perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


Catatan Nyaris Seminggu #11


sb
Originally uploaded by lalat hijau.

Aku sedang di rumah keluarga Djohan di Kranggan, lokasi yang menjadi setting tempat ngekosnya Minke. Wilayah ini bagiku bisa disejajarkan dengan wilayah Laweyan atau Kratonan di Solo. Tua, dan sepertinya setiap bangunan bahkan batu-batuan di sana masing-masing memiliki kisah yang sangat panjang dan menarik. Di perkampungan ini aku rasa masih ada kebiasaan memasang pagupon alias rumah untuk burung dara, sesuatu yang lagi-lagi khas kehidupan kampung Surabaya. Apa kekhasan kampung Surabaya? Seingatku, sosiolog Lukas Musianto mengatakan salah satunya adalah kampung dimana komunitas masyarakatnya bersifat paguyuban, sebuah sistem kemasyarakatan yang lebih egaliter dibandingkan masyarakat di Jawa Tengah sebagai pusat budaya Jawa versi yang lain. Tokoh yang juga dikenal sangat kompeten dengan sosiologi masyarakat Tionghoa Surabaya itu bahkan mengatakan Surabaya bukanlah kota terbesar kedua di Indonesia (karena dibanding luas wilayah seluruh Jakarta yang menduduki nomor satu, Surabaya mungkin cuma seperempatnya saja), namun Surabaya adalah kampung terbesar di Indonesia.

Lalu apa yang aku maksud dengan nuansa historis kampung Kranggan yang aku sebut di atas? Coba kita lihat, Kranggan sangat dekat dengan Tunjungan yang menjadi daerah paling terkenal di Surabaya, sedangkan kalau memang sejarah yang diajarkan di sekolah memang akurat, di situ juga ada hotel Majapahit (dulu hotel Oranje atau hotel Yamato) tempat berlangsungnya aksi heroik yang diperingati tiap tanggal 10 Nopember. Itu juga salah satu sejarah yang paling terkenal dari Surabaya. Memang, aku juga berpikir daerah seperti Tanjung Perak atau Wonokromo atau Jagalan juga tak kalah bersejarah, meski kurang banyak disebutkan di buku diktat sekolah. Dan Kranggan juga bukan hanya tentang masa lalu. Saat ini, ciri khas dari Surabaya sebagai sebuah kota industri juga dapat dilihat di sini. Keluar dari perkampungan yang khas Surabaya ini, sekarang sudah dibangun (lagi-lagi) sebuah mal atau pusat perbelanjaan bernama aneh BG Junction. Beberapa puluh meter dari situ juga terlihat sebuah proyek pembangunan yang menurut Djohan juga untuk dibangun sebuah mal yang lain. Aku benar-benar heran sebab beberapa ratus meter dari situ juga sudah ada Tunjungan Plaza dan di sisi lain ada Surabaya Plaza (atau Delta Plaza) dan boleh juga disebut Tunjungan Center sebagai pusat penjualan barang elektronik. Pembangunan gedung-gedung besar yang aku lihat selama sekitar seminggu di kota ini memang kebanyakan dipakai untuk pusat perbelanjaan. Pengecualian adalah Jatim Expo di jalan Ahmad Yani, yang aku yakin itu nama yang sama yang tertulis di papan dekat bakal bangunan di wilayah Wonokromo beberapa tahun lalu, ah mungkin sudah ada perubahan rencana. Belum lagi pemugaran bangunan lama, seperti pasar Wonokromo yang dulu pernah terbakar (atau dibakar?) sehingga kini sudah berubah rupa menjadi bangunan baru dengan tulisan namanya mengingatkanku pada karakter font nya Disney.

Meskipun sekarang para remaja gaul pun sudah banyak yang membaca karya-karyanya Pram (aku rasa tetralogi juga termasuk, paling tidak Bumi Manusia atau Anak Semua Bangsa), mungkinkah generasi berikutnya, misalnya anak-anak dari generasiku, masih dapat mengenali Surabaya yang diceritakan dalam kisah Minke? Apakah aku saja yang terlalu berlebihan? Bisa jadi, karena aku pun bukanlah orang Surabaya dan sejujurnya tidak lebih mengenal Surabaya dan kultur masyarakatnya dibanding dengan sejarah dan karakter masyarakat di kota kelahiranku sendiri. Yang jelas, sebenarnya aku juga agak penasaran dengan bagaimana pandangan orang Surabaya asli melihat pembangunan begitu banyak mal. Aku bahkan tidak bisa meraba karena pembangunan mal tersebut sepertinya baru gencar terjadi setelah aku tidak lagi tinggal di sana. Kacamataku bisa dibilang kini sudah kembali ke kacamata orang Solo atau Jawa Tengah. Karakter orang Surabaya jelas beda dengan orang Solo. Surabaya juga sudah memang sejak lama menjadi kota dagang. Pembangunan dan kondisi mal-mal (dalam hal kunjungan orang-orang dan ramainya stan) di Surabaya juga sangat beda dengan mal di Solo yang baru dibangun dua saja, penyewa stannya hingga kini belum juga penuh, bahkan salah satunya bisa dibilang masih sangat kosong. Daya beli masyarakat serta lalu lintas perekonomian yang berhubungan dengan kota-kota lain juga berbeda.

19 Des 2006, di atas 22.30

0 Responses to “Catatan Nyaris Seminggu #11”

Posting Komentar


Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!