Para juruselamat kecil berjalan merangkak, hingga sampai di satu titik tangan mereka mulai menggapai dan merambati dinding untuk berdiri di salah satu sudut jalanan paling ramai di kota. Mereka memang tidak selalu berjalan sendiri-sendiri, namun mereka jelas tidak ingin berada di satu titik yang sama dengan juruselamat kecil lainnya. "Aku adalah juruselamat", pikir mereka. Tidak mungkin ada dua juruselamat dalam satu tempat. Seorang juruselamat selalu bekerja sendiri. Jika ada dua juruselamat dalam satu tempat, pasti salah satunya adalah juruselamat sesat. Meski mereka tahu bahwa mereka hanya juruselamat kecil namun jangan kaget dengan tingkah mereka yang bahkan jauh lebih penuh gaya dibandingkan Juruselamat Besar.
Di satu sudut itu, mereka berdiri dengan tegak. Sorot matanya dengan angkuh memandangi lalu lalang orang di depannya. "Sungguh dunia yang sesat." batinnya. "Mereka berjalan tak tentu arah, dari satu sudut ke sudut lain untuk kemudian berbalik lagi ke sudut semula. Mereka butuh juruselamat untuk menunjukkan mana jalan yang harus ditempuh agar semua rute bolak-balik ini tidak terus terulang. Dan inilah tugasku." Maka, salah satu juruselamat kecil yang sedang kita amati ini mulai mengangkat tangan kanannya sambil telunjuknya teracung ke atas, dengan suara menggelegar ia berkata, "Wahai, kalian manusia yang tak tahu di mana asal muasal dan ke mana tujuan kalian. Kalian yang tiap hari hanya mondar-mandir kesana kemari. Kalian yang tak mengerti bagaimana kehidupan seharusnya berjalan. Kalian yang terus membuang waktu untuk berjalan tanpa pernah berhenti, karena kalian memang tak tahu ke mana harus berhenti. Lihat, di sini penunjuk jalanmu membawa sesuatu yang tak seorang pun dari kalian pernah tahu." Beberapa orang yang hilir mudik dengan berbagai keperluannya itu sejenak berhenti, sebelum kemudian memandang si juruselamat kecil dari atas ke bawah, lalu berjalan lagi sambil menggelengkan kepala.
Raut wajah si juruselamat kecil semula tampak memerah dan kesal melihat tanggapan itu. Namun, dalam beberapa saat ia bisa segera menguasai diri dan kembali menegakkan posisi tubuhnya. Ia kembali meneriakkan ucapan yang sama. Seorang anak kecil berwajah pucat dan lelah mendatanginya. "Pak, bisakah bapak mencari tahu di mana ibu saya berada? Tadi saya ke sini bersamanya, tapi kami terpisah." Juruselamat kecil memandang mata anak kecil berwajah pucat dan lelah itu. Sejenak kemudian, senyumnya mengembang dan ia kembali berteriak lantang, "Anak ini lebih tahu di mana kebenaran daripada kalian. Ia tahu mana jalan yang benar. Tidakkah kalian malu dengan diri kalian sendiri yang mengira tahu banyak padahal tidak tahu apa-apa?" Anak kecil berwajah pucat dan lelah itu kembali bertanya, "Apakah Bapak polisi?" Juruselamat kecil kembali mengacungkan telunjuknya, kali ini arahnya benar-benar lurus ke atas, tanpa memandang wajah anak kecil itu, ia lagi-lagi berteriak, "Aku bukanlah polisi sebab polisi hanya tahu mana yang salah. Tapi aku… Aku juga tahu mana yang benar. Kalian berjalan tanpa tahu mana arah yang benar dan mana yang salah. Kalian harus mengetahui kebenaran. Kalian sesat, tidak diragukan lagi!" Anak kecil berwajah pucat dan lelah tiba-tiba berbinar, ia melihat ibunya datang diantar seorang ibu lain yang menunjuk-nunjuk ke arah juruselamat kecil. Ibu dari anak berwajah pucat dan lelah itu segera memeluk anaknya. "Kamu tidak apa-apa 'kan? Kamu tidak diapa-apakan orang itu 'kan? Tolong bilang kalau dia melakukan sesuatu kepadamu, ibu akan melaporkannya kepada polisi agar dia ditangkap." Anak kecil berwajah pucat yang kini tidak lagi tampak lelah itu menggeleng. Ibunya pun tersenyum lega.
Juruselamat kecil terus mengamati ibu dan anak itu berjalan menjauh. Tak berapa lama kemudian ia kembali berteriak, lebih lantang dari sebelumnya. "Satu jiwa selamat... Satu jiwa mengikuti kebenaran… Kini giliran kalian. Masih belum terlambat sebelum api turun membakar kota ini"
Seorang tua dengan pakaian compang-camping mendekat. Aroma tubuhnya yang menjijikkan dan penampilan yang tidak menandakan kewarasan membuat juruselamat kecil mundur sempoyongan beberapa langkah. "Aku juga ingin menjadi juruselamat, yang kecil saja cukup…" kata pria tua itu. Sambil berusaha menguasai keseimbangan tubuhnya, juruselamat kecil memandang tajam sosok pria tua di depannya, wajahnya lagi-lagi memerah. "Pergi kau!" hardiknya. Seorang remaja yang rupanya sedari tadi mengamati tingkah keduanya tertawa terbahak-bahak. Juruselamat kecil tampak makin marah. Tanpa peduli pada posisi tubuhnya yang miring dan tidak lagi menunjukkan keanggunan, ia berteriak, "Apa yang kau tertawakan, manusia sesat?? Aku tidak sedang mengusir orang gila ini, tapi aku mengusir hasrat sesatnya untuk menjadi juruselamat. Juruselamat bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukan oleh sembarang orang. Aku telah dipanggil sebagai juruselamat karena itulah tugas yang diberikan Juruselamat besar kepadaku." Remaja itu masih tertawa, setelah menengok ke kanan kiri memastikan keadaan agak sepi, ia berkata, "heh, orang gila… jangan sembarangan omong ya. Kamu bisa ditangkap karena bikin keonaran." Mendengar kalimat "ditangkap karena membuat keonaran" raut juruselamat kecil justru terlihat makin bersemangat. "Ayo tangkaplah aku… Aku tidak takut menderita, aku tidak takut disiksa… Aku tidak pernah takut mati, hanya pengecut yang takut mati sehingga mau menjual dirinya pada kesesatan." Remaja itu berhenti tertawa, ia tampak kesal. Terlebih setelah melihat ada orang yang datang, ia segera mundur meninggalkan juruselamat kecil dan orang gila itu. "Anak muda… jangan lari!" teriak si orang tua gila. "Kejar dia! Jangan sampai lepas!" perintah juruselamat kecil pada orang tua gila itu. Tanpa menoleh apalagi membantah, perintah itu diikuti dan membuat si remaja tanggung itu makin mempercepat langkahnya.
Juruselamat kecil menghela napas. Tubuhnya kini ditegakkan lagi. Seorang polisi yang kebetulan lewat berhenti sebentar, mengamatinya. Juruselamat kecil diam, sedikit bergidik melihat seragam, terlebih pistol yang melekat di sabuk si petugas. Namun, ia dengan cepat bisa menguasai keadaan. Ia tidak berteriak lagi melainkan hanya memandangi gerak-gerik polisi yang kini berdiri di depannya sambil menyalakan rokok. Seorang wanita muda menghampiri polisi, memberi tahu bahwa bemper mobilnya ringsek ditabrak seseorang tak dikenal saat ia memarkir mobilnya tidak jauh dari situ. Polisi segera mengikuti wanita itu. Dari tempatnya, juruselamat kecil terus mengawasi dan mencoba menguping pembicaraan mereka. "Jadi ibu tadi parkir di sini? Berapa jam Bu?" Tanya polisi sambil mengeluarkan buku kecil dan pulpen.
"Semalaman Pak"
"Semalaman? Apakah Ibu tinggal di sini?"
"Tidak Pak… saya menginap di rumah teman saya…"
"Siapa nama teman Anda, di mana rumahnya?"
"Ehmm.. . apa kaitannya dengan laporan mobil saya ditabrak Pak?"
"Ini penting Bu, KAMI perlu motif…"
"Teman saya tinggal di apartemen depan itu.."
"Namanya?"
"Ubadi Ubada"
"Hmm?" Polisi mengernyitkan dahi. "Apa hubungan Ibu dengan bapak Ubadi?"
"Kami rekan kerja"
Dalam beberapa detik, polisi meletakkan pulpen, mengeluarkan pistol dari sarung di ikat pinggangnya, diletakkan di atas kap mobil sedan wanita itu, demikian juga dengan borgol.
"Ada apa ini?"
"Ibu telah melanggar hukum susila di negeri ini… Ibu telah melakukan tindakan amoral dengan bapak Ubadi dan mengotori nilai moralitas serta mengganggu keamanan di negeri ini…"
"Anda salah paham, pak Polisi… Saya semalaman bekerja membahas rancangan desain proyek dengan pak Ubadi, kami tidak hanya berdua di sana. Ada lagi seorang rekan yang terlibat dalam proyek ini. Ini adalah proyek yang…"
"Alasan ibu bisa dibicarakan di kantor, mari ikuti saya"
"Tidak bisa…" wanita itu menepis tangan polisi yang berupaya memegang pundaknya dan memborgol pergelangan tangannya. Namun dengan sigap, polisi meraih sebelah tangannya yang lain dan dalam satu gerakan memutarnya ke belakang, dan kedua tangan polisi itu dalam hitungan detik telah melingkar erat di pinggang wanita muda itu dari belakang dengan sangat erat, mendekatkannya pada tubuhnya sendiri.
"Ibu jangan melawan, KAMI bisa mendakwa Anda melawan…"
"Lepaskan saya… Anda juga dapat saya dakwa melakukan pelecehan dan penyerangan secara seksual…" Teriak wanita itu sambil kedua tangannya berusaha memukul tangan polisi dan melepaskan dekapan eratnya di pinggang dan perutnya. Namun, polisi justru mengencangkan dekapannya, jari-jarinya bahkan mulai diarahkan ke atas dan memegang bagian dada wanita itu. "Diam, Bu! Atas nama hukum KAMI perintahkan diam!! Jangan melawan!! Menyerahlah!!"
"Tolooongg…" wanita itu menjerit, suaranya terdengar putus asa saat menyadari tangan polisi makin jauh menggerayangi tubuhnya.
Ketika itu hari menunjukkan pukul sebelas. Di jalanan yang telah ramai dan giat tersebut, beberapa orang mulai mengerumuni polisi yang terus mendekap dan melumpuhkan wanita muda yang mencoba berontak itu. Beberapa anak bersorak. Beberapa pria tertawa. Beberapa ibu setengah baya menggeleng. Beberapa gadis menunjuk-nunjuk pemandangan itu dengan agak marah tapi tidak berani berbuat apa-apa, sementara beberapa pemuda mencoba membicarakan hal itu, membahasnya dengan serius bersama para rekannya yang lain, salah seorang bahkan telah mendapat ide akan menjadikan kejadian tersebut sebagai inspirasi bahan tulisannya.
"Hey… hentikan!" tiba-tiba sebuah suara keras menggelegar dari balik kerumunan itu. Semua menoleh, mencari sumber suara itu, termasuk sang polisi dan wanita muda yang beberapa kancing bajunya telah lepas akibat pergumulan itu.
"Orang gila, ngapain dia?" Seorang bapak tampak kecewa mengetahui siapa yang berteriak itu. Sosok tua dekil yang telah kembali setelah beberapa saat sebelumnya berusaha mengejar seorang pemuda itu menyeruak dari antara kerumunan orang. Tangan kanan gelandangan tua yang dikenal kurang waras itu terangkat ke atas. Aroma yang sangat busuk segera menyebar. Beberapa orang menutup hidung.
"Jangan hiraukan dia.." satu suara dari balik kerumunan menimpali.
Orang gila itu menoleh. "Tahan! Aku tahu yang lebih baik kita lakukan untuk memutuskan ini…" Beberapa orang tertawa keras, "Dasar orang gila tolol!"
"Tolong saya Pak.." wanita muda itu memelas, masih dalam dekapan erat sang polisi. Bajunya telah compang-camping, satu kancing baju lagi jatuh ke tanah, roknya terangkat, sebagian besar pahanya tersingkap menjadi tontonan banyak orang, salah satu tali branya putus, rambutnya acak-acakan, wajahnya lelah, bingung, marah, dan ketakutan.
"Kita bawa dia kepada juruselamat. Ia tahu keadilan…"
"Siapa yang dia bicarakan?" tanya seorang pemuda.
"Pria di sana itu…" seorang lain menunjuk ke arah juruselamat kecil yang segera berusaha tampak anggun.
"Tahu apa dia?"
"Iya, tahu apa dia.. Bukankah di sini kita sudah memiliki polisi?"
"Pak Polisi, bagaimana?" seorang wanita setengah baya bertanya pada polisi itu.
"Aku polisi, akulah petugas penegak keadilan" teriak polisi itu sambil matanya mengerling pada wanita muda yang makin lemah dalam dekapannya.
"Juruselamat… mohon berikan keadilanmu…" teriak si orang gila sambil berlari ke arah juruselamat kecil.
"Hey lepaskan aku, Gila… Mau kaubawa kemana aku ini?" Juruselamat kecil berusaha melepaskan pegangan tangan kotor si orang gila. Namun, orang gila itu terlalu kuat untuknya dan dalam beberapa detik juruselamat kecil sudah berada di tengah-tengah kerumunan massa, di depan sang polisi yang tampak mulai kembali melancarkan aksinya mendekap, meraba, meremas, dan menekan tubuh wanita itu hingga terguncang-guncang ke segala arah.
Semua mata mengarah pada juruselamat kecil.
"Ehh… kalian mau percaya padaku?" suara juruselamat kecil terdengar mencari tahu sekaligus agak kurang yakin.
"Siapa kau?" suara seorang gadis dari belakang.
"Aku juruselamat. Kalian akan kuselamatkan.."
"Dari mana asalmu?" suara pemuda dari samping.
"Pak… tolong saya Pak…" wanita muda itu memandang juruselamat kecil dengan mata putus asa, seperti tak peduli lagi pada polisi yang kini bahkan mulai menciumi tengkuk dan punggungnya dengan ganas. Tubuhnya yang semula sakit kini seperti telah mati rasa, tenaganya habis.
"Asalku tidak usah kalian tahu. Aku tidak tahu, bahkan sebenarnya aku tak tahu apa-apa. Yang aku tahu adalah kalian perlu diselamatkan dan aku ada di sini untuk itu?"
"Selamat dari apa?" Tanya seorang pria di deretan depan.
"Selamat dari kesesatan, dari kekacauan!" suara juruselamat kecil mulai yakin.
"Juruselamat, wanita ini butuh keadilan" orang gila itu mengingatkan.
"Ya, aku tahu. Diamlah.." hardik juruselamat kecil. "Wanita ini butuh keadilan. Polisi ini bukanlah keadilan. Dia hanya menjalankan tugasnya sebagai petugas penegak keadilan,.. benar 'kan?" katanya sambil melirik ke arah polisi yang sejenak berhenti.
"Penegak keadilan? Ya.. ya.. benar.. benar.. itulah aku, penegak keadilan." kata sang polisi yang tampak tak begitu peduli.
"Jadi, sebagai seorang penegak keadilan, ia bertugas meluruskan yang tidak benar, hal yang tidak sesuai dengan keadilan dibuat adil lagi, lalu kenapa kita butuh kamu?." Tanya seorang wanita di baris kedua.
"Pertanyaan bagus…" Juruselamat kecil tersenyum sambil menoleh ke kanan kiri, jarinya menunjuk ke arah wanita yang bertanya itu. "Kalian logis, tapi logika tidak dapat menyelamatkan hidup kalian. Yang kalian butuhkan adalah orang yang bisa mengarahkan kepada jalan yang benar. "
"Jangan katakan kami harus percaya padamu lagi, jawab saja pertanyaannya.. kenapa kau mengira kami membutuhkanmu?" pria di baris depan mulai terlihat kesal.
"Polisi ini tidak adil. Lihat ia menyiksa wanita itu…" si orang gila mencoba ikut bicara, suaranya pelan.
"Aku juruselamat, aku ada untuk meluruskan keadilan, aku datang untuk menghancurkan penyimpangan. Mereka yang hidupnya tidak benar akan kubawa kepada kebenaran. Kalian butuh aku sebab di sini tidak ada yang cukup mengerti tentang mana yang benar dan mana yang salah."
"Hahaha… mari kita uji kebenarannya. Pak polisi, kenapa wanita ini harus kau perlakukan seperti itu?"
"Hah… apa? Ehm… eh… wanita ini pelacur, dia mengganggu rumah tangga orang. Tuan Ubadi adalah pria terhormat dan dia ini telah membawa dosa kepadanya dan polusi moral ke daerah ini… dia sangat berbahaya… tapi dia juga melawan saat hendak ditangkap. Lihat, ia tetap saja berontak…" kata polisi yang kini tubuhnya telah berada di atas tubuh wanita yang sudah dalam keadaan setengah telanjang itu.
"Bohong… aku hanya rekan kerjanya, aku mengadakan pembicaraan dengan pak Ubadi… ia juga masih lajang… aku bersama satu orang lagi.. tolong aku juruselamat… aaaduuh" wanita itu mengerang saat polisi memilin tangannya sambil menghardiknya agar berhenti bicara.
"Dasar penjahat perusak moral!" seru seorang wanita di baris belakang.
"Pelacur!" seru yang lain.
"Pezina!"
"Jalang!"
"Pembawa maksiat!"
"Perempuan pendosa!!"
Massa menjadi riuh dengan cemooh dan cacian. Beberapa mengacung-acungkan tangan. Beberapa menunjuk-nunjuk. Beberapa tertawa sambil bertepuk tangan. Beberapa menggeleng. Sang polisi tertawa terbahak-bahak, makin lama makin keras, hingga terbatuk-batuk, kemudian terengah-engah.
"Apa menurutmu ada yang salah dengan itu?" Tanya pria di baris depan pada juruselamat kecil.
"Eh… polisi ini… wanita itu… mungkin telah bersalah karena melakukan perbuatan melanggar nilai moral. Ia juga membiarkan dirinya berpakaian secara tidak pantas seperti itu di depan umum…. Tapi… ia seharusnya… kita seharusnya… eh.. hmm… cukup memenjarakannya saja… hehehe… ya benar, kita penjarakan saja dia. Tidak perlu menyiksa seperti itu.. tapi aku bukan polisi… aku bukan siapa-siapa… aku hanya tahu beberapa hal tentang kebenaran… tapi, aku akan menyelamatkan semua orang… ya.. ya."
"Apakah kau akan menyelamatkan wanita ini juga?" tiba-tiba polisi bertanya.
"Ehh.. tentu saja.. wanita ini juga" kata juruselamat kecil sambil tangannya menyeka dahinya yang mulai dibasahi keringat.
"Lawan polisi itu, juruselamat. Selamatkan wanita itu dari tangannya" si orang gila mendekat dan berkata nyaris berbisik di dekat juruselamat kecil.
"Namun, wanita ini mungkin saja bukan bagianku. Akan ada Juruselamat Besar yang akan menyelamatkannya…"
"Kau bicara apa lagi?" seru wanita di baris kedua.
"Aku bicara apa adanya. Dosanya terlalu besar… Di atasku ada Juruselamat Besar. Dialah yang memberitahuku tentang kebenaran sejati. Wanita ini adalah bagiannya… Kalian adalah bagianku."
"Jadi aku bisa mengurus wanita ini untuk sementara bukan?" Sang polisi bangkit dan berjalan ke arah juruselamat kecil. Wanita muda itu terlihat pingsan, memar di dahinya.
"Apa yang kaulakukan dengannya? Kau membunuhnya!! Polisi ini pembunuh" seru si orang gila itu kalap sambil mengelus dahi wanita muda yang pingsan dan tubuhnya hanya ditutupi selembar kertas koran.
"Apa kau bisa mempercayai aku untuk mengurusnya? Ataukah kau tidak percaya denganku?" polisi kembali bertanya, wajahnya didekatkan hingga tepat berhadapan dengan wajah juruselamat kecil. Tangannya tampak mengelus-elus gagang pistol yang disarungkan di pinggangnya.
"POLISI PEMBUNUH!!!" Orang gila itu makin kalap, sebuah batu dilemparkannya dan mengenai kaki sang polisi. Dan beberapa saat kemudian, tiga kali suara letusan terdengar, semua hening. Orang gila itu telah bersimbah darah, berlutut, dan jatuh di samping wanita muda tersebut.
"Diberkatilah dia. Ia hanya melakukan yang ia tahu. Namun, ia belum tahu yang sebenarnya. Sayang, kematiannya sangat cepat. Aku belum sempat membawanya ke jalan keselamatan" juruselamat kecil berkata sambil menegakkan kepala.
