perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


Guru-guru SMP

Waktu hendak masuk SMA, seorang yang lebih tua sekitar 11 tahun dariku pernah berkata begini, "pokoknya, masa SMA itu masa yang pasti paling berkesan, buktinya lagu itu adanya 'nostalgia SMA kita', bukan nostalgia SMP, SD atau nostalgia TK kita… hehehe" Wah, angkatan Paramitha Rusady nih. Tapi, ternyata omongan orang itu tadi ternyata tidak terlalu pas untukku. Kalau bicara tentang masa berkesan, jelas masa kuliah dong. Sementara setelah kuliah, aku rasa masa SD lebih berkesan, setelah itu masa SMP, dan baru setelah itu SMA. Masa SD aku rasa pasti selalu berkesan di hati semua orang. Jangka waktunya saja dua kali lipat, hampir sama juga dengan masa kuliah (kalau S1). Lagipula, keduanya (kuliah dan SD) juga sama-sama masa penuh perubahan, yang satu dari masa baju bebas ke masa seragam, satunya lagi dari masa berseragam ke masa baju bebas lagi. Masalah baju ini tentu hanya simbol saja, intinya kita semua pasti tahu. Jika ingin perbandingan yang seimbang, masa SMP dan SMAlah yang bisa dipertandingkan dengan adil. Aku memilih masa SMP yang menang (tapi bukan berarti blog guru-guru SMA tidak akan ditulis).

SMP yang 'kupilih' adalah SMP Kanisius 1 Surakarta (untuk keren-kerenan disebut SMP Kansas, nah padahal Kansas tetap daerah ndeso juga). Masuk ke Kanisius sebenarnya adalah plan B. Karena kakak-kakak dan orang tua berhasil meyakinkanku bahwa masuk ke SMP Negeri itu adalah prestasi yang sangat hebat, maka impianku adalah masuk ke SMP Negeri 4, yang katanya adalah SMP negeri terbaik kedua di Solo. Selain bagus, kakak-kakak juga meyakinkan bahwa dengan masuk ke SMP Negeri (tapi hanya dibatasi SMPN 1 dan SMPN 4) juga akan membantu Papa, karena SPP nya akan jauh lebih ringan. Aku pun makin berharap. Kebetulan, nilai NEM ku juga terbilang lumayan, meski kata Papa terlalu ngepas untuk dibilang unggul, yaitu 41 koma sekian. Harapan dan impian untuk masuk negeri itu sangat besar sehingga aku bahkan sama sekali tidak ingin masuk ke SMP swasta yang kategori favorit seperti Bintang Laut, Regina Pacis (yang ini bahkan sama sekali tidak pernah kusebut) ataupun yang bisa memungkinkanku bertemu teman-teman SD, yaitu SMP Widya Wacana. Lalu kenapa setelah dinyatakan tidak lolos seleksi penerimaan di SMPN 4 aku justru masuk ke Kanisius? Pertama, SMP macam BL meski bagus tapi jelas mahal biayanya. Sedangkan untuk Widya Wacana? Entahlah, aku sendiri lupa, mungkin waktu itu keinginan untuk tidak berlama-lama di satu tempat (SMP WW satu lokasi dengan bangunan SD ku) atau untuk lebih banyak bertemu muka-muka baru sudah mulai muncul. Faktor yang juga sangat berpengaruh adalah fakta bahwa tiga dari empat kakakku menjalani masa SMP di Kanisius. "Huh, Kanicus… kanicus.." begitulah dulu aku (dan kakak yang keempat waktu masih SD) melecehkan sekolah kakak yang kedua dan ketigaku itu. Kami berdua kualat, sama-sama memilih sendiri dan diterima di SMP Kanicus itu.
Wali kelasku ketika kelas satu adalah Bu Ndari. Nama lengkapnya Retno Wulandari, nama yang sangat Jawa dan pantas untuk menjadi nama penyanyi keroncong. Bu Ndari ini adalah guru seni musik, tapi dia tidak pernah bernyanyi keroncong. Guru yang satu ini tidak galak dan agak kemayu, meski kelak aku akan bertemu banyak guru yang jauh lebih kemayu dalam artian genit ketimbang dia. Alasan aku menyebutnya agak kemayu barangkali karena ia termasuk guru yang suka dandan dan kadang memuji-muji dirinya sendiri. Dua dari tiga kakakku juga aku ingat mencap Bu Ndari sebagai guru yang kemayu. Gincu merah muda cukup tebal, rambut keriting panjang selalu diikat, kulit agak langsat, usia sekitar 30an tapi sepertinya sudah mulai rabun dekat (dilihat dari cara menaruh kacamatanya ketika membaca di depan kelas). Bu Ndari ini sebenarnya wajahnya cocok untuk menjadi galak, tapi tetap saja ia tidak bisa dibilang galak meski beberapa kali juga bisa marah-marah. Selain seni musik, Bu Ndari kalau tidak salah juga mengajar PKK (Pendidikan Keterampilan Keluarga), dua mata pelajaran yang waktu itu (mungkin hingga sekarang) dianggap sebagai mata pelajaran kelas B (karena tidak masuk dalam EBTANAS). Praktis, kelas kami hanya berjumpa dengannya kurang lebih dua kali seminggu selain di waktu-waktu penerimaan rapor atau acara kelas lain. Aku masih mencoba mengingat-ingat pengalamanku dengan Bu Ndari, tapi sayangnya sampai sekarang sepertinya masih lupa.
