perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


Stasiun


stasiun
Originally uploaded by scandinavian_idiot.

Memang baru beberapa stasiun saja yang pernah kusinggahi. Itupun baru setelah aku kuliah di luar kota, sebelum itu praktis aku bahkan tak pernah menginjakkan kaki sama sekali di tempat dimana orang menanti si naga besi. Ada empat buah kota yang stasiunnya pernah kujejaki. Yang pertama tentu adalah stasiun Balapan di Solo, kedua adalah stasiun Gubeng di Surabaya, ketiga stasiun Tugu dan Lempuyangan di Jogja dan terakhir adalah stasiun Gambir di Jakarta. Memang hanya empat itu yang pernah kuinjak, namun dari setiap perjalanan ke tempat-tempat itu, ada cukup banyak stasiun yang bisa kulihat dari balik jendela kereta api.

Aku tidak akan membahas secara spesifik stasiun-stasiun tersebut, aku lebih tertarik melihat stasiun dari kejauhan, dimana aku bisa melihat posturnya secara utuh. Apa yang kau akan lakukan di stasiun? Apakah kau akan berusaha menghabiskan waktu sesingkat mungkin disana dengan datang hanya beberapa detik sebelum kereta berangkat? Aku tidak demikian, aku bukan termasuk yang suka bertaruh menantang waktu dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi di jalan ketika berangkat dari rumah menuju ke suatu tempat. Biasanya paling tidak aku akan datang 10 menit sebelum jadwal berangkat kereta yang tercantum di tiket. Ya, aku pun memang tak mau bertaruh dengan membeli tiket pada hari H sebelum berangkat.

Sebagaimana perhentian-perhentian kendaraan lainnya, stasiun juga selalu hitam. Penuh dengan bekas asap, dengan lantai berlapis campuran debu dan minyak, aromanya bercampur antara asap capek mesin-mesin kereta, bau kelelahan dari para penumpang yang turun, bau semangat dari para penumpang yang sedang menunggu untuk berangkat, namun tak jarang para penumpang yang sedang menunggu pun telah membawa aroma lelahnya. Dan stasiun juga bukan hanya milik para pengguna layanan kereta saja, stasiun juga adalah milik para pedagang asongan, milik para petugas yang tergabung dalam perusahaan jawatan kereta api, milik para pengangkut barang, milik para penjaga kios-kios, milik para preman dan pencopet, milik para penjemput, para sopir taksi, becak, ojek, dan beberapa pemain lainnya.

Aku sering membayangkan bahwa stasiun sebagai sebuah bangunan yang sangat ramai, dimana keramaian itu sebenarnya hanya bertumpu pada beberapa buah mesin-mesin pengangkut besar. Jika kereta diibaratkan sebagai seekor ular besar, maka stasiun mungkin adalah sebuah sarang atau wilayah dimana ia berburu, sementara manusia-manusia yang ada disana bisa berperan sebagai mangsa maupun anak-anak ular yang menanti induknya.

Aku tak tahu kenapa stasiun juga selalu tak memiliki cukup banyak bangku atau tempat yang bisa dipakai untuk duduk, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan bandara atau bahkan terminal bus. Dan di antara semuanya itu adalah ruang tunggu kelas eksekutif. Aku memang baru dua kali naik kelas eksekutif. Setiap kali aku lebih memilih naik kelas bisnis karena beberapa keunggulannya. Karena hanya mengantongi kelas bisnis itulah, aku selalu hanya bisa melirik dari luar pintu ruang tunggu eksekutif. Ruang itu memang kelihatan lebih lapang, dengan banyak kursi selain juga tampak lebih segar namun sepertinya udara di situpun masih tetap telah bercampur aroma minyak dan asap mesin (atau mungkin juga itu karena pengaruh nuansa gordyn hijaunya). Saat berkesempatan mengantongi tiket eksekutif, aku juga lebih memilih menunggu di luar, bukan karena apa-apa hanya karena aku selalu khawatir akan ketinggalan kereta jika aku tidak benar-benar memperoleh pemandangan seluas-luasnya ke arah rel jalur perhentian.

Stasiun, seperti telah kusebutkan di atas, juga adalah lahan kerja bagi cukup banyak orang. Ada penjual asongan yang menjual barang-barang umum macam rokok, korek, air minum, kue kecil, permen, tissue, buku TTS dan koran. Ada pula penjual oleh-oleh yang biasanya berupa makanan khas daerah itu, jika punya. Di Solo dan Jogja misalnya berupa bakpia patuk atau intip, di Madiun dan sekitarnya kau bisa temukan penjual pecel, di Surabaya ada penjual snack-snack daerah seperti usus emping dsb, sayang aku tak sempat melihat apa yang ada di Jakarta. Beberapa tahun belakangan, aku juga melihat ada yang baru yaitu penjual kopi atau minuman instan lain yang sudah jadi. Jadi penjualnya hanya cukup membawa termos berisi air panas, satu renteng minuman instant bungkusan, dan beberapa gelas plastik. Kau minta, ia pun membuka satu bungkus, dituang air panas, jadi sudah. Benar-benar instant, tapi aku belum pernah mencoba rasanya. Setiap stasiun, atau paling tidak stasiun utama di sebuah kota juga selalu memiliki sebuah stan penjualan donat. Entah sejak kapan hal ini berlangsung. Stan penjualan donat yang penyajian atau namanya selalu dibuat semirip mungkin dengan restoran franchise internasional Dunkin Donuts itu nampaknya juga telah menjadi sebuah jaringan franchise lokal. Stan ini jugalah yang menjadi salah satu favoritku. Maka jika uang mencukupi akupun selalu tak lupa membeli 3-4 donat yang rasanya memang tak beda dengan yang bisa dibeli di Dunkin itu, untuk dimakan di tempat atau di jalan, tak peduli pula apakah aku dalam posisi hendak berangkat atau sudah pulang.

Sebuah stasiun yang bagus untukku adalah stasiun yang dimana aku bisa duduk di mana saja, bahkan tidur di situ tanpa merasa aneh, asing, atau khawatir. Dari beberapa saja stasiun yang pernah kudatangi atau lewati, Gubeng mungkin yang bagus disusul Tugu, sedang yang paling jelek adalah Gambir. Stasiun ibukota itu memang yang paling tidak nyaman bagiku; ramai, terburu-buru dengan banyak tatapan mata menakutkan bertebaran di sekitar. Apakah itu mungkin juga karena kota itu sendiri adalah yang paling asing bagiku dibanding yang lain, bisa jadi itupun mempengaruhi.

