perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


Turis di (hanya) Surabaya

Kunjunganku ke Surabaya kali memang membuatku dalam keadaan serupa komputer yang habis dilakukan disk clean up. Sepengertianku, setelah dilakukan disk clean up, berkas-berkas kegiatan yang menempel tanpa kita sadari, sebagai konsekuensi dari aktifitas yang kita lakukan (tapi belum tentu pula tidak kita sukai) akan bersih. Inilah kunjungan pertamaku ke Surabaya tahun ini, dan baru pertama kali pula ditempuh dengan mobil, dengan keluarga pula. Meski banyak yang serba pertama kali dilakukan, sesungguhnya aku tak begitu bersemangat menyambutnya. Salah satu alasannya adalah capek. Tiga akhir pekan berurutan dihabiskan ke luar kota, meski yang satu (Jogja) tidak sampai menginap atau mengambil cuti. Namun sisi menyenangkannya adalah aku bisa mengambil cuti, tidak usah menghabiskan seharian di kantor yang aku harap dapat kutinggalkan sesegera mungkin. Jadi, sewaktu berangkat, aku berusaha menyumpal pikiranku dengan bayangan-bayangan optimis; bahwa aku nanti bisa punya kesempatan mengunjungi kawan-kawan, bahwa waktu jalan-jalan nanti aku bisa bertemu kawan atau seseorang yang lainnya. Aku membayangkan masih ada shortcut-shortcut dan masih ada data recovery yang bisa aku buka langsung setelah tiba di sana.

Ternyata tidak ada yang jadi. Kali ini seseorang ternyata sudah menghapus semua personal history list, juga shortcut-shortcut sedangkan kendali atas mouse atau keyboard juga tidak pernah mampir ke tanganku. Aku hanya navigator yang duduk di samping mereka yang tak sabar ingin menggunakan fasilitas yang ada. Lagi-lagi kelemahanku dalam hal relasi antara sikap dan mood masih mengganggu. Moodku langsung anjlok saat harapan tak kesampaian atau malah sama sekali berlawanan. Apalagi kalau semua hal yang terjadi juga di luar perkiraan, plan A, B, C dst tak ada yang bisa dijalankan.

Makin jelas bagiku bahwa Surabaya sudah makin menjauh. Kota itu makin tak bisa aku katakan sebagai milikku lagi. Ya sudahlah. Aku harus mulai menerima keberadaanku sebagai turis domestik saja. Kelebihanku cuma masih lumayan hapal arah jalan.

MENJADI NAVIGATOR

Masalah pengenalan arah jalan ini memang salah satu beban tersendiri. Di luar perkiraan, ternyata selain aku, semua yang ada di mobil itu benar-benar tidak tahu jalan. Ini harusnya bukan hal aneh, hanya aku saja yang baru menyadarinya. Aku baru sadar jika ini adalah benar-benar perjalanan yang berbeda. Sekali lagi, aku masih bukan navigator yang cukup baik, apalagi untuk mengarahkan mobil (kendaraan yang tak kukuasai) dan menyesuaikan dengan peraturan lalu lintas. Seperti pengalaman sebelumnya -- waktu mengarahkan teman-teman yang berkunjung ke Solo -- kali ini aku juga masih gagap di rute pertama. Walau rute-rute selanjutnya cukup lancar.

Yang agak mengesalkanku mungkin permintaan navigasi arah selain di jalanan. Memang dibanding yang lain, aku tentu yang paling sering datang ke tempat-tempat seperti TP, PTC, Atum (ya itulah pilihan tempat-tempat kunjungan kali ini), namun tempat-tempat itu bukanlah yang sering kukunjungi selama 6 tahun. Tempat-tempat itu masih selalu menimbulkan semacam perasaan canggung dan asing, sama halnya kalau aku ke SGM. Aku tak tahu, mungkin karena licin ubinnya, karena pendingin ruangannya, karena suara-suaranya, karena aromanya, karena wujud, bentuk dan perilaku orang-orangnya, entahlah. Alasan kenapa aku agak kesal adalah karena aku rasa, tempat-tempat di atas sudah cukup banyak rambu-rambu dan penunjuk jalan yang bisa mengarahkan orang yang baru pertama kali datang sekalipun ke tempat yang mereka inginkan. Atau jika tidak, tentu kita semua punya naluri kan? Hanya anak kecil yang bisa tersesat di mal. Apalagi desain arsitektur mal atau pusat perbelanjaan aku rasa tidak terlalu beda satu dengan yang lainnya. Food court selalu di atas, toilet dan pintu ke parkiran basement selalu sembunyi di pinggir, dll.

MENJADI TURIS

Menjadi turis ternyata bukan hal yang terlalu menyenangkan. Dengan menjadi turis, kita memang lebih banyak melihat hal menyenangkan.. tapi itu bukan kenyataan. Kota yang gemerlap, kata-kata ramah, dan banyak permakluman? Mengingat ini bukan kunjungan pertama bagi semuanya (dua yang lain selain aku bahkan pernah tinggal cukup lama di Surabaya), jadi memang tidak seekstrim itu sih, tapi tetap saja realitas tidak bisa dinilai dalam jangka waktu singkat. Tapi siapa tahu juga, setelah hampir dua tahun ini absen mengikuti perkembangannya, bahkan aku pun mungkin sudah tidak bisa mengklaim kenal Surabaya lagi. Aku tetap sudah masuk kategori turis.

Bagi turis, jalan kaki mungkin adalah satu ciri khasnya. Benar, banyak juga penduduk asli yang kemana-mana jalan kaki, cuma ini memang bukan usaha mengkontradiksikan sesuatu. Hanya pernyataan satu arah saja. Aku tak tahu berapa kilometer yang ditempuh kakiku ini selama di Surabaya kemarin (juga selama di Jakarta minggu sebelumnya). Barangkali kegiatan itu menyehatkan, tapi banyak berjalan kaki sama sekali bukan hal yang menyenangkan untuk dilakukan di tempat yang sudah dikenal (beda dengan kegiatanku berjalan kaki, berputar-putar tak karuan dan sampai hampir tersesat di Jakarta). Kalau di Surabaya ini, yang tersisa tak lebih dari capek.