Untuk wali kelas kedua, aku jauh lebih ingat. Namanya adalah Pak Pranggoro. Bapak yang satu ini mengajar mata pelajaran yang 'lebih serius', Matematika, Fisika, dan Elektronika. Sangat kurus, tinggi, berkacamata, tatapannya tajam, jarang tersenyum, suara aristokrat, kadang berkumis kadang dicukur sehingga dagunya tampak kehijauan, jelas ini adalah wali kelas pria pertamaku. Kami memanggilnya dengan sebutan Pak Prang (lebih mirip Prank, ketimbang Praaangg atau Perang, meski kenyataannya lain). Karena memegang tiga mata pelajaran 'penting' itu, pertemuan kami pun sering terjadi. Meski suaranya sopan, tapi Pak Prang bisa juga berubah menjadi guru yang menakutkan. Maaf saja kalau yang lebih kuingat tentang Pak Prang adalah hukuman-hukumannya, tapi jika saja waktu itu aku adalah orang tua murid, kelakuannya harus kulaporkan.
Yang paling menakutkan adalah di mata pelajaran Elektronika. Ia selalu wanti-wanti agar setiap murid harus membawa buku diktat dan perlengkapan praktik yang lengkap. Di kelas 3, setidaknya aku pernah melihat dia bertindak seolah kelas adalah Guantanamo. Kebetulan saat itu teman dekatku, Hari Mulyono tidak membawa salah satu perlengkapan praktik (atau buku?). Sebagai hukuman, ia pun memanaskan solder listriknya, lalu dengan ujung solder mengepul yang bisa melelehkan timah, ia berjalan pelan menuju arah Hari alias si Mul dan memerintahkan agar ias menjulurkan tangannya. Ya, Pak Prang memang hanya menyerempetkan saja ujung solder itu ke tangan si Mul, namun temanku itu tetap berteriak, entah sakit, kaget atau hanya mendramatisir seperti pemain bola sedang diving. Entah sang guru atau si murid yang bersandiwara, yang jelas hal itu tetap membekas di kepalaku hingga saat ini. Aku juga ingat ketika satu kali aku lupa membawa jangka untuk pelajaran Matematika (kalau tidak salah juga di kelas 3). Hukuman yang diterima murid yang juga lupa membawa jangka adalah ditusuk dengan jangka besar untuk papan tulis. Sampai ketika giliranku, tanganku secara refleks mengelak, tapi ia tetap berusaha sampai kemudian memutuskan untuk memukul tanganku yang menangkis saja. Apakah mungkin itu sebabnya aku tidak menyukai elektro? Maaf Papa, tapi bagaimanapun aku memang tidak suka. Aku selalu menganggap Pak Prang agak menakutkan, kadang lembut dan bisa melucu, kadang bisa menebar teror sedemikian rupa.
Aku masih kurang yakin siapa wali kelasku di kelas tiga, antara Pak Step, Bu Susana, atau Pak Joko. Tapi, aku akan bahas Pak Step dulu. Nama lengkapnya adalah Stefanus Tukijo (demikian ia selalu menuliskannya, jadi harusnya ia dipanggil Pak Stef dengan f), mengajar pelajaran agama Katolik. Penampilan Pak Step ini seperti salah satu teman sekolah Papaku yang fotonya pernah kulihat di buku reuninya. Berbadan lumayan tegap meski sudah berusia sekitar akhir 40-an, tapi agak bungkuk juga, dagunya panjang, kulitnya hitam, suka berpakaian hem ketat lengan pendek model seragam pramuka (dengan kait di pundak) yang waktu itu belum ngetren seperti beberapa tahun lalu. Untuk dandanan, ia terbilang kuno; rambut licin mengkilap, disisir ke samping dengan sangat-sangat rapi, berkacamata tebal yang kalau di luar kacanya menjadi berwarna coklat, sementara suaranya juga aristokrat dan nadanya selalu teratur seperti seorang Romo ketika melantunkan, "berbahagialah orang yang mendengar sabdaa tuuuhann, dan yang dengan tekun melaksanakannyaaaa…."