"Kau hendak membela orang gila muridmu itu?" Tanya sang polisi sambil masih memegang pistolnya yang berasap.
"Tidak.. Eh… Dia bukan muridku… dia sama sekali tidak sama denganku… ia hanya orang gila."
"Kau hendak membela wanita itu? Kau tidak membolehkanku mengurusnya?" polisi kembali bertanya.
"Hahaha… jelas tidak… aku selalu menuruti aturan yang berlaku. Kau adalah yang berwenang mengatur dan menegakkan ketertiban. Kaulah yang berhak… tapi aku akan menyelamatkanmu…" sambil berkata-kata, mata juruselamat kecil tak lepas dari pistol yang baru saja menghabisi nyawa satu-satunya orang yang tampak seratus persen percaya padanya itu.
"Kau akan menyelamatkanku dari apa?" Tanya polisi kembali.
"Dari kesesatan manusia. Maksudku, kau baru saja bersatu dengan kebejatan moral… tapi.. tapi tampaknya kau cukup kuat… kau mungkin tidak akan terkontaminasi hanya dengan persatuan secara tubuh… tapi kau tidak tahu hari ke depan. Kau harus tetap percaya padaku."
"Terserah… percaya tidak percaya, kau akan tetap sama cerewetnya. Lagipula, siapa pula kau ini? Pemimpi? Pengkhayal? Orang yang sama gilanya? Hahahaha…" sambil terus tertawa terbahak-bahak polisi itu berbalik meninggalkan juruselamat kecil, menendang jasad si orang gila, mengangkat tubuh telanjang wanita muda itu, menaruhnya di mobil, dan pergi.
Kini tinggallah juruselamat kecil bersama kerumunan orang. Ketika itu hari menunjukkan pukul dua belas siang. Di jalanan yang telah makin ramai dan makin giat tersebut, orang-orang makin banyak mengerumuninya dan menyaksikan semua yang terjadi dan setiap pembicaraannya. Beberapa anak bersorak saat si polisi pergi. Beberapa pria tertawa saat melihat dan mendengar ucapan juruselamat kecil. Beberapa ibu setengah baya menggeleng. Beberapa gadis menunjuk-nunjuk ke arah polisi itu dengan agak marah tapi tidak berani berbuat apa-apa, sementara beberapa pemuda mencoba membicarakan semua yang terjadi, membahasnya dengan serius bersama para rekannya yang lain, salah seorang bahkan telah mendapat ide akan menjadikan kejadian tersebut sebagai inspirasi bahan tulisannya.
"Juruselamat? Juruselamat apa? Ia hanya orang bodoh!" seru seorang gadis.
"Mari kita bunuh saja dia. Dasar pengganggu ketentraman…" seru seorang pemuda.
"Hei… apa maksud kalian? Jangan biarkan kesesatan merasuki pikiran kalian!" seru juruselamat kecil sambil berjalan mundur menyaksikan beberapa orang yang berwajah kesal mulai maju mendekatinya.
"Kau membiarkan pembunuh itu pergi! Bodoh! Kau hanya penjilat!" seru si gadis.
"Tidak… aku tahu polisi itu hanya mengetahui kesalahan, tapi aku mengetahui kebenaran. Kalian salah jika menganggap aku tidak tahu kalau dia bersalah telah membunuh orang gila itu…" wajah juruselamat terlihat makin pucat.
"Dia bukan orang gila, dia adalah nabi…" seorang ibu menangis sambil bersimpuh di samping jasad si orang gila.
"Ayo kita singkirkan pembunuh nabi kita ini…" seru yang lain.
"Hei.. tunggu dulu. Kalian salah orang. Bukan aku yang membunuhnya, polisi itulah pembunuhnya…" juruselamat kecil bergidik sambil melangkah mundur melihat wajah beringas orang-orang.
"Tapi kau membiarkannya!" sergah yang lain.
"Tidak… kalian juga membiarkannya… kalian juga salah. Jangan kalian dibutakan oleh kegelapan yang dibawa kekuatan polisi itu…" juruselamat kecil makin pucat. Di belakangnya adalah sebuah tembok besar. Ia tak bisa kemana-mana lagi. Ia telah tersudut.
"Rasakan!" entah dari mana munculnya, tiba-tiba guyuran bensin telah membasahi sekujur tubuh juruselamat kecil. Mereka akan membakarnya hidup-hidup. Juruselamat kecil berjongkok, tangannya memohon, ketakutan yang tak terhingga tampak jelas di matanya.
"Tolong, kalian telah salah sangka. Aku membawa misi khusus untuk kalian. Lihatlah dengan mata hati kalian… tolong, kumohon hentikan semua ini… Aku berjanji akan pergi dari sini."
"Bakar." Suara itu datar, tidak keras, tidak pelan, namun penuh wibawa. Sejenak orang-orang terdiam, terpesona mendengarnya. Namun sedetik kemudian, nyala api telah menjilat dan mendekap erat tubuh juruselamat kecil yang lari, berteriak, mencoba bergulingan di tanah, namun semua sia-sia saja. Tubuh juruselamat kecil segera berubah menjadi kobaran api, semua memandang dengan tatapan wajar, tanpa ekspresi khusus.
Seorang pemuda tegap, tampan, berkulit bersih, rambut tersisir rapi, namun telapak tangannya terlihat agak kotor, muncul dari belakang kerumunan orang. Beberapa gadis tersipu melihatnya lalu berbisik-bisik satu sama lain. Pemuda itu membuka suara, orang-orang segera terpesona. Dengan nada datar, tak keras dan tak pelan, wibawanya segera terasa.
"Aku juruselamat kalian, jangan banyak bicara lagi. Segeralah bersiap… aku datang untuk membasmi kesesatan."
***
Di satu sudut itu, mereka berdiri dengan tegak. Sorot matanya dengan angkuh memandangi lalu lalang orang di depannya. "Sungguh dunia yang sesat." batinnya. "Mereka berjalan tak tentu arah, dari satu sudut ke sudut lain untuk kemudian berbalik lagi ke sudut semula. Mereka butuh juruselamat untuk menunjukkan mana jalan yang harus ditempuh agar semua rute bolak-balik ini tidak terus terulang. Dan inilah tugasku." Maka, salah satu juruselamat kecil yang sedang kita amati ini mulai mengangkat tangan kanannya sambil telunjuknya teracung ke atas, dengan suara menggelegar ia berkata, "Wahai, kalian manusia yang tak tahu di mana asal muasal dan ke mana tujuan kalian. Kalian yang tiap hari hanya mondar-mandir kesana kemari. Kalian yang tak mengerti bagaimana kehidupan seharusnya berjalan. Kalian yang terus membuang waktu untuk berjalan tanpa pernah berhenti, karena kalian memang tak tahu ke mana harus berhenti. Lihat, di sini penunjuk jalanmu membawa sesuatu yang tak seorang pun dari kalian pernah tahu." Beberapa orang yang hilir mudik dengan berbagai keperluannya itu sejenak berhenti, sebelum kemudian memandang si juruselamat kecil dari atas ke bawah, lalu berjalan lagi sambil menggelengkan kepala.
Raut wajah si juruselamat kecil semula tampak memerah dan kesal melihat tanggapan itu. Namun, dalam beberapa saat ia bisa segera menguasai diri dan kembali menegakkan posisi tubuhnya. Ia kembali meneriakkan ucapan yang sama. Seorang anak kecil berwajah pucat dan lelah mendatanginya. "Pak, bisakah bapak mencari tahu di mana ibu saya berada? Tadi saya ke sini bersamanya, tapi kami terpisah." Juruselamat kecil memandang mata anak kecil berwajah pucat dan lelah itu. Sejenak kemudian, senyumnya mengembang dan ia kembali berteriak lantang, "Anak ini lebih tahu di mana kebenaran daripada kalian. Ia tahu mana jalan yang benar. Tidakkah kalian malu dengan diri kalian sendiri yang mengira tahu banyak padahal tidak tahu apa-apa?" Anak kecil berwajah pucat dan lelah itu kembali bertanya, "Apakah Bapak polisi?" Juruselamat kecil kembali mengacungkan telunjuknya, kali ini arahnya benar-benar lurus ke atas, tanpa memandang wajah anak kecil itu, ia lagi-lagi berteriak, "Aku bukanlah polisi sebab polisi hanya tahu mana yang salah. Tapi aku… Aku juga tahu mana yang benar. Kalian berjalan tanpa tahu mana arah yang benar dan mana yang salah. Kalian harus mengetahui kebenaran. Kalian sesat, tidak diragukan lagi!" Anak kecil berwajah pucat dan lelah tiba-tiba berbinar, ia melihat ibunya datang diantar seorang ibu lain yang menunjuk-nunjuk ke arah juruselamat kecil. Ibu dari anak berwajah pucat dan lelah itu segera memeluk anaknya. "Kamu tidak apa-apa 'kan? Kamu tidak diapa-apakan orang itu 'kan? Tolong bilang kalau dia melakukan sesuatu kepadamu, ibu akan melaporkannya kepada polisi agar dia ditangkap." Anak kecil berwajah pucat yang kini tidak lagi tampak lelah itu menggeleng. Ibunya pun tersenyum lega.
Juruselamat kecil terus mengamati ibu dan anak itu berjalan menjauh. Tak berapa lama kemudian ia kembali berteriak, lebih lantang dari sebelumnya. "Satu jiwa selamat... Satu jiwa mengikuti kebenaran… Kini giliran kalian. Masih belum terlambat sebelum api turun membakar kota ini"
Seorang tua dengan pakaian compang-camping mendekat. Aroma tubuhnya yang menjijikkan dan penampilan yang tidak menandakan kewarasan membuat juruselamat kecil mundur sempoyongan beberapa langkah. "Aku juga ingin menjadi juruselamat, yang kecil saja cukup…" kata pria tua itu. Sambil berusaha menguasai keseimbangan tubuhnya, juruselamat kecil memandang tajam sosok pria tua di depannya, wajahnya lagi-lagi memerah. "Pergi kau!" hardiknya. Seorang remaja yang rupanya sedari tadi mengamati tingkah keduanya tertawa terbahak-bahak. Juruselamat kecil tampak makin marah. Tanpa peduli pada posisi tubuhnya yang miring dan tidak lagi menunjukkan keanggunan, ia berteriak, "Apa yang kau tertawakan, manusia sesat?? Aku tidak sedang mengusir orang gila ini, tapi aku mengusir hasrat sesatnya untuk menjadi juruselamat. Juruselamat bukanlah pekerjaan yang bisa dilakukan oleh sembarang orang. Aku telah dipanggil sebagai juruselamat karena itulah tugas yang diberikan Juruselamat besar kepadaku." Remaja itu masih tertawa, setelah menengok ke kanan kiri memastikan keadaan agak sepi, ia berkata, "heh, orang gila… jangan sembarangan omong ya. Kamu bisa ditangkap karena bikin keonaran." Mendengar kalimat "ditangkap karena membuat keonaran" raut juruselamat kecil justru terlihat makin bersemangat. "Ayo tangkaplah aku… Aku tidak takut menderita, aku tidak takut disiksa… Aku tidak pernah takut mati, hanya pengecut yang takut mati sehingga mau menjual dirinya pada kesesatan." Remaja itu berhenti tertawa, ia tampak kesal. Terlebih setelah melihat ada orang yang datang, ia segera mundur meninggalkan juruselamat kecil dan orang gila itu. "Anak muda… jangan lari!" teriak si orang tua gila. "Kejar dia! Jangan sampai lepas!" perintah juruselamat kecil pada orang tua gila itu. Tanpa menoleh apalagi membantah, perintah itu diikuti dan membuat si remaja tanggung itu makin mempercepat langkahnya.
Juruselamat kecil menghela napas. Tubuhnya kini ditegakkan lagi. Seorang polisi yang kebetulan lewat berhenti sebentar, mengamatinya. Juruselamat kecil diam, sedikit bergidik melihat seragam, terlebih pistol yang melekat di sabuk si petugas. Namun, ia dengan cepat bisa menguasai keadaan. Ia tidak berteriak lagi melainkan hanya memandangi gerak-gerik polisi yang kini berdiri di depannya sambil menyalakan rokok. Seorang wanita muda menghampiri polisi, memberi tahu bahwa bemper mobilnya ringsek ditabrak seseorang tak dikenal saat ia memarkir mobilnya tidak jauh dari situ. Polisi segera mengikuti wanita itu. Dari tempatnya, juruselamat kecil terus mengawasi dan mencoba menguping pembicaraan mereka. "Jadi ibu tadi parkir di sini? Berapa jam Bu?" Tanya polisi sambil mengeluarkan buku kecil dan pulpen.
"Semalaman Pak"
"Semalaman? Apakah Ibu tinggal di sini?"
"Tidak Pak… saya menginap di rumah teman saya…"
"Siapa nama teman Anda, di mana rumahnya?"
"Ehmm.. . apa kaitannya dengan laporan mobil saya ditabrak Pak?"
"Ini penting Bu, KAMI perlu motif…"
"Teman saya tinggal di apartemen depan itu.."
"Namanya?"
"Ubadi Ubada"
"Hmm?" Polisi mengernyitkan dahi. "Apa hubungan Ibu dengan bapak Ubadi?"
"Kami rekan kerja"
Dalam beberapa detik, polisi meletakkan pulpen, mengeluarkan pistol dari sarung di ikat pinggangnya, diletakkan di atas kap mobil sedan wanita itu, demikian juga dengan borgol.
"Ada apa ini?"
"Ibu telah melanggar hukum susila di negeri ini… Ibu telah melakukan tindakan amoral dengan bapak Ubadi dan mengotori nilai moralitas serta mengganggu keamanan di negeri ini…"
"Anda salah paham, pak Polisi… Saya semalaman bekerja membahas rancangan desain proyek dengan pak Ubadi, kami tidak hanya berdua di sana. Ada lagi seorang rekan yang terlibat dalam proyek ini. Ini adalah proyek yang…"
"Alasan ibu bisa dibicarakan di kantor, mari ikuti saya"
"Tidak bisa…" wanita itu menepis tangan polisi yang berupaya memegang pundaknya dan memborgol pergelangan tangannya. Namun dengan sigap, polisi meraih sebelah tangannya yang lain dan dalam satu gerakan memutarnya ke belakang, dan kedua tangan polisi itu dalam hitungan detik telah melingkar erat di pinggang wanita muda itu dari belakang dengan sangat erat, mendekatkannya pada tubuhnya sendiri.
"Ibu jangan melawan, KAMI bisa mendakwa Anda melawan…"
"Lepaskan saya… Anda juga dapat saya dakwa melakukan pelecehan dan penyerangan secara seksual…" Teriak wanita itu sambil kedua tangannya berusaha memukul tangan polisi dan melepaskan dekapan eratnya di pinggang dan perutnya. Namun, polisi justru mengencangkan dekapannya, jari-jarinya bahkan mulai diarahkan ke atas dan memegang bagian dada wanita itu. "Diam, Bu! Atas nama hukum KAMI perintahkan diam!! Jangan melawan!! Menyerahlah!!"
"Tolooongg…" wanita itu menjerit, suaranya terdengar putus asa saat menyadari tangan polisi makin jauh menggerayangi tubuhnya.
Ketika itu hari menunjukkan pukul sebelas. Di jalanan yang telah ramai dan giat tersebut, beberapa orang mulai mengerumuni polisi yang terus mendekap dan melumpuhkan wanita muda yang mencoba berontak itu. Beberapa anak bersorak. Beberapa pria tertawa. Beberapa ibu setengah baya menggeleng. Beberapa gadis menunjuk-nunjuk pemandangan itu dengan agak marah tapi tidak berani berbuat apa-apa, sementara beberapa pemuda mencoba membicarakan hal itu, membahasnya dengan serius bersama para rekannya yang lain, salah seorang bahkan telah mendapat ide akan menjadikan kejadian tersebut sebagai inspirasi bahan tulisannya.
"Hey… hentikan!" tiba-tiba sebuah suara keras menggelegar dari balik kerumunan itu. Semua menoleh, mencari sumber suara itu, termasuk sang polisi dan wanita muda yang beberapa kancing bajunya telah lepas akibat pergumulan itu.
"Orang gila, ngapain dia?" Seorang bapak tampak kecewa mengetahui siapa yang berteriak itu. Sosok tua dekil yang telah kembali setelah beberapa saat sebelumnya berusaha mengejar seorang pemuda itu menyeruak dari antara kerumunan orang. Tangan kanan gelandangan tua yang dikenal kurang waras itu terangkat ke atas. Aroma yang sangat busuk segera menyebar. Beberapa orang menutup hidung.
"Jangan hiraukan dia.." satu suara dari balik kerumunan menimpali.
Orang gila itu menoleh. "Tahan! Aku tahu yang lebih baik kita lakukan untuk memutuskan ini…" Beberapa orang tertawa keras, "Dasar orang gila tolol!"
"Tolong saya Pak.." wanita muda itu memelas, masih dalam dekapan erat sang polisi. Bajunya telah compang-camping, satu kancing baju lagi jatuh ke tanah, roknya terangkat, sebagian besar pahanya tersingkap menjadi tontonan banyak orang, salah satu tali branya putus, rambutnya acak-acakan, wajahnya lelah, bingung, marah, dan ketakutan.
"Kita bawa dia kepada juruselamat. Ia tahu keadilan…"
"Siapa yang dia bicarakan?" tanya seorang pemuda.
"Pria di sana itu…" seorang lain menunjuk ke arah juruselamat kecil yang segera berusaha tampak anggun.
"Tahu apa dia?"
"Iya, tahu apa dia.. Bukankah di sini kita sudah memiliki polisi?"
"Pak Polisi, bagaimana?" seorang wanita setengah baya bertanya pada polisi itu.
"Aku polisi, akulah petugas penegak keadilan" teriak polisi itu sambil matanya mengerling pada wanita muda yang makin lemah dalam dekapannya.
"Juruselamat… mohon berikan keadilanmu…" teriak si orang gila sambil berlari ke arah juruselamat kecil.
"Hey lepaskan aku, Gila… Mau kaubawa kemana aku ini?" Juruselamat kecil berusaha melepaskan pegangan tangan kotor si orang gila. Namun, orang gila itu terlalu kuat untuknya dan dalam beberapa detik juruselamat kecil sudah berada di tengah-tengah kerumunan massa, di depan sang polisi yang tampak mulai kembali melancarkan aksinya mendekap, meraba, meremas, dan menekan tubuh wanita itu hingga terguncang-guncang ke segala arah.
Semua mata mengarah pada juruselamat kecil.
"Ehh… kalian mau percaya padaku?" suara juruselamat kecil terdengar mencari tahu sekaligus agak kurang yakin.
"Siapa kau?" suara seorang gadis dari belakang.
"Aku juruselamat. Kalian akan kuselamatkan.."
"Dari mana asalmu?" suara pemuda dari samping.
"Pak… tolong saya Pak…" wanita muda itu memandang juruselamat kecil dengan mata putus asa, seperti tak peduli lagi pada polisi yang kini bahkan mulai menciumi tengkuk dan punggungnya dengan ganas. Tubuhnya yang semula sakit kini seperti telah mati rasa, tenaganya habis.
"Asalku tidak usah kalian tahu. Aku tidak tahu, bahkan sebenarnya aku tak tahu apa-apa. Yang aku tahu adalah kalian perlu diselamatkan dan aku ada di sini untuk itu?"
"Selamat dari apa?" Tanya seorang pria di deretan depan.
"Selamat dari kesesatan, dari kekacauan!" suara juruselamat kecil mulai yakin.
"Juruselamat, wanita ini butuh keadilan" orang gila itu mengingatkan.
"Ya, aku tahu. Diamlah.." hardik juruselamat kecil. "Wanita ini butuh keadilan. Polisi ini bukanlah keadilan. Dia hanya menjalankan tugasnya sebagai petugas penegak keadilan,.. benar 'kan?" katanya sambil melirik ke arah polisi yang sejenak berhenti.
"Penegak keadilan? Ya.. ya.. benar.. benar.. itulah aku, penegak keadilan." kata sang polisi yang tampak tak begitu peduli.
"Jadi, sebagai seorang penegak keadilan, ia bertugas meluruskan yang tidak benar, hal yang tidak sesuai dengan keadilan dibuat adil lagi, lalu kenapa kita butuh kamu?." Tanya seorang wanita di baris kedua.
"Pertanyaan bagus…" Juruselamat kecil tersenyum sambil menoleh ke kanan kiri, jarinya menunjuk ke arah wanita yang bertanya itu. "Kalian logis, tapi logika tidak dapat menyelamatkan hidup kalian. Yang kalian butuhkan adalah orang yang bisa mengarahkan kepada jalan yang benar. "
"Jangan katakan kami harus percaya padamu lagi, jawab saja pertanyaannya.. kenapa kau mengira kami membutuhkanmu?" pria di baris depan mulai terlihat kesal.