Sudah lumayan lama, berbulan-bulan aku tidak pernah mengunjungi stasiun lagi. Aku jadi ingat dengan julukan yang kami, para calon sarjana waktu itu, berikan pada stasiun: sebuah titik untuk orang-orang pergi, atau rumah bagi orang-orang pergi. Setahun lebih ini aku bukan lagi orang pergi, bahkan untuk sekedar berwisata. Meski demikian aku tetap selalu ingin kembali, masih dalam rangka mencari-cari di mana sebenarnya rumahku.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Warnet


warnet
Originally uploaded by scandinavian_idiot.

Inilah salah satu tempat yang kini cukup rajin kukunjungi. Tahun berapa warnet mulai bermunculan di kota atau negeri ini? Jika menurut awal mula datangnya pengenalan masyarakat Indonesia akan internet barangkali bisa disebut sekitar tahun 1996-1998. Yang jelas tahun 1998 aku sudah mulai mendengar banyak orang membicarakan tentang internet, chatting dan bagaimana kita bisa mendapatkan akses luas kepada gambar porno lewat teknologi itu.

Kunjungan pertamaku ke sebuah warnet atau warung internet (istilah yang nampaknya dipakai sebagai kelanjutan dari istilah warung telkom/telekomunikasi/telepon alias wartel) terjadi pada sekitar tahun 1998. Bersama Marten, seorang teman yang tiba-tiba sering mengajakku pergi, walau ternyata itu ia lakukan hanya karena ia sedang tidak punya akses kepada sepeda motor. Kunjungan itu terjadi di warnet Aloha yang masih buka sampai sekarang. Situasi ruangan warnet sama sekali tak menarik bagiku waktu itu. Bagaimana tidak? Ruangan warnet itu hanya berisikan komputer-komputer dan benda itupun adalah benda yang terbilang masih sangat asing dengan diriku saat itu. Akupun praktis hanya melihat Marten melakukan aktivitasnya. Memang ia sempat berusaha mengajari namun tanpa memberiku kesempatan memegang mouse atau keyboard, jadi aku memang sama sekali tidak memahami apa yang ia ketik dan kenapa ia mengetikkan huruf-huruf itu, dsb. Atau mungkin Marten pun tidak dapat menjelaskannya karena ia hanya mengetahui bahwa itu adalah prosedur, aku juga tak tahu. Aku sendiri masih ingat bahwa yang teman sekolah dan juga tetanggaku itu lakukan adalah mengecek email (kalau tidak salah memakai domain astaga.com), sempat juga ia membuka mirc dan chatting dengan nickname chinesemale (walau masih buta internet tapi waktu itu aku sudah menganggap nama itu norak). Selanjutnya aku tak begitu ingat, tapi sepertinya ia menghabiskan sekitar 1-1,5 jam tenggelam dalam dunia maya sementara aku hanya duduk di belakang punggungnya menunggu, mencoba untuk memahami teknologi baru itu. Setelah itu kami pulang, Marten ternyata tidak membawa uang cukup untuk membayar ongkos sewa jadi ia pun meminjam uangku sekitar 5 ribu rupiah tanpa pernah mengembalikannya lagi. Memang aku masih cukup bodoh waktu itu sehingga pengalaman pertamaku ke warnet pun jadi kurang begitu indah.

Lupakan kelakuan Marten dan kebodohanku tadi, kunjungan-kunjunganku ke warnet pada waktu-waktu berikutnya relatif lebih baik karena aku biasanya ditemani temanku yang memang benar-benar seorang teman dan akrab. Dari temanku, si Yofran yang kini bermukim di Belanda itu, akupun semakin mengenal sampai akhirnya bisa melakukan kegiatan yang berhubungan dengan internet sendirian. Kini bisa dibilang aku tak akan tahan bila katakanlah seminggu tidak pergi ke warnet atau mengakses internet sama sekali.

Aku tak akan bisa menghitung sudah berapa juta aku habiskan untuk membayar sewa warnet sampai sekarang, aku juga tak akan mampu memperkirakan atau menilai berapa banyak pengetahuan yang telah kudapatkan dari jutaan rupiah yang telah dikeluarkan itu. Apakah jumlah itu sebanding dengan penambahan pengetahuan dan keterampilan yang kudapat, aku tak begitu tertarik membayangkannya karena akan sangat mengerikan jika semua bisa diukur dengan uang. Warnet bagiku memang adalah layaknya satu lorong ke sebuah dunia imaji; dunia maya. Tapi lain kali saja aku bicara lebih banyak soal ini agar tidak melebar ke topik lain di luar warnet.

Menghitung berapa banyak warnet yang pernah kukunjungi adalah sama sulitnya dengan menghitung berapa banyak dana yang telah kukeluarkan untuk membayar sewanya tadi. Namun demikian, sebagaimana manusia modern tidak lagi suka hidup nomaden, aku selalu memiliki warnet langganan di tiap tempat yang aku tinggali. Ketika di Surabaya misalnya, di kota itu aku sempat tinggal di 3 tempat berbeda. Ketika masih di wilayah Rungkut awalnya aku memilih warnet kecil dan lambat yang bercampur dengan rumah tinggal yang letaknya hanya di gang sebelah rumah yang kutinggali waktu itu. Setelah warnet itu tutup, aku sempat pindah ke warnet yang lebih jauh (sekitar 400meter dari rumah), atau tepatnya di kampung sebelah. Warnet yang juga campur rumah tinggal itu lebih profesional dari yang pertama tadi, selain warnet ia juga membuka wartel, koneksi juga lebih cepat meski harga sewanya lebih mahal. Kekurangan lain hanya privasinya karena warnet yang baru ini monitornya menghadap ke luar, namun aku cukup senang karena di situ aku bisa mendengarkan musik lewat headset selain ada file-file MP3nya. Tak berapa lama warnet itu mulai sering tutup ketika jam-jam strategis dan setelah itu ternyata ia tutup selamanya, beberapa bulan menjelang aku pindah untuk kost.