Kelak, aku baru tahu kalau Pak Step ini ternyata adalah suami Bu Titik, guru mata pelajaran Agama dan Etika yang akan kutemui di SMA. Aku merasa Pak Step ini tidak galak tapi juga tidak sabar apalagi lucu, biasa saja. Mungkin juga karena pelajarannya sendiri tidak dianggap penting meski statusnya cukup terhormat di sekolah. Yang aku ingat dari Pak Step adalah bahwa ia yang selalu memimpin acara doa dan menyanyi yang dikumandangkan lewat speaker yang ada di tiap kelas. Lagu andalannya adalah "Aku muda, riang gembira, penuh harap serta cinta, hidupku bagai sinar…." atau "semua burung bernyanyi riang, gembira hatiku, semua rumput…" Acara itu dilaksanakan setiap pagi dengan sebelumnya setiap murid harus membeli buku kecil tipis berisi syair doa dan lagu, dan jika buku itu hilang atau tidak dibawa, kita harus beli lagi di koperasi sekolah. Seingatku, Pak Step baru mengajarku di kelas 3. Ada beberapa kali kegiatan dalam pelajaran yang cukup kuingat sampai sekarang. Yang pertama adalah tentang kesabaran. Ketika mengajarkan tentang itu, ia memberi contoh dirinya yang tidak pernah mau membunyikan klakson motor saat di jalan. Memang, saat aku mengecek sendiri motornya, sebuah Yamaha tua, di parkiran, klaksonnya memang sudah mengeras tidak bisa dipencet lagi, walau belum berarti juga pasti tidak bisa bunyi. Aku tak tahu apakah ia tidak mengklakson karena klaksonnya rusak atau memang karena sabar. Yang jelas, sebelum akhirnya menghadapi lalu lintas jalanan Surabaya, aku sempat meniru dia yaitu hampir tidak pernah atau jarang sekali mengklakson saat di jalan, apapun keadaannya.
Hal kedua yang masih kuingat adalah ketika dia mengajarkan bermeditasi atau membawa roh berjalan-jalan ke luar dari tubuh. Saat itu, akupun langsung membayangkan Sun Go Kong dalam film yang rohnya bisa pergi ke kahyangan sementara tubuhnya masih di bumi, melongo seperti patung monyet bego. Ia mengajak semua murid hening (kebetulan saat itu suasana sekolah juga sedang sepi), memejamkan mata, mengatur nafas, dan membayangkan kita pulang ke rumah. Ia pun memandu, "kalian lihat rumah kalian sedang sepi, lalu kalian mulai pelan-pelan berjalan-jalan masuk, dst… dst." Semua murid sepertinya memang menurut dan terhanyut, termasuk aku. Aku rasa pelajaran yang ia ajarkan saat itu berhasil meski aku tak ingat apa sebenarnya tema yang ia ajarkan. Aku masih terus membayangkan jika memang benar rohku sudah berjalan-jalan keluar dari tubuhku, tapi lama kelamaan tidak yakin juga jika memang itu yang terjadi. Entahlah.
Sekarang tentang Bu Susana. Guru yang satu ini mengajarku pelajaran bahasa Jawa (atau Bahasa Daerah). Bu Susana baru masuk saat aku duduk di kelas 2. Ia masih cukup muda, mungkin baru di awal 30an. Suara agak cempreng, berambut keriting pendek, kulit langsat, pipinya tembem dihiasi jerawat dan bekas-bekasnya, beberapa murid pria tertarik dengan dadanya yang besar (temanku Fransiscus alias Sisko yang kerempeng menyebutnya guru yang lapang dada, meski nyatanya, pinggul si guru juga besar). Aku sendiri sama sekali tidak tertarik karena melihatnya lebih seperti ibu-ibu yang berbadan melar akibat melahirkan dan menyusui. Tapi, mungkin itulah risiko berada di antara remaja-remaja yang sedang akil baliq. Bu Susana sendiri tampaknya entah tidak sadar atau tidak peduli dengan itu. Meski dijadikan objek oleh beberapa murid, tapi kadang ia galak. Dan enaknya menjadi guru bahasa Jawa barangkali adalah ini, ia bisa marah-marah atau mengatai murid-muridnya dengan bahasa Jawa hehehe… Pelajaran ini sendiri memang bukan favoritku. Rasanya, para guru bahasa Jawa atau yang merancang kurikulumnya hanya berusaha menakut-nakuti para murid, bahwa pelajaran ini penting, bahwa pelajaran ini tidak boleh diremehkan, dengan memberikan beban-beban hafalan aksara Jawa, nama-nama anak binatang, bahasa kromo alus atau inggil dari ini atau itu, jejer, wasesa, katrangan panggonan, dll. Begitulah, saat itu (atau mungkin sampai saat ini), pelajaran yang dianggap 'bagus' atau 'penting' adalah yang banyak hafalan atau rumusnya.