"Polisi ini tidak adil. Lihat ia menyiksa wanita itu…" si orang gila mencoba ikut bicara, suaranya pelan.
"Aku juruselamat, aku ada untuk meluruskan keadilan, aku datang untuk menghancurkan penyimpangan. Mereka yang hidupnya tidak benar akan kubawa kepada kebenaran. Kalian butuh aku sebab di sini tidak ada yang cukup mengerti tentang mana yang benar dan mana yang salah."
"Hahaha… mari kita uji kebenarannya. Pak polisi, kenapa wanita ini harus kau perlakukan seperti itu?"
"Hah… apa? Ehm… eh… wanita ini pelacur, dia mengganggu rumah tangga orang. Tuan Ubadi adalah pria terhormat dan dia ini telah membawa dosa kepadanya dan polusi moral ke daerah ini… dia sangat berbahaya… tapi dia juga melawan saat hendak ditangkap. Lihat, ia tetap saja berontak…" kata polisi yang kini tubuhnya telah berada di atas tubuh wanita yang sudah dalam keadaan setengah telanjang itu.
"Bohong… aku hanya rekan kerjanya, aku mengadakan pembicaraan dengan pak Ubadi… ia juga masih lajang… aku bersama satu orang lagi.. tolong aku juruselamat… aaaduuh" wanita itu mengerang saat polisi memilin tangannya sambil menghardiknya agar berhenti bicara.
"Dasar penjahat perusak moral!" seru seorang wanita di baris belakang.
"Pelacur!" seru yang lain.
"Pezina!"
"Jalang!"
"Pembawa maksiat!"
"Perempuan pendosa!!"
Massa menjadi riuh dengan cemooh dan cacian. Beberapa mengacung-acungkan tangan. Beberapa menunjuk-nunjuk. Beberapa tertawa sambil bertepuk tangan. Beberapa menggeleng. Sang polisi tertawa terbahak-bahak, makin lama makin keras, hingga terbatuk-batuk, kemudian terengah-engah.
"Apa menurutmu ada yang salah dengan itu?" Tanya pria di baris depan pada juruselamat kecil.
"Eh… polisi ini… wanita itu… mungkin telah bersalah karena melakukan perbuatan melanggar nilai moral. Ia juga membiarkan dirinya berpakaian secara tidak pantas seperti itu di depan umum…. Tapi… ia seharusnya… kita seharusnya… eh.. hmm… cukup memenjarakannya saja… hehehe… ya benar, kita penjarakan saja dia. Tidak perlu menyiksa seperti itu.. tapi aku bukan polisi… aku bukan siapa-siapa… aku hanya tahu beberapa hal tentang kebenaran… tapi, aku akan menyelamatkan semua orang… ya.. ya."
"Apakah kau akan menyelamatkan wanita ini juga?" tiba-tiba polisi bertanya.
"Ehh.. tentu saja.. wanita ini juga" kata juruselamat kecil sambil tangannya menyeka dahinya yang mulai dibasahi keringat.
"Lawan polisi itu, juruselamat. Selamatkan wanita itu dari tangannya" si orang gila mendekat dan berkata nyaris berbisik di dekat juruselamat kecil.
"Namun, wanita ini mungkin saja bukan bagianku. Akan ada Juruselamat Besar yang akan menyelamatkannya…"
"Kau bicara apa lagi?" seru wanita di baris kedua.
"Aku bicara apa adanya. Dosanya terlalu besar… Di atasku ada Juruselamat Besar. Dialah yang memberitahuku tentang kebenaran sejati. Wanita ini adalah bagiannya… Kalian adalah bagianku."
"Jadi aku bisa mengurus wanita ini untuk sementara bukan?" Sang polisi bangkit dan berjalan ke arah juruselamat kecil. Wanita muda itu terlihat pingsan, memar di dahinya.
"Apa yang kaulakukan dengannya? Kau membunuhnya!! Polisi ini pembunuh" seru si orang gila itu kalap sambil mengelus dahi wanita muda yang pingsan dan tubuhnya hanya ditutupi selembar kertas koran.
"Apa kau bisa mempercayai aku untuk mengurusnya? Ataukah kau tidak percaya denganku?" polisi kembali bertanya, wajahnya didekatkan hingga tepat berhadapan dengan wajah juruselamat kecil. Tangannya tampak mengelus-elus gagang pistol yang disarungkan di pinggangnya.
"POLISI PEMBUNUH!!!" Orang gila itu makin kalap, sebuah batu dilemparkannya dan mengenai kaki sang polisi. Dan beberapa saat kemudian, tiga kali suara letusan terdengar, semua hening. Orang gila itu telah bersimbah darah, berlutut, dan jatuh di samping wanita muda tersebut.
"Diberkatilah dia. Ia hanya melakukan yang ia tahu. Namun, ia belum tahu yang sebenarnya. Sayang, kematiannya sangat cepat. Aku belum sempat membawanya ke jalan keselamatan" juruselamat kecil berkata sambil menegakkan kepala.
"Kau hendak membela orang gila muridmu itu?" Tanya sang polisi sambil masih memegang pistolnya yang berasap.
"Tidak.. Eh… Dia bukan muridku… dia sama sekali tidak sama denganku… ia hanya orang gila."
"Kau hendak membela wanita itu? Kau tidak membolehkanku mengurusnya?" polisi kembali bertanya.
"Hahaha… jelas tidak… aku selalu menuruti aturan yang berlaku. Kau adalah yang berwenang mengatur dan menegakkan ketertiban. Kaulah yang berhak… tapi aku akan menyelamatkanmu…" sambil berkata-kata, mata juruselamat kecil tak lepas dari pistol yang baru saja menghabisi nyawa satu-satunya orang yang tampak seratus persen percaya padanya itu.
"Kau akan menyelamatkanku dari apa?" Tanya polisi kembali.
"Dari kesesatan manusia. Maksudku, kau baru saja bersatu dengan kebejatan moral… tapi.. tapi tampaknya kau cukup kuat… kau mungkin tidak akan terkontaminasi hanya dengan persatuan secara tubuh… tapi kau tidak tahu hari ke depan. Kau harus tetap percaya padaku."
"Terserah… percaya tidak percaya, kau akan tetap sama cerewetnya. Lagipula, siapa pula kau ini? Pemimpi? Pengkhayal? Orang yang sama gilanya? Hahahaha…" sambil terus tertawa terbahak-bahak polisi itu berbalik meninggalkan juruselamat kecil, menendang jasad si orang gila, mengangkat tubuh telanjang wanita muda itu, menaruhnya di mobil, dan pergi.
Kini tinggallah juruselamat kecil bersama kerumunan orang. Ketika itu hari menunjukkan pukul dua belas siang. Di jalanan yang telah makin ramai dan makin giat tersebut, orang-orang makin banyak mengerumuninya dan menyaksikan semua yang terjadi dan setiap pembicaraannya. Beberapa anak bersorak saat si polisi pergi. Beberapa pria tertawa saat melihat dan mendengar ucapan juruselamat kecil. Beberapa ibu setengah baya menggeleng. Beberapa gadis menunjuk-nunjuk ke arah polisi itu dengan agak marah tapi tidak berani berbuat apa-apa, sementara beberapa pemuda mencoba membicarakan semua yang terjadi, membahasnya dengan serius bersama para rekannya yang lain, salah seorang bahkan telah mendapat ide akan menjadikan kejadian tersebut sebagai inspirasi bahan tulisannya.
"Juruselamat? Juruselamat apa? Ia hanya orang bodoh!" seru seorang gadis.
"Mari kita bunuh saja dia. Dasar pengganggu ketentraman…" seru seorang pemuda.
"Hei… apa maksud kalian? Jangan biarkan kesesatan merasuki pikiran kalian!" seru juruselamat kecil sambil berjalan mundur menyaksikan beberapa orang yang berwajah kesal mulai maju mendekatinya.
"Kau membiarkan pembunuh itu pergi! Bodoh! Kau hanya penjilat!" seru si gadis.
"Tidak… aku tahu polisi itu hanya mengetahui kesalahan, tapi aku mengetahui kebenaran. Kalian salah jika menganggap aku tidak tahu kalau dia bersalah telah membunuh orang gila itu…" wajah juruselamat terlihat makin pucat.
"Dia bukan orang gila, dia adalah nabi…" seorang ibu menangis sambil bersimpuh di samping jasad si orang gila.
"Ayo kita singkirkan pembunuh nabi kita ini…" seru yang lain.
"Hei.. tunggu dulu. Kalian salah orang. Bukan aku yang membunuhnya, polisi itulah pembunuhnya…" juruselamat kecil bergidik sambil melangkah mundur melihat wajah beringas orang-orang.
"Tapi kau membiarkannya!" sergah yang lain.
"Tidak… kalian juga membiarkannya… kalian juga salah. Jangan kalian dibutakan oleh kegelapan yang dibawa kekuatan polisi itu…" juruselamat kecil makin pucat. Di belakangnya adalah sebuah tembok besar. Ia tak bisa kemana-mana lagi. Ia telah tersudut.
"Rasakan!" entah dari mana munculnya, tiba-tiba guyuran bensin telah membasahi sekujur tubuh juruselamat kecil. Mereka akan membakarnya hidup-hidup. Juruselamat kecil berjongkok, tangannya memohon, ketakutan yang tak terhingga tampak jelas di matanya.
"Tolong, kalian telah salah sangka. Aku membawa misi khusus untuk kalian. Lihatlah dengan mata hati kalian… tolong, kumohon hentikan semua ini… Aku berjanji akan pergi dari sini."
"Bakar." Suara itu datar, tidak keras, tidak pelan, namun penuh wibawa. Sejenak orang-orang terdiam, terpesona mendengarnya. Namun sedetik kemudian, nyala api telah menjilat dan mendekap erat tubuh juruselamat kecil yang lari, berteriak, mencoba bergulingan di tanah, namun semua sia-sia saja. Tubuh juruselamat kecil segera berubah menjadi kobaran api, semua memandang dengan tatapan wajar, tanpa ekspresi khusus.
Seorang pemuda tegap, tampan, berkulit bersih, rambut tersisir rapi, namun telapak tangannya terlihat agak kotor, muncul dari belakang kerumunan orang. Beberapa gadis tersipu melihatnya lalu berbisik-bisik satu sama lain. Pemuda itu membuka suara, orang-orang segera terpesona. Dengan nada datar, tak keras dan tak pelan, wibawanya segera terasa.
"Aku juruselamat kalian, jangan banyak bicara lagi. Segeralah bersiap… aku datang untuk membasmi kesesatan."
***
Label: cerita
Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...lanjutan dari kisah guru TK
Masa SD yang enam tahun lamanya itu mungkin hanya bisa ditandingi waktu kuliah. Tapi mungkin tidak juga, mungkin SD lebih diingat karena katanya ingatan itu seperti bak pasir, pasir yang pertama masuk akan menghuni bagian dasar bak, menjadi pernopangnya, sementara pasir yang berikutnya hingga butir-butir yang terakhir akan menjadi bagian yang diinjak.
Setahun di bangku TK, aku kemudian disekolahkan ke SD yang masih dalam naungan yayasan yang sama, tapi lokasi sekolahnya beda, SD Widya Wacana di daerah Pasar Legi, Solo, sekolah swasta yang dinaungi sebuah yayasan Kristen yang berafiliasi ke organisasi GKI (Gereja Kristen Indonesia), yayasan yang sama juga menaungi universitas Satya Wacana di Salatiga. Guru pertamaku, yang adalah wali kelasku di kelas A adalah bu Yanti. Lengkapnya Dewi Yanti. Guru yang satu ini bertubuh kecil, berambut keriting, mata bulat, dengan janggut maju alias agak nyakil. Satu hal yang barangkali akan selalu dikenang semua bekas muridnya adalah kesukaannya bercerita. Ia punya banyak sekali koleksi dongeng, tentang keluarga kerajaan, dunia hewan, atau kisah dari Alkitab dan belakangan kisah dari film yang ia tonton dengan beberapa modifikasi disesuaikan dengan usia anak-anak, warna ceritanya baik yang kebarat-baratan, kemelayu-melayuan hingga kehongkong-hongkongan. Dongeng yang masih kuingat di antaranya tentang kancil, pangeran kodok, sebuah fragmen dari cerita film aksi bikinan Hong Kong yang dibintangi Chow Yun Fat yang beberapa hari sebelumnya juga aku tonton bersama Papa, dan kisah tentang Abraham yang mengorbankan Ishak, yang aku ingat terutama karena bu Yanti mendeskripsikan, "kalau Ismael itu nakal kayak… (nama temanku), tapi kalau Ishak anaknya diam, kayak lalathijau ini, yang kalau dinakali diam aja." Aku tidak bisa membayangkan perilakuku waktu kecil, tapi hubunganku dengan bu Yanti aku rasakan cukup dekat, meski aku sedemikian pendiam. Bu Yanti ini memang adalah wali kelasku, ia sangatlah sabar dan mungkin tidak bisa marah. Satu kali ketika di kelas 1, aku lupa membawa sesuatu untuk mata pelajaran Prakarya (keterampilan tangan). Nah, karena harus menepati janji akan mencubit anak yang lupa membawa, bu Yanti berpura-pura mencubitku, tapi hanya dengan sentuhan ringan saja sambil tersenyum pula, meski juga dengan berkata "hayo, nggak bawa, elek ini." Meski demikian, aku toh tetap merasa sedikit terpukul, aku masih ingat aku mencoba memandangi tanganku yang habis 'dicubit' bu Yanti itu. Tidak ada bekasnya, tentu saja, tapi aku merasa ada bekas putih di kulitku, mungkin itu kapur, aku merasakan panas menjalari wajahku, mungkin karena malu, mungkin aku seperti pemain bola yang diving. Tapi di luar itu, pastinya hukuman pertamaku di sekolah itu masih kuingat sampai sekarang.
Di kelas 1, guru yang mengajar kami memang tidak banyak. Wali kelas mengajarkan hampir semua pelajaran. Pengecualian mungkin adalah pelajaran olahraga (dulu namanya ORKES = Olahraga dan Kesehatan, halah.. singkatan itu sampai SMP sungguh membuatku sering rancu dengan kata orkes dalam bidang musik). Pelajaran ORKES selalu diajarkan oleh guru pria. Entah dia atletis atau tidak, rasanya setiap guru pria di SD ku harus selalu bisa menjadi guru olahraga, terutama untuk olahraga praktik, bukan teori. Tapi, tingkah polah para guru pria waktu SD ini akan kuceritakan nanti. Kembali pada bu Yanti, selain sebagai guru, ia juga punya sambilan membuat dan menjual kacang telor. Kacang bersalut tepung dalam bungkus plastik kecil dengan tulisan dan gambar warna merah, sayang aku lupa nama mereknya, dijual seharga 25 rupiah per-bungkusnya. Aku tahu dan masih ingat sebab kacang itu juga titip dijual di kantin sekolah dan merupakan salah satu jajanan kesukaanku waktu itu.
Hubunganku, termasuk keluargaku, dengan bu Yanti tergolong baik. Ya, menjadi guru SD memang tidak mudah, selain berhubungan dengan si murid, kita juga harus bisa menjalin hubungan yang baik dengan keluarga terutama orangtuanya, apalagi di kota kecil seperti Solo, apalagi sebagai sesama etnis Cina, apalagi di tahun-tahun itu (1980-1990-an). Mama hampir selalu tahu perkembangan dan sikapku selama di sekolah, ia juga tahu dan membawa sebutan 'pak Kem' dan 'bu Kem' yang dicetuskan oleh bu Yanti di sekolah, jika ada anak yang jorok, tangannya kotor, bajunya kotor, dsb. 'Kem' maksudnya adalah singkatan dari 'kemproh.' Mama dan kakak-kakakku, saling tahu dan saling mengenal dengan bu Yanti. Tapi Papa tidak. Terjadilah, satu hari aku diajak Papa makan sate kambing (sekarang ketahuan kalau memang Papa sendirilah yang tidak bisa menjaga menu makannya sampai kena macam-macam penyakit, termasuk hipertensi), di warung itu aku bertemu bu Yanti dan suaminya juga sedang makan di sana. Bu Yanti menyapaku tapi aku justru seperti malu-malu dan enggan beramah-tamah dengannya. Sejujurnya, saat itu aku merasa bingung hampir tidak percaya karena melihat guruku berada di tempat selain sekolah, dengan pakaian biasa, makan makanan yang sama denganku. Begitulah pikiranku saat itu. Karena belum tahu kalau dia adalah guruku di sekolah, Papa sendiri mungkin tampak heran dan tidak bisa menduga siapa kira-kira wanita setengah baya dengan suaminya yang botak dan berkacamata tebal itu. Ia pun hanya menyapa seadanya. Setelah pulang dan aku bercerita pada Mama tentang pertemuanku dengan bu Yanti, barulah Papa menyadari dan merasa sangat rikuh karena merasa kurang bersikap sepantasnya pada waliku di sekolah itu, "oalah, kok nggak ngomong?, lain kali disapa dong, jangan diam saja ketemu gurunya, …" demikian nasihat Papa padaku. Sebagai orang kuno, Papa tampaknya memang memandang seorang guru sebagai sosok yang sangat mulia, begitu kira-kira.
Waktu aku duduk di kelas 3 atau 4, Bu Yanti sempat sakit dan absen mengajar beberapa bulan, atau bahkan setahun, untuk memulihkan kesehatannya. Barangkali ia bahkan sempat mondok di rumah sakit, aku lupa. Mungkin saja penyakitnya tidak jauh dari akibat kebiasaan pola makan yang sama seperti Papaku, yang jelas waktu aku kelas 5, ia sudah kembali mengajar meski tampaknya tidak menjadi wali kelas lagi, dengan tubuh yang tampak lebih lemah dan makin kurus. Ia mengajar aku di mata pelajaran Seni Musik waktu kelas 5. Tapi, bukannya mengajar, kami malah lebih sering mendengarkan dongeng-dongengnya. Bu Yanti mungkin memang benar-benar lebih suka mendongeng ketimbang mengajar mata pelajaran yang sudah ditetapkan sesuai kurikulum yang tidak mencerdaskan anak itu. Mungkin saja ia merasa pendidikan budi pekerti melalui dongeng akan lebih berguna bagi anak-anak. Selalu, setiap melihat para murid terasa jenuh atau tidak berminat mengikuti pelajaran dan mulia berulah, bu Yanti segera berkata, "Bu Yanti punya cerita, mau dengar nggak?" Atau mungkin ia mendongeng karena alasan praktis, ia tak ingin atau tak bisa marah pada anak-anak yang ramai atau susah diatur, jadi ia pun selalu menggunakan rayuan, "kalau kalian tidak mau diam, bu Yanti tidak akan cerita lho.. ayo diam dulu." Rayuan itu memang sering manjur, paling tidak untuk sebagian besar anak, apalagi untuk aku yang tergolong murid yang tak banyak tingkah dan tuntutan. Jadilah satu jam pelajaran digunakan untuk mendongeng, kadang sampai dua dongeng, kadang yang satu selesai, satunya lagi bersambung di pertemuan berikutnya. Satu kali, wali kelasku di kelas 5 itu, bu Tjien Hwa datang ketika bu Yanti sedang mendongeng. Saat itu, bu Tjien Hwa memergoki beberapa temanku yang memang termasuk golongan yang banyak polahnya sedang main silat-silatan di depan kelas, di belakang punggung bu Yanti yang mendongeng di hadapan sebagian anak yang mau mendengarkan. Waktu bu Yanti ada di sana, bu Tjien Hwa hanya terlihat kaget tapi tidak marah-marah pada anak-anak yang main silat-silatan itu. Tapi, di hari atau jam pelajaran berikutnya, bu Tjien Hwa langsung marah-marah pada anak-anak itu. Situasi itu memang lebih seperti situasi di rumah tangga, antara tamu dan tuan rumah, dan sebaliknya. Tapi memang demikianlah keadaannya di SD-ku saat itu.
Kira-kira waktu aku duduk di bangku SMP, aku mendengar kabar bu Yanti meninggal dunia. Guru yang sangat penyabar, yang lebih seperti seorang nenek dalam cerita, yang minatnya dalam mengajar mungkin hanya mendongeng dan menyanyi itu kalau tidak salah meninggal karena penyakit yang sama yang pernah membuatnya absen selama setahun untuk kemudian kembali lagi, tapi sebagai guru yang tak begitu penting. Aku merasa ia guru yang memang sangat mencintai anak-anak. Ia selalu mengakhiri dongengnya tepat ketika bel berbunyi, dengan mengucap kalimat penutup, "baar.. ceritane bu Yanti apik ya.." sambil tersenyum lebar dan tangan dilipat di depan. Kalimat yang diucapkan dengan lambat seperti tirai pertunjukan yang pelan-pelan ditutup. Aku mungkin sudah tak begitu ingat semua dongengnya, tapi sepertinya dialah satu-satunya orang yang mengenalkan dongeng lisan padaku.