Ciri khas umum kedua dari turis mungkin adalah konsumsi. Beli, beli, beli, dan pertukaran uang terjadi begitu cepat. Sekali lagi, ketidaknyamananku melihat kegiatan konsumtif ibu dan kakak-kakakku lagi-lagi karena aku masih juga belum sadar kalau aku ini turis di Surabaya.

Tinggal di penginapan juga membawa kesan tersendiri. Di batinku, hal itu masih agak aneh. Di depan aku lihat jalan dan bangunan-bangunan yang masih sangat aku akrabi, namun saat berbalik badan, justru kamar tidurnya yang asing. Waktu berangkat aku sempat punya harapan bisa bermalam di rumah teman, paling tidak satu malam saja. Nyatanya, mengunjungi pun aku tak sempat. Sekali lagi, kini aku sudah mulai bisa memakluminya. Aku hampir sudah tak punya apapun yang menunjukkan berkas keberadaanku di kota itu.

SENDIRI

Saat semua sedang sibuk berbelanja di satu outlet, biasanya aku memilih menunggu atau jalan-jalan di luar. Tentu tidak bisa jauh-jauh karena susah juga kalau terpisah. Di depan aku berharap bisa bertemu seseorang, yang tidak begitu spesial pun tak apalah. Entah pada kemana orang-orang yang aku kenal waktu itu. Jadinya tiga hari aku cuma sempat bertemu dua wajah adik kelas yang aku tahu tapi sama sekali tidak kenal, selain juga tidak istimewa dan tidak ada menariknya, bahkan salah satunya termasuk wajah yang tidak aku harapkan akan lihat.

Yang ada malah kejadian kurang ajar. Saat aku sedang berjalan-jalan sendiri di lorong Ps Atum, menunggu yang lain belanja, tiba-tiba ada seseorang datang, "Ko mau brosur?" sambil menyodorkan sepotong kertas. Spontan aku terima, dia langsung pergi, ternyata kertas kecil itu isinya iklan "Cupid Club, khusus untuk eksekutif muda usia 20-40 tahun, Jalan Diponegoro..." Sialan, batinku. Apa mungkin berjalan sendirian itu keadaan yang sudah dipandang menyedihkan? Tapi apa sisi positifnya dari kejadian itu adalah bahwa penampilanku sekarang sudah seperti eksekutif muda? Mungkin karena kacamata ini? Atau wajah yang menua? Ini juga terjadi waktu di TP. Kali ini ada penjaga stan alat pijat menawariku. Padahal dulu, sangat jarang SPG atau pembagi brosur apapun yang menawariku apa-apa. Aku menebak itu karena penampilanku tidak seperti calon pembeli potensial. Ketidakberminatan mereka memang kusyukuri, namun ada saatnya aku juga ingin menjadi sedikit 'superior' kalau bisa punya kesempatan menolak tawaran mereka. Sedang di lain kesempatan, kalau kebetulan SPG nya cantik, ketidak berminatan mereka jelas membuatku merasa kesal.

Apakah aku tak suka dengan perjalanan ke Surabaya kemarin? Hmm, sebenarnya aku cukup senang (senang beda dengan suka) bisa mengunjungi dan melihat lagi kota yang kata seorang kawan 'industrialis, pas-pasan, dan ndeso' itu. Hanya saja karena banyak harapan (bukan rencana) yang tak terjadi, aku jadi cukup sedih. Kalau menyebut Surabaya, yang ada di pikiran bukanlah kota, bangunan, makanan atau benda-benda lainnya, tapi orang-orangnya, aku pikir itu pasti juga yang ada di benak banyak orang yang pernah tinggal lumayan lama di satu tempat. Ini juga alasan kenapa untuk beberapa alasan sepertinya aku lebih menikmati duduk di bangku belakang mobil dari Solo-Krian (karena mulai dari Krian inilah navigasiku mulai dibutuhkan) dan dari Sepanjang-Solo, melihat gelap di luar yang bercampur lampu-lampu dengan earphone menyalurkan ke telingaku suara cantik berbisik milik Siobhan De Mare (Mono) dan puluhan artis lainnya. Katarsis yang terasa sejuk di tengah kecewa dan kerinduan.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Perjalanan Singkat yang Berserakan


no harm
Originally uploaded by lalat hijau.
1.
Percakapan di malam sebelum berangkat (tentang firasat dan ketakutan yang coba ditutupi)
Wish my self good luck

Aku tak berani lagi percaya pada perasaan, naluri, insting, firasat atau apapun itu yang tak ditangkap oleh kelima indera. Kalau hendak menghubung-hubungkan dengan semuanya itu, aku harus bilang kalau kali ini semua itu tak ada. Pemberitahuan yang cukup mendadak, perencanaan, membeli tiket dan menyiapkan anggaran, dan waktupun berlalu sangat cepat, tak sempat aku memikirkan hal-hal macam itu, meski tidak berarti aku tak ingin. Nampaknya aku memang tidak akan bisa menjadi seorang materialis benar-benar. Malam ini, jika tidak aku menyibukkan diri dengan menulis ini (meski menulis inipun sebenarnya tak ingin kulakukan, aku menghadap ke komputer sebenarnya ingin membaca artikel-artikel yang mungkin bisa menambah pengetahuan tentang tugas copywriter), barangkali aku akan berbaring atau pura-pura membaca namun pikiranku melayang-layang, mencoba mencari sesuatu untuk menjustifikasi bahwa aku punya firasat bagus. Firasat? Apa aku memang butuh firasat? Orang yang sangat sulit bergerak tanpa dorongan ini memang butuh. Jika ibu dari tadi terus menerus hanya memberi nasihat-nasihat yang lebih mirip ancaman, atau yang karena kesal aku sebut itu dengan doa jelek, sementara kakak seperti terlalu jauh membayangkan seolah aku sudah pasti diterima bekerja, aku pun seperti biasa harus menciptakan satu pribadi lain, kali ini dalam bentuk firasat. Divine intervention, meski firasat aku maknai sebagai berasal dari diriku sendiri, namun itu tetap sangat absurd dan yang absurd itu punya sifat yang mirip dengan yang tak nyata.