Saat menulis hal ini, aku tiba-tiba makin yakin bahwa wali kelasku di kelas 3 sebenarnya adalah Pak Joko. Aku lupa nama lengkap bapak ini. Yang jelas, Pak Joko yang ini adalah guru olahraga sekaligus seni rupa. Tubuhnya tinggi tegap, usia mungkin di awal 40, suka berpakaian ketat model seperti Pak Step, bedanya hanya celananya cut bray, mengendarai vespa, rambut ikal rapi, wajah merah, rahang kotak, gigi agak nyakil sehingga membuat suaranya kurang enak didengar karena seperti bercampur antara udara dan gigi geligi. Aku mengingat sosoknya agak seperti Benny Murdani waktu muda. Pak Joko ini di mataku dan mata kakak-kakakku atau di mata sebagian (besar) teman adalah guru yang kemaki alias kemlinthi (sok jago/sok gagah). Sebagai guru olahraga, karakter seperti itu mungkin memang cocok, sekalipun keterampilan olahraganya tampaknya hanya biasa-biasa saja. Yang jelas, ia bisa dibilang galak. Dan hal ini mestinya agak menjadikannya kurang cocok mengajar mata pelajaran Seni Rupa (atau Seni Lukis). Nyatanya, Pak Joko ini sepertinya hanya agak terpaksa mengisi kekosongan guru Seni Rupa. Aku hampir tak pernah ingat melihatnya menggambar. Yang ia lakukan saat pelajaran seni ini adalah membawa sebuah papan tulis yang sudah ada gambarnya (digambar dengan kapur). Setelah itu, ia menyuruh semua murid mencontoh gambar itu. Kali lain, ia hanya memerintah secara lisan saja, kalian gambar ini atau itu, atau bebas. Yah, pelajaran seni ini memang tidak pernah dianggap penting di sekolahku. Aku ingat ia pernah satu kali memerintahkan murid-murid menggambar sebuah kapal yang juga adalah logo dari yayasan Kanisius, jika belum selesai bisa dijadikan PR. Waktu itu, kakakku yang sudah kelas 3 SMA mengatakan bahwa tugas seperti itu pernah diberikan di masanya. Jadi, aku pun memintanya untuk menggambarkannya untukku dan ia menuliskan nama kapalnya KRI Joko Bodo (tentu saja setelah itu segera dihapus). Hasilnya memang bagus. Aku pun membawanya ke sekolah dan seorang teman segera mencurigai bahwa gambar itu bukan hasil karyaku. Aku tentu saja berbohong dan menolak tuduhan itu. Untung yang curiga hanya satu temanku itu, sementara Pak Joko sendiri memberiku nilai bagus dan beberapa teman malah meyakinkan temanku yang jeli tadi bahwa aku memang pandai menggambar.
Sebagai guru olahraga, Pak Joko masih agak cocok. Tapi, kakak-kakakku merasa ia masih kalah dibanding Pak Tabing atau Bu Kris, dua guru olahraga lainnya. Bahkan, salah satu kakakku mengatakan Pak Joko menjegal Pak Tabing sehingga Pak Tabing akhirnya pindah (atau dipindahkan) ke sekolah lain. Aku tidak begitu tahu atau peduli kalau memang ada konflik antar guru seperti itu. Pak Joko sendiri meski berbadan cukup atletis tapi sepertinya memang bukan atlet. Dalam sebuah pertandingan basket antara guru vs murid dalam rangka ultah sekolah, ia terlihat tidak begitu hebat, bahkan kalah semangat dengan Pak Step yang kemudian terkilir. Namun, Pak Jokolah yang menjadi 'pelatih' tim putra maupun putri dalam pertandingan basket uji coba (ya, zaman itu basket sedang ngetop sekali), sekalipun yang ia lakukan hanya duduk menonton dan kadang memberi semangat, tanpa arahan strategi berarti (hanya mengandalkan skill pemainnya). Pertandingan itu dilaksanakan di lapangan sekolah lain yang aku lupa namanya. Aku sendiri menonton karena beberapa teman main basketku tergabung dalam tim. Aku memang sempat sangat berharap bisa ikut dalam tim. Tapi saat namaku tidak tercantum, aku merasa kecewa dan merasa yang memilih itulah yang tidak bisa melihat potensiku. Aku rasa saat itu tim putra kalah dan tim putri menang. Tapi, yang lebih aku ingat bahwa di situ aku hampir dipalak oleh beberapa pemuda kampung yang juga ikut menonton. Sementara teman-teman sedang main, di pinggir lapangan mereka meminta jaketku. Tapi, aku hanya memandang mereka dan mencoba tersenyum. Tampaknya mereka memang tidak terlalu serius menginginkan jaketku. Gagal mendapatkan jaket, mereka malah mengajakku ngobrol basa-basi, kenapa aku tidak ikut main, dsb. Namun, beberapa teman yang membawa motor ternyata tetap saja kehilangan beberapa helmnya. Pemuda-pemuda itu juga mentertawakan dan menyoraki Pak Joko, yang hampir sepanjang pertandingan hanya duduk diam dan lebih tampak seperti bingung ketimbang memikirkan strategi.