Di kost pertama di wilayah Kutisari, aku sempat sering ke warnet di daerah Jemursari, dekat supermarket Sinar bernama Magnet. Warnet itu cukup mahal, privasi juga kurang, namun akses dan fasilitasnya lengkap. Tak hanya internet, disitu aku juga bisa mendengarkan musik, menonton film-film dan main game. Awalnya aku sangat senang dengan fasilitas musiknya, setelah itu aku juga sempat kecanduan memainkan game sepakbola EA Sport yang membuatku rata-rata membayar biaya sewa 20 ribu lebih setiap kali main 2 hari sekali. Akupun sempat menonton beberapa film disana, meski kadang banyak mengklik tombol fastforward dan kadang juga hanya mencari adegan bugilnya dulu. Di warnet itu, Muhaimin juga sering ngenet di warnet yang disponsori Lipton Ice Tea itu, bahkan dialah yang mula-mula memberitahuku, ada warnet yang koneksinya sangat cepat di dekat rumahnya. Mungkin karena begitu nyamannya warnet itu, aku juga sering melihat seorang bapak (om om tepatnya) sering sekali datang kesana, sambil membawa camilan-camilan untuk menemani kegiatannya (entah apa yang ia lakukan disana). Namun setelah sempat beberapa waktu absen, suatu hari ketika aku hendak main ke warnet itu, tiba-tiba bangunan itu sudah berganti pemilik, menjadi kantor sebuah institusi perdagangan atau sejenisnya. Ia lenyap tak berbekas.

Ya, aku memang sempat mengurangi pergi ke Magnet yang memang sering begitu kuat menarikku untuk berlama-lama duduk lengket di kursi bak besi dan magnet itu tadi karena biaya sewanya yang lumayan mahal. Akupun sempat beralih ke warnet di jalan Siwalankerto (lagi-lagi aku lupa namanya, kalau tidak salah Indonet), jika harga sewa Magnet lima ribu rupiah, maka warnet yang ini hanya tiga ribu perjam. Privasi tidak banyak beda kecuali jika bisa mendapat tempat duduk paling belakang. Di situ, aku sempat menghabiskan waktu semalaman, ngenet sampai subuh. Bahkan di malam pertama aku pindah ke rumah kos Hasibuan di Siwalankerto Timur, karena tiba-tiba aku tak bisa tidur dan berpikir aneh-aneh akibat suasana sunyi dan remang-remangnya suasana kamarku, akupun memutuskan untuk pergi menghabiskan semalaman di warnet itu.

Di warnet yang sama, aku juga sempat menyaksikan satu pemandangan lucu. Ceritanya begini, seperti di warnet-warnet lain, di situ juga ada pengunjung-pengunjung yang hampir selalu kutemui setiap datang di situ, nah salah satunya adalah seorang pria yang usianya mungkin sekitar 27-an tahun. Pria itu badannya besar, pakaian selalu tidak rapi, kulit agak gosong, dengan wajah tidak pernah segar, pipinya banyak bekas lobang jerawat dipadu dengan mata yang sipit. Suatu malam, seperti biasa aku melihat dia yang nampaknya sudah akrab dengan penjaga warnet itu bercakap-cakap keras, dari komentar-komentar dan dari monitornya yang sempat kuintip, aku tahu bahwa ternyata dia sedang mendownload film porno dari internet. Beberapa saat setelah itu, tiba-tiba seorang wanita yang ternyata kekasihnya datang. Si pria yang tidak menyadari kehadiran gadisnya itu langsung tergagap dan tidak bisa berkata apa-apa ketika si wanita menerobos masuk dan melihat monitor yang ia hadapi sedang menampilkan film porno. “Nonton apa kamu?” katanya dengan nada tajam. “Ng..nggak.. cuma ini aja kok” pria itu tergagap, “Nonton apa kamu!!” nada si wanita lebih keras dan tajam, sedetik kemudian, wanita yang usianya juga sekitar 26-an tahun itu segera lari pergi keluar. Si pria langsung bingung, sempat meraih tangan gadisnya namun segera dikibaskan dan terlepas. Si pria segera mengejar keluar, namun beberapa waktu kemudian dia kembali lagi dengan raut bingung, rupanya ia ingat harus membayar, setelah membayar ia segera pergi lagi meninggalkan penjaga warnet yang juga agak bingung. Aku hanya geli melihat pemandangan itu, mungkin si pria itu selalu bersandiwara di hadapan gadisnya yang rupanya gadis alim itu. Entah apa mungkin film porno bisa mempengaruhi kelanjutan hubungan mereka, tentu aku tak tahu.

Warnet di Siwalankerto yang buka 24 jam itu juga tutup beberapa waktu kemudian. Aku terpaksa harus pindah lagi, aku sempat mencoba Kimbos yang favorit anak-anak Petra (terutama yang wanita) tapi bagiku pelayanan dan aksesnya sangat buruk, juga sempat di wilayah Siwalankerto Tengah, langganan bapak Stephanus yang juga tutup setelah itu. Lalu atas info dari Oni sempat berlangganan di warnet 24 jam lainnya di wilayah Kebun Bibit, warnet itu agak kotor namun lumayan murah dan aksesnya lumayan. Tapi lama-lama aku agak malas kesana karena jarak yang lumayan jauh. Karena itu, setelah mensurvey di wilayah dekat-dekat kost, aku pun menemui yang lumayan bagus di Siwalankerto Permai. Ada 2 buah, jarak keduanya hanya sekitar 100 meter. Yang agak di depan adalah yang mula-mula ketemukan dan kujadikan langganan. Yang pertama ini cukup bersih, akses lumayan cepat, namun lambat laun seperti yang banyak terjadi di warnet-warnet lain. Akses disitu sering lambat, belum lagi listrik sering tiba-tiba mati, sering tidak kebagian tempat, dan komputer sering hang. Aku menemukan yang baru lagi, letaknya agak ke dalam perumahan bernama Marvel-net. Ternyata warnet itu dikelola oleh beberapa kakak kelasku waktu SMU, meski aku tak mengenal mereka. Sampai sebelum aku pindah kembali ke Solo, warnet itu masih jadi favoritku karena bersih (alas kaki bahkan harus dilepas di luar), akses cepat (aku bahkan bisa mendownload video klip disitu), ada headset dan music playlist, dan jarang penuh.

Beberapa warnet di Surabaya lain yang lebih dari lima kali kukunjungi ada di Mulyosari, cukup murah, buka 24 jam dan akses tak begitu lelet. Terakhir, ada satu warnet yang baru satu kali kukunjungi namun langsung membuatku jatuh cinta dan bahkan mungkin adalah warnet terbaik yang pernah kukunjungi selama ini. Berlokasi di Nginden, aku menghabiskan semalam di sana, dengan Djohan, lebih banyak bukan untuk mengakses internet namun untuk mendownload lagu-lagu yang selama ini susah dicari dengan software bernama limewire. Warnet yang sangat nyaman, dengan kursi empuk, peralatan baru, monitor slim, penjaga enak dilihat inilah yang pasti akan menjadi agendaku setiap datang ke Surabaya, entah kapan, semoga warnet dan fasilitasnya itu berumur panjang.