Besok harus bangun lebih pagi, malam ini aku masih tak ada firasat apa-apa, meski sekali lagi tulisan ini adalah satu indikasi bahwa aku menginginkannya. Aku ngantuk seperti biasanya, packing sudah dilakukan, yang agak membingungkan cuma memilih bahan bacaan yang akan kubawa, yang bisa menemani perjalanan yang cukup lama, mengingat kali ini tak ada musik di telinga. Aku juga sudah bawa buku catatan dan pulpen. Ini rencana yang lain, jika kunjungan pertama ke ibukota masih menyisakan sebuah cerita yang berhenti di tengah jalan, semoga kali ini bisa kulanjutkan. Namun ini hanya rencana. Aku memang terlampau banyak rencana jika hendak bepergian, padahal nantinya hanya satu dua saja yang sempat dilakukan. Mungkin ini karena aku memang jarang bepergian. Aku mungkin bisa menulis sesuatu (menarik tidaknya jelas belum pasti) utamanya sepulang dari aku melakukan sebuah perjalanan. Untuk hal ini, blog memang temuan luar biasa.

Tiba-tiba aku membaca judul dalam kurung yang kubuat sendiri. Aku sudah berjanji akan membicarakan tentang ketakutan. Namun, ini memang lucu, tanpa sadar aku benar-benar mencoba menutupinya, seolah judul di atas bukan aku yang membuat. Aku memang takut, lebih dari takut karena telah mengeluarkan sedemikian banyak biaya, bagaimana jika ini sia-sia? Takut ini lebih dari cuma itu. Aku takut kembali lagi ke pekerjaan lama, takut aku akan putus asa (meski putus asa dan memilih kerja di pekerjaan lama dengan lebih lama lagi aku rasa jelas masih sangat jauh langkahnya), takut aku trauma dengan proses lamaran, wawancara, mencari rejeki di negeri bangkrut ini. Lebih baik aku tidur. Mungkin aku bisa bermimpi kali ini. bertemu kakek tua yang memberi wejangan yang menguatkan atau apa saja. Sekian dulu, privasiku sudah hilang..

2.
Tiba

Aku pun datang lagi. Aku tak ingat bulan apa kemari. Yang jelas tak banyak yang berubah. Gambir masih terburu-buru, ribut dan panas seperti saat perkenalanku yang pertama. Jika harus menyebutkan apa yang beda yaitu adanya smoking dan no smoking area serta petugas yang harus berdiri dekat tangga masuk dengan megaphone meneriakkan kereta yang akan berangkat. Mungkin itu karena pengeras suara yang dari pusat justru tak terdengar jelas di tempat penumpang menunggu dan membeli tiket. Suaranya menggema.

Perjalanan di kereta tadi lebih lama dari jadwal. Aku tiba disini pukul lima. Gagal tidur, tak begitu sukses membaca, namun aku sudah tak begitu bermasalah dengan ketiadaan musik pilihanku sendiri di telinga.

Dan sampai saat ini bisa dibilang aku masih belum sepenuhnya sadar telah tiba di Jakarta. Kota ini bagaimanapun terasa begitu jauh. Kota yang sepertinya hanya eksis di TV! Dalam hal ini, Jakarta pun menjadi sejauh Amerika, Eropa, Irak, Aceh dll.

Ya, inilah si anak kampung datang lagi, mengetes lagi bisakah hidupku diadu di metropolitan, bisakah otak, raga dan badan ini bertahan, tidak terlempar dari puting beliung pusat negara yang mengira diri dan rakyatnya akan kuat menghadapi kompetisi, ah bukan, kata itu terlalu sportif, kuat melawan gasak menggasak dan jegal menjegal para korporat yang telah penuh pengalaman termasuk dalam kekejamannya?

Mungkin cukup ini dulu..

(Jam saat ini menunjukkan pukul 17.30, hari ini hari Jumat tanggal 15 Sept 2006 di area tunggu stasiun Gambir, di bangku besi dekat seorang ibu canggung yang seperti khawatir bawaannya hilang)


3.
Sabtu siang menjelang sore

Tangan ini makin banyak menghancurkan
Terutama masa depanku

(16 Sept 2006)


4.
Pulang

Sangat singkat, uang jauh lebih cepat hilang daripada waktu. Sejak malam kedatanganku, dan terutama di setiap pagi, aku selalu merasa waktu di Jakarta lebih lambat dari kota-kota lain. Pagi yang tergesa tidak kurasakan disini. Memang hanya dua pagi saja yang kurasakan, namun perbedaannya sangat terasa.

Kereta yang sama, nomor bangku sama, dengan tayangan di televisi kereta yang persis sama waktu berangkat juga, aku berharap aku dapat mengulangi keberangkatanku, mengulangi apa yang telah kulakukan di kota ini, bahkan mengulangi satu minggu ini. Namun aku bukanlah remaja lagi untuk mengharapkan hal seperti itu.

Yang duduk di sampingku kali ini sungguh menyebalkan sejak datang. Namun jika ia memang berusaha menunjukkan sikap antisosial dan keegoisannya untuk entah menyatakan identitas atau malah mencoba mengintimidasi, jelas ia tak tahu orang berwatak macam apa yang ia hadapi sekarang. Apakah dia lesbian? Feminis yang ingin menunjukkan bahwa ia di atas laki-laki? Sekali lagi ia jelas telah sia-sia dan salah mengambil sikap. Ah mungkin dia hanya korban obsesi orang tuanya.