Di pelajaran seni rupa, aku merasa Pak Joko terasa lemah dan klemak-klemek, tapi di pelajaran olahraga, apalagi di lapangan, ia bisa sangat keras. Aku pernah melihatnya menggampar Ernest, temanku lain kelas saat di lapangan basket. Ernest tidak apa-apa, entah karena ia seorang pelatih beladiri kateda yang biasa latihan dengan menjadikan bagian tubuhnya sansak hidup atau karena memang gamparan Pak Joko di kepalanya tidaklah sakit. Yang jelas, aku termasuk kaget melihatnya. Aku kira beberapa teman juga merasa demikian. Di kelas 3, aku mendengar bahwa Pak Joko harus menjalani operasi akibat sesuatu di tangannya. Aku tak tahu, mungkin itu bisul, atau bahkan tumor. Yang jelas, sejak saat itulah aku melihat Pak Joko sebagai sosok yang makin kasihan.
Bagi yang pernah bersekolah di SMP Kanisius sebelum angkatanku, aku pastikan ada dua nama yang tidak akan pernah dilupakan: Bu Agnes dan Pak Yus. Bu Agnes adalah guru PMP (sekarang PPKn). Sudah cukup berumur, bertubuh pendek, tapi langkahnya tegap dan mantap. Mungkin itu juga karena ia selalu naik sepeda jengki ke mana-mana, mungkin juga karena ia sering melakukan ritual jalan salib. Bu Agnes adalah guru yang religius. Tapi ia juga seperti sersan wanita. Penampilannya sederhana, baju warna abu-abu, rambut diikat ke belakang, berkacamata, bibir merah karena gincu, dan wajah putih karena dilapisi bedak meski kulitnya sebenarnya terbakar matahari. Jarang tersenyum meski kalau disapa saat bertemu di luar kelas atau bahkan luar sekolah, ia tetap tersenyum sehingga bibirnya yang merah dan lancip melebar ke samping. Suaranya keras dan tegas, agak sembab, tapi yang jelas bisa menggetarkan hati setiap murid yang mendengarnya.
Bu Agnes memang guru yang terkenal galak meski setahuku ia tak pernah main tangan. Kutipannya yang paling terkenal adalah, "kursus buta huruf." Ini adalah istilahnya untuk murid yang hanya menjawab berdasarkan apa yang tertulis di buku, bukan dengan kalimatnya sendiri. "Ini pelajaran PMP. Kalau hanya membaca, namanya kursus buta huruf." Agak disayangkan memang, kenapa ia harus mengajar mata pelajaran PMP. Dengan prinsip, murid harus bisa menjawab dengan kalimat sendiri, alias harus bisa berpikir sendiri, menurutku agak sayang kalau yang diajarkan adalah pelajaran yang menjadi indoktrinasi pemerintah rezim Orde Baru. Mungkin itu satu sisi positif ajaran Bu Agnes, tapi cara mengajarnya tetap saja kuno. Sangat text book, sehingga jangan harap bisa selamat jika kita tidak membawa buku diktat yang sampulnya burung garuda itu. Senjatanya yang lain adalah absensi kelas. Ia tinggal menyebutkan nama murid yang bisa disuruh membaca halaman sekian. Kemudian, ia juga membaca pertanyaan, juga dari buku itu. Ia membahas atau menanyakan hampir perkalimat yang ada. "Kenapa kita mengamalkan UUD 45 secara murni dan konsekwen? Si A." Deg-degan dan harap-harap cemas semoga nama kita tidak dipanggil. Kalau salah, muncullah istilah tadi, "kursus buta huruf." Tapi, kalau salah dua kali atau jawabannya sangat tidak sesuai, kata-kata "tolol" atau "guoblok" bisa disemburkan tepat di wajah Anda.
Sejak masa kakak iparku, yang selisih 12 tahun dariku, bu Agnes sudah dikenal galak. Yang agak baikan dengan bu Agnes adalah kakakku yang keempat. Ia termasuk murid yang dihafal oleh bu Agnes karena hal positif, satu hal yang agak jarang terjadi. Dari dia jugalah aku tahu bahwa bu Agnes kadang berjalan melewati jalan depan rumahku dalam rangka via dolorosa, jalan salib. Padahal, setahuku rumah bu Agnes jauh dari rumahku yang jalannya naik turun. "Mungkin bertobat, mengaku dosa karena selalu galak pada anak-anak," kata kakakku setengah bercanda. Bu Agnes kini sudah pensiun, tentu saja, karena sepupuku yang sekitar 6 tahun di bawahku sudah tidak mengalami diajar olehnya.
