Pindah rumah bukanlah hal yang sangat luar biasa bagiku. Dalam hidupku, aku sudah merasakan tinggal di 9 rumah di 3 kota, 4 di antaranya adalah rumah kos. Demikian juga kali ini, bahkan proses pindah atau lebih tepatnya mudik ini terbilang cepat. Aku bahkan tidak sempat berpamitan kepada ibu kos serta satu atau dua teman kos yang tersisa yang kukenal.
Aku mulai tinggal di rumah kos itu sejak 25 Mei 2007. Aku datang dengan membawa kasur kapuk, lemari pakaian dari plastik, tikar, buku-buku, pakaian, TV tuner, monitor Onie yang sudah rusak di kos lama, dan beberapa benda remeh temeh, termasuk palu, yang entah kenapa selalu kumiliki kalau ngekos. Aku mengetahui keberadaan rumah kos ini memang dari Onie. Sewaktu aku masih di Solo dan beberapa kali main ke Jogja, aku pernah menginap di kamarnya yang selisih satu kamar dari kamar yang kupilih. Sebagai tamu, kesanku terhadap rumah kos itu cukup bagus, cukup bersih, cukup terang, cukup aman, cukup tenang meski ada beberapa anak kos yang suka menyanyi keras-keras, dan ternyata juga cukup murah. Rumah kos itu juga dekat dengan rumah kos yang kutempati sebelum itu, hanya sekitar 200-300 meter. Jadi, tidak terlalu repot untuk proses pindahnya dan jarak ke kantor juga praktis tidak berubah.
Aku pindah ke tempat kos itu karena beberapa alasan. Pertama, kenyamanan. Rumah kos yang kutempati sebelumnya, kotor, banyak nyamuk karena pemiliknya memelihara ayam-ayam yang tampak menakutkan jika aku lewat saat pulang malam, dan yang paling penting, terlalu bising. Aku juga tertarik dengan adanya dipan, kasur, lemari, meja, rak, air minum, dan cuci baju meski harganya tentu sedikit lebih mahal dari sebelumnya. Tapi, selisih harganya tidak seberapa dan dibayar dua bulanan (belakangan aku baru tahu kalau ternyata bisa bulanan) sehingga tidak terlalu memberatkan.
Aku memilih kamar ini terutama karena ada jendela yang langsung ke jalan. Sirkulasi udara di kamar itu memang cukup baik, tapi ternyata jendela itu juga yang membawa masalah. Tembok dan kusennya berongga sehingga mengakibatkan kebocoran saat hujan deras. Beberapa kali air masuk dan menggenang di lantai, meski tidak sampai ke tempat listrik. Aku sempat sangat ingin pindah kamar, tapi sebelum itu terjadi, aku malah pindah kota.
Kepindahanku ke rumah kos itu dilakukan secara bertahap, seorang diri. Setelah soal administrasi beres, beberapa hari sebelum tanggal 25, pulang kantor aku beberapa kali wira-wiri dengan motor untuk membawa barang atau dus yang bisa dibawa. Dan pada hari terakhir, untuk membawa kasur dan almari, aku menyewa tukang becak yang minta harga mahal sekali. Tapi, itu juga salahku karena tidak membicarakan harga di depan. Di hari pertamaku pindah, ternyata ada acara perpisahan Michael, anak kos yang sudah diwisuda dan akan kembali pulang ke Kalimantan. Aku langsung disuruh hadir. Meski semula malas, karena aku sama sekali tidak kenal siapa-siapa. Meski demikian, aku pikir boleh juga, sekalian berkenalan, ketimbang harus berkenalan secara pribadi saat ketemu di lorong atau tempat lainnya. Anak-anak kos ketika itu ternyata cukup akrab satu sama lainnya, atau paling tidak sebagian besar. Mereka juga lumayan ramah sehingga aku tidak terlalu merasa terasing. Namun, selama acara, senjata pamungkas menghindari keanehan dan rasa terasing harus selalu kukeluarkan, rokok. Seperti kalau sedang berada di tempat-tempat yang membuatku tidak bisa untuk tidak diam saja, setiap isapan kuharap berlangsung lebih lama, sehingga aku selalu bisa punya kegiatan dan rokok tidak lekas habis. Beberapa orang berkenalan, dan kebanyakan juga baik-baik. Aku bahkan bertahan sampai akhir acara dan sampai semua meja, gelas, dan piring dibawa masuk. Senjata lainku untuk memberi kesan aku bukan sombong dan penyendiri.
Meski pada dasarnya aku tidak pernah sangat akrab dengan anak-anak kos, tapi aku sempat beberapa kali keluar bareng dengan beberapa anak kos. Keluar makan atau beberapa kali mengantar dan berurusan sesuatu. Ada juga anak kos yang mengajakku ke gereja atau ke acara presentasi K-Link, tapi selalu bisa kutolak. Tapi, untuk beberapa bulan, atau lebih tepat sebelum tahun 2008, kos itu barangkali kos paling familiar yang pernah kuhuni.
Kos sebagai karyawan dan sebagai mahasiswa tentu saja berbeda. Pindah dengan bawaan yang kurang lebih sama seperti yang kubawa sewaktu anak kos mahasiswa, dengan menjadi karyawan paling tidak aku bisa mulai menambah barang. Waktu bekerja di Solo aku mulai membeli buku, pengganti hobi mengumpulkan kaset dan MP3 meski sifatnya jelas sangat lain dan buku juga lebih mahal. Di Jogja, setelah sempat membeli TV tuner dan monitor yang sayangnya rusak, aku akhirnya bisa membeli barang yang harusnya sudah wajib dimiliki, komputer. Punya komputer sudah membuatku sangat puas, bahkan mungkin sampai saat ini. Aku tidak tertarik membeli TV atau kulkas atau semacamnya. Namun, setelah bekerja freelance, aku menambah dengan speaker dan komputer digantikan yang bisa dijinjing.
Selama tinggal di rumah kos, banyak hal terjadi. Dua kejadian besar yang berhubungan dengan hal pribadi dan pekerjaan. Tapi, semua paling tidak bisa selesai saat tubuh sudah direbahkan di atas kasur busa dari kos yang kutumpuk di atas kasur kapukku. Selain dua hal di atas, beberapa hal kecil juga terjadi. Kecurian helm, anak-anak kos generasi baru yang kebanyakan mahasiswa dengan sifat khasnya yang cukup menjengkelkan, mulai terjadinya gap, ibu kos yang menjadi bahan pembicaraan yang paling mudah antara anak-anak kos, dll. Selama kos di sini, aku juga terbilang sangat jarang mendapat tamu. Tanpa menghitung waktu pindahan, teman yang pernah datang dan masuk kamarku seingatku hanya ada 3 orang! Kalau dihitung yang sampai pagar mungkin ada 5. Keluargaku tidak pernah ada yang tahu letak kosku yang sekarang. Tapi, pernah ada 2 SPG sampo Clear sampai di depan kamar dan tiba-tiba aku dipotret dalam keadaan kumal. Mungkin memang keterlaluan kalau sesedikit itu orang pernah berkunjung, tapi paling tidak suasana yang cukup privat itu kadang kunikmati. Kalau aku pindah di saat ini, rasanya memang tepat. Selain anak-anak kos yang aku kenal sudah pada pindah, penggantinya adalah anak-anak mahasiswa baru dengan segala karakteristik yang klise itu.
Begitulah, pokoknya aku pindah. Aku meninggalkan kamar itu dengan lumayan banyak barang sampah kutinggal. Ternyata aku memang suka memulung. Aku tak tahu apakah kelak aku akan sempat ngekos lagi.