Cukuplah untuk Surabaya, bagaimana dengan warnet di Solo? Meski ini adalah tempat dimana aku mula-mula mengenal internet dan kota yang kutinggali saat ini, aku rasa warnet yang sering kukunjungi disini tidak sebanyak yang kukunjungi di Surabaya. Aku telah menyebut Aloha sebagai warnet pertama yang kukunjungi. Warnet kedua barangkali adalah warnet Valentine. Hanya sekitar 4-5 kali saja aku berkunjung di sana, karena sesudah itu warnet tersebut beralih menjadi sebuah persewaan VCD (ketika VCD sedang booming) dan kemudian menjadi sebuah rumah makan yang sekarang nampaknya juga telah tutup. Selanjutnya adalah Mesen net, masih buka hingga saat ini. Ketika masih SMU, aku merasa warnet itu adalah warnet yang bersih, dan murah (hanya 2500 perjam) tapi hanya beberapa kali saja aku kesana karena akses sering lambat bahkan terputus, meski aku hanya memakainya untuk chat di mirc dan buka email di yahoo.

Lalu setelah aku mulai sangat akrab dengan internet, aku sempat mencoba beberapa warnet lagi. Ada warnet di wilayah Kandang Sapi yang campur dengan rumah/salon milik keluarga temanku waktu SD, cukup murah untuk ukuran Solo (sewa warnet di kota ini termasuk mahal) , akses lumayan tapi kondisi kotor, ACnya tidak jelas hidup atau tidak, komputernya juga belum ada yang XP, sering membuat disket terkena virus dan, ini yang aneh, ada filternya. Bahkan membuka situs imdb.com pun tidak bisa. Tentu warnet macam itu dengan cepat membuatku jengah, apalagi kebanyakan pengunjung warnet yang ruangannya berukuran sekitar 5 x 4 meter itu juga kebanyakan hanya main games saja. Akupun kembali ke Solonet yang terletak di Kepatihan, dan cabang di ujung jalan Slamet Riyadi. Warnet ini sebenarnya sudah cukup lama kukenal punya pelayanan baik namun harganya masih aku rasakan kurang murah. Tapi lama kelamaan akupun tidak punya pilihan. Solonet sendiri memiliki program pemberian voucher 5 jam gratis memakai internet bagi mereka yang mampu mengumpulkan bon-bon pembayaran dengan nama sama dan membuktikan bahwa user pernah ngenet disana selama 25 jam (biaya sewa Rp.112.500) dalam waktu maksimal 6 bulan terakhir. Sudah berkali-kali aku menukarkan dan mendapat voucher gratis tersebut, bahkan aku tidak perlu menunggu 6 bulan, karena biasanya cukup 2-2,5 bulan saja aku sudah bisa mengumpulkan bon berjumlah total 112.500 rupiah itu. Privasi di Solonet juga bagus, atau setidaknya cukup karena tiap komputer dibatasi oleh 3,5 sekat seperti kamar mandi di desa yang tanpa pintu. Solonet di Kepatihan dalam hal kecepatan akses juga lebih bagus daripada cabangnya yang ada di Slamet Riyadi (meski yang di Slamet Riyadi memberikan kopi gratis kepada pengunjung setiap sorenya). Ketika masih menganggur, warnet Solonet, baik yang di Kepatihan maupun di Slamet Riyadi (warnet teman SDku tadi juga) sempat menjadi tempat dimana aku melampiaskan kerinduanku akan nikotin. Jika di Kepatihan pengunjung boleh merokok di atas jam 18.00, yang di Slamet Riyadi tersedia smoking area. Itulah harga yang harus kubayar dari kepura-puraan. Namun kini aku sudah tak mungkin melakukannya karena sudah makin sering aku berjumpa teman kantor dan kenalan lain di Solonet, ditambah lagi aku sudah bisa dikatakan semakin jarang punya keinginan merokok lagi selain sebagai sarana sosialisasi.

Solonet mungkin masih lumayan bagus, namun karena kebutuhan. Aku mulai sering beralih ke cabang warnet Yahoo yang masih baru dibangun di wilayah jalan Gajah Mada. Flash back sedikit, warnet Yahoo yang pusat ada di wilayah Kalitan, lumayan jauh dari rumahku. Dulu sempat sering kukunjungi, namun akibat koneksi sering tiba-tiba putus di tengah jalan, aku berhenti dan beralih ke Solonet tadi. Kini Yahoo yang baru itu, meski mahal (6000 per jam) namun sebanding dengan kecepatan aksesnya, apalagi jika semakin larut malam. Akupun sering menggunakan jam-jam itu untuk mendownload musik-musik, kalau sedang baik hati juga mengupload beberapa untuk dishare ke multiply. Paling tidak sudah ada seratus lebih lagu yang pernah kudownload dari internet, dimana semuanya itu mungkin berawal ketika menjelang Natal 2005 lalu (saat itu aku ingin mencari lagu Happy Christmas dari John Lennon). Privasi di Yahoo juga bagus, di belakang kita hanya ada tembok dan di samping ada sekat, komputernya juga lumayan baru-baru. Warnet yang banyak dikunjungi bule-bule yang nampaknya menginap di Novotel itu kadang memang mengecewakan. Komputer kadang hang, justru saat hasil download sudah banyak dan belum sempat kupindah di flash disk. Pernah juga listrik mati sebentar, dan penjaganya juga agak menyebalkan, kurang berempati dan agak kurang profesional. Terbukti ketika satu waktu ada kejadian dimana listrik tiba-tiba mati sebentar (istilah Jawanya njeglek alias anjlok akibat daya melebihi kapasitas), wajar jika seorang customer, seorang gadis yang sepertinya belum tahu kebiasaan disitu, marah dan menanyakan apa data yang ia simpan bisa diselamatkan. Nampaknya si penjaga kembali menjawab dengan kurang menunjukkan rasa empati, jawabannya tentu adalah data yang disimpan sudah hilang semua. Aku sendiri pernah mengalaminya (ketika itu komputernya hang), bahkan beberapa dataku juga hilang waktu itu (untungnya masih sedikit) dan akupun bisa membayangkan bagaimana perasaan si customer; lemas, jengkel, betapa sia-sia harga dan waktu yang telah dikeluarkan. Aku memang tidak pernah marah-marah dengan si penjaga, namun si gadis itu tampaknya begitu kesal, apalagi mengingat ia tetap harus membayar. Jadi, ketika si penjaga masih berusaha menjelaskan apa yang terjadi dengan listrik di tempat itu, gadis itu segera membanting uang pembayaran dan meninggalkan meja kasir untuk keluar dengan wajah sangat kesal. Mas penjaga itupun masih merasa harus membela harga dirinya dengan terus membicarakan kelakuan gadis tadi dengan teman-temannya yang baru datang, dan bahwa ia sudah berusaha menjelaskan duduk persoalannya namun gadis itu membalasnya dengan kelakuan tidak sopan. Jika dibandingkan di Surabaya, aku pernah dengar dari Djohan bahwa kejadian serupa (listrik anjlok dan data hilang) itu juga pernah menimpa warnet yang ada Limewirenya itu tadi, dan kebijakan dari si pemilik (yang kebetulan sedang menjaga) adalah menggantinya dengan menggratiskan biaya akses Djohan dan mempersilakan ia memulai dari harga nol lagi. Tentu aku tak bisa mengharapkan semua warnet melakukan hal serupa (meski sangat bagus jika bisa), namun penjaga warnet Yahoo sepertinya harus belajar dari para penjaga di Solonet yang semuanya ramah dan ringan tangan mau membantu. Atau mungkin mas penjaga Yahoo tadi tidak tahu bahwa orang kesitu bukan hanya browsing tapi juga banyak yang download?