Kereta memang telah mulai berjalan, namun aku tak merasakannya. Jiwa, antara yang keparat dan yang sekarat masih tak mau menerima jika memang harus ini saja yang bisa kulakukan di atas segala biaya dan waktu dan tenaga dan jasa baik teman yang diberikan. Jika menggelengkan kepala sepanjang perjalanan dapat mengubah sesuatu aku akan melakukan. Tapi anggukan atau gelengan hanya berpengaruh pada orang lain, untuk mempengaruhi perasaannya saja. Jiwaku benar-benar sedang tercerai berai meski kereta hanya berjalan perlahan. Lindas saja supaya otak ini mengurangi suara decit roda dan geram pada diri sendiri. I’m done.

(17 September 2006)

Filsafat Pelancong

Setiap kali baru pulang dari perjalanan jauh, untuk beberapa lama biasanya saya tidak banyak bercerita. Kalaupun ada yang bertanya, "Piye?", "Gimana?" dll. biasanya saya hanya akan menjawab sepatah dua patah kata saja dan sesudah itu melakukan kegiatan yang membuat saya sukar diajak komunikasi (mis: mandi, baca, pergi atau tiduran). Sebenarnya yang saya rasakan waktu itu bukan semata kecapaian atau saya sengaja bertingkah 'menyebalkan'. Saya paham bahwa orang-orang di rumah atau di tempat saya pulang ingin segera mengetahui apa yang saya lakukan, lihat atau dengar dari tempat jauh yang saya kunjungi itu. Namun, waktu itu saya justru seperti tidak punya sesuatu untuk dikatakan.

baca selanjutnya..

(18 September 2006)

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Remembering Smashing Pumpkins (SP for Beginner)


Remembering Smashing Pumpkins (SP for Beginner)
Originally uploaded by mahardika asmara.

Smashing Pumpkins memiliki formasi asli Billy Corgan (vokal), James Iha (gitar), D'arcy Wretzky (bas) dan Jimmy Chamberlain (drum). Namun formasi itu mulai pecah sejak tahun 1997. Bisa dibilang garapan terakhir mereka bersama adalah mengisi soundtrack film Batman and Robin dengan sebuah lagu yang dibikin 2 versi "The end is the beginning is the end" serta "The beginning is the end is the beginning".

Band asal Chicago ini kebetulan memang mencuat bersamaan dengan fenomena grunge Seattle yang dimotori siapa lagi kalau bukan oleh Kurt Cobain dan Nirvananya. Praktis, di saat band-band pengusung grunge asal Seattle seperti Pearl Jam, Soundgarden, Stone Temple Pilots, Hole dan Nirvana tadi merajai industri musik, Pumpkins menjadi agak beda. Barangkali musik yang dimainkan Pumpkins juga tidak sepenuhnya bisa dimasukkan dalam kategori grunge tadi, kalo menurut saya cuma album Siamese Dream saja yang agak seperti musik nya band-band Seattle di atas. Gish lebih agak seperti metal lawas, agak heavy metal macam Metallica, Pisces Iscariot yang mellow jelas tidak, Mellon Collie and Infinite Sadness? Hmm sepertinya disitu mereka mulai berubah, sudah ada unsur elektronik yang kemudian nampak nyata di Adore dan campur baur di Machina.

Seperti halnya Nirvana adalah Cobain, Hole adalah Courtney Love (kalo di indonesia, kedua band ini ibarat Dewa 19 dan Ratu hehe), Pearl Jam dengan Vedder, dst. Pumpkins juga adalah Corgan. Namun agak beda dengan band, misalnya Nirvana tadi, menonjolnya Corgan nampaknya banyak yang tidak senang. Seperti juga sikap Courtney Love di Hole (namun tertutupi oleh hubungannya dengan Cobain), Dewa dengan Dhani Ahmad, Fred Durst, dan bisa jadi juga Bono. Corgan dikritik karena terkesan terlalu otoriter, suka mendominasi, memaksakan kehendak dan ingin agar semua selalu ia yang kontrol. Seorang 'control freak' begitulah istilahnya.

Saya pikir saya agak sependapat. Corgan jugalah yang disebut sebagai penyebab bubarnya Pumpkins. Meski demikian, mungkin juga Pumpkins tidak akan menghasilkan karya-karya yang hebat kalau Corgan tidak bersikap begitu, siapa tahu? Apapun andai-andainya, saya memang sangat menyayangkan kenapa D'arcy, basis cantik kesukaan saya tidak diberi porsi lebih untuk menyanyi seperti di album-album awalnya. Kalau itu adalah andil Corgan maka saya cukup menyayangkannya. Banyak juga yang bilang bahwa ada dua 'kubu' di Pumpkins; kubu pertama adalah Corgan dan Chamberlain, kubu kedua adalah Darcy dan Iha (yang pernah pacaran). Mungkin itu benar. Ketika beberapa waktu lalu Corgan mengutarakan keinginannya untuk membentuk kembali Smashing Pumpkins yang ia nyatakan bubar tahun 2001, hanya Jimmy Chamberlain yang menanggapinya. Tentu, walau dua orang itu nantinya memang bergabung lagi, kembali memakai nama Smashing Pumpkins, membikin album baru dan membawakan lagu-lagu hits yang pernah ada di album Gish sampai Machina sekalipun. Saya rasa banyak fans tidak akan menganggap mereka adalah Smashing Pumpkins. Sama seperti Axl Rose yang mencoba membentuk kembali Guns n Roses (yang dicibir seharusnya bernama Axl and Friends saja), Led Zeppelin tanpa drummer John Bonham, atau Beatles yang dulu sempat reuni sepeninggal Lennon (bahkan meski pengisi posisi Lennon juga bukan nama sembarangan: Eric Clapton). Smashing Pumpkins hanya sah kalau anggotanya keempat orang itu tadi.