Pak Yus bernama lengkap Yusdarsio Heryunanto. Aku sangat ingat dengan nama ini. Dia adalah guru seni lukis dan bahasa daerah. Aku hanya sempat diajar bahasa daerah olehnya. Apa yang membuat Pak Yus sulit dilupakan? Secara fisik, ia biasa saja. Pria setengah baya yang tubuhnya termasuk pendek bahkan belakangan sudah agak bongkok. Rambut tinggi disisir ke belakang, berkumis, kacamata coklat, sepintas tampangnya seperti Antasari Azhar versi tua. Di masaku, pak Yus sudah mulai agak sakit-sakitan. Tapi, sikapnya sepertinya tidak berubah dari generasi ke generasi. Satu hal yang pasti diingat adalah dijenggit, yaitu menjewer rambut di daerah dekat telinga. Kalau tidak salah aku hanya mengalami setahun diajar oleh Pak Yus, tepatnya waktu kelas 1. Ketika itu, aku sudah mendengar kabar-kabar tentang sepak terjangnya. Bahwa jenggitan atau jewerannya sangat sakit, tapi itu hanya untuk murid pria. Aku juga pernah merasakannya, setidaknya 2 kali. Yang menjengkelkan, ia melakukannya dengan tertawa-tawa karena memang kesalahanku waktu itu sepertinya tidak begitu berat. Mungkin ia hanya berikhtiar bahwa tiap murid pria harus paling tidak sekali merasakan jenggitannya.
Tapi, 'hukuman' Pak Yus untuk murid perempuan lain. Ini yang lebih menjengkelkan. Untuk murid perempuan, ia malah mengelus-elus pipi mereka. Kakakku pernah heran, bagaimana kira-kira rasanya orang tua seperti dia malah menggoda gadis pra remaja yang bisa jadi anak bahkan cucunya seperti itu ya? Waktu itu, kakakku baru duduk di bangku SMA. Mungkin belum banyak yang tahu bahwa hal itu aneh dan mungkin harusnya tidak boleh. Katanya, Pak Yus memang bidangnya di seni lukis. Katanya, ia memang pintar menggambar. Sayangnya, aku tidak pernah melihat karyanya. Tapi, aku sempat curiga bahwa gambar-gambar jadi di papan tulis yang dibawa Pak Joko sebagai tugas di pelajaran menggambar sebenarnya adalah hasil karya Pak Yus. Kalau Pak Joko, memang jujur saya aku rasa dia tidak bisa menggambar, apalagi dengan kapur tulis.
Pak Yus hanya mengajarku Bahasa Daerah. Kemampuan seninya hanya pernah kulihat saat ia nembang, kalau tidak salah Pangkur atau Megatruh. Suaranya bagus, seperti suara di radio. Ketika ia menyanyi, kelas hening, dan aku membayangkan suasana di desa ketika Pak Yus sebagai petani bersenandung sendiri sambil, entah mengasah sabit atau duduk-duduk saja. Ia juga pernah bercanda dengan Pak Tabing di depan kelas. Ketika itu, Pak Tabing menggoda Pak Yus dengan mengatakan kalau dia ganteng. Pak Yus segera mengeluarkan dompet dan selembar uang lima ribu. "Nyoh, le limang ewu susuk sepuluh ewu." (Nih, nak… lima ribu kembali sepuluh ribu). Sekarang, guyon lawas seperti ini pernah beberapa kali diperagakan Tukul. Semua murid tertawa, termasuk aku karena memang jarang melihat sesama guru bercanda.
Di akhir tahun ajaran kelas 1 itu, Pak Yus sudah tidak mengajar. Posisinya sementara digantikan wakil kepala sekolah Pak Titus Wasana. Ternyata Pak Yus masuk rumah sakit. Jadi, ceritanya ia sedang membungkuk dan mengangkat sesuatu sebelum tiba-tiba punggungnya cedera. Pak Wakasek sempat menjelaskan, sepertinya tulang keropos atau bahkan patah tulang dialami Pak Yus. Sejak saat itu, tidak pernah aku melihatnya lagi. Mungkin sekarang ia sudah meninggal dunia.