Benar, jika membicarakan masalah pelayanan, Solonet barangkali termasuk yang baik. Meski penjaga di situ tentu bukanlah pemilik warnet tersebut, namun mereka tidak seperti penjaga upahan yang tugasnya cuma sekedar memberikan bon, menerima uang atau merestart komputer jika hang (yang sedikit kurang ramah mungkin adalah satu penjaga yang juga kakak kelasku waktu SD). Saat akses lambat, kadang pengunjung di Solonet juga mengeluhkannya pada si penjaga. Aku rasa akses lambat tidak selalu dapat diatasi, namun toh penjaga di situ tetap mau bangkit dari tempat duduknya, berjalan mengecek, membandingkannya dengan pengguna lain, pokoknya berusaha menunjukkan bahwa keluhan customer ditanggapi dengan serius. Mimik muka yang menunjukkan rasa simpati juga ditampakkan para penjaga jika ada pengunjung mengeluh aksesnya lambat, komputernya hang, datanya hilang, dsb. Sebaliknya mereka juga berusaha ramah dengan menyapa atau paling tidak tersenyum dengan pengunjung, termasuk dengan pelanggan yang sudah sering datang tapi tidak banyak bicara seperti aku.

Di luar beberapa warnet yang telah aku sebut di atas, ada lagi satu warnet di Solo yang beberapa kali kukunjungi hanya karena penasaran melihat salah satu berita tentangnya di koran. Warnet itu bernama Masxun net letaknya di wilayah Tipes, lumayan jauh dari rumahku. Pertama kali aku mendengar nama warnet itu adalah di sebuah feature di Jawapos. Warnet Masxun yang berada satu halaman dengan sebuah kafe anak muda yang sempat menjadi lokasi acara Katakan Cinta di RCTI itu masuk Jawapos karena warnet tersebut pernah menjadi langganannya Imam Samudera. Aku tak tahu alasan kunyuk berjenggot itu memilih warnet tersebut dalam mengkoordinasi rencana-rencana biadabnya, yang jelas wilayah Tipes memang termasuk daerah Solo Utara yang relatif dekat dengan wilayah Ngruki, perkampungan Arab dan wilayah orang-orang aneh sejenisnya. Nama Masxun sendiri kurang jelas artinya, apa mungkin itu nama arab ataukah nama pemiliknya mas Kuncoro, aku belum dapat jawabannya. Warnet itu sebenarnya tergolong biasa saja, akses lumayan namun juga tidak cepat, komputer agak lama-lama, tapi ada lumayan banyak dan privasi bagus. Mungkin privasi itu yang dibutuhkan si bangsat dan teman-temannya itu, mengingat kata Jawapos ketika ngenet dia selalu membawa laptop sendiri.

Aku banyak mendengar bahwa warnet di Jogja aksesnya cepat-cepat dan murah, bahwa itu disebabkan karena kekreatifan mereka dan bahwa kecepatan akses itu juga ditentukan oleh peraturan daerah. Ketika ke Jogja untuk melihat acara musik di UPN beberapa waktu lalu, untuk pertama kalinya aku coba mampir ke sebuah warnet untuk mengecek jadwal acara yang benar. Apes bener, warnet pertama yang kukunjungi yang kupilih karena nampaknya sedang sepi, ternyata ia memang sepi karena tidak laku. Membuka sebuah situs saja telah membuatku tidak betah. Setelah sekitar 5 menit aku tunggu tidak ada tanda-tanda ada halaman web yang tampak di monitor, akupun memutuskan pergi saja. Untunglah si penjaga (atau si pemilik?), seorang ibu-ibu berjilbab mengetahui bahwa aku sama sekali belum tersambung kemana-mana, biayapun digratiskan. Aku pindah di wilayah sekitar Gejayan dan menemukan sebuah warnet yang kotor namun ternyata aksesnya lumayan cepat, dan murah. Ada juga file-file MP3 yang membuatku ingin mengambilnya, namun aku urung, khawatir jika kondisi warnet yang kotor tersebut membuat hard disk nya juga banyak virus. Agak tidak nyambung bukan? Tapi itulah yang kupikirkan waktu itu dan bahkan setiap kali melihat komputer model lama seperti yang ada di rental-rental. Tua dan kotor sama dengan banyak virus. Warnet Jogja ketiga aku kunjungi awal bulan lalu, lumayan bersih namun tidak begitu cepat aksesnya, harganya biasa saja. Waktu itu sempat dengar juga dari Astrid bahwa ada warnet di Jogja yang bisa download (atau upload?) 1 GB (atau 1 MB?) hanya dalam satu menit! Sungguh sampai kini aku masih agak susah mempercayainya meski ngapain juga dia bohong. Sayang aku belum sempat berkunjung ke warnet tersebut waktu itu, mungkin lain kali kalau ke Jogja lagi aku pasti akan mengagendakan ke sana.

Kecepatan akses, privasi, pelayanan dan keramahan, kondisi komputer, kebersihan lokasi, harga, jumlah komputer sudah banyak kubahas. Dan terakhir ada satu lagi yang sangat menggodaku namun juga selalu dengan mudah bisa kutangkis godaannya itu. Itu adalah makanan dan minuman yang dijual di warnet. Walau bisa berjam-jam bahkan hampir seharian duduk di depan komputer warnet, aku terbilang cukup jarang membeli minuman atau makanan di warnet, meski juga selalu ingin. Biasanya aku cenderung baru akan membeli jika bersama teman. Paling tidak minuman. Di warnet Kebun Bibit barangkali yang paling sering, disana selain minuman (fruit tea atau teh botol) aku juga sering beli rokok yang juga dijual eceran. Atau mungkin demikianlah hubungannya, aku memang tak akan tahan jika merokok tanpa diselingi minum. Roti-roti basah yang dijual di warnet, bagaimanapun biasanya memang enak-enak, tapi tak begitu murah. Roti-roti isi pisang, coklat, nanas dsb. itu biasanya baru akan kubeli saat perut memang sudah tak bisa kompromi lagi, dan jika sudah beli roti pastilah beli minuman juga. Hanya sudah semakin jarang, apalagi di Solo ini aku makan dan minum sambil ngenet. Rasanya sayang karena harga satu buah roti bisa dipakai untuk akses setengah sampai satu jam.

Demikianlah panjang lebar soal warnet yang pernah kukunjungi. Heran juga kenapa aku bisa menulis sepanjang ini soal warnet, bahkan sebenarnya aku rasa semua ini masih belum cukup untuk menuangkan semua yang kupikirkan tentang warnet. Boleh jadi ini juga ada hubungannya dengan pengaruh warnet (internet), yakni komunikasi ku yang semakin hari semakin menjadi non-verbal. Kenapa aku malah merasa ini akan agak menakutkan jika benar?

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

putar balik sebuah awal perjalanan

Selamat datang, perhatian.. perjalanan kita akan segera dimulai. Kencangkan sabuk pengaman Anda, ah jangan.. buang saja pengikat itu, toh dia juga tidak akan membuat pinggangmu langsing, justru sebaliknya; lemak akan tertimbun di pinggang dan perutmu. Kita tak akan hanya duduk di tempat mengamati saja. Kita akan sering-sering turun sebelum kursi itu menjadi panas, sang sopir pun tidak akan banyak menginjak pedal gas, karena kita hanya akan meluncur, seringkali mengerem, tak jarang malah berhenti sama sekali. Untuk istirahat, untuk mengobrol, untuk menghirup aroma sekitar, sangat baik jika dapat berkenalan dengan orang-orang baru. Kalaupun tidak, setiap perhentian juga sangat tepat untuk dipakai menulis. Jadi, segeralah turun jika kau memang sedang terburu-buru. Untuk yang lain aku ucapkan selamat bergabung, kita akan berangkat…

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

manusia, memberi dan rasa bersalah

Sepengenalan saya, saya bukanlah seorang yang mudah terbawa perasaan (bukan berarti tidak punya perasaan) terlebih lagi perasaan empati pada orang yang tak dikenal. Namun perasaan itu tiba-tiba saja bisa muncul sedemikian besarnya pada warga pengungsi korban gempa kali ini, dan membawa saya mengikuti arusnya. Ketika datang kesana, apa yang saya lihat langsung di lapangan sebenarnya tidaklah berbeda dengan apa yang bisa kita lihat di televisi; bangunan yang runtuh, tenda-tenda yang dibangun di lapangan-lapangan dsb, tapi ada yang berbeda dan inilah yang paling penting dari sekedar reruntuhan bangunan yaitu MANUSIA! Manusia yang ditampilkan di televisi selalu berbeda dengan ketika kita menemui mereka langsung. Faktor manusia ini tentu saja bukan hal baru bagi Anda, tentunya para relawan, donatur, atau semua orang yang telah mengetahui apa yang sedang terjadi di Jogja dan sekitarnya juga bertindak atas dasar faktor yang satu ini. Dan melalui sikap mereka itulah, sedikit banyak kita kemudian bisa membaca bagaimana pendekatan dan pemahaman mereka akan manusia. Memang setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda.

Beberapa orang berpikir perhatian adalah kebutuhan manusia yang paling pokok. Kesedihan akibat kehilangan sesuatu yang berharga (misalnya sanak keluarga atau harta benda) barangkali bisa disembuhkan dengan mengatakan pada mereka bahwa kita turut berbela sungkawa dan menaruh perhatian pada mereka. Ini memang bukan hal yang salah, yang menentukan adalah bagaimana perwujudan dan bagaimana konteksnya. Bagi segolongan orang, mereka mungkin masih sulit membayangkan rasanya mengalami kehilangan dalam waktu kurang dari 1 menit, dalam waktu sesingkat itupun kondisi mereka dipaksa berubah : tidak punya rumah, makanan, pakaian, pekerjaan, hidup dalam kondisi gelap, kotor, malu, tanpa rasa aman, jaminan, sementara di saat bersamaan kondisi kesehatan (ia dan keluarganya) mulai menurun, hanya beberapa waktu setelah ia mendapati orang yang disayangi telah tiada, semua terakumulasi menjadi satu. Bisa mencakup semuanya, bisa juga paling tidak sebagian besar dari kondisi itu. Kenyataannya memang masih ada sebagian orang yang bersimpati namun masih belum menyadari konteks yang sedang berlaku. Akibatnya, muncullah apa yang disebut sebagai turis-turis bencana. Mulai dari yang mengendarai mobil bersama keluarga, naik motor beriringan, bahkan menyewa bus pariwisata ber AC, mereka datang ‘memberi perhatian’ pada para pria, wanita, lansia, anak-anak yang harus berjejal-jejal di bawah terpal yang tidak begitu luas, yang lapar, mulai sakit, takut dan khawatir akan munculnya hujan deras yang masih sangat sering turun di malam hari yang mencekam karena penerangan belum ada, akan datangnya pencuri yang akan mengambil sisa-sisa milik mereka, akan anak-anak yang tidak punya baju, makanan dan tubuhnya melemah, mereka juga takut dengan gempa susulan yang masih setiap hari mereka rasakan, takut akan begitu banyak hal mengenai kemungkinan yang sangat mungkin terjadi di saat kesedihan masih membayang akibat meninggalnya saudara, suami/istri, anak, orang tua, sahabat mereka. Di suatu saat ada bis atau mobil lewat, kecepatannya melambat namun penumpang di dalamnya hanya membuka kaca dengan sebuah tatapan pada mereka, beberapa juga menunjuk-nunjuk reruntuhan rumah mereka. Dan setelah itu, berlalu. Di lain waktu, mobil-mobil atau kendaraan itu berhenti. Para penumpangnya turun (apakah ada yang mengeluh mual atau tentang AC mobil yang tidak bekerja baik?). Sebuah bungkusan atau sebuah kardus, entah apa isinya, mereka bawa dan segera saja mereka mencari ketua RT setempat. Beberapa yang lain sibuk memotret atau mengabadikan lewat handycam, terutama ketika bungkusan itu diserahkan kepala rombongan kepada ketua RT setempat. Sementara para bayi yang terbaring kedinginan di tanah itu diambil gambarnya. Untuk koleksi pribadi, untuk latihan menjadi fotografer atau untuk ditunjukkan kepada teman-temannya guna mengatakan bahwa ia sudah pernah pergi ke lokasi bencana. Sudahkah kalian melihat mereka? Belum pernah, aku sibuk, tak sempat datang, tapi kantorku/gerejaku/kampusku/partaiku sudah menyumbang 1 dus mie instant, yah jangan dilihat nilainya lah (lihatlah bahwa itu membuktikan kalau aku bukan orang atau golongan yang tidak memiliki rasa kemanusiaan). Lainnya menimpali: Aku sudah menghadiri sebuah konser amal yang hasil penjualan tiketnya akan disumbangkan kepada korban bencana, asik nih foto-fotonya, gila Element keren banget nggak sih.Yang lain lagi berkata: di posko katanya sudah menumpuk sumbangan, aku juga khawatir bantuan dikorupsi lagipula bisnis lagi sepi, kalau ada waktu aku akan datang sendiri menyerahkan sumbangannya. Ya sudah.