Entah apa ini hanya perasaan atau memang betul, bagi saya Pumpkins ini memang terbilang unik. Orang boleh bilang bahwa sangat banyak lagu-lagu Pumpkins yang nyaris seluruhnya adalah hasil sentuhan Corgan. Entah gosip atau bukan, dikatakan, bahwa Corgan ini suka tidak percayaan dengan hasil teman-temannya. Bahasa leadershipnya dia tidak bisa mendelegasikan tugas. Sering ia mengganti sendiri hasil dari sesi bas, sesi drum, gitar, dll yang sudah selesai dilakukan teman-temannya karena ia merasa ada yang kurang cocok. Kabar itu juga yang membuat banyak fans Pumpkins membenci Corgan. Tapi uniknya, waktu band itu mulai gonta-ganti personel; dimulai saat album Adore (1998) yang tanpa diperkuat drummer Jimmy Chamberlain (dipecat akibat tragedi saat dia mabok narkoba bersama keyboardis Jonathan Melvoin yang waktu itu tewas overdosis dan Jimmy sendiri kena urusan polisi), lalu album Machina (2001) yang tanpa D'arcy (katanya keluar karena ingin jadi bintang film, tapi Corgan kemarin bilang karena Darcy terjerat kecanduan narkoba berat dan tak mau ditolong); praktis sangat terasa ada yang hilang dari musik Pumpkins. Bahkan saya saja yang pendengar awam, yang tidak bisa main musik pun merasakannya. Di album Adore, posisi drummer memang dikatakan diganti oleh mesin (kemudian diganti oleh drummer betulan, ada dua, tapi yang dipakai akhirnya Matt Sorum dari band Filters), namun saya punya beberapa rekaman penampilan live Pumpkins dengan drummer Matt Sorum, dan perbedaan, atau bisa dibilang kekosongan, itu sangat terasa. Sedangkan di album Machina, dimana Jimmy Chamberlain kembali gabung namun posisi D'arcy digantikan oleh bassis Hole, Mellisa Auf Der Maur (tapi waktu rekaman katanya sesi bas dimainkan oleh James Iha), permainan bas yang lain, yang beda dengan ketika Darcy ada, juga jelas terasa. Jadi bisa dikatakan setiap dari anggota Pumpkins sudah sangat menyatu dengan peran yang mereka mainkan masing-masing di band. Mereka tak tergantikan. Mungkin Billy pun menyadarinya, hingga sejak menyatakan Pumpkins bubar, meski ia vokalis, gitaris dan mastermind utamanya, ia tak pernah mau kalau disuruh membawakan lagu-lagunya Smashing Pumpkins lagi. Ini juga yang membuat saya cinta sekaligus sangat menyesalkan kenapa formasi itu pecah hingga akhirnya malah bubar sekalian.

Awal mula terbentuknya Pumpkins adalah pertemanan antara Corgan dan James Iha, pria berdarah Jepang Amerika yang kuliah di jurusan seni (rupa?). Lalu, pada satu waktu Corgan terlibat pertengkaran mulut dengan seorang gadis di sebuah bar gara-gara komentar Corgan tentang satu band yang sedang tampil di situ. Adu mulut tersebut hampir mengarah ke pertengkaran secara fisik, namun lucunya, di pertemuan itu pulalah, gadis yang tidak takut dengan Corgan yang bertubuh tinggi itu ia undang datang ke rumahnya untuk mendiskusikan apa ia mau membuat sebuah band. Dikabarkan gadis yang nampaknya masih ada darah Perancis, bernama D'arcy Wretzky tersebut tertarik. Di rumah Corgan tersebut, ia disuruh mendengarkan sangat banyak kaset rekaman musik untuk memperluas referensinya. Saya kira, untuk ukuran orang Amerika, Corgan memang punya referensi musik cukup luas bahkan 'aneh' sebagaimana halnya musuh sejatinya, Kurt Cobain. Yang sudah banyak diketahui tentu adalah bahwa Corgan sangat mengidolakan Cheap Trick, selain itu juga band-band new wave Inggris seperti New Order (pernah main bersama dalam satu konser, dia pegang gitar), Depeche Mode, the Cure. Pada awalnya, permainan bas D'arcy sendiri katanya memang terlihat masih belum terasah, namun Corgan terlalu terkesan dengan karakternya yang menarik. Sebuah band pun terbentuk, mereka mulai coba manggung di beberapa venue dengan posisi drum dimainkan oleh mesin. Barulah satu waktu mereka bertemu dengan seorang pemain drum yang latar belakangnya musik jazz, namun kelak waktu membuktikan bahwa drummer bernama Jimmy Chamberlain itu kemudian akan menjadi salah satu drummer rock terbaik.

Lebih dari sekedar musik, figur keempat orang dengan masing-masing karakternya yang sangat unik ini adalah satu hal tersendiri. Industri musik pop memang tidak bisa tidak berkaitan dengan citra, dan berbagai citra, imej, tren, fashion, kesan yang pernah mereka (atau label rekaman mereka) rancang dan bawakan tersebut diperankan dengan cukup baik oleh keempat manusia yang sebenarnya sudah begitu unik itu. Pada awal-awal, Pumpkins tampil seperti sebuah band heavy metal, semuanya gondrong, musiknya pun demikian. Lalu, seperti terlihat di video klip dan penampilan live mereka saat merilis Siamese Dream (memuat antara lain hits Today, Cherub Rock, Soma, Rockets dan Disarm) ada perubahan ke gaya retro. Hanya Jimmy yang rambutnya tetap gondrong sebahu, Iha masih berambut agak panjang tapi ditata ala Japanese style dan dihighlight, Billy rambutnya pendek dan suka pakai kemeja ketat dengan kerah lebar sedang D'arcy mulai mengubah penampilan dari rambut panjang tergerai dan blue jeans menjadi rambut ditata ala tahun 50an, pakai terusan seperti Twiggy, penampilannya mengingatkan pada Shirley Temple. Tapi mungkin semua juga tergantung mereka main dimana dulu.