Guru kedua adalah bu Jun, nama lengkapnya Juniasningsih. Dia adalah wali kelasku saat kelas 2, masih muda mungkin usianya sekitar 30-an tahun, rambutnya model keriting sebahu yang sedang ngetren waktu itu (lihat gaya rambut Merriam Bellina di film Catatan si Boy), pipinya agak tembem dan bergigi kelinci. Beda dengan bu Yanti yang sangat kekeluargaan, bu Jun pembawaannya lebih pendiam. Sebagai guru, sepertinya ia lempeng-lempeng saja. Bu Jun juga sabar, aku tidak ingat ia pernah marah-marah. Satu perbedaan antara bu Jun dan bu Yanti yang masih sangat kuingat adalah tulisan tangannya. Tulisan bu Yanti berkait, besar-besar, gaya khas orang tua, sedangkan tulisan tangan bu Jun rapi, kecil-kecil, dan tidak berkait. Ketika duduk di kelas dua itulah aku mulai meraih juara, cawu (caturwulan) 1, 2, 3 selalu juara 2 sekelas, dengan formasi juara 1 dan 3 juga selalu sama. Juara 1, Reine Wulandari, juara 2, lalathijau, dan juara 3, Eko Haryanto. Entah kenapa bisa begitu, dan karena prestasi yang selalu sama itu, tulisan pesan guru di raporku juga selalu sama, tapi sekarang aku lupa bunyinya. Hanya saja, aku ingat ketika di cawu 1 aku pertama kali meraih juara 2, sambil memberikan rapor, bu Jun sempat memelukku sambil mengucapkan "Selamat ya", tentu saja aku bertambah bangga waktu itu. Bu Jun sepertinya memang menyayangiku. Ia jugalah satu-satunya guru yang pernah mengunjungi rumahku. Waktu itu, aku tidak masuk karena sakit, jadi sepulang sekolah bu Jun menjengukku. Sakitku memang tidak parah, hanya sedikit panas, waktu bu Jun datang pun aku sedang berkeliaran di rumah dan melihat guruku datang aku jadi malu. Tapi, aku masih ingat sampai sekarang. Di kelas 2, karena keterbatasan ruang kelas yang dimiliki sekolahku, aku masuk mulai pukul 09.30. Dengan demikian, bisa jadi itu adalah setahun masa paling santai dan menyenangkan dalam hidupku sebagai anak SD, atau mungkin juga sampai sekarang. Meski demikian, masa itu seperti lewat terlalu cepat, jadi tidak begitu banyak yang bisa kuceritakan, termasuk tentang bu Jun ini.
Guru ketiga, yang adalah wali kelasku di kelas 3 dan 6 adalah salah satu guru SD yang paling kuingat. Nama lengkapnya Kwa Tjien Hwa, dipanggil bu Tjien Hwa (bacanya Cin Hua). Badannya besar, kulitnya hitam, wajahnya kasar dengan beberapa bekas jerawat, flek, dan tahi lalat, rambutnya keriting dipotong pendek model laki-laki, berkacamata putih, serta wajah jarang tersenyum (seingatku). Gambaran yang terekam tentang bu Tjien Hwa memang demikian, detail tapi juga terkesan buruk. Memang, bu Tjien Hwa adalah guru yang menurutku galak, termasuk pada aku yang pendiam ini. Tapi, bu Tjien Hwa memang mengidap hipertensi, pernah satu kali ia tiba-tiba minta izin pulang karena pusing akibat tekanan darahnya naik. Bu Tjien Hwa sering kuanggap sebagai musuh, apalagi karena dia tampaknya lebih concern pada mata pelajaran Matematika yang aku benci.
Pengalaman terburukku dengan bu Tjien Hwa terjadi ketika masih di kelas 3. Waktu itu, entah kenapa yang jelas untuk pertama kalinya aku lupa mengerjakan PR. Soal-soal hitungan itu adalah sisa pekerjaan kemarin yang karena waktunya tidak mencukupi sehingga diputuskan dipakai sebagai bahan PR. Maka, karena tidak ada yang bisa membantu, sewaktu bu Tjien Hwa menyuruh anak-anak untuk mengeluarkan PR dan menukarkannya pada teman sebelahnya, aku buru-buru mengisi kolom-kolom yang masih kosong dengan angka-angka jawaban yang ngawur, sementara teman sebelahku juga tampak sudah tidak sabar karena pekerjaanku tidak segera diberikan kepadanya. Waktu itu, anak kelas 3 SD, atau barangkali hanya aku dan temanku itu saja, mungkin belum berpikir tentang bekerjasama menutupi kesalahan temannya, misalnya dengan meminjamkan PR-nya untuk disalin. Waktu itu, bu Tjien Hwa berkeliling ke bangku anak-anak untuk melihat kalau-kalau ada yang belum mengerjakan PR-nya. Beberapa anak ada yang kedapatan belum mengerjakan dan dihardik disuruh mengerjakan di luar. Waktu mendekati bangkuku, dengan gemetaran aku memperlihatkan buku PR-ku padanya, setelah sebelumnya karena panik aku justru memasukkannya lagi ke dalam tas, bu Tjien Hwa pun harus meminta, "lalat, mana coba liat PR-nya, sudah bikin belum?" Dengan melihat sekilas, kolom-kolom terlihat penuh, bu Tjien Hwa pun membiarkan dan berlalu. Aku sungguh lega. Tapi sekali lagi, karena lugunya, meski yang memeriksa PR-ku adalah teman sebelahku, yang tentu saja harusnya cukup akrab denganku, sewaktu jawaban yang benar dibacakan, toh tidak ada pikiran untuk mengisikan yang benar ke kolom yang masih kosong, sekadar membantu teman… Maka, setelah jawaban diperiksa, dengan jumlah coretan salah yang tentu saja sangat banyak, satu persatu murid harus maju ke depan untuk diberikan paraf nilai dari guru. Ketika melihat lembar jawabanku yang sangat penuh coretan salah, dengan beberapa kolom yang masih kosong, bu Tjien Hwa langsung menghardik, "Haah, apa ini??! Keluar!!"
Hatiku pun hancur. Tapi penderitaan belum selesai, ketika aku bersama beberapa temanku yang memang termasuk golongan yang badung mengerjakan soal-soal itu di luar kelas, datanglah bu Endang Ekawati, kepala sekolah SD Widya Wacana 3 (meski bangunannya satu, SD Widya Wacana di Pasar Legi secara organisasi terdiri dari 3 cabang, disebut cabang nomor 3 (kelas A), 5 (kelas B), dan 6 (kelas C), jadi ada 3 kepala sekolah yang kantornya bersebelah-sebelahan, konon murid kelas A otaknya lebih superior dari kelas B dan B lebih dari C, tapi kini aku meragukannya dan merasa itu hanyalah salah satu perang urat syaraf, yang di antaranya didasari rivalitas Mama yang anaknya ada di kelas A terhadap Paman, Bibi serta sepupuku, Leo yang seumuran denganku tapi masuk ke kelas B). Bu Endang ini juga terkenal galak, dengan tampilan fisik agak mirip dengan bu Tjien Hwa, tapi sedikit lebih tua, kulit mukanya lebih rusak dan warna kulitnya lebih terang serta lebih necis dan suka berdandan. Ketika melihat murid-murid yang bandel itu, ia pun seperti mendapat mangsa. "Naaa… ada apa ini?" "Nggak bikin PR, Bu…" jawab bu Tjien Hwa mewakili kami. Lalu, bu Endang pun menjewer telinga kami satu persatu, dengan senyuman menyeringai. Waktu itu, sepertinya aku sudah atau nyaris menangis, jeweran bu Endang bagiku sangat sakit dan panas, jelas berbeda dengan 'cubitan' bu Yanti yang kuterima di kelas 1.
Sudah selesai? Ternyata masalah lupa mengerjakan PR itu masih berlanjut. Kali ini sampai di rumah. Tapi, untuk lebih jelasnya aku ceritakan latar belakangnya yang lengkap dulu. Jadi, sejak cawu 2, lagi-lagi karena keterbatasan ruang kelas, maka kelas 3A dan kelas 3B belajar dengan menggunakan kelas yang sama, meski tetap dengan dua orang wali kelas. Dalam satu kelas, berdesak-desakan sekitar 50 murid untuk kelas yang kapasitas normalnya mungkin hanya 30-an anak. Beberapa bangku tambahan dan beberapa anak yang hanya mendapat meja sangat kecil diusahakan, tentu saja setahuku belum ada anak yang cukup kritis mengeluh, entah kalau orangtuanya, pastinya sih ada. Sebagaimana diketahui, sepupuku Leo ada di kelas B, kami pun menjadi teman sekelas. Tentu saja ia tahu semua hal yang kualami di kelas, tapi meski demikian sepupuku ini rupanya bukan pengadu. Mungkin ia menceritakan itu pada orangtuanya, tapi tidak kepada Mamaku. Tapi, ada temanku yang bernama Markus Yulianto, adiknya Lukas Yulianto, rumahnya Kalioso. Markus digolongkan sebagai anak badung di sekolah (sehingga kalau tidak salah waktu kelas 3 atau 4, ia tidak naik kelas), sewaktu kejadian aku lupa bikin PR itu Markus juga tidak membuatnya, hanya saja ia sudah dipergoki dan disuruh keluar sejak saringan pertama. Tapi sesudah itu, tanpa kutahu motifnya, rupanya Markus memberitahukan kejadian itu pada kakakku yang waktu itu duduk di kelas 6 lingkup sekolah yang sama. Kakakku melaporkannya pada Mama dan akupun dimarahi. Terlebih saat itu, Leo sekeluarga sedang berkunjung di rumah. Karena untuk keperluan konfirmasi, Leo pun harus buka mulut menceritakan kejadiannya. Lalu, Mama langsung marah besar, mungkin karena malu, aku segera diharuskan mengerjakan semua PR yang ada, termasuk PR yang masih akan diperiksa beberapa hari ke depan. Ketika sampai di PR mata pelajaran IPA, Mama makin marah lagi saat mengetahui catatan IPA-ku masih kurang lengkap. Terpaksa aku meminjam dan menyalin catatan dari Leo. Dengan ditunggui Mama yang terus mengomel dan sesekali menjewer, aku menyalin catatan Leo tentang anatomi bunga itu sambil menangis-nangis, tak jauh dari situ Leo memerhatikan aku bersama mamanya. Mama jelas marah terutama karena malu dan kehilangan muka di hadapan adik iparnya.
Jika bu Yanti bertemu Papa di warung sate kambing, bu Tjien Hwa juga pernah bertemu Papa, tapi mereka bertemu di sekolah. Waktu itu adalah karena angkutan umum tidak berhasil kudapat, alhasil Papa mengantarkanku ke sekolah, meski sudah terlambat. Aku terlambat untuk kesekian kalinya. Aturannya kalau tidak salah waktu itu adalah jika terlambat aku harus mengetuk pintu dan kemudian berkata pada guru, "Bu Tjien Hwa, maaf saya terlambat." Ketika itu, aku sudah tahu kalau kali ini aku terlambat lagi. Karena aku memang takut dengan bu Tjien Hwa, maka aku berjalan agak pelan menuju pintu. Tiba-tiba dari belakang, ada seorang pria berbaju putih datang. Jujur saja semula aku tidak mengenali papaku sendiri. Pikiranku masih terasa sangat susah untuk mencerna kehadiran Papa yang masuk di halaman sekolahku. Papa yang mengetukkan pintu dan memintakan izin maaf serta alasan aku terlambat kepada bu Tjien Hwa. Kali itu, aku merasa sangat dibela menghadapi guru yang juga musuhku itu. Terlebih sebagaimana mestinya, bu Tjien Hwa menjadi ramah dan tidak memarahiku karena datang terlambat. Meski sorenya Papa mengatakan "tadi katanya kamu sudah sering terlambat," aku tetap masih terkesan dengan kehadiran Papa dan upaya turun tangannya secara langsung dalam kehidupanku di sekolah.
Untuk urusan mengambil rapor atau pertemuan dengan guru, Mamalah yang selalu datang. Dalam sejarah, Papa hanya sekali saja datang untuk mengambil rapor kakakku yang pertama. Ketika menanyakan hal itu pada Mama dan kakak pertamaku, jawabannya adalah karena Papa hanya akan mau mengambil rapor jika anaknya juara kelas. Kakakku yang pertama memang sering meraih juara kelas, paling tidak juara dua atau tiga. Di keluargaku, di antara lima, empat anak pernah meraih juara (maksudnya juara 1 atau 2 atau 3) ketika SD, selain aku dan kakak yang pertama, kakak yang ketiga dan keempat pernah satu kali meraih juara ketiga di kelasnya. Aku memang sempat protes karena selama duduk di bangku SD, paling tidak aku pernah 8 kali meraih juara, dengan satu kali juara kelas. Tapi, sepertinya alasan bahwa Papa hanya akan mau mengambil rapor jika anaknya juara kelas adalah alasan rekaan saja. Papa mungkin memang tidak suka melakukannya.
Bu Tjien Hwa mungkin adalah guru galakku yang pertama. Meski galak, tapi di kelas 3 itu aku juga meraih satu-satunya juara kelas. Secara keseluruhannya adalah sebagai berikut: cawu 1 juara 3, juara 1 diraih Reine Wulandari, juara 2 nya Eka Haryanta. Cawu 2, juara 1, juara 2 diraih Reine Wulandari, juara 3 nya Eka Haryanta. Cawu 3, juara 2, juara 1 diraih Eka Haryanta, juara 3 Reine Wulandari. Memang, selama 2 tahun urutannya terus begitu. Bedanya, bu Tjien Hwa seperti tidak ingin menganakemaskan semua anak. Ia galak dan sering memarahiku, di lain waktu Reine Wulandari juga kena semprot, hanya Eka Haryanta yang sepertinya agak jarang.
Dengan prestasi seperti itu, ketiga anak itu memang termasuk anak yang pendiam, sangat tipikal 'bukan? Reine, seorang anak perempuan yang tubuhnya bungkuk, mata besar, gigi tak rapi, suara cempreng keras, dandanan seperti orang tua. Eka Haryanta, anak yang kurus, mata melotot, telinga besar mengarah ke luar seperti alien, dengan bentuk wajah lonjong. Aku anak kurus, gigi tonggos besar-besar, rambut selalu diminyaki dan disisir rapi belah pinggir model jadul, alis yang sempat dicukur habis, juga pendiam dan penakut. Aku dan Eka sering pulang bersama dalam satu angkot, jurusan 07 karena rumah kami searah, sekitar 4 km dari sekolah. Kadang, kami memang mampir dulu ke rumah teman kami Tomas alias Tomi yang searah dan berjarak sekitar 1,5 km dari sekolah. Bedanya, Tomi si anak pasangan dokter itu dijemput dengan mobil dan sopir pribadi. Jadi, kadang mampir ke rumahnya dengan menumpang mobil Tomi jelas bisa menghemat biaya angkot, dari 100 atau 75 rupiah menjadi 50 rupiah. Kalau ke rumah Tomi, Eka kadang juga ikut main. Kadang, aku sendiri yang sepulang sekolah, setelah makan dan berganti pakaian, dari rumah pergi naik angkot ke rumah Tomi main sampai sore. Pernah juga sudah berencana hendak menginap tapi tiba-tiba sekitar jam 8 malam, Papa menjemputku dan kemudian memarahi, "punya rumah sendiri ngapain menginap di rumah orang lain…" Alasan Papa kadang memang tidak kuat. Tapi, aku diam saja, takut tentu saja. Teman lain yang sering menjadi tempatku dolan, adalah rumah Henri dan Franki, rumah keduanya dekat tapi tidak searah rumahku. Kadang aku diboncengnya naik sepeda, kadang naik mobil omprengan atau angkot jurusan 01. Kalau ke rumah Henri atau Franki ini, kelompoknya agak lain, kadang ditambah dengan Ferry, Very, Kiki alias Hengki yang rumahnya lebih menyimpang lagi arahnya. Selain main ke rumah mereka, mereka juga kadang main ke rumahku.
Kembali ke bu Tjien Hwa, sial memang, di kelas 6 bu Tjien Hwa menjadi wali kelasku lagi. Tapi, tampaknya waktu kelas 6 itu aku tidak begitu memiliki kenangan menakutkan dengan beliau. Barangkali karena aku sendiri sudah lebih besar dan sudah mulai belajar menghadapi berbagai jenis karakter orang. Kemungkinan lain adalah karena bu Tjien Hwa sendiri sudah mulai harus mengontrol emosinya setelah mengetahui dirinya mempunyai budrek alias hipertensi, serius, aku memang pernah mendengar ada orang mengemukakan alasan itu. Di kelas 6, atau tepatnya sejak cawu 3 kelas 4, aku sudah tidak pernah meraih peringkat 1, 2, atau 3 lagi. Terlebih di kelas 6, beberapa kali aku mulai disetrap atau disuruh keluar dari kelas karena tidak atau salah membawa atau lupa mengerjakan sesuatu, namun aku sudah mulai menyikapinya secara biasa, tanpa reaksi berlebihan seperti 3 tahun sebelumnya, apalagi karena setiap disetrap itu, beberapa teman mainku di atas sering ikut disetrap juga. Mama mungkin sering menganggap Henri atau Franki membawa pengaruh buruk bagiku. Terlebih melihat Franki, teman sekelasku tapi berumur 2 tahun di atasku, dengan badan yang jauh lebih besar dariku, ikut Taekwondo, dan kadang bertindak seperti tukang pukul yang membela teman-temannya yang kecil-kecil atau yang pendiam, termasuk aku jika diganggu beberapa anak badung di sekolah. Sementara Henri, anak yang tubuhnya seukuranku, sampai kelas 5 selalu dicukur gundul, Franki dan Henry mungkin hampir seperti Giant dan Suneo dalam versi lain. Suatu kali, ketika aku, Franki, dan Henri disetrap disuruh keluar kelas oleh bu Tjien Hwa, sementara aku masih terlihat agak terpukul dengan hukuman itu, Franki mengatakan, "jangan kuatir, lalat, nanti aku hajar dia (maksudnya bu Tjien Hwa)…" Tentu saja Franki hanya membual, tapi waktu itu aku pun merasa lebih tenang dan mengira rasa dendamku pada sang guru galak benar-benar akan dibalaskan oleh temanku itu.
Guru keempat di SD yang harus kusebut adalah bu Chris, aku lupa nama lengkapnya. Bu Chris adalah mamanya Hong Hong, teman sekelasnya Leo. Wajahnya sangat putih, sebagian karena pemakaian bedak yang amat tebal, bibirnya yang tipis selalu berlipstik merah, matanya sipit tapi bulu matanya panjang-panjang, suaranya agak serak dan suka berteriak, rambutnya kering seperti wig dan terlihat mulai beruban. Sebenarnya, bu Chris cukup humoris, tapi ia tidak bisa dibilang sabar juga, meski kalau denganku ia relatif cukup baik. Satu hal yang cukup khas adalah cara tertawanya, tawanya terkesan seperti mengejek, tidak feminim, bunyinya seperti orang bengek.
Bu Chris menjadi wali kelasku di kelas 4 dan 5. Ketika kelas 5, ia mengawali tahun ajaran baru dengan berkata, "kita ketemu lagi anak-anak, barangkali kalian mengharapkan akan memiliki wali kelas yang lebih cantik, tapi akhirnya kita ketemu lagi." Ketika itu, pembukaan tersebut disambut dengan ketegangan, termasuk untuk aku, mengira kalimat itu sebagai pertanda beliau akan marah atau tidak suka mengajar kami. Kata-kata bu Chris memang sering kali agak terlalu sinis untuk disampaikan kepada anak SD. Ia juga agak moody, kadang lucu dan baik, tapi kalau mungkin di rumah sedang ada masalah, di kelas ia bisa berubah menjadi galak dan dingin, kadang selama jam pelajaran ia juga sekadar menyuruh seorang anak menulis catatan di papan tulis sementara ia duduk di kursinya sambil menunduk memegangi kepala. Satu kali aku ingat ia pernah sengaja menyuruh temanku Dian mengambilkan sesuatu di ruang kantor bawah. Setelah Dian keluar, ia menutup pintu dan mulai menceritakan kejadian di kelas beberapa hari lalu, saat ia memarahi Dian dan mengucapkan satu perkataan (kalau tidak salah kata "goblok"). Rupanya Dian merasa sangat terpukul dengan ucapannya itu dan melaporkan pada orangtuanya. Lalu, orangtua Dian pun sepertinya tidak terima dan protes pada sekolah. Mungkin bu Chris sempat ditegur, tapi ia kukuh merasa tak pernah mengucapkan kata itu pada Dian. Ia merasa Dian telah melebih-lebihkan, jadi ketika Dian keluar itu, ia berusaha memengaruhi anak-anak yang lain bahwa Dian adalah anak yang suka berlebihan dan telah berbohong mengenai kejadian waktu itu. Setelah Dian kembali ke kelas, beberapa atau mungkin sebagian besar anak, terutama anak perempuan, memang segera mengambil sikap berbeda pada Dian. Ia seperti dikucilkan selama beberapa hari. Aku sendiri sudah lupa kejadian sebenarnya, entah bu Chris memang pernah mengucapkan kata itu atau tidak, yang jelas barangkali itu adalah satu pengalaman pertamaku berhubungan dengan intrik.