Pada perjalanan berangkat, saya menemui cukup banyak mobil dengan tempelan kertas "Keluarga Korban Bencana". Di kota Yogya sendiri malah nyaris setiap mobil terutama yang berplat nomor selain AB yang hanya membawa manusia (tanpa sesuatu yang mirip seperti bantuan) menempelkan kertas itu. Namun saya lupa menanyakan hal itu kepada kawan-kawan di Yogya. Mungkinkah gejala seperti tulisan "Pro Reformasi" "Pribumi Asli" di depan pintu waktu Mei 1998 juga berulang di Yogya kali ini?

Gempa kali ini memang tak sama dengan tsunami Aceh yang terletak jauh dari pulau di Indonesia yang menjadi pusat dan yang paling padat (dan banyak masalah): pulau Jawa, akses pun lebih mudah ditempuh. Mestinya ini bisa membuat kekurangan pangan, tenda, obat-obatan dsb dapat cepat diatasi, namun kenyataan yang terjadi tidaklah demikian, sebaliknya selain munculnya turis-turis bencana tadi, faktor keamanan kemudian menjadi masalah tersendiri. Kesulitan yang dialami para pengungsi bertambah, tidak hanya kesedihan, kekurangan dan kekuatiran, namun kesemuanya itu kini juga telah terakumulasi dalam bentuk kegeraman. Apalagi ketika adanya laporan tindakan pencurian/penjarahan dimana pelaku penjarahan menyamar sebagai turis bencana atau relawan. Mereka membawa mobil (bahkan ada juga yang melaporkan tindakan ini dilakukan staf ambulans) dan tim untuk menjarah dan mencuri sisa-sisa barang yang tak terlindung di antara reruntuhan, tenda atau posko-posko, di tengah suasana gelap. Betapa menakjubkan jika memikirkan bahwa kejahatan yang sangat sangat jahat ini bisa muncul di negara yang masyarakatnya begitu agamis, yang beberapa waktu lalu ratusan ribu rakyatnya menggelar demo anti kebejatan dan yang sangat menjunjung akhlak dan moralitas di atas segalanya ini. Presiden mengatakan tidak ada penjarahan, ada pula yang mengatakan penjarahan memang ada tapi tidak sistematis. Apapun kata mereka, bentuk kemarahan para pengungsi itu dapat dilihat di lokasi, mulai dari yang halus, misalnya lewat tulisan: "Kami bukan Tontonan", "Piknik ya?" dsb hingga pemeriksaan dan pelarangan masuknya mobil yang tidak membawa bantuan dan bukti jika mereka benar-benar relawan yang terpercaya. Suasana tidak aman juga tidak hanya terjadi di lokasi bencana. Beberapa preman yang mengaku sebagai penggalang bantuan juga menjalankan aksinya. Dengan memaksa orang-orang menyumbang dalam bentuk uang tunai, bahkan ditentukan jumlah minimalnya, bahkan ada yang menetapkan jumlah minimal 50 ribu. Apakah perilaku macam ini disebabkan karena sering melihat wanita pakai tank top dan rok mini? Sekali lagi bisa kita periksa otak kita masing-masing.

Lalu apa yang dilakukan oleh pemerintah dan para politikus? Ketika perjalanan berangkat, terutama melewati Klaten, bisa dilihat bagaimana para politikus memanfaatkan bencana ini sebagai jualan. Kibaran bendera parpol dan tenda-tenda yang penuh dengan atribut parpol (yang banyak a.l: PKS, Partai Demokrat, PAN, PKB) sepertinya sengaja didirikan dan dipasang di pinggir jalan-jalan raya, tentu dengan tulisan besar-besar: "Posko Partai.. Peduli Gempa". Pemandangan ‘lucu’ juga dilihat kawan saya dimana sebuah posko PKS (Partai KeADILan SEJAHTERA) dengan benderanya yang begitu besar berkibar di atas, ternyata dibawahnya hanya membagikan 4 dus mie instant untuk begitu banyak pengungsi yang lapar. Pemandangan itu boleh jadi menunjukkan apa yang menjadi prioritas mereka mendirikan posko. Memang benar, tidak ada pemberian yang benar-benar murni diberikan tanpa berharap balasan. Orang yang memberi paling tidak akan mengharapkan balasan berupa ucapan terima kasih atau agar tindakannya dicatat oleh malaikat di surga, atau untuk mendapatkan kepuasan pribadi melihat orang lain senang. Saya sendiri mungkin tidak akan menaruh perhatian begitu besar jika yang tertimpa bencana bukan Yogya, kota yang saya cintai dan telah memberikan saya banyak hal menyenangkan itu, jadi mungkin ini seperti keinginan membalas budi. Dan kita tahu apa yang diharapkan oleh partai tersebut, hanya saja menurut saya balasan yang mereka harapkan atas pemberian mereka tersebut sudah keterlaluan. Barangkali salah satu kunci keberhasilan dalam dunia politik memang adalah sifat oportunis, namun benarkah hanya itu? Bagaimana bisa mereka menganggap masa prihatin akibat bencana ini sama seperti masa kampanye pemilu? Lagipula apakah yang diperjuangkan para penyandang sifat oportunis selain kepentingan dan ambisi dirinya sendiri? Tentu saya tidak akan mau memasrahkan masa depan saya kepada mereka.