Waktu album tersukses mereka Mellon Collie and Infinite Sadness yang memuat lagu-lagu legendaris seperti 1979, Bullet with Butterfly Wings, Zero, Tonight, Tonight, Thirty Three, dll meledak dan disertai cukup banyak video klip, Bily mulai mengubah penampilan dengan kepala botak mulus dan pakaian hitam-hitam, yang dipertahankan hingga sekarang, sedang Jimmy memotong rambutnya menjadi pendek, tapi tidak begitu aneh-aneh. Mungkin karena posisi seorang drummer yang tidak begitu kelihatan penonton, selalu tertutup oleh drum setnya. Dua lainnya, James Iha nampak masih asyik dengan penampilan Jap-style nya, dan dengan gaya main gitarnya yang 'tidak gagah', dengan rambutnya yang lurus itu terlihat sangat ringan dan selalu bergoyang-goyang seperti iklan shampoo. Sementara itu, selain kadang masih bergaya 50an, D'arcy juga kadang berubah bak seorang wanita aristokrat dengan tatanan rambut pesta, sanggul dan gaun panjang atau baju yang seperti mantel bulu, selain juga beberapa kali mengecat rambut warna hitam atau biru. Oh ya, jangan lupakan juga kaos hitam bertuliskan ZERO yang dipakai Billy (bisa dilihat di satu dari dua video klip mereka yang memenangkan penghargaan MTV VMA: "Bullet with Butterfly Wings), kaos itu sempat cukup lama menjadi tren. Sejak saat itu juga, kalau konser, band itu sering sengaja mengatur warna pakaiannya. Ada dua yang pakai pakaian hitam (salah satunya selalu Billy) dan ada dua lagi yang berbaju putih. Saya sendiri juga merasa masa-masa itulah dimana Smashing Pumpkins begitu nyaman dilihat. Seorang botak, wajah bundar, kurus tinggi, suara cempreng, pakai baju hitam (kadang juga berbentuk jubah seperti Chrisye), seorang Shirley Temple membawa bas, cantik tapi jarang senyum, seorang pria yang untuk ukuran orang barat badannya nampak ringkih, berwajah sangat Asia dengan rambut dicat, sekilas seperti remaja Asia manja, tapi ternyata kehebatan permainan gitarnya membuat pria-pria Amrik yang gahar pun takjub dan bengong, plus seorang pemain drum yang hebat. Gaya itu nampaknya masih melekat sampai ketika mereka mengisi soundtrack Batman and Robin.

Paska tragedi overdosis Melvoin, keluarnya Jimmy, diikuti meninggalnya ibu Billy, nuansa suram dan gelap dimunculkan dalam album Adore yang musiknya sendiri menjadi bernuansa industrial. Nuansa itu pula yang diwakili oleh art cover, lirik-lirik, video klipnya serta tentu saja penampilan band yang bisa dibilang berubah total. Waktu itu, Billy memang diberitakan sedang berteman akrab dengan Marilyn Manson yang musiknya bergenre industrial, yang sejak dulu tak bosan membawa imej dan fashion gothik, plus sok satanik dan sok antikris. Billy, James dan D'arcy lalu memakai dandanan yang mendukung. Billy masih relatif sama, hanya ditambah dandanan sekitar mata (blush on merah atau hitam), agak mirip Michael Stipe (REM) yang biasanya pakai blush on biru, lurus dari pelipis kanan ke pelipis kiri. James juga memakai blush on di mata (smokey eyes), wajah diberi dandanan agar terlihat pucat dan kontras dengan warna matanya. Jadi agak seperti dandanan Robert Smith atau Boy George. Selain make up yang juga membuat wajahnya nampak pucat dan mata merah menyala, kali ini D'arcy nampaknya ingin mengekspos rambut panjangnya yang pirang atau cenderung putih itu. Digerai begitu saja atau juga disanggul dan memakai asesoris semacam bando bertanduk kecil (hampir seperti yang beberapa tahun lalu sempat ngetren itu). Untuk pakaian, kalau tidak memakai gaun panjang hitam, ia juga terkenal dengan kostum yang ia pakai di bagian dalam sampul album Adore, pakaian terusan hitam dengan celana, yang bagian dada dan perutnya transparan. Sangat cocok dijuluki Pale Princess. Ternyata bukan cuma mereka. Matt Sorum, si additional drummer pun tak mau ketinggalan bergaya. Beda dengan Jimmy, Matt ini punya ciri khas dandanan sendiri, yaitu kepala botak, badan gempal dan kacamata, salah satunya ada yang gandeng dengan hidung palsu, mirip punya paman Dolit (tanpa kumis) yang membuat dia seakan selalu tersenyum di tengah gaya main drumnya yang memang terlihat lebih bersemangat dari Jimmy.