Seperti sudah kukatakan, bu Chris sebenarnya relatif baik denganku. Namun, kadang ia memang membuatku takut. Suatu kali ia memarahi Budiono alias Ming Ming, anak bertubuh kecil dengan kacamata rantai yang sering izin ke toilet. Karena berasumsi ia sudah ke toilet terlalu sering, bu Chris melarang Budiono ke toilet lagi. Beberapa hari kemudian, karena takut bernasib sama seperti temanku tadi, meski aku sudah sangat ingin kencing, aku terus menahannya. Namun, ternyata tidak bisa. Jadi, sementara bu Chris di depan sedang mengajar, aku menunduk dan celanaku makin lama makin basah, beberapa bahkan mengalir ke bawah bangkuku. Untuk menutupinya, aku mencoba menjatuhkan tasku yang berbentuk koper mini ke atas genangan air pesing itu. Tapi di belakangku. Franki dan Henri mengetahuinya. Franki tertawa-tawa, dan berteriak menyindir, "Asin ya?" Kelas pun menyadari kalau aku telah mengompol, bu Chris lalu mendatangiku dan tertawa. Untuk menutupi malu, aku pura-pura bilang bahwa aku tidak merasakan kalau aku kencing di celana. Alasan yang amat bodoh. Bu Chris berkata, "Lho kenapa tidak bilang mau ke WC?" Franki pun menjawab mewakili, "Lha, kemarin itu dimarahi.." Bu Chris hanya tertawa dan bilang "Kalau memang kebelet tidak apa-apa" lalu menyuruhku membersihkan diri di WC, sedang temanku Yiska disuruh meminjamkan celana di UKS. Di WC, jelas aku malu. Apalagi karena harus menunggu celana pinjaman untukku diambilkan oleh anak perempuan. Aku mengintip-intip dari belakang dinding kompleks WC dengan tidak memakai celana, menunggu Yiska mengulurkan celana kepadaku. Aku memang malu karena waktu itu aku sudah duduk di bangku kelas 5, tapi karena bu Chris tampaknya berhasil membuat kelas tidak lagi membahasnya, aku merasa agak tenang dan jelas lega karena yang kutahan-tahan akhirnya bisa dikeluarkan.
Bu Chris juga sering memberi julukan pada murid-muridnya. Ferry yang bernama Ferry Irawan Sunaryo (tentu Sunaryo adalah nama bapaknya), dipanggil dengan sebutan Cak Naryo. Temanku Hermawan yang pernah tidak naik kelas, yang sewaktu masih menjadi kakak kelasku sangat membuatku takut, dan konon sempat disekolahkan di sekolah anak nakal(?) di Jombang, dipanggil dengan sebutan Kucing. Khusus untuk Yohanes Hermawan ini, setelah menjadi satu kelas denganku, ternyata ia malah cukup baik denganku. Lalu ada juga Yohanes Haditomo, anak hitam berambut keriting, yang juga sempat tidak naik kelas, mendapat sebutan Brintik. Mulai kelas 4 dan 5, memang mulai banyak teman sekelasku yang adalah anak yang pernah tidak naik kelas, demikian pula banyak mantan teman sekelasku yang kemudian menjadi adik kelasku. Selain dua Yohanes, juga ada dua Didik, termasuk Ferry tadi. Semuanya termasuk akrab denganku, dengan kelompok main yang berbeda-beda. Kalau main bersama Franki dan Henri, biasanya diikuti Hengki, Ferry, kadang juga Ryan. Kalau main dengan Tomi, ada Eka. Kalau main dengan Didik. H, ada Rudi, Petrus, Haditomo. Main dengan Didik. T yang adalah sepupu dari sepupuku Leo alias Yoyo, ada Very alias A Fuk, Paulus Daniel alias Han Ciang, dan kadang kelompok dua Didik itu juga bercampur karena rumah keduanya cukup dekat.
Mana yang paling dekat? Aku tidak ingat lagi. Yang jelas, sedekat apapun hubunganku dengan mereka, hampir semua tidak pernah bertemu lagi denganku setelah lulus SD. Memang, waktu SMP kelas 1 aku masih sempat ke rumah Henri. Tapi ketika aku dan dia satu SMA, di kelas 1 ia masih cukup ramah, tapi di kelas 3, bahkan ketika kami sekelas, ia sudah sangat berbeda dan kami pun bukan lagi sahabat dekat. Ia bahkan berganti nama menjadi John (aku duga karena nama baptisnya Yohanes) dan dipanggil dengan sebutan si Jon yang cool, dandy, dan playboy. Masya allah. Dengan Didik T, ketika SMA, aku sempat bertemu dengannya di jalan. Ia naik mobil bersama teman-temannya dan aku naik motor, ia masih ingat denganku dan masih menyapaku dengan ramah dari dalam mobil. Tapi, kira-kira setelah kuliah, rupanya Didik telah menjadi pemakai narkoba, sempat menjalani rehab, dan sejak itu menurut informasi dari keluarga Leo, ia seperti orang yang agak bloon dan kalau diajak omong sering tidak nyambung. Demikian juga Franky, ketika di waktu SMP aku sempat aktif mengikuti latihan beladiri bernama KATEDA, ia menjadi pelatih di cabang lain (tapi kadang kami mengadakan latihan gabungan), ia masih mengenaliku tapi kami tidak bisa akrab lagi. Tapi Han Ciang agak lain dengan mereka. Kami bersekolah di SMA yang sama, juga sempat sekelas. Tapi, jika waktu SD ia adalah anak gemuk yang agak pendiam, waktu SMA, ia menjadi seorang remaja yang aktif, pemain bola yang cukup handal di sekolah, dan cukup gaul. Tapi ia masih cukup baik denganku. Yang lebih akrab waktu SMA justru Darwin, sepupu Han Ciang yang waktu SD tidak seakrab aku dan Han Ciang. Sementara Petrus sempat aku lihat menjadi tukang parkir di sebuah warnet dekat lingkungan rumahnya.
Kembali pada bu Chris, gosip sempat beredar sewaktu aku di SMP. Aku ingat kira-kira waktu aku di kelas 6, suami bu Chris meninggal dunia, lalu ketika awal SMP aku dengar bu Chris menikah lagi, konon dengan suami alm. Bu Yanti. Aku tak tahu kebenarannya. Yang jelas, alm. suami bu Chris dan suami bu Yanti memang tampilannya cukup mirip. Satu hal lagi yang kuingat tentang bu Chris adalah waktu kelas 5, cawu 1. Ketika akan menerima rapor, adalah hal yang mendebarkan untuk mengetahui siapa yang akan menghuni peringkat 1-10. Seperti malam penerimaan anugerah Oscar, beberapa gosip tentang siapa yang akan menjadi juara 1 cukup gencar. Dulu, waktu aku masih sering merebut juara 1, 2, dan 3, biasanya beberapa hari sebelum terima rapor, guru tata usaha atau wali kelas akan memberitahuku secara diam-diam, agar membawa foto hitam putih ukuran 3x4=1 lembar. Foto itu akan dipasang di piagam juara. Itulah pertanda aku akan meraih juara, tapi mengenai peringkatnya aku masih belum tahu sebelum rapor dibagikan. Di hari pembagian rapor itu, seperti biasa diawali dengan wali kelas memberi wejangan untuk kemudian setelah itu memanggil orangtua dan muridnya satu persatu menerima rapor. Ternyata, seperti seorang tukang sulap, bu Chris membuka bagian belakang papan tulis yang memang bisa bisa dibolak-balik, di situ ada 10 nama dari peraih rangking 1-10. Semua murid terpana, kenapa tidak ada satupun yang punya pikiran akan ada 10 nama itu di bagian belakang papan itu? Maka, pada dua cawu berikutnya, setiap menjelang hari pembagian rapor, papan tulis bagian belakang itu selalu diperiksa. Tentu saja tidak ada lagi tulisan seperti itu di sana. Begitulah bu Chris, labil tapi sering kali cukup menghibur.
Semua guru yang pernah menjadi wali kelasku sudah kubahas, jadi setelah ini adalah guru-guru di SD yang bukan wali kelas tapi cukup berkesan untukku. Nama pertama aku pilih pak Tomo saja. Guru olahraga ini masih muda. Badannya tinggi dan tegap dengan rambut yang tipis dan model agak kuno, ia juga selalu terkesan berpeluh, mungkin karena pakaian yang ia kenakan juga selalu tampak terlalu ketat di badan. Aku rasa ia tak begitu pintar dalam mengajar di kelas, tapi kalau di lapangan, para murid banyak yang mengaguminya. Ia agak keras dalam mengajar, tapi jarang menghukum, hanya sebatas menghardik dan memelototi. Ternyata, kakak pertamaku bilang kalau istri pak Tomo adalah mantan kekasih pacarnya kakak pertamaku (yang sekarang menjadi kakak iparku). Guru olahraga lain adalah pak Yo. Tapi, sebenarnya aku agak kurang yakin kalau pak Yo pernah mengajarku. Aku mengingatnya karena rumah kami sama-sama di Mojosongo. Tapi walau pak Yo bukan guruku di sekolah, ia adalah guru kakak-kakakku. Pak Yo juga pernah menjadi guru sekolah mingguku. Rumahnya dipakai sebagai tempat mengadakan kebaktian sekolah minggu. Dengan memakai nama pena Yoyok HS, pak Yo (kependekan dari Yohanes) juga menulis buku pelajaran olahraga dan bukunya dipakai sebagai diktat di sekolahku selama bertahun-tahun. Pak Yo adalah guru dengan tampilan yang sangat konvensional. Sangat khas Solo, suka memakai baju batik, rambut potongan khas tukang cukur bawah pohon, kumis rapi, dan gerak-geriknya tertata. Ketika perang Teluk jilid pertama berlangsung, pak Yo datang ke rumahku, hanya untuk menumpang melihat tayangan CNN dari parabola tentang jalannya perang itu. Gambar yang ditayangkan di CNN sebenarnya hanya latar gelap agak hijau dengan titik-titik bunga api berloncatan, tapi ia menganggap itu menarik. Sebenarnya ada seorang guru olahraga lagi, tapi aku lupa namanya. Sebenarnya pak guru itu adalah guru matematika, tapi seperti sudah kubilang, di SDku semua guru pria harus bisa mengajar olahraga. Jadi, meski sudah memakai baju kaos dan celana training, postur tubuh pak guru itu, dengan perut buncit dan tangannya yang kecil terlihat tidak meyakinkan.
Guru pria lain yang kuingat ada dua, keduanya adalah kepala sekolah, pak Sardi dan pak Petrus. Pak Sardi bernama lengkap Sardipon bla bla bla… Ia selalu menceritakan bahwa tambahan 'pon' itu diberikan karena ia dilahirkan pada zaman Jepang (Nipon). Pak Sardi orangnya gemuk, pipi besar, mukanya hitam, berkumis tipis, kacamatanya berframe tebal warna coklat gelap senada dengan warna kacanya. Ia pernah mengajar di kelasku sebagai guru pengganti di pelajaran Matematika karena bu Tjien Hwa mendadak izin pulang karena pusing tekanan darahnya naik. Meski tidak galak, tapi ia juga tetap tegas, atau setidaknya kami semua agak takut dengannya. Kepala sekolah kami sendiri gitu loh… Sebagai kepala sekolah Widya Wacana 3 (kelas A, kelasku), ia menggantikan bu Endang kira-kira sejak aku di kelas 4. Pak Sardi juga adalah pakdenya Wilis, temanku beda kelas. Wilis adalah anaknya Pak In, guru juga, mengajar di Widya Wacana Warungmiri, dan sepupu Yiska, teman sekelasku yang adalah anaknya bu Naomi, guru di TK ku tapi kemudian juga mengajar di SD ku. Jadi, ada semacam klan keluarga guru di sekolah kami.
Kepala sekolah Widya Wacana 5 (kelas B) adalah pak Petrus, lengkapnya Petrus Sutimin. Ia lebih fleksibel lagi, kalau tidak salah ia juga pernah menjadi guru SMP. Pak Petrus orangnya tinggi dan kurus, rambutnya selalu tersisir rapi, hidung mancung, muka dan kepala kecil, dagu berwarna kehijauan, bekas brewok yang dicukur habis, giginya kelinci, dan ke mana-mana mengendarai vespa. Pak Petrus tinggal di daerah Mojosongo juga. Dari dalam angkot, aku sering melihatnya mengendarai vespanya. Aku sama sekali tak pernah diajar pak Petrus, tapi kakak-kakakku pernah, baik ketika SD atau SMP. Kalau kepala sekolah kelas A adalah bu Endang lalu pak Sardi dan kepala sekolah B adalah pak Petrus, maka kepala sekolah kelas C di masaku adalah bu Febe, biasa dipanggil bu Fe. Bu Fe membuka lembaga kursus semua mata pelajaran bernama Vita Class. Kalender dari Vita Class aku ingat menghiasi setiap kelas di sekolahku. Bu Fe orangnya putih, rambut keriting, dan kabarnya cukup galak. Kini, rupanya ia masih aktif dan menjadi kepala sekolah SD (atau TK?) Pratama di Solo Baru, sekolahnya dua keponakanku. Jadi, ia menjadi kepala sekolah atau paling tidak pernah mengajar dua generasi karena kakak pertamaku (ibu dari dua ponakanku itu) juga adalah mantan anak didik bu Fe juga.
Sedikit lepas dari konteks guru, aku juga ingat pak Pono, papanya temanku Amelia. Pak Pono kalau tidak salah adalah ketua Yayasan Widya Wacana waktu itu. Wajahnya sangat mirip dengan Amelia, temanku yang sebenarnya termasuk pendiam tapi agak manja dan tidak begitu ramah. Satu kali kalau tidak salah bu Tjien Hwa pernah memarahi Amelia karena satu kesalahan, dan bu Tjien Hwa juga menyebut-nyebut kalau ia tak takut meskipun papa Amelia adalah pak Pono yang bahkan dihormati oleh kepala sekolah. Mungkin bu Tjien Hwa memang benar-benar takut kalau dilaporkan dan ada permainan kekuasaan waktu itu. Ketika kelas 3, Amelia juga pernah merayakan ulangtahunnya di sekolah, dengan dihadiri bu Endang sang kepala sekolah serta papanya, tentu saja. Hidangan waktu itu adalah sup jagung yang dimasak seperti sup asparagus dan sempat membuatku kecanduan. Tapi, kalau makan sup jagung di manapun saat ini, aku justru sudah tidak suka, hanya kenanganku di masa SD itulah yang membuatku kadang tergoda untuk mencicipi menu sup jagung. Meski ketika SD, sering ada pembagian bungkusan berisi berbagai makanan kecil dari temanku yang sedang berulangtahun, kehadiran bu Endang dan adanya hidangan khusus yang rupanya dimasak sendiri oleh bu Pono serta pemakaian jam pelajaran lebih lama dari acara ulangtahun teman-teman yang lain adalah keistimewaan tersendiri untuk seorang anak ketua yayasan. Acara ulangtahun sendiri memang menyenangkan. Biasanya, kami sudah tahu kalau di jam terakhir pelajaran sudah ada bungkusan tas kresek besar di bawah meja guru. Dan beberapa saat menjelang pulang, pintu kelas akan ditutup oleh anak yang berulangtahun. Lalu wali kelas akan mengumumkan kalau si A berulangtahun. Dinyanyikan lagu Selamay Ulang Tahun, lalu Happy Birthday to You, disambung Panjang Umurnya, diakhiri dengan wali kelas berteriak "hip.. hip" dijawab serentak oleh kelas "huraaa..." Setelah semua seremoni sederhana itu dijalankan, murid yang lain maju satu persatu untuk menerima bungkusan plastik berisi berbagai makanan kecil, kadang dengan pita warna-warni, sambil satu persatu juga menyalami si birthday girl/boy. Aku rasa tradisi seperti itu masih tetap terjadi sampai sekarang.
Beberapa guru SD lain yang aku ingat mungkin tidak pernah mengajarku, atau pernah mengajar sebagai guru pengganti. Yang pertama adalah bu Nunik. Guru yang hitam, berambut keriting, berkacamata, mukanya selalu terlihat berminyak, apalagi dengan bibirnya diberi lipstik tebal. Kakakku yang keempat sepertinya membual saat mengatakan kalau bu Nunik pernah menggambar di papan sambil menyuruh kelas menebak gambar apa itu, dan ternyata yang ia gambar adalah pantat orang sedang berak, lengkap dengan e'eknya. Tapi, sekali lagi waktu itu aku agak percaya juga dengan kakakku itu. Hanya kabarnya bu Nunik memang suka ngomong yang jorok-jorok. Guru kedua adalah bu Marsini, dia sebenarnya adalah wali kelas kakakku yang keempat tadi. Bu Marsini (dipanggil bu Mar) tampangnya sangat keibuan. Rambut digelung dan beberapa sudah beruban, kacamata tebal warna coklat seperti punya pak Sardi, kulit putih karena bedak, hanya kabarnya ia agak galak. Guru selanjutnya adalah pak Pramono (dipanggil pak Pram). Dia adalah guru favorit kakakku yang kedua. Waktu aku masih kelas 3 atau 4, ia mengajar di kelas 6. Orangnya tinggi, bibirnya tipis, rambut hitam berbelah pinggir dan selalu rapi, sepertinya masih cukup muda. Ada juga guru favorit kakakku yang ketiga. Namanya Pak Zakaria (dipanggil pak Sak). Sebenarnya ia tidak mengajar di sekolahku tapi di Widya Wacana Warungmiri. Pak Sak orangnya agak tinggi, model rambutnya seperti pak Tomo, hanya saja ia berkumis. Aku selalu membayangkan pak Tomo adalah pak Sak waktu muda dan sebaliknya. Kakakku senang dengan dia karena pak Sak yang mengajar matematika suka memberi hadiah pulpen atau pensil atau hadiah lain kepada anak yang nilainya bagus atau yang bisa menjawab pertanyaannya. Tampaknya, kakakku itu cukup kuat di mata pelajaran matematika sehingga pernah mendapat hadiahnya. Pak Sak sekarang masih eksis dan cukup dekat dengan keluarga suami kakakku yang kedua. Ia sekarang menjadi pendeta, bahkan memimpin doa saat upacara perkawinan kakakku yang kedua tadi. Selanjutnya, ada juga bu Kim, bukan kependekan dari Kimberly tapi sebuah nama Tionghoa yang terdiri dari tiga suku kata. Aku ingat itu karena ada merek kue Tiong Ciu Pia (kue bulan) yang namanya Kim Hwa (aku mengingatnya sebagai nama kedua guru kelas 3 yang kebetulan waktu itu kelasnya digabung, yakni bu Kim dan bu Tjien Hwa). Beda dengan bu Tjien Hwa, bu Kim yang mengajar kelas 3B lebih pendiam dan lebih sabar. Dia adalah wanita yang mungkin seumuran dengan bu Tjien Hwa, hanya saja kulitnya lebih terang, tubuhnya kurus tinggi, rambut lurus sebahu, wajah seperti beberapa saudaraku dari pihak ibu yang berasal dari Kalimantan. Di kelas 3 itu, aku sering iri dengan Leo karena wali kelasnya adalah bu Kim sementara aku harus sering bertemu bu Tjien Hwa yang galak. Guru selanjutnya yang cukup berkesan adalah bu Gwat. Ia tidak pernah mengajarku, tapi mengajar kakakku yang keempat. Bu Gwat sudah tua, bertubuh pendek dan gemuk sehingga kalau menulis di papan tulis ia harus menaiki sebuah injak-injakan kecil. Jika bertemu di luar, ia jauh lebih seperti seorang nenek biasa ketimbang seorang guru. Aku juga sudah membahas tentang bu Naomi, tapi sebagai tambahan, aku ingat ketika di SD bu Naomi pernah menjadi guru pengganti di kelasku yang antara lain berisi putrinya Yiska. Aku merasakan suasananya memang agak canggung, apalagi karena ia juga menunjuk anaknya untuk mengerjakan sesuatu, dan memarahi dengan cara seorang ibu memarahi anaknya, saat ia melakukan satu kesalahan. Hal itu terjadi waktu SD sehingga rasanya tak bisa kuceritakan dalam tulisan tentang guru TK.
