku beberapa kali melihatnya ada dalam etos kerja mereka yang termasuk angkatan Papaku ke atas. 
Seorang teman bilang bahwa sudah sangat sulit jika kita hendak menjadi legenda saat ini. Jika ingin jadi artis, penulis, atau politisi, bersiaplah untuk mengalami roller coaster; hari ini terkenal luar biasa, besok dicampakkan begitu saja oleh mereka yang punya kuasa, suara, dan dana. Barangkali ia ada benarnya juga. Terkecuali kita memiliki karakter sehebat dokter Lo, yaitu bahwa kita harus siap melawan arus dan siap paling tidak untuk lebih memilih kepuasan melakukan sesuatu untuk orang lain yang membutuhkan ketimbang hanya menyenangkan diri sendiri. Dokter Lo adalah dokter legendaris di kotaku selain dokter Oen, seniornya. "Ada kepuasan tersendiri, itu tidak dapat diukur dengan uang," jelas dokter Lo tentang kepuasan bisa menyembuhkan pasien-pasiennya yang kurang mampu. 
Dokter ini tidak hanya memberi pengobatan gratis selama puluhan tahun, ia juga selalu menyisihkan sebagian gaji yang diterimanya untuk membantu jika ada pasien yang harus mondok di rumah sakit tapi tidak punya biaya. Jika itu masih kurang, ia juga akan mencarikan donatur, terutama mereka yang mau menjadi donatur anonim. Puluhan tahun menjadi dokter, sebuah profesi yang masih sangat terhormat di masyarakat, bahkan sempat menjadi direktur rumah sakit swasta, bukankah harusnya di masa tuanya seseorang bisa menikmati hidupnya? Aku memang sama sekali tidak kenal dokter Lo dari dekat. Tapi, jika memikirkan bahwa tempat praktiknya hingga kini masih relatif tidak berubah, tidak ada renovasi, perluasan, atau semacamnya, maka aku bisa lihat dedikasi dokter Lo membantu masyarakat memang telah berhasil menepis godaan menjadikan keahliannya sebagai komoditi semata.  
Nah, kemarin kamu bilang kamu benci dokter karena mereka suka menipu. Aku rasa kamu harus ketemu dokter Lo. Memang, aku terakhir kali ke dokter Lo ketika masih SD. Tapi, tentunya aku juga tidak akan berobat ke sana lagi sekarang. Aku tahu kamu tidak keliru tentang dokter-dokter mata duitan itu. Kebetulan saja hanya Omni yang kebetulan sedang disorot saat ini. Dan bukannya untuk gaya-gayaan aku mengutip puisi Wiji Thukul di atas. Tanyakan, kenapa Thukul yang notabene terbilang tetangga dengan dokter Lo pun tetap membuat puisi seperti di atas. Lihatlah puisi itu dibuat tahun 1988. Nyata bahwa sosok seperti dokter Lo pun sudah langka sejak puluhan tahun lalu. Sekarang, mestinya orang bisa melihat betapa dekatnya kaitan antara Ponari dan Omni. Legenda tidak perlu harus bisa mengubah dunia, tapi legenda adalah orang yang mampu membuktikan bahwa ia bisa melawan dunia. Kisah dokter yang kedua berikut ini juga sama hebatnya.
dr. Oen
Ketika kakak sepupuku melahirkan anaknya belasan tahun lalu, aku pernah melihat sebuah buku tentang sejarah RS dr Oen, Solo. Bukan kebetulan jika ternyata dokter Lo pernah menjadi anak buah dokter Oen Boen Ing. Nama yang ini memang lebih terkenal, setidaknya sudah diabadikan di beberapa buku. Aku tidak pernah bertemu dengan dokter Oen. Dokter Oen sudah meninggal waktu aku masih usia satu tahun. Dokter yang mendapat gelar KRMT (anumerta) dari Mangkunegaran atas jasanya ini juga meninggalkan nama sangat harum di masyarakat. Lahir dari keluarga kaya, tapi ia terinspirasi kakeknya yang seorang suhu sinshe. Maka, meski ia menggunakan metode pengobatan Barat, tapi teladan sang kakek yang tidak pernah mau dibayar saat mengobati orang benar-benar ia terapkan.
Sebagaimana dokter Lo, dokter Oen juga tidak pernah menuntut bayaran dari pasiennya, tanpa peduli latar belakang, agama, status, dll. Ia hanya menyediakan sebuah kotak dan pasien boleh memasukkan atau tidak memasukkan bayaran sukarela. Memang agak beda dengan dokter Lo yang lebih ekstrem, yang kadang justru memarahi pasien yang mau membayarnya (bahkan, kalau memang ingin bayar, kita harus segera meletakannya di mejanya dan cepat-cepat pamit sebelum ia menegur). Aku percaya dokter Lo memang ingin menjadi penerus dokter Oen. Dan ia sudah berhasil. "Orang-orang miskin berani datang berobat karena tidak diharuskan membayar. Pasien yang tak mampu tetap diberi resep, disuruh ke apotek, obatnya dibayar Dr Oen..." kata Wiwik, perawat yang bekerja bersamanya sejak 1975.
Ketika perang pun, dokter Oen ikut bertugas merawat korban perang. Seorang veteran pun bersaksi bahwa dokter Oen semasa perang sungguh pemberani, tak peduli tembakan Belanda, dokter Oen tetap keluar masuk ke daerah TNI. Tak kurang jenderal Sudirman pernah ia buatkan ramuan obat. Tahun 1933, ia mulai membuka poliklinik kecil yang kini pindah ke daerah Kandangsapi dan menjadi rumah sakit besar bernama poliklinik Tsi Sheng Yuan yang oleh Orde Baru sempat diganti menjadi RS Panti Kosala, dan kini menjadi RS. dr Oen Boen Ing yang bahkan sudah memiliki beberapa cabang. 
Hanya saja, sepertinya rumah sakit itu kini toh sudah sama seperti rumah sakit yang lain. Apakah semangat sosial dr Oen diterapkan rumah sakit tersebut? Sepertinya tidak. Bukannya berharap semua rumah sakit menggratiskan biaya berobat, aku tahu operasional rumah sakit jelas butuh banyak biaya. Tapi, aku hanya berpikir, jika dokter Lo adalah penerus dokter Oen, lalu siapa yang akan meneruskan dokter Lo? Memang masih ada beberapa dokter yang baik. Tapi, dokter yang menjadi legenda, aku khawatir keponakanku yang saat ini sudah kelas 3 SD saja tidak akan pernah mempunyai kenangan tentangnya.

Label: , , , , , ,

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...


Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!