Album Adore ini tidak sukses seperti Mellon Collie. Pasar masih mengharapkan musik dengan ketukan drum rancak, gitar yang meraung dan lirik penuh kemarahan seperti di lagu Bullet with Butterfly Wings. Adore ini sungguh berkebalikan. Lirik disitu sangat sedih, muram, gelap, berisi tentang perpisahan, kematian dan semacamnya. Walau Pisces Iscariot juga album Pumpkins yang lembut, namun di albumnya yang ini, Pumpkins mencoba bermain-main dengan musik elektronik. Praktis, barangkali hanya ada dua lagu yang menjadi hits (dan dibuat video klipnya juga) yakni Ava Adore dan Perfect, kebetulan dua lagu itu juga yang paling 'beda' dengan lagu lain di album ini. Ava Adore lagunya tidak sedih dan cukup bersemangat, sedang Perfect tidak terlalu berunsur elektronik, industrial atau apalah itu, selain iramanya juga tidak begitu lembut sekali. Saya pribadi sebenarnya cukup suka album ini, buktinya ini adalah salah satu dari dua album Pumpkins dalam format kaset yang saya beli. Saya rasa ketidaklarisan album ini lebih karena pasar Amerika saja yang tidak menyukai musik elektronik, buktinya adalah U2 dan Blur yang juga dibilang gagal ketika membuat album bernuansa eletronika (malah ada kritikus yang menyebut kalau mereka terus main-main dengan elektronika, mereka bisa hancur sendiri). Hal yang sama pernah juga dilontarkan saat Radiohead mengeluarkan album Kid A. Namun, rumus itu tidak berlaku bagi Radiohead karena terbukti Kid A akhirnya diakui sebagai sebuah masterpiece. Jadi, memang orang Amerikanya saja yang kampungan.

Album terakhir adalah Machina: the Machine of God. Kabarnya album ini rencananya akan dibuat double album seperti Mellon Collie, tapi tidak dirilis secara bersamaan. Kabarnya juga ada semacam cerita yang akan mengkaitkan keduanya (pastinya ini salah satu strategi marketing) . Di album ini, Pumpkins (atau Billy?) kembali main dengan distorsi gitar yang meraung-raung, plus kembalinya gebukan drum Jimmy Chamberlain (yang penampilannya sekarang sangat beda; gemuk dan rambutnya dicat pirang). Optimisme pasar Amerika sempat muncul. "Smashing Pumpkins is back!" begitu kata media, apalagi single pertama, sekaligus track pertama di album, yang diperkenalkan yakni Everlasting Gaze (dibuka dengan kalimat "You know i'm not dead!") terlihat memakai formula yang kalau tidak bisa dibilang sama, dengan Zero atau Bullet with Butterfly Wings. Ya, Billy memang dikabarkan sangat kecewa dan marah dengan penjualan Adore yang tidak sukses di pasaran. Billy memang tipe artis yang mengutamakan cari duit, kabarnya waktu merilis album pertama Gish (hits: Siva, Rhinocerous), dia sudah mengancam akan membubarkan band jika penjualannya tidak bagus. Untung saja penjualannya bagus. Memang sifatnya ini sungguh disayangkan. Tapi bisa juga karena dia sadar bahwa itu risiko ataupun etos yang harus (atau sudah) ia miliki yang membuat ia memutuskan masuk dalam dunia industri musik pop yang buas.

Tapi Billy dan media salah. Waktu itu dunia sedang demam hip metal, rapper kulit putih, sampai Britney dan N'Sync. Tentunya mereka yang menjadi fans Pumpkins sejak dulu tetap menyambut album Machina itu, namun agaknya Billy lupa bahwa waktu berlalu, manusia bertambah tua, dan kelompok yang selalu menjadi sasaran empuk serangan korporasi industri (musik) selalu adalah anak muda. Anak muda pada tahun 2001 mungkin belum menikmati Bullet with Butterfly Wings, album Mellon Collie apalagi Siamese Dream dan Gish, jadi mencoba memakai formula yang telah dipakai empat tahun yang lalu atau lebih itu tidaklah tepat. Sedangkan fans Pumpkins yang tidak fanatik, yang hanya suka lagu-lagu hits nya (dengan gitar meraung dan lirik-lirik marah) itu mungkin sudah kapok saat mendengarkan Adore, jadi merekapun pesimis dan tak mau beli Machina. Saya bayangkan mungkin masih ditambah dengan perkembangan teknologi; napster dll.

Machina (hits: Stand inside your love, Everlasting gaze, Try, try, try) pun tak berhasil mengulangi, apalagi melebihi sukses Mellon Collie. Rencana merilis double album tak pernah terlaksana, tak ada cerita yang membuat orang-orang penasaran. Video klip lagu Try, try, try yang ada ceritanya, yang versi lengkapnya berdurasi sekitar 15 menit itu kini malah jadi barang 'langka' yang beredar di internet karena belum lagi sempat dipublikasikan secara luas. Billy sepertinya tak mau gagal sampai dua kali berturut-turut, dan jika itu terjadi artinya tidak ada yang harus dipertahankan lagi. Saya sendiri tentu tak tahu apa yang sebetulnya terjadi, yang jelas kurang lebih dua tahun lalu, dalam blognya, tertulis ia menyebut James Iha lah yang membuat Pumpkins bubar (karena ia ingin keluar dari band, ada yang bilang ia tak tahan dengan sikap Corgan yang otoriter). Meskipun tak berapa lama, di blog yang sama ia meminta maaf pada James sambil mengaku bahwa sejak bubar, ia tak pernah berhubungan lagi dengan anggota Pumpkins yang lain selain Jimmy (setelah Pumpkins bubar, Jimmy dan Billy sempat bergabung dan membentuk Zwan, menelurkan satu album yang tidak laris, lalu bubar lagi).

Selain sikap terlalu ambisius dan obsesifnya itu, Billy sepertinya memang bukanlah artis dengan pribadi yang menyenangkan. Tentunya pendapat ini akan sangat didukung oleh Sharon Osborne (istri Ozzy) yang pernah bermasalah di pengadilan dengan Billy. Di satu sisi, tuduhan di blognya telah membuat ia seakan baru menyadari pentingnya anggota band yang lain saat Pumpkins gagal (kesadaran itu muncul dalam bentuk tuduhan). Tapi sekali lagi saya tak tahu apa-apa soal itu, saya cuma seorang penonton infotainment. Siapa tahu Mellon Collie dan Siamese Dream justru sukses karena saat itu Billy selalu banyak campur tangan termasuk mengganti hasil yang dibikin anggota band lainnya, sedangkan Adore dan Machina gagal karena waktu itu ia tidak mengganti-ganti hasil kerja temannya, siapa tahu? Hehe.. saya sih tidak percaya kalau itu yang terjadi.

Selain kabar bahwa Billy ingin membentuk kembali Smashing Pumpkins (I want my band back, katanya) yang sepertinya tidak ada yang menanggapi itu, kabar-kabar terakhir dari para personel Pumpkins memang tak banyak. Sebagaimana biasa, itulah biadabnya industri hiburan, waktu jaya, menu sarapan seorang selebritispun bisa diketahui, tapi begitu redup, masih hidup atau mati pun tak dipedulikan. Billy Corgan tahun lalu merilis album solo yang nampaknya kembali tak sukses meski sudah berkolaborasi dengan nama-nama macam Robert Smith (the Cure) dan Courtney Love hingga mengaransemen ulang lagunya Bee Gees yang pernah dibawakan Michael Bolton "To love somebody". Lucunya, saat mendengarkan album solonya itu, sesaat saya seperti mendengarkan lagu Pumpkins namun juga kembali merasakan bahwa bas, gitar dan drumnya sangat 'kosong'. Itu memang benar-benar album solo. Jimmy kabarnya punya band sendiri, kalau tidak salah nama bandnya adalah namanya sendiri. Mungkin Jimmy Chamberlain Band atau semacamnya, ia memang seperti Billy, pantaslah kalau keduanya akrab.

James Iha? Ada dua kabar, mungkin juga tiga. Waktu Pumpkins baru bubar, kabarnya ia menjadi model (ia sempat jadi model, tapi waktu Pumpkins jaya, jadi yang mana mendukung yang mana, tentukan saja sendiri). Tapi, data yang lebih sahih menyebut dia sempat belajar jadi DJ (termasuk praktek jadi DJ di pesta-pesta) dan saya memang lihat fotonya memakai headphone di depan sebuah turntable. Saya juga punya sebuah lagu dari Stellastar (Sweet Troubled South) yang keterangannya dimixing oleh James Iha (Sweet Iha mix). Walau demikian, saya juga percaya bahwa James Iha sekarang telah bergabung dengan band nya Keenan Maynard Jones, A Perfect Circle sebagai gitaris. Semoga saja disana Keenan lebih enak untuk ia ajak kerjasama dibanding Billy. Tumben juga kenapa ia tidak ikut membikin album solo, mengingat sebenarnya malah dialah anggota Pumpkins pertama yang punya album solo (Be Strong Now, album gitar yang sangat lembut itu). Tapi mungkin itu juga album itu cuma aji mumpung dan dia sadar.

Lalu, D'arcy. Setelah keluar dari Pumpkins ia sempat dikabarkan pacaran dengan Mickey Rourke dan jadi figuran dalam salah satu filmnya, tapi tidak lama, ia pun tak jadi bintang film. Dulu dari situs imdb.com, sempat ada kabar bahwa dia akan main di sebuah film, tapi ternyata info itu salah. Berita yang lumayan besar terjadi beberapa waktu setelah ia keluar, dimana ia ditangkap polisi akibat di mobilnya kedapatan narkoba (yang konon milik temannya yang barusaja meminjam mobilnya). Karena memang pecandu, D'arcy pun harus menjalani rehabilitasi. Setelah itu? Praktis tidak ada kabar lagi, keberadaannya bahkan sangat misterius. Setidaknya di sebuah situs yang dibikin oleh fans nya, belum ada satupun orang yang mengetahui keberadaaannya, tinggal dimana, hidup sebagai apa, bahkan masih hidup atau tidak. Sungguh tragis popularitas itu.

Terakhir, Mellisa Auf Der Maur, bassis (juga sering disebut hanya sebagai touring bassis) pengganti D'arcy yang mantan bassisnya Hole ini malah cukup banyak beritanya. Bahkan blognya pun tergolong lumayan sering diupdate. Pemain bas yang kata beberapa orang sebetulnya memiliki teknik yang lebih baik dari D'arcy, namun penampilan dan karakternya mungkin tidak sekuat pendahulunya ini sudah merilis album solo yang sepertinya malah lebih mendapat apresiasi daripada album solonya Billy. Itulah beberapa kabar terakhir sepengetahuan saya (yang sudah lama tidak mencari info baru lagi tentang mereka). Untuk Matt Sorum saya tidak tahu sama sekali kabarnya, selain tidak tertarik untuk mengetahui juga.

Membicarakan Smashing Pumpkins, seperti yang dikatakan oleh Clifton Club 80's, memang membuat seakan mereka sangat dekat dengan kita. Kabar-kabar, masalah-masalah dan kenangan baik lewat karya, artistik maupun berita ala infotainment yang masih bisa kita dapatkan, yang dibilang sudah lama juga iya, dibilang masih baru juga tidak salah, semua itu membuat mereka memiliki tempat spesial dalam hati penggemarnya. Lihat saja, beda dengan band rock atau alternatif lainnya, penggemar Pumpkins mengatakan bahwa mereka merasa pernah ditolong oleh band itu. Betul, meski ada kalanya lagu-lagu mereka tentang kemarahan, namun relatif tidak mengarah pada self destruction macam Nirvana, dkk. Walau kalau melihat video klip atau beberapa pesan yang mereka bawa dalam beberapa lagu memang sudah agak ketinggalan jaman dan terlalu remaja. Itupun masih dapat membuat kita tersenyum, betapa dulu kitapun seperti itu. Lagu seperti Today, Tonight, Tonight, Cherub Rock malah sangat optimis, juga Perfect, For Martha, banyak lagi... membawakan lirik dan melodi yang erat dengan kehidupan seorang muda (remaja), kadang ada kehilangan, putus asa, gembira, dan.. pokoknya semangat yang mereka tularkan sih saya rasa cukup positif. Kapan bisa ada band macam ini lagi ya?

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...


Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!