Selain guru-guru, aku juga ingat beberapa nama pegawai di sekolah yang bukan guru atau kepala sekolah. Ada pak Kadim, pesuruh sekolah alias pak bon. Dia adalah pak bon untuk kelas A, begitu menurutku. Sementara untuk kelas B, ada bapaknya Heni temanku dan Elia temannya kakakku, namanya lupa. Bapaknya Heni ini meninggal dunia akibat kecelakaan sehabis ia menonton wayang kulit. Ia yang menaiki sepeda angin ditabrak oleh motor (atau mobil?) sampai meninggal dunia. Jika pak Kadim orangnya pendek, matanya ngantuk, dan kulitnya agak terang, bapaknya Heni ini bertubuh kurus tinggi dan berkulit gelap, seperti kedua putrinya. Aku juga ingat pak Yap, petugas perpustakaan di sekolah. Orangnya hitam, rambutnya sudah banyak yang putih tapi selalu rapi diminyaki dan disisir ke belakang. Ia juga mengenakan kacamata dengan lensa dan frame yang tebal, yang selalu dipakai melorot, sehingga jika melihat kepalanya menunduk sambil bola mata melirik ke atas. Ia agak galak, terutama jika anak-anak ribut di perpustakaan atau terlambat mengembalikan buku/majalah yang dipinjam pulang. Perpustakaan SDku sebenarnya hanya menempati satu ruangan saja dengan raknya menempati seluruh sisi dinding. Tapi ruangan itu bersih, yang mau masuk harus melepas sepatu atau sandalnya karena lantainya dilapisi karpet. Di sana ada TV dan video beta yang pernah memutar video Ten Commandements buatan lawas itu dalam beberapa hari. Semua anak berteriak ketika adegan laut Merah terbelah. Lalu, setelah TPI menyiarkan film Mahabharata setiap Sabtu siang, TV itu selalu menyetelnya dan sambil menunggu dijemput aku sering menonton di situ. Film kolosal yang sangat panjang dan agak kurang kumengerti, satu-satunya yang kutunggu hanyalah adegan perang atau unjuk kekuatannya. Aku juga pernah berlatih untuk paduan suara yang akan mengisi sebuah acara radio. Meski sudah hapal dua lagu yang akan dibawakan itu, namun karena aku (dan juga Leo) pergi bersama keluarga dan rombongan rekan kerja Papa ke Parangtritis, kalau tidak salah untuk acara sepeda santai, maka kami urung datang ke stasiun radio itu. Barang pertama yang kupinjam pulang dari perpustakaan itu adalah majalah Bobo, setelah itu barulah Donal Bebek atau buku cerita rakyat. Perpustakaan itu juga pernah meraih juara tingkat kotamadya, kalau tidak salah sebagai perpustakaan teladan. Sebagai petugasnya, pak Yap memang sangat memelihara, bahkan protektif dengan perpustakaannya itu.
Aku juga ingat dengan pak Hono, dia adalah penjaga sekolah. Ia sudah sangat tua, memakai topi hansip dan berkemeja batik. Karena aku sering telat dijemput, pak Hono cukup hapal denganku. Bersama anak-anak lain, tas selalu kutaruh untuk dititipkan, kadang dengan tidak teratur, di depan, bawah, atau belakang meja tempat pak Hono duduk menjaga sekolah. Mestinya ia sering kesal atau khawatir dengan tas yang digeletakkan begitu saja oleh anak-anak yang belum mengenal tanggung jawab itu. Bagaimana kalau ada tas yang hilang atau paling tidak isinya hilang? Bukankah ia yang pasti akan pertama disalahkan oleh orangtua atau bahkan anak yang sembarangan itu tadi? Aku baru menyadari betapa aku menyusahkan pak Hono yang kadang memang harus marah-marah (sehingga kami kemudian menganggap dia galak) karena hal itu, kini di mana pun ia berada saat ini, maafkan saya Pak... Pak Hono, penjaga sekolah di SD dan TK jelas sangat sangat berbeda dengan bapak satpam yang menjaga SMP. Satpam itu memiliki gardu khusus, jaraknya hanya sekitar 7 meter dari bangku dan meja pak Hono. Satpam itu botak, hitam, beralis tebal, bahkan sepertinya dari kawasan timur Indonesia, dan masih muda. Mungkin karena menghadapi anak SMP lebih banyak tantangannya.
Kantin di sekolahku ada dua. Yang satu semestinya untuk SD, tempatnya jauh lebih kecil, sementara yang satu untuk anak SMP, meski anak SD juga sah-sah saja jajan di situ. Aku lupa penjaga di kantin SD, namun untuk yang berjualan di kantin SMP, aku ingat seorang wanita tua, gemuk, dan berkebaya putih, serta jarang kulihat ia berdiri apalagi berjalan, meski ia tidak lumpuh. Wanita itu dipanggil dengan sebutan 'encim.' Tampaknya ia adalah yang memiliki kantin itu, karena dia yang memegang kas. Duduk di balik meja dagangan yang panjang, yang bergerak hanya tangannya yang gemuk. Sementara di depan ada beberapa orang, tua dan muda yang melayani pembeli. Kantin di SMP lebih lengkap dan lebih disukai kalau Mama mentraktirku. Penyebabnya adalah di situ dijual masakan berkuah seperti soto, bakso, dan timlo meski porsinya tidak begitu banyak. Hingga aku kelas dua atau tiga, masih ada semangkuk soto tanpa nasi seharga 50 rupiah. Tidak begitu banyak tapi cukup untuk mengisi perut. Kalau ingin lebih kenyang, ada timlo atau soto campur nasi yang semula berharga Rp.75 lalu naik menjadi 100, kemudian 150 dan waktu aku kelas 6 menjadi 200. Jajanan di depan sekolah juga banyak. Salah satu yang cukup sering kubeli adalah es cendol pak Sadinu. Kadang saking kepinginnya, di siang yang panas, aku merelakan uang ongkos angkotku dipakai untuk membeli es yang antara lain terdiri dari janggelan, cendol, nangka, kacang hijau, semacam manisan buah kecil-kecil warna hitam, dan susu bendera. Harganya pernah 75 rupiah, lalu meningkat 100, 125, dan terakhir 150 rupiah. Jajanan lain yang di depan juga banyak yang kugemari seperti terang bulan, leker, gandos rangin, arum manis, babi kuah yang diwadahi daun, dll. Beberapa penjual ada juga yang agak seperti penipu. Biasanya penjual yang seperti itu masih muda, mangkalnya tidak lama, tidak bertahun-tahun seperti yang lainnya dan dagangannya juga mahal. Mereka ini misalnya penjual susu dalam kemasan yang mereknya aku lupa, juga seorang pemuda yang membawa berbagai macam game watch untuk disewakan. Beberapa game dihargai beberapa rupiah. Sebenarnya itu sah dan halal, namun banyak orangtua dan guru yang tidak suka karena membuat anak boros dan lupa waktu. Jelas, saat itu belum ada yang membayangkan akan ada playstation atau game online yang bisa membuat orang tanpa sadar bermain non-stop selama berhari-hari.
Weuw, ternyata panjang sekali tulisan tentang SD ini. Padahal masih cukup banyak yang bisa kuceritakan lagi, hanya saja sepertinya aku belum ingin. Tapi, tulisan panjang ini sudah mencakup cukup banyak tentang masa-masa SD-ku, terutama yang berhubungan dengan para guru-gurunya. Tentang teman-teman waktu SD jelas akan jauh lebih banyak dari ini. Tapi, mungkin kali ini aku membicarakan tentang guru dulu. Beberapa guru jelas ada, tapi aku lupa nama-nama mereka. Asal aku bisa mengingatnya, kalau sempat akan aku tambahkan lagi ke dalam tulisan ini. Tentang para guru waktu SMP bisa jadi akan lebih panjang lagi tulisannya, mengingat ingatanku lebih segar, gurunya lebih banyak, dan pikiranku sudah lebih mengerti ketimbang sebagai anak SD, tentu saja. Meski panjang, aku cukup senang saat menuliskan semua ini. Sebelumnya aku sempat melihat-lihat dan mencari di Google tentang berapa banyak tulisan mengenai para guru SD Widya Wacana ini telah dituliskan para mantan muridnya. Sejauh yang kutemukan, aku baru menemukan dua tulisan di dua blog saja, itupun relatif pendek-pendek. Aku kira, dengan segala kelebihan dan kelemahan mereka, dengan segala pengalaman baik dan pengalaman buruk yang pernah dialami murid-muridnya, para guru itu harusnya dikenang secara lebih pantas. Inilah caraku mengenang mereka, baik untuk mereka yang masih aktif, yang sudah pensiun, yang sudah alih profesi, dan terutama untuk yang sudah tiada, serta terkhusus untuk para mantan wali kelasku.
Masa SD yang enam tahun lamanya itu mungkin hanya bisa ditandingi waktu kuliah. Tapi mungkin tidak juga, mungkin SD lebih diingat karena katanya ingatan itu seperti bak pasir, pasir yang pertama masuk akan menghuni bagian dasar bak, menjadi pernopangnya, sementara pasir yang berikutnya hingga butir-butir yang terakhir akan menjadi bagian yang diinjak.
Setahun di bangku TK, aku kemudian disekolahkan ke SD yang masih dalam naungan yayasan yang sama, tapi lokasi sekolahnya beda, SD Widya Wacana di daerah Pasar Legi, Solo, sekolah swasta yang dinaungi sebuah yayasan Kristen yang berafiliasi ke organisasi GKI (Gereja Kristen Indonesia), yayasan yang sama juga menaungi universitas Satya Wacana di Salatiga. Guru pertamaku, yang adalah wali kelasku di kelas A adalah bu Yanti. Lengkapnya Dewi Yanti. Guru yang satu ini bertubuh kecil, berambut keriting, mata bulat, dengan janggut maju alias agak nyakil. Satu hal yang barangkali akan selalu dikenang semua bekas muridnya adalah kesukaannya bercerita. Ia punya banyak sekali koleksi dongeng, tentang keluarga kerajaan, dunia hewan, atau kisah dari Alkitab dan belakangan kisah dari film yang ia tonton dengan beberapa modifikasi disesuaikan dengan usia anak-anak, warna ceritanya baik yang kebarat-baratan, kemelayu-melayuan hingga kehongkong-hongkongan. Dongeng yang masih kuingat di antaranya tentang kancil, pangeran kodok, sebuah fragmen dari cerita film aksi bikinan Hong Kong yang dibintangi Chow Yun Fat yang beberapa hari sebelumnya juga aku tonton bersama Papa, dan kisah tentang Abraham yang mengorbankan Ishak, yang aku ingat terutama karena bu Yanti mendeskripsikan, "kalau Ismael itu nakal kayak… (nama temanku), tapi kalau Ishak anaknya diam, kayak lalathijau ini, yang kalau dinakali diam aja." Aku tidak bisa membayangkan perilakuku waktu kecil, tapi hubunganku dengan bu Yanti aku rasakan cukup dekat, meski aku sedemikian pendiam. Bu Yanti ini memang adalah wali kelasku, ia sangatlah sabar dan mungkin tidak bisa marah. Satu kali ketika di kelas 1, aku lupa membawa sesuatu untuk mata pelajaran Prakarya (keterampilan tangan). Nah, karena harus menepati janji akan mencubit anak yang lupa membawa, bu Yanti berpura-pura mencubitku, tapi hanya dengan sentuhan ringan saja sambil tersenyum pula, meski juga dengan berkata "hayo, nggak bawa, elek ini." Meski demikian, aku toh tetap merasa sedikit terpukul, aku masih ingat aku mencoba memandangi tanganku yang habis 'dicubit' bu Yanti itu. Tidak ada bekasnya, tentu saja, tapi aku merasa ada bekas putih di kulitku, mungkin itu kapur, aku merasakan panas menjalari wajahku, mungkin karena malu, mungkin aku seperti pemain bola yang diving. Tapi di luar itu, pastinya hukuman pertamaku di sekolah itu masih kuingat sampai sekarang.
Di kelas 1, guru yang mengajar kami memang tidak banyak. Wali kelas mengajarkan hampir semua pelajaran. Pengecualian mungkin adalah pelajaran olahraga (dulu namanya ORKES = Olahraga dan Kesehatan, halah.. singkatan itu sampai SMP sungguh membuatku sering rancu dengan kata orkes dalam bidang musik). Pelajaran ORKES selalu diajarkan oleh guru pria. Entah dia atletis atau tidak, rasanya setiap guru pria di SD ku harus selalu bisa menjadi guru olahraga, terutama untuk olahraga praktik, bukan teori. Tapi, tingkah polah para guru pria waktu SD ini akan kuceritakan nanti. Kembali pada bu Yanti, selain sebagai guru, ia juga punya sambilan membuat dan menjual kacang telor. Kacang bersalut tepung dalam bungkus plastik kecil dengan tulisan dan gambar warna merah, sayang aku lupa nama mereknya, dijual seharga 25 rupiah per-bungkusnya. Aku tahu dan masih ingat sebab kacang itu juga titip dijual di kantin sekolah dan merupakan salah satu jajanan kesukaanku waktu itu.
Hubunganku, termasuk keluargaku, dengan bu Yanti tergolong baik. Ya, menjadi guru SD memang tidak mudah, selain berhubungan dengan si murid, kita juga harus bisa menjalin hubungan yang baik dengan keluarga terutama orangtuanya, apalagi di kota kecil seperti Solo, apalagi sebagai sesama etnis Cina, apalagi di tahun-tahun itu (1980-1990-an). Mama hampir selalu tahu perkembangan dan sikapku selama di sekolah, ia juga tahu dan membawa sebutan 'pak Kem' dan 'bu Kem' yang dicetuskan oleh bu Yanti di sekolah, jika ada anak yang jorok, tangannya kotor, bajunya kotor, dsb. 'Kem' maksudnya adalah singkatan dari 'kemproh.' Mama dan kakak-kakakku, saling tahu dan saling mengenal dengan bu Yanti. Tapi Papa tidak. Terjadilah, satu hari aku diajak Papa makan sate kambing (sekarang ketahuan kalau memang Papa sendirilah yang tidak bisa menjaga menu makannya sampai kena macam-macam penyakit, termasuk hipertensi), di warung itu aku bertemu bu Yanti dan suaminya juga sedang makan di sana. Bu Yanti menyapaku tapi aku justru seperti malu-malu dan enggan beramah-tamah dengannya. Sejujurnya, saat itu aku merasa bingung hampir tidak percaya karena melihat guruku berada di tempat selain sekolah, dengan pakaian biasa, makan makanan yang sama denganku. Begitulah pikiranku saat itu. Karena belum tahu kalau dia adalah guruku di sekolah, Papa sendiri mungkin tampak heran dan tidak bisa menduga siapa kira-kira wanita setengah baya dengan suaminya yang botak dan berkacamata tebal itu. Ia pun hanya menyapa seadanya. Setelah pulang dan aku bercerita pada Mama tentang pertemuanku dengan bu Yanti, barulah Papa menyadari dan merasa sangat rikuh karena merasa kurang bersikap sepantasnya pada waliku di sekolah itu, "oalah, kok nggak ngomong?, lain kali disapa dong, jangan diam saja ketemu gurunya, …" demikian nasihat Papa padaku. Sebagai orang kuno, Papa tampaknya memang memandang seorang guru sebagai sosok yang sangat mulia, begitu kira-kira.
Waktu aku duduk di kelas 3 atau 4, Bu Yanti sempat sakit dan absen mengajar beberapa bulan, atau bahkan setahun, untuk memulihkan kesehatannya. Barangkali ia bahkan sempat mondok di rumah sakit, aku lupa. Mungkin saja penyakitnya tidak jauh dari akibat kebiasaan pola makan yang sama seperti Papaku, yang jelas waktu aku kelas 5, ia sudah kembali mengajar meski tampaknya tidak menjadi wali kelas lagi, dengan tubuh yang tampak lebih lemah dan makin kurus. Ia mengajar aku di mata pelajaran Seni Musik waktu kelas 5. Tapi, bukannya mengajar, kami malah lebih sering mendengarkan dongeng-dongengnya. Bu Yanti mungkin memang benar-benar lebih suka mendongeng ketimbang mengajar mata pelajaran yang sudah ditetapkan sesuai kurikulum yang tidak mencerdaskan anak itu. Mungkin saja ia merasa pendidikan budi pekerti melalui dongeng akan lebih berguna bagi anak-anak. Selalu, setiap melihat para murid terasa jenuh atau tidak berminat mengikuti pelajaran dan mulia berulah, bu Yanti segera berkata, "Bu Yanti punya cerita, mau dengar nggak?" Atau mungkin ia mendongeng karena alasan praktis, ia tak ingin atau tak bisa marah pada anak-anak yang ramai atau susah diatur, jadi ia pun selalu menggunakan rayuan, "kalau kalian tidak mau diam, bu Yanti tidak akan cerita lho.. ayo diam dulu." Rayuan itu memang sering manjur, paling tidak untuk sebagian besar anak, apalagi untuk aku yang tergolong murid yang tak banyak tingkah dan tuntutan. Jadilah satu jam pelajaran digunakan untuk mendongeng, kadang sampai dua dongeng, kadang yang satu selesai, satunya lagi bersambung di pertemuan berikutnya. Satu kali, wali kelasku di kelas 5 itu, bu Tjien Hwa datang ketika bu Yanti sedang mendongeng. Saat itu, bu Tjien Hwa memergoki beberapa temanku yang memang termasuk golongan yang banyak polahnya sedang main silat-silatan di depan kelas, di belakang punggung bu Yanti yang mendongeng di hadapan sebagian anak yang mau mendengarkan. Waktu bu Yanti ada di sana, bu Tjien Hwa hanya terlihat kaget tapi tidak marah-marah pada anak-anak yang main silat-silatan itu. Tapi, di hari atau jam pelajaran berikutnya, bu Tjien Hwa langsung marah-marah pada anak-anak itu. Situasi itu memang lebih seperti situasi di rumah tangga, antara tamu dan tuan rumah, dan sebaliknya. Tapi memang demikianlah keadaannya di SD-ku saat itu.
Kira-kira waktu aku duduk di bangku SMP, aku mendengar kabar bu Yanti meninggal dunia. Guru yang sangat penyabar, yang lebih seperti seorang nenek dalam cerita, yang minatnya dalam mengajar mungkin hanya mendongeng dan menyanyi itu kalau tidak salah meninggal karena penyakit yang sama yang pernah membuatnya absen selama setahun untuk kemudian kembali lagi, tapi sebagai guru yang tak begitu penting. Aku merasa ia guru yang memang sangat mencintai anak-anak. Ia selalu mengakhiri dongengnya tepat ketika bel berbunyi, dengan mengucap kalimat penutup, "baar.. ceritane bu Yanti apik ya.." sambil tersenyum lebar dan tangan dilipat di depan. Kalimat yang diucapkan dengan lambat seperti tirai pertunjukan yang pelan-pelan ditutup. Aku mungkin sudah tak begitu ingat semua dongengnya, tapi sepertinya dialah satu-satunya orang yang mengenalkan dongeng lisan padaku.
Guru kedua adalah bu Jun, nama lengkapnya Juniasningsih. Dia adalah wali kelasku saat kelas 2, masih muda mungkin usianya sekitar 30-an tahun, rambutnya model keriting sebahu yang sedang ngetren waktu itu (lihat gaya rambut Merriam Bellina di film Catatan si Boy), pipinya agak tembem dan bergigi kelinci. Beda dengan bu Yanti yang sangat kekeluargaan, bu Jun pembawaannya lebih pendiam. Sebagai guru, sepertinya ia lempeng-lempeng saja. Bu Jun juga sabar, aku tidak ingat ia pernah marah-marah. Satu perbedaan antara bu Jun dan bu Yanti yang masih sangat kuingat adalah tulisan tangannya. Tulisan bu Yanti berkait, besar-besar, gaya khas orang tua, sedangkan tulisan tangan bu Jun rapi, kecil-kecil, dan tidak berkait. Ketika duduk di kelas dua itulah aku mulai meraih juara, cawu (caturwulan) 1, 2, 3 selalu juara 2 sekelas, dengan formasi juara 1 dan 3 juga selalu sama. Juara 1, Reine Wulandari, juara 2, lalathijau, dan juara 3, Eko Haryanto. Entah kenapa bisa begitu, dan karena prestasi yang selalu sama itu, tulisan pesan guru di raporku juga selalu sama, tapi sekarang aku lupa bunyinya. Hanya saja, aku ingat ketika di cawu 1 aku pertama kali meraih juara 2, sambil memberikan rapor, bu Jun sempat memelukku sambil mengucapkan "Selamat ya", tentu saja aku bertambah bangga waktu itu. Bu Jun sepertinya memang menyayangiku. Ia jugalah satu-satunya guru yang pernah mengunjungi rumahku. Waktu itu, aku tidak masuk karena sakit, jadi sepulang sekolah bu Jun menjengukku. Sakitku memang tidak parah, hanya sedikit panas, waktu bu Jun datang pun aku sedang berkeliaran di rumah dan melihat guruku datang aku jadi malu. Tapi, aku masih ingat sampai sekarang. Di kelas 2, karena keterbatasan ruang kelas yang dimiliki sekolahku, aku masuk mulai pukul 09.30. Dengan demikian, bisa jadi itu adalah setahun masa paling santai dan menyenangkan dalam hidupku sebagai anak SD, atau mungkin juga sampai sekarang. Meski demikian, masa itu seperti lewat terlalu cepat, jadi tidak begitu banyak yang bisa kuceritakan, termasuk tentang bu Jun ini.