Karena sudah menyinggung satu nama, sekalian saja aku ceritakan tentang para petinggi di SMPku waktu itu. Ketika pertama kali aku masuk, SMP Kanisius 1 masih dikepalai oleh A.M Sunarno, dipanggil Pak Narno. Bapak ini orangnya gemuk, hitam, rambutnya sudah memutih, kacamatanya tebal warna coklat. Salah satu kakakku sering memuja-mujanya. Tapi aku tidak begitu mengenalnya karena memang jarang ada pertemuan di kelas. Yang jelas, kakak yang memujanya itu bilang Pak Narno pintar bicara. Ia menyamakan Pak Narno dengan ayahku. Waktu itu, kakakku yang lebih tua 7 tahun di atasku mencoba melobi biaya uang gedungku waktu mendaftar. Tapi, kakakku yang di keluargaku termasuk pandai berdebat itu kalah total. Ayah mentertawakan kegagalannya. Kakak beralasan dia bukan levelnya Pak Narno, mestinya ayah sendirilah yang menghadapinya. "Dikek'i ati kok ngrogoh rempelo" (diberi hati kok masih minta ampela) kata kakak menirukan jawaban yang membuatnya skak mat. "Lha sama-sama enak kok pak" demikian saran ayah. Tapi sepertinya ayah memang tidak berharap banyak pada negosiasi itu. Seperti biasa, ia mungkin hanya sekadar melatih anaknya dalam bernegosiasi, diplomasi, menghadapi orang, atau hal-hal semacam itu.
Ketika kelas 1, dengan kepala sekolah Pak Narno, ada dua wakil kepala sekolah yaitu Bu F.M (Febe Maria?) Retno dan yang tadi sudah disebut, T. Wasana (lucu, karena dibaca Tewasono alias bunuh saja). Bu Retno adalah seorang ibu jangkung dengan kulit putih dan kacamata model kuno dan rambut model nyonya besar. Aku sempat mengajarku Seni Musik di kelas 3. Aku ingat, waktu EBTA ada tugas praktik untuk pelajaran itu. Harus membawakan lagu dengan alat musik. Yah, meski suka, tapi sampai sekarang aku memang belum dapat memainkan alat musik apapun. Jadi, alat musik yang kubawa juga standar, solmisasi alias pianika. Lagunya juga standar, Mengeningkan Cipta. Sudah berlatih cukup intensif, saat tiba giliranku tampil, bukan di hadapan teman-teman, tapi duduk di hadapan bu Retno, aku cukup lega karena Bu Retno bertingkah seolah dia menikmati permainan musikku. Dengan menutup mata, di beberapa nada ia ikut bersenandung, membuatku cukup semangat sekaligus takut salah. Aku lulus meski nilainya biasa-biasa saja. Meski demikian, Bu Retno sebenarnya cukup galak. Yang sedikit aneh adalah, meski ia lebih dulu ada sebelum Pak Wasono dan bahkan tertulis wakasek I adalah dirinya, setelah Pak Narno pensiun, yang menjadi kepala sekolah adalah Pak Wasono yang notabene wakasek II. Bu Retno sendiri tetap menjadi wakil kepala sekolah meski kalau tidak salah ia kemudian menjadi kepala sekolah juga.
Pak Wasono, tidak ada seorang pun kakak yang mengenalnya. Artinya, ia masuk ke Kanisius bersamaan dengan aku. Aku dengar ia adalah pindahan dari SMP Kanisius 2. Pak Wasono, atau biasanya kita sebut dengan Pak Tewasono (di kelas satu aku selalu menulis singkatan T itu berarti Tejo, ternyata Titus) pernah mengajarku untuk mata pelajaran PPKn. Ia tergolong sabar, hampir tidak pernah marah, meski punya kumis seperti Jusuf Kalla. Ia juga selalu mengingatkanku pada karakter bapaknya si Unyil. Namun, ketika kelas 2, Pak Narno pensiun dan Pak Wasono menggantikannya menjadi kepala sekolah. Kenapa bukan Bu Retno yang lebih 'senior' di sekolahku? Entahlah, tapi tentunya itu merupakan keputusan yayasan. Apakah ada yang beda dengan sekolahku dengan kepemimpinan dua kepsek tersebut? Mungkin ada. Yang jelas, ada beberapa guru yang pindah (atau dipindahkan?), ada juga guru-guru baru. Ah, apa itu hanya pergantian biasa saja ya? Aku tak tahu, yang jelas sekarang kualitas dan peringkat prestasi sekolahku menurun dibanding masaku. Apakah itu terjadi setelah kepemimpinan Pak Wasono atau Bu Retno? Aku belum mencari tahu.
Para wali kelas sudah. Guru galak sudah. Kepala sekolah sudah. Sekarang, aku akan membicarakan guru-guru lain. Aku akan ceritakan tentang salah satu guru yang paling aneh selama aku bersekolah. Guru ini masih muda, namanya Mulyono, mengajar agama. Tampang Pak Mul ini bisa aku deskripsikan sebagai sangat Katolik. Kulitnya langsat dan bersih, rambutnya ikal model jadul, matanya besar agak belok, tingginya sedang, tubuhnya ramping, bibirnya merah, berkumis tipis mungkin untuk menutupi giginya yang sedikit agak maju dan renggang. Kalau tidak salah, aku sering melihat model perawakan seperti dia di buku-buku diktat Agama Katolik atau buku-buku Kristen terbitan tahun 80an. Masih sulit membayangkan? Bayangkan saja… hmmm… Mardi Lestari? Mengapa aku katakan guru satu ini aneh? Sebentar, satu-satu dulu.
Pak Mul mulai masuk ketika aku duduk di kelas 2. Saat itu, aku juga mulai bergaul dan bersahabat dengan si Mul, yang ini adalah panggilan untuk Hari Mulyono, teman sekelas yang ternyata rumahnya cukup dekat dengan rumahku (pertengahan kelas 1, aku pindah rumah). Jadi, awalnya anak-anak sering mengolok-olok si Mul karena namanya sama seperti si guru. Setelah guru itu makin aneh, anak-anak makin gencar mengolok-olok nama Mul dengan pura-pura memanggil si Mul kalau Pak Mul lewat. Pak Mul sebenarnya baik, hanya saja ia seperti tidak pernah menghadapi remaja. Ia mengajar dan mengajak bicara seolah dengan orang seusianya. Ia melontarkan humor yang agak mikir, meski anak-anak mungkin mengerti letak kelucuannya, tapi humornya itu memang tidak lucu. Jadi, tidak ada murid yang tertawa saat Pak Mul capek-capek menceritakan humornya. Lalu, tahu apa yang ia lakukan? Ia tetap tertawa. Setelah ia tertawa sendiri, murid-murid pun tertawa atau lebih tepat mentertawakannya, sambil diiringi sorakan huuu…. Pak Mul tersinggung dan marah.
Yah, itulah salah satu keanehan si guru agama yang sangat kuingat. Aku tidak ingat humornya, karena aku bersumpah memang itu tidak lucu, seperti humor ala sitkom Amerika, hanya saja dibawakan dengan tidak menarik. Kejadian konflik antara Pak Mul dan murid-murid itu lama-lama makin sering terjadi. Semula murid perempuan masih menghargai dia, dan hanya murid cowok yang bandel yang mengoloknya, tapi lama-lama bahkan para cewek pun tidak menghargai Pak Mul. Pernah juga satu kali, Pak Mul mengancam walk out meninggalkan kelas dan tidak mau mengajar jika murid-murid masih bandel. Biasanya, jika seorang guru sampai walk out seperti itu, paling tidak ketua kelas atau murid teladan atau murid aktivis OSIS akan menyusulnya dan minta maaf, lalu si guru kembali lagi. Tapi, kali itu tidak ada satupun murid yang menyusul atau minta maaf pada Pak Mul yang walk out dari kelasku. Entah mengapa. Para murid bahkan seakan senang dan malah makin ramai dan bercanda-canda, meski esok harinya wali kelas memang memarahi kami.
Ketika kelas 3, seorang temanku, bernama Sinangdoyo, anak yang rupanya punya kelainan eksebisionis, satu kali melihat Pak Mul lewat di depan kelasku. Lalu, Sinang berteriak-teriak, "Mooolll…. Si Mullll!!!" Pak Mul hanya melotot dan dengan langkah jengkel bergegas menaiki tangga. Waktu kelas 3, aku memang sudah tidak diajar oleh Pak Mul lagi. Tapi, waktu kelas 3, tampaknya Pak Mul telah berubah menjadi sosok yang keras. Ia bukan lagi pemuda mudika yang sopan, agak gemulai, dan sok smart. Buktinya, aku pernah melihatnya memukuli seorang adik kelas yang memang dikenal nakal, entah aku lupa kasusnya apa, dan aku lihat ia mencuci tangan di ledeng setelah itu. Kalau dibayangkan, sekolahku memang kental dengan nuansa kekerasan. Apakah saat ini, hal itu masih terjadi? Aku kira masih, dengan generasiku kini yang giliran menjadi guru.
Puncak dari keanehan Pak Mul adalah saat ia memberi semua anak di kelasku, tanpa kecuali, nilai merah untuk pelajaran agama. Papa tidak memarahi dan hanya bergurau mengatakan pada kakak, "beri tahu, diikutkan ngaji dia (maksudnya aku) itu…" Aku pun menjelaskan bahwa semua anak di kelasku mendapat nilai merah karena balas dendam sang guru. Saat penerimaan rapor itu, aku juga melihat temanku Andi, seorang anak yang sangat pendiam dan rajin, tertegun dan sangat nelangsa melihat rapornya dihiasi angka merah. Ya, terang saja, Andi (dan aku juga) jelas tidak termasuk dalam kategori anak yang pernah membuat Pak Mul jengkel. Tapi, rupanya si guru sudah terlanjur sebal, bahkan seingatku di beberapa pertemuan terakhir pelajaran kami, ia sudah mogok mengajar kelas kami. Seingatku, Pak Mul akhirnya pindah di sekitar pertengahan tahun ajaran waktu aku kelas 3.

(masih bersambung, bos..)

Label: , , ,

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...


Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!