Yang dilakukan pemerintah juga tak jauh beda, bahkan jauh lebih buruk jika mengingat bahwa seharusnya merekalah yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab terbesar dalam menangani masalah yang menimpa warganya. Saya tidak tahu apakah bantuan dari pemerintah yang dikumpulkan dari berbagai negara dan sumbangan rakyat lainnya itu sudah mulai didistribusikan atau belum. Atau mereka masih menunggu para pengungsi mencari KTP mereka yang hilang di antara reruntuhan serta sapuan aliran hujan dan menunggu ketua RT dan lurah (yang mungkin masih sering sibuk dan susah ditemui) membuatkan surat pengantar bagi warganya? Bagaimana dengan warga yang tidak disukai lurah atau RT setempat atas alasan pribadi? (seperti yang terjadi pada pemilihan penerima BLT). Laporan adanya RT yang tidak mau mendistribusikan bantuan yang telah dipasrahkan kepadanya inipun memang ada. Logistik pun menumpuk, mungkin busuk dan akhirnya dibuang karena para pengungsi yang muak oleh birokrasi macam itu memilih lebih percaya pada bantuan pihak non-pemerintah. Kelebihan dalam hal sumber daya (termasuk transportasi) juga tidak membuat pemerintah mampu mendistribusikan bantuan ke daerah-daerah terpencil yang masih belum dapat dijangkau bahan-bahan darurat macam makanan, pakaian dan tenda sama sekali, mungkin juga ada yang proses evakuasinya belum tuntas. Padahal dalam perhitungan para ahli (entah ahli apa), masa-masa ini (1 minggu setelah musibah) harusnya sudah dapat dikatakan telah melewati masa darurat sehingga kini lebih memerlukan bantuan macam obat-obatan (karena penyakit yang selalu menghinggapi para pengungsi), penerangan, trauma healing, dsb. Beberapa daerah memang malah sudah mulai mengalami surplus bantuan bahan makanan di wilayah mereka. Inilah kenyataannya. Dan para relawan penggalang dan pendistribusi bantuan non-pemerintah sendiri sepertinya sudah tak ambil pusing dengan bantuan dan langkah lambat Bakornas, para relawan dan donatur luar negeri nampaknya juga makin lebih percaya kepada koordinasi posko-posko bantuan non-pemerintah, dan entah apakah hal ini juga dirasakan oleh para warga pengungsi. Bagi beberapa pengungsi, kekecewaan pada birokrasi tanpa hasil tadi diluapkan dalam bentuk penjarahan yang dibawa para pengantar bantuan. Inilah dilemanya, pendataan dan catatan tentang apa yang dibutuhkan pengungsi, siapa yang menerima, dan perlunya aturan agar bantuan bisa dibagikan secara merata jelas sangat diperlukan agar tidak ada pengungsi pria mendapat bantuan pembalut, atau lansia mendapat susu bayi, agar tidak ada yang terkorupsi, agar bantuan dapat sesuai dengan apa yang dibutuhkan, dalam hal jumlah atau jenisnya. Namun contoh yang ditunjukkan birokrasi ruwet ala pemerintah itu telah menyebabkan pengungsi anti dengan tanda tangan di formulir dan pemusatan bantuan di satu titik.

Hanya 3 hari 2 malam saya datang ke Yogya, saya merasa bersalah dan sungguh berat ketika harus pulang kembali karena harus menghadiri acara yang jika tidak saya hadiri juga akan membuat saya merasa bersalah pula. Saya merasa kecil dan tidak berguna (kali ini dengan level berbeda dibanding perasaan tidak berguna yang saya rasakan sebelum ke Yogya). Setiap kali ada orang yang datang ke posko kami, mengatakan bahwa di daerah anu masih belum ada tenda, masih banyak bayi yang belum mendapatkan bantuan susu dan makanan, namun persediaan di posko saat itu sedang habis sehingga orang itu harus pergi dengan kecewa. Setiap kali ada keadaan dimana mobil pengangkut membutuhkan sopir, atau keadaan dimana bahan-bahan yang ada kekurangan mobil untuk mengangkutnya. Setiap kali hujan turun begitu deras menyelimuti hawa dingin malam di Yogya dan sekitarnya, setiap kali saya duduk tanpa ada sesuatu yang dilakukan atau tanpa tahu yang mesti dilakukan, ketika perjalanan pulang paling berat itu mengantarkan saya kembali kesini dan banyak lagi. Perasaan ketika tidak bisa memberi adalah lebih berat daripada ketika hendak mengorbankan milik kita untuk diberikan kepada orang lain. Jadi jika Anda ingin menghindari keduanya, tentu bisa, tapi itu tergantung pada pandangan pribadi Anda akan manusia itu tadi. Lihat saja pihak-pihak di atas dan pilihlah pendekatan mana yang lebih cocok untuk Anda, atau Anda memiliki pendekatan sendiri? Semuanya terserah Anda. Jika bergabung dengan posko pihak non-pemerintah menjadi pilihan Anda, atau malah ingin mendirikan posko sendiri karena Anda tidak percaya dengan orang lain selain diri sendiri, satu hal yang penting adalah koordinasi. Saling berhubungan dengan posko-posko lain, bertukar informasi sehingga bantuan yang diberikan bisa tepat sasaran (dari segi jenis, jumlah dll). Sedang untuk yang tidak memiliki kesempatan untuk terjun langsung ke lapangan seperti saya kini, keberadaan di lapangan juga bukanlah hal terpenting. Daripada seperti turis bencana atau malah penjarah, yang penting kini adalah apa yang bisa Anda dan saya lakukan disini untuk mereka? Saya harap akan ada banyak.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...


Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!