Guru ketiga, yang adalah wali kelasku di kelas 3 dan 6 adalah salah satu guru SD yang paling kuingat. Nama lengkapnya Kwa Tjien Hwa, dipanggil bu Tjien Hwa (bacanya Cin Hua). Badannya besar, kulitnya hitam, wajahnya kasar dengan beberapa bekas jerawat, flek, dan tahi lalat, rambutnya keriting dipotong pendek model laki-laki, berkacamata putih, serta wajah jarang tersenyum (seingatku). Gambaran yang terekam tentang bu Tjien Hwa memang demikian, detail tapi juga terkesan buruk. Memang, bu Tjien Hwa adalah guru yang menurutku galak, termasuk pada aku yang pendiam ini. Tapi, bu Tjien Hwa memang mengidap hipertensi, pernah satu kali ia tiba-tiba minta izin pulang karena pusing akibat tekanan darahnya naik. Bu Tjien Hwa sering kuanggap sebagai musuh, apalagi karena dia tampaknya lebih concern pada mata pelajaran Matematika yang aku benci.
Pengalaman terburukku dengan bu Tjien Hwa terjadi ketika masih di kelas 3. Waktu itu, entah kenapa yang jelas untuk pertama kalinya aku lupa mengerjakan PR. Soal-soal hitungan itu adalah sisa pekerjaan kemarin yang karena waktunya tidak mencukupi sehingga diputuskan dipakai sebagai bahan PR. Maka, karena tidak ada yang bisa membantu, sewaktu bu Tjien Hwa menyuruh anak-anak untuk mengeluarkan PR dan menukarkannya pada teman sebelahnya, aku buru-buru mengisi kolom-kolom yang masih kosong dengan angka-angka jawaban yang ngawur, sementara teman sebelahku juga tampak sudah tidak sabar karena pekerjaanku tidak segera diberikan kepadanya. Waktu itu, anak kelas 3 SD, atau barangkali hanya aku dan temanku itu saja, mungkin belum berpikir tentang bekerjasama menutupi kesalahan temannya, misalnya dengan meminjamkan PR-nya untuk disalin. Waktu itu, bu Tjien Hwa berkeliling ke bangku anak-anak untuk melihat kalau-kalau ada yang belum mengerjakan PR-nya. Beberapa anak ada yang kedapatan belum mengerjakan dan dihardik disuruh mengerjakan di luar. Waktu mendekati bangkuku, dengan gemetaran aku memperlihatkan buku PR-ku padanya, setelah sebelumnya karena panik aku justru memasukkannya lagi ke dalam tas, bu Tjien Hwa pun harus meminta, "lalat, mana coba liat PR-nya, sudah bikin belum?" Dengan melihat sekilas, kolom-kolom terlihat penuh, bu Tjien Hwa pun membiarkan dan berlalu. Aku sungguh lega. Tapi sekali lagi, karena lugunya, meski yang memeriksa PR-ku adalah teman sebelahku, yang tentu saja harusnya cukup akrab denganku, sewaktu jawaban yang benar dibacakan, toh tidak ada pikiran untuk mengisikan yang benar ke kolom yang masih kosong, sekadar membantu teman… Maka, setelah jawaban diperiksa, dengan jumlah coretan salah yang tentu saja sangat banyak, satu persatu murid harus maju ke depan untuk diberikan paraf nilai dari guru. Ketika melihat lembar jawabanku yang sangat penuh coretan salah, dengan beberapa kolom yang masih kosong, bu Tjien Hwa langsung menghardik, "Haah, apa ini??! Keluar!!"
Hatiku pun hancur. Tapi penderitaan belum selesai, ketika aku bersama beberapa temanku yang memang termasuk golongan yang badung mengerjakan soal-soal itu di luar kelas, datanglah bu Endang Ekawati, kepala sekolah SD Widya Wacana 3 (meski bangunannya satu, SD Widya Wacana di Pasar Legi secara organisasi terdiri dari 3 cabang, disebut cabang nomor 3 (kelas A), 5 (kelas B), dan 6 (kelas C), jadi ada 3 kepala sekolah yang kantornya bersebelah-sebelahan, konon murid kelas A otaknya lebih superior dari kelas B dan B lebih dari C, tapi kini aku meragukannya dan merasa itu hanyalah salah satu perang urat syaraf, yang di antaranya didasari rivalitas Mama yang anaknya ada di kelas A terhadap Paman, Bibi serta sepupuku, Leo yang seumuran denganku tapi masuk ke kelas B). Bu Endang ini juga terkenal galak, dengan tampilan fisik agak mirip dengan bu Tjien Hwa, tapi sedikit lebih tua, kulit mukanya lebih rusak dan warna kulitnya lebih terang serta lebih necis dan suka berdandan. Ketika melihat murid-murid yang bandel itu, ia pun seperti mendapat mangsa. "Naaa… ada apa ini?" "Nggak bikin PR, Bu…" jawab bu Tjien Hwa mewakili kami. Lalu, bu Endang pun menjewer telinga kami satu persatu, dengan senyuman menyeringai. Waktu itu, sepertinya aku sudah atau nyaris menangis, jeweran bu Endang bagiku sangat sakit dan panas, jelas berbeda dengan 'cubitan' bu Yanti yang kuterima di kelas 1.
Sudah selesai? Ternyata masalah lupa mengerjakan PR itu masih berlanjut. Kali ini sampai di rumah. Tapi, untuk lebih jelasnya aku ceritakan latar belakangnya yang lengkap dulu. Jadi, sejak cawu 2, lagi-lagi karena keterbatasan ruang kelas, maka kelas 3A dan kelas 3B belajar dengan menggunakan kelas yang sama, meski tetap dengan dua orang wali kelas. Dalam satu kelas, berdesak-desakan sekitar 50 murid untuk kelas yang kapasitas normalnya mungkin hanya 30-an anak. Beberapa bangku tambahan dan beberapa anak yang hanya mendapat meja sangat kecil diusahakan, tentu saja setahuku belum ada anak yang cukup kritis mengeluh, entah kalau orangtuanya, pastinya sih ada. Sebagaimana diketahui, sepupuku Leo ada di kelas B, kami pun menjadi teman sekelas. Tentu saja ia tahu semua hal yang kualami di kelas, tapi meski demikian sepupuku ini rupanya bukan pengadu. Mungkin ia menceritakan itu pada orangtuanya, tapi tidak kepada Mamaku. Tapi, ada temanku yang bernama Markus Yulianto, adiknya Lukas Yulianto, rumahnya Kalioso. Markus digolongkan sebagai anak badung di sekolah (sehingga kalau tidak salah waktu kelas 3 atau 4, ia tidak naik kelas), sewaktu kejadian aku lupa bikin PR itu Markus juga tidak membuatnya, hanya saja ia sudah dipergoki dan disuruh keluar sejak saringan pertama. Tapi sesudah itu, tanpa kutahu motifnya, rupanya Markus memberitahukan kejadian itu pada kakakku yang waktu itu duduk di kelas 6 lingkup sekolah yang sama. Kakakku melaporkannya pada Mama dan akupun dimarahi. Terlebih saat itu, Leo sekeluarga sedang berkunjung di rumah. Karena untuk keperluan konfirmasi, Leo pun harus buka mulut menceritakan kejadiannya. Lalu, Mama langsung marah besar, mungkin karena malu, aku segera diharuskan mengerjakan semua PR yang ada, termasuk PR yang masih akan diperiksa beberapa hari ke depan. Ketika sampai di PR mata pelajaran IPA, Mama makin marah lagi saat mengetahui catatan IPA-ku masih kurang lengkap. Terpaksa aku meminjam dan menyalin catatan dari Leo. Dengan ditunggui Mama yang terus mengomel dan sesekali menjewer, aku menyalin catatan Leo tentang anatomi bunga itu sambil menangis-nangis, tak jauh dari situ Leo memerhatikan aku bersama mamanya. Mama jelas marah terutama karena malu dan kehilangan muka di hadapan adik iparnya.
Jika bu Yanti bertemu Papa di warung sate kambing, bu Tjien Hwa juga pernah bertemu Papa, tapi mereka bertemu di sekolah. Waktu itu adalah karena angkutan umum tidak berhasil kudapat, alhasil Papa mengantarkanku ke sekolah, meski sudah terlambat. Aku terlambat untuk kesekian kalinya. Aturannya kalau tidak salah waktu itu adalah jika terlambat aku harus mengetuk pintu dan kemudian berkata pada guru, "Bu Tjien Hwa, maaf saya terlambat." Ketika itu, aku sudah tahu kalau kali ini aku terlambat lagi. Karena aku memang takut dengan bu Tjien Hwa, maka aku berjalan agak pelan menuju pintu. Tiba-tiba dari belakang, ada seorang pria berbaju putih datang. Jujur saja semula aku tidak mengenali papaku sendiri. Pikiranku masih terasa sangat susah untuk mencerna kehadiran Papa yang masuk di halaman sekolahku. Papa yang mengetukkan pintu dan memintakan izin maaf serta alasan aku terlambat kepada bu Tjien Hwa. Kali itu, aku merasa sangat dibela menghadapi guru yang juga musuhku itu. Terlebih sebagaimana mestinya, bu Tjien Hwa menjadi ramah dan tidak memarahiku karena datang terlambat. Meski sorenya Papa mengatakan "tadi katanya kamu sudah sering terlambat," aku tetap masih terkesan dengan kehadiran Papa dan upaya turun tangannya secara langsung dalam kehidupanku di sekolah.
Untuk urusan mengambil rapor atau pertemuan dengan guru, Mamalah yang selalu datang. Dalam sejarah, Papa hanya sekali saja datang untuk mengambil rapor kakakku yang pertama. Ketika menanyakan hal itu pada Mama dan kakak pertamaku, jawabannya adalah karena Papa hanya akan mau mengambil rapor jika anaknya juara kelas. Kakakku yang pertama memang sering meraih juara kelas, paling tidak juara dua atau tiga. Di keluargaku, di antara lima, empat anak pernah meraih juara (maksudnya juara 1 atau 2 atau 3) ketika SD, selain aku dan kakak yang pertama, kakak yang ketiga dan keempat pernah satu kali meraih juara ketiga di kelasnya. Aku memang sempat protes karena selama duduk di bangku SD, paling tidak aku pernah 8 kali meraih juara, dengan satu kali juara kelas. Tapi, sepertinya alasan bahwa Papa hanya akan mau mengambil rapor jika anaknya juara kelas adalah alasan rekaan saja. Papa mungkin memang tidak suka melakukannya.
Bu Tjien Hwa mungkin adalah guru galakku yang pertama. Meski galak, tapi di kelas 3 itu aku juga meraih satu-satunya juara kelas. Secara keseluruhannya adalah sebagai berikut: cawu 1 juara 3, juara 1 diraih Reine Wulandari, juara 2 nya Eka Haryanta. Cawu 2, juara 1, juara 2 diraih Reine Wulandari, juara 3 nya Eka Haryanta. Cawu 3, juara 2, juara 1 diraih Eka Haryanta, juara 3 Reine Wulandari. Memang, selama 2 tahun urutannya terus begitu. Bedanya, bu Tjien Hwa seperti tidak ingin menganakemaskan semua anak. Ia galak dan sering memarahiku, di lain waktu Reine Wulandari juga kena semprot, hanya Eka Haryanta yang sepertinya agak jarang.
Dengan prestasi seperti itu, ketiga anak itu memang termasuk anak yang pendiam, sangat tipikal 'bukan? Reine, seorang anak perempuan yang tubuhnya bungkuk, mata besar, gigi tak rapi, suara cempreng keras, dandanan seperti orang tua. Eka Haryanta, anak yang kurus, mata melotot, telinga besar mengarah ke luar seperti alien, dengan bentuk wajah lonjong. Aku anak kurus, gigi tonggos besar-besar, rambut selalu diminyaki dan disisir rapi belah pinggir model jadul, alis yang sempat dicukur habis, juga pendiam dan penakut. Aku dan Eka sering pulang bersama dalam satu angkot, jurusan 07 karena rumah kami searah, sekitar 4 km dari sekolah. Kadang, kami memang mampir dulu ke rumah teman kami Tomas alias Tomi yang searah dan berjarak sekitar 1,5 km dari sekolah. Bedanya, Tomi si anak pasangan dokter itu dijemput dengan mobil dan sopir pribadi. Jadi, kadang mampir ke rumahnya dengan menumpang mobil Tomi jelas bisa menghemat biaya angkot, dari 100 atau 75 rupiah menjadi 50 rupiah. Kalau ke rumah Tomi, Eka kadang juga ikut main. Kadang, aku sendiri yang sepulang sekolah, setelah makan dan berganti pakaian, dari rumah pergi naik angkot ke rumah Tomi main sampai sore. Pernah juga sudah berencana hendak menginap tapi tiba-tiba sekitar jam 8 malam, Papa menjemputku dan kemudian memarahi, "punya rumah sendiri ngapain menginap di rumah orang lain…" Alasan Papa kadang memang tidak kuat. Tapi, aku diam saja, takut tentu saja. Teman lain yang sering menjadi tempatku dolan, adalah rumah Henri dan Franki, rumah keduanya dekat tapi tidak searah rumahku. Kadang aku diboncengnya naik sepeda, kadang naik mobil omprengan atau angkot jurusan 01. Kalau ke rumah Henri atau Franki ini, kelompoknya agak lain, kadang ditambah dengan Ferry, Very, Kiki alias Hengki yang rumahnya lebih menyimpang lagi arahnya. Selain main ke rumah mereka, mereka juga kadang main ke rumahku.
Kembali ke bu Tjien Hwa, sial memang, di kelas 6 bu Tjien Hwa menjadi wali kelasku lagi. Tapi, tampaknya waktu kelas 6 itu aku tidak begitu memiliki kenangan menakutkan dengan beliau. Barangkali karena aku sendiri sudah lebih besar dan sudah mulai belajar menghadapi berbagai jenis karakter orang. Kemungkinan lain adalah karena bu Tjien Hwa sendiri sudah mulai harus mengontrol emosinya setelah mengetahui dirinya mempunyai budrek alias hipertensi, serius, aku memang pernah mendengar ada orang mengemukakan alasan itu. Di kelas 6, atau tepatnya sejak cawu 3 kelas 4, aku sudah tidak pernah meraih peringkat 1, 2, atau 3 lagi. Terlebih di kelas 6, beberapa kali aku mulai disetrap atau disuruh keluar dari kelas karena tidak atau salah membawa atau lupa mengerjakan sesuatu, namun aku sudah mulai menyikapinya secara biasa, tanpa reaksi berlebihan seperti 3 tahun sebelumnya, apalagi karena setiap disetrap itu, beberapa teman mainku di atas sering ikut disetrap juga. Mama mungkin sering menganggap Henri atau Franki membawa pengaruh buruk bagiku. Terlebih melihat Franki, teman sekelasku tapi berumur 2 tahun di atasku, dengan badan yang jauh lebih besar dariku, ikut Taekwondo, dan kadang bertindak seperti tukang pukul yang membela teman-temannya yang kecil-kecil atau yang pendiam, termasuk aku jika diganggu beberapa anak badung di sekolah. Sementara Henri, anak yang tubuhnya seukuranku, sampai kelas 5 selalu dicukur gundul, Franki dan Henry mungkin hampir seperti Giant dan Suneo dalam versi lain. Suatu kali, ketika aku, Franki, dan Henri disetrap disuruh keluar kelas oleh bu Tjien Hwa, sementara aku masih terlihat agak terpukul dengan hukuman itu, Franki mengatakan, "jangan kuatir, lalat, nanti aku hajar dia (maksudnya bu Tjien Hwa)…" Tentu saja Franki hanya membual, tapi waktu itu aku pun merasa lebih tenang dan mengira rasa dendamku pada sang guru galak benar-benar akan dibalaskan oleh temanku itu.
Guru keempat di SD yang harus kusebut adalah bu Chris, aku lupa nama lengkapnya. Bu Chris adalah mamanya Hong Hong, teman sekelasnya Leo. Wajahnya sangat putih, sebagian karena pemakaian bedak yang amat tebal, bibirnya yang tipis selalu berlipstik merah, matanya sipit tapi bulu matanya panjang-panjang, suaranya agak serak dan suka berteriak, rambutnya kering seperti wig dan terlihat mulai beruban. Sebenarnya, bu Chris cukup humoris, tapi ia tidak bisa dibilang sabar juga, meski kalau denganku ia relatif cukup baik. Satu hal yang cukup khas adalah cara tertawanya, tawanya terkesan seperti mengejek, tidak feminim, bunyinya seperti orang bengek.
Bu Chris menjadi wali kelasku di kelas 4 dan 5. Ketika kelas 5, ia mengawali tahun ajaran baru dengan berkata, "kita ketemu lagi anak-anak, barangkali kalian mengharapkan akan memiliki wali kelas yang lebih cantik, tapi akhirnya kita ketemu lagi." Ketika itu, pembukaan tersebut disambut dengan ketegangan, termasuk untuk aku, mengira kalimat itu sebagai pertanda beliau akan marah atau tidak suka mengajar kami. Kata-kata bu Chris memang sering kali agak terlalu sinis untuk disampaikan kepada anak SD. Ia juga agak moody, kadang lucu dan baik, tapi kalau mungkin di rumah sedang ada masalah, di kelas ia bisa berubah menjadi galak dan dingin, kadang selama jam pelajaran ia juga sekadar menyuruh seorang anak menulis catatan di papan tulis sementara ia duduk di kursinya sambil menunduk memegangi kepala. Satu kali aku ingat ia pernah sengaja menyuruh temanku Dian mengambilkan sesuatu di ruang kantor bawah. Setelah Dian keluar, ia menutup pintu dan mulai menceritakan kejadian di kelas beberapa hari lalu, saat ia memarahi Dian dan mengucapkan satu perkataan (kalau tidak salah kata "goblok"). Rupanya Dian merasa sangat terpukul dengan ucapannya itu dan melaporkan pada orangtuanya. Lalu, orangtua Dian pun sepertinya tidak terima dan protes pada sekolah. Mungkin bu Chris sempat ditegur, tapi ia kukuh merasa tak pernah mengucapkan kata itu pada Dian. Ia merasa Dian telah melebih-lebihkan, jadi ketika Dian keluar itu, ia berusaha memengaruhi anak-anak yang lain bahwa Dian adalah anak yang suka berlebihan dan telah berbohong mengenai kejadian waktu itu. Setelah Dian kembali ke kelas, beberapa atau mungkin sebagian besar anak, terutama anak perempuan, memang segera mengambil sikap berbeda pada Dian. Ia seperti dikucilkan selama beberapa hari. Aku sendiri sudah lupa kejadian sebenarnya, entah bu Chris memang pernah mengucapkan kata itu atau tidak, yang jelas barangkali itu adalah satu pengalaman pertamaku berhubungan dengan intrik.
Seperti sudah kukatakan, bu Chris sebenarnya relatif baik denganku. Namun, kadang ia memang membuatku takut. Suatu kali ia memarahi Budiono alias Ming Ming, anak bertubuh kecil dengan kacamata rantai yang sering izin ke toilet. Karena berasumsi ia sudah ke toilet terlalu sering, bu Chris melarang Budiono ke toilet lagi. Beberapa hari kemudian, karena takut bernasib sama seperti temanku tadi, meski aku sudah sangat ingin kencing, aku terus menahannya. Namun, ternyata tidak bisa. Jadi, sementara bu Chris di depan sedang mengajar, aku menunduk dan celanaku makin lama makin basah, beberapa bahkan mengalir ke bawah bangkuku. Untuk menutupinya, aku mencoba menjatuhkan tasku yang berbentuk koper mini ke atas genangan air pesing itu. Tapi di belakangku. Franki dan Henri mengetahuinya. Franki tertawa-tawa, dan berteriak menyindir, "Asin ya?" Kelas pun menyadari kalau aku telah mengompol, bu Chris lalu mendatangiku dan tertawa. Untuk menutupi malu, aku pura-pura bilang bahwa aku tidak merasakan kalau aku kencing di celana. Alasan yang amat bodoh. Bu Chris berkata, "Lho kenapa tidak bilang mau ke WC?" Franki pun menjawab mewakili, "Lha, kemarin itu dimarahi.." Bu Chris hanya tertawa dan bilang "Kalau memang kebelet tidak apa-apa" lalu menyuruhku membersihkan diri di WC, sedang temanku Yiska disuruh meminjamkan celana di UKS. Di WC, jelas aku malu. Apalagi karena harus menunggu celana pinjaman untukku diambilkan oleh anak perempuan. Aku mengintip-intip dari belakang dinding kompleks WC dengan tidak memakai celana, menunggu Yiska mengulurkan celana kepadaku. Aku memang malu karena waktu itu aku sudah duduk di bangku kelas 5, tapi karena bu Chris tampaknya berhasil membuat kelas tidak lagi membahasnya, aku merasa agak tenang dan jelas lega karena yang kutahan-tahan akhirnya bisa dikeluarkan.
Bu Chris juga sering memberi julukan pada murid-muridnya. Ferry yang bernama Ferry Irawan Sunaryo (tentu Sunaryo adalah nama bapaknya), dipanggil dengan sebutan Cak Naryo. Temanku Hermawan yang pernah tidak naik kelas, yang sewaktu masih menjadi kakak kelasku sangat membuatku takut, dan konon sempat disekolahkan di sekolah anak nakal(?) di Jombang, dipanggil dengan sebutan Kucing. Khusus untuk Yohanes Hermawan ini, setelah menjadi satu kelas denganku, ternyata ia malah cukup baik denganku. Lalu ada juga Yohanes Haditomo, anak hitam berambut keriting, yang juga sempat tidak naik kelas, mendapat sebutan Brintik. Mulai kelas 4 dan 5, memang mulai banyak teman sekelasku yang adalah anak yang pernah tidak naik kelas, demikian pula banyak mantan teman sekelasku yang kemudian menjadi adik kelasku. Selain dua Yohanes, juga ada dua Didik, termasuk Ferry tadi. Semuanya termasuk akrab denganku, dengan kelompok main yang berbeda-beda. Kalau main bersama Franki dan Henri, biasanya diikuti Hengki, Ferry, kadang juga Ryan. Kalau main dengan Tomi, ada Eka. Kalau main dengan Didik. H, ada Rudi, Petrus, Haditomo. Main dengan Didik. T yang adalah sepupu dari sepupuku Leo alias Yoyo, ada Very alias A Fuk, Paulus Daniel alias Han Ciang, dan kadang kelompok dua Didik itu juga bercampur karena rumah keduanya cukup dekat.
Mana yang paling dekat? Aku tidak ingat lagi. Yang jelas, sedekat apapun hubunganku dengan mereka, hampir semua tidak pernah bertemu lagi denganku setelah lulus SD. Memang, waktu SMP kelas 1 aku masih sempat ke rumah Henri. Tapi ketika aku dan dia satu SMA, di kelas 1 ia masih cukup ramah, tapi di kelas 3, bahkan ketika kami sekelas, ia sudah sangat berbeda dan kami pun bukan lagi sahabat dekat. Ia bahkan berganti nama menjadi John (aku duga karena nama baptisnya Yohanes) dan dipanggil dengan sebutan si Jon yang cool, dandy, dan playboy. Masya allah. Dengan Didik T, ketika SMA, aku sempat bertemu dengannya di jalan. Ia naik mobil bersama teman-temannya dan aku naik motor, ia masih ingat denganku dan masih menyapaku dengan ramah dari dalam mobil. Tapi, kira-kira setelah kuliah, rupanya Didik telah menjadi pemakai narkoba, sempat menjalani rehab, dan sejak itu menurut informasi dari keluarga Leo, ia seperti orang yang agak bloon dan kalau diajak omong sering tidak nyambung. Demikian juga Franky, ketika di waktu SMP aku sempat aktif mengikuti latihan beladiri bernama KATEDA, ia menjadi pelatih di cabang lain (tapi kadang kami mengadakan latihan gabungan), ia masih mengenaliku tapi kami tidak bisa akrab lagi. Tapi Han Ciang agak lain dengan mereka. Kami bersekolah di SMA yang sama, juga sempat sekelas. Tapi, jika waktu SD ia adalah anak gemuk yang agak pendiam, waktu SMA, ia menjadi seorang remaja yang aktif, pemain bola yang cukup handal di sekolah, dan cukup gaul. Tapi ia masih cukup baik denganku. Yang lebih akrab waktu SMA justru Darwin, sepupu Han Ciang yang waktu SD tidak seakrab aku dan Han Ciang. Sementara Petrus sempat aku lihat menjadi tukang parkir di sebuah warnet dekat lingkungan rumahnya.
Kembali pada bu Chris, gosip sempat beredar sewaktu aku di SMP. Aku ingat kira-kira waktu aku di kelas 6, suami bu Chris meninggal dunia, lalu ketika awal SMP aku dengar bu Chris menikah lagi, konon dengan suami alm. Bu Yanti. Aku tak tahu kebenarannya. Yang jelas, alm. suami bu Chris dan suami bu Yanti memang tampilannya cukup mirip. Satu hal lagi yang kuingat tentang bu Chris adalah waktu kelas 5, cawu 1. Ketika akan menerima rapor, adalah hal yang mendebarkan untuk mengetahui siapa yang akan menghuni peringkat 1-10. Seperti malam penerimaan anugerah Oscar, beberapa gosip tentang siapa yang akan menjadi juara 1 cukup gencar. Dulu, waktu aku masih sering merebut juara 1, 2, dan 3, biasanya beberapa hari sebelum terima rapor, guru tata usaha atau wali kelas akan memberitahuku secara diam-diam, agar membawa foto hitam putih ukuran 3x4=1 lembar. Foto itu akan dipasang di piagam juara. Itulah pertanda aku akan meraih juara, tapi mengenai peringkatnya aku masih belum tahu sebelum rapor dibagikan. Di hari pembagian rapor itu, seperti biasa diawali dengan wali kelas memberi wejangan untuk kemudian setelah itu memanggil orangtua dan muridnya satu persatu menerima rapor. Ternyata, seperti seorang tukang sulap, bu Chris membuka bagian belakang papan tulis yang memang bisa bisa dibolak-balik, di situ ada 10 nama dari peraih rangking 1-10. Semua murid terpana, kenapa tidak ada satupun yang punya pikiran akan ada 10 nama itu di bagian belakang papan itu? Maka, pada dua cawu berikutnya, setiap menjelang hari pembagian rapor, papan tulis bagian belakang itu selalu diperiksa. Tentu saja tidak ada lagi tulisan seperti itu di sana. Begitulah bu Chris, labil tapi sering kali cukup menghibur.
Semua guru yang pernah menjadi wali kelasku sudah kubahas, jadi setelah ini adalah guru-guru di SD yang bukan wali kelas tapi cukup berkesan untukku. Nama pertama aku pilih pak Tomo saja. Guru olahraga ini masih muda. Badannya tinggi dan tegap dengan rambut yang tipis dan model agak kuno, ia juga selalu terkesan berpeluh, mungkin karena pakaian yang ia kenakan juga selalu tampak terlalu ketat di badan. Aku rasa ia tak begitu pintar dalam mengajar di kelas, tapi kalau di lapangan, para murid banyak yang mengaguminya. Ia agak keras dalam mengajar, tapi jarang menghukum, hanya sebatas menghardik dan memelototi. Ternyata, kakak pertamaku bilang kalau istri pak Tomo adalah mantan kekasih pacarnya kakak pertamaku (yang sekarang menjadi kakak iparku). Guru olahraga lain adalah pak Yo. Tapi, sebenarnya aku agak kurang yakin kalau pak Yo pernah mengajarku. Aku mengingatnya karena rumah kami sama-sama di Mojosongo. Tapi walau pak Yo bukan guruku di sekolah, ia adalah guru kakak-kakakku. Pak Yo juga pernah menjadi guru sekolah mingguku. Rumahnya dipakai sebagai tempat mengadakan kebaktian sekolah minggu. Dengan memakai nama pena Yoyok HS, pak Yo (kependekan dari Yohanes) juga menulis buku pelajaran olahraga dan bukunya dipakai sebagai diktat di sekolahku selama bertahun-tahun. Pak Yo adalah guru dengan tampilan yang sangat konvensional. Sangat khas Solo, suka memakai baju batik, rambut potongan khas tukang cukur bawah pohon, kumis rapi, dan gerak-geriknya tertata. Ketika perang Teluk jilid pertama berlangsung, pak Yo datang ke rumahku, hanya untuk menumpang melihat tayangan CNN dari parabola tentang jalannya perang itu. Gambar yang ditayangkan di CNN sebenarnya hanya latar gelap agak hijau dengan titik-titik bunga api berloncatan, tapi ia menganggap itu menarik. Sebenarnya ada seorang guru olahraga lagi, tapi aku lupa namanya. Sebenarnya pak guru itu adalah guru matematika, tapi seperti sudah kubilang, di SDku semua guru pria harus bisa mengajar olahraga. Jadi, meski sudah memakai baju kaos dan celana training, postur tubuh pak guru itu, dengan perut buncit dan tangannya yang kecil terlihat tidak meyakinkan.
Guru pria lain yang kuingat ada dua, keduanya adalah kepala sekolah, pak Sardi dan pak Petrus. Pak Sardi bernama lengkap Sardipon bla bla bla… Ia selalu menceritakan bahwa tambahan 'pon' itu diberikan karena ia dilahirkan pada zaman Jepang (Nipon). Pak Sardi orangnya gemuk, pipi besar, mukanya hitam, berkumis tipis, kacamatanya berframe tebal warna coklat gelap senada dengan warna kacanya. Ia pernah mengajar di kelasku sebagai guru pengganti di pelajaran Matematika karena bu Tjien Hwa mendadak izin pulang karena pusing tekanan darahnya naik. Meski tidak galak, tapi ia juga tetap tegas, atau setidaknya kami semua agak takut dengannya. Kepala sekolah kami sendiri gitu loh… Sebagai kepala sekolah Widya Wacana 3 (kelas A, kelasku), ia menggantikan bu Endang kira-kira sejak aku di kelas 4. Pak Sardi juga adalah pakdenya Wilis, temanku beda kelas. Wilis adalah anaknya Pak In, guru juga, mengajar di Widya Wacana Warungmiri, dan sepupu Yiska, teman sekelasku yang adalah anaknya bu Naomi, guru di TK ku tapi kemudian juga mengajar di SD ku. Jadi, ada semacam klan keluarga guru di sekolah kami.
Kepala sekolah Widya Wacana 5 (kelas B) adalah pak Petrus, lengkapnya Petrus Sutimin. Ia lebih fleksibel lagi, kalau tidak salah ia juga pernah menjadi guru SMP. Pak Petrus orangnya tinggi dan kurus, rambutnya selalu tersisir rapi, hidung mancung, muka dan kepala kecil, dagu berwarna kehijauan, bekas brewok yang dicukur habis, giginya kelinci, dan ke mana-mana mengendarai vespa. Pak Petrus tinggal di daerah Mojosongo juga. Dari dalam angkot, aku sering melihatnya mengendarai vespanya. Aku sama sekali tak pernah diajar pak Petrus, tapi kakak-kakakku pernah, baik ketika SD atau SMP. Kalau kepala sekolah kelas A adalah bu Endang lalu pak Sardi dan kepala sekolah B adalah pak Petrus, maka kepala sekolah kelas C di masaku adalah bu Febe, biasa dipanggil bu Fe. Bu Fe membuka lembaga kursus semua mata pelajaran bernama Vita Class. Kalender dari Vita Class aku ingat menghiasi setiap kelas di sekolahku. Bu Fe orangnya putih, rambut keriting, dan kabarnya cukup galak. Kini, rupanya ia masih aktif dan menjadi kepala sekolah SD (atau TK?) Pratama di Solo Baru, sekolahnya dua keponakanku. Jadi, ia menjadi kepala sekolah atau paling tidak pernah mengajar dua generasi karena kakak pertamaku (ibu dari dua ponakanku itu) juga adalah mantan anak didik bu Fe juga.
Sedikit lepas dari konteks guru, aku juga ingat pak Pono, papanya temanku Amelia. Pak Pono kalau tidak salah adalah ketua Yayasan Widya Wacana waktu itu. Wajahnya sangat mirip dengan Amelia, temanku yang sebenarnya termasuk pendiam tapi agak manja dan tidak begitu ramah. Satu kali kalau tidak salah bu Tjien Hwa pernah memarahi Amelia karena satu kesalahan, dan bu Tjien Hwa juga menyebut-nyebut kalau ia tak takut meskipun papa Amelia adalah pak Pono yang bahkan dihormati oleh kepala sekolah. Mungkin bu Tjien Hwa memang benar-benar takut kalau dilaporkan dan ada permainan kekuasaan waktu itu. Ketika kelas 3, Amelia juga pernah merayakan ulangtahunnya di sekolah, dengan dihadiri bu Endang sang kepala sekolah serta papanya, tentu saja. Hidangan waktu itu adalah sup jagung yang dimasak seperti sup asparagus dan sempat membuatku kecanduan. Tapi, kalau makan sup jagung di manapun saat ini, aku justru sudah tidak suka, hanya kenanganku di masa SD itulah yang membuatku kadang tergoda untuk mencicipi menu sup jagung. Meski ketika SD, sering ada pembagian bungkusan berisi berbagai makanan kecil dari temanku yang sedang berulangtahun, kehadiran bu Endang dan adanya hidangan khusus yang rupanya dimasak sendiri oleh bu Pono serta pemakaian jam pelajaran lebih lama dari acara ulangtahun teman-teman yang lain adalah keistimewaan tersendiri untuk seorang anak ketua yayasan. Acara ulangtahun sendiri memang menyenangkan. Biasanya, kami sudah tahu kalau di jam terakhir pelajaran sudah ada bungkusan tas kresek besar di bawah meja guru. Dan beberapa saat menjelang pulang, pintu kelas akan ditutup oleh anak yang berulangtahun. Lalu wali kelas akan mengumumkan kalau si A berulangtahun. Dinyanyikan lagu Selamay Ulang Tahun, lalu Happy Birthday to You, disambung Panjang Umurnya, diakhiri dengan wali kelas berteriak "hip.. hip" dijawab serentak oleh kelas "huraaa..." Setelah semua seremoni sederhana itu dijalankan, murid yang lain maju satu persatu untuk menerima bungkusan plastik berisi berbagai makanan kecil, kadang dengan pita warna-warni, sambil satu persatu juga menyalami si birthday girl/boy. Aku rasa tradisi seperti itu masih tetap terjadi sampai sekarang.
Beberapa guru SD lain yang aku ingat mungkin tidak pernah mengajarku, atau pernah mengajar sebagai guru pengganti. Yang pertama adalah bu Nunik. Guru yang hitam, berambut keriting, berkacamata, mukanya selalu terlihat berminyak, apalagi dengan bibirnya diberi lipstik tebal. Kakakku yang keempat sepertinya membual saat mengatakan kalau bu Nunik pernah menggambar di papan sambil menyuruh kelas menebak gambar apa itu, dan ternyata yang ia gambar adalah pantat orang sedang berak, lengkap dengan e'eknya. Tapi, sekali lagi waktu itu aku agak percaya juga dengan kakakku itu. Hanya kabarnya bu Nunik memang suka ngomong yang jorok-jorok. Guru kedua adalah bu Marsini, dia sebenarnya adalah wali kelas kakakku yang keempat tadi. Bu Marsini (dipanggil bu Mar) tampangnya sangat keibuan. Rambut digelung dan beberapa sudah beruban, kacamata tebal warna coklat seperti punya pak Sardi, kulit putih karena bedak, hanya kabarnya ia agak galak. Guru selanjutnya adalah pak Pramono (dipanggil pak Pram). Dia adalah guru favorit kakakku yang kedua. Waktu aku masih kelas 3 atau 4, ia mengajar di kelas 6. Orangnya tinggi, bibirnya tipis, rambut hitam berbelah pinggir dan selalu rapi, sepertinya masih cukup muda. Ada juga guru favorit kakakku yang ketiga. Namanya Pak Zakaria (dipanggil pak Sak). Sebenarnya ia tidak mengajar di sekolahku tapi di Widya Wacana Warungmiri. Pak Sak orangnya agak tinggi, model rambutnya seperti pak Tomo, hanya saja ia berkumis. Aku selalu membayangkan pak Tomo adalah pak Sak waktu muda dan sebaliknya. Kakakku senang dengan dia karena pak Sak yang mengajar matematika suka memberi hadiah pulpen atau pensil atau hadiah lain kepada anak yang nilainya bagus atau yang bisa menjawab pertanyaannya. Tampaknya, kakakku itu cukup kuat di mata pelajaran matematika sehingga pernah mendapat hadiahnya. Pak Sak sekarang masih eksis dan cukup dekat dengan keluarga suami kakakku yang kedua. Ia sekarang menjadi pendeta, bahkan memimpin doa saat upacara perkawinan kakakku yang kedua tadi. Selanjutnya, ada juga bu Kim, bukan kependekan dari Kimberly tapi sebuah nama Tionghoa yang terdiri dari tiga suku kata. Aku ingat itu karena ada merek kue Tiong Ciu Pia (kue bulan) yang namanya Kim Hwa (aku mengingatnya sebagai nama kedua guru kelas 3 yang kebetulan waktu itu kelasnya digabung, yakni bu Kim dan bu Tjien Hwa). Beda dengan bu Tjien Hwa, bu Kim yang mengajar kelas 3B lebih pendiam dan lebih sabar. Dia adalah wanita yang mungkin seumuran dengan bu Tjien Hwa, hanya saja kulitnya lebih terang, tubuhnya kurus tinggi, rambut lurus sebahu, wajah seperti beberapa saudaraku dari pihak ibu yang berasal dari Kalimantan. Di kelas 3 itu, aku sering iri dengan Leo karena wali kelasnya adalah bu Kim sementara aku harus sering bertemu bu Tjien Hwa yang galak. Guru selanjutnya yang cukup berkesan adalah bu Gwat. Ia tidak pernah mengajarku, tapi mengajar kakakku yang keempat. Bu Gwat sudah tua, bertubuh pendek dan gemuk sehingga kalau menulis di papan tulis ia harus menaiki sebuah injak-injakan kecil. Jika bertemu di luar, ia jauh lebih seperti seorang nenek biasa ketimbang seorang guru. Aku juga sudah membahas tentang bu Naomi, tapi sebagai tambahan, aku ingat ketika di SD bu Naomi pernah menjadi guru pengganti di kelasku yang antara lain berisi putrinya Yiska. Aku merasakan suasananya memang agak canggung, apalagi karena ia juga menunjuk anaknya untuk mengerjakan sesuatu, dan memarahi dengan cara seorang ibu memarahi anaknya, saat ia melakukan satu kesalahan. Hal itu terjadi waktu SD sehingga rasanya tak bisa kuceritakan dalam tulisan tentang guru TK.
Selain guru-guru, aku juga ingat beberapa nama pegawai di sekolah yang bukan guru atau kepala sekolah. Ada pak Kadim, pesuruh sekolah alias pak bon. Dia adalah pak bon untuk kelas A, begitu menurutku. Sementara untuk kelas B, ada bapaknya Heni temanku dan Elia temannya kakakku, namanya lupa. Bapaknya Heni ini meninggal dunia akibat kecelakaan sehabis ia menonton wayang kulit. Ia yang menaiki sepeda angin ditabrak oleh motor (atau mobil?) sampai meninggal dunia. Jika pak Kadim orangnya pendek, matanya ngantuk, dan kulitnya agak terang, bapaknya Heni ini bertubuh kurus tinggi dan berkulit gelap, seperti kedua putrinya. Aku juga ingat pak Yap, petugas perpustakaan di sekolah. Orangnya hitam, rambutnya sudah banyak yang putih tapi selalu rapi diminyaki dan disisir ke belakang. Ia juga mengenakan kacamata dengan lensa dan frame yang tebal, yang selalu dipakai melorot, sehingga jika melihat kepalanya menunduk sambil bola mata melirik ke atas. Ia agak galak, terutama jika anak-anak ribut di perpustakaan atau terlambat mengembalikan buku/majalah yang dipinjam pulang. Perpustakaan SDku sebenarnya hanya menempati satu ruangan saja dengan raknya menempati seluruh sisi dinding. Tapi ruangan itu bersih, yang mau masuk harus melepas sepatu atau sandalnya karena lantainya dilapisi karpet. Di sana ada TV dan video beta yang pernah memutar video Ten Commandements buatan lawas itu dalam beberapa hari. Semua anak berteriak ketika adegan laut Merah terbelah. Lalu, setelah TPI menyiarkan film Mahabharata setiap Sabtu siang, TV itu selalu menyetelnya dan sambil menunggu dijemput aku sering menonton di situ. Film kolosal yang sangat panjang dan agak kurang kumengerti, satu-satunya yang kutunggu hanyalah adegan perang atau unjuk kekuatannya. Aku juga pernah berlatih untuk paduan suara yang akan mengisi sebuah acara radio. Meski sudah hapal dua lagu yang akan dibawakan itu, namun karena aku (dan juga Leo) pergi bersama keluarga dan rombongan rekan kerja Papa ke Parangtritis, kalau tidak salah untuk acara sepeda santai, maka kami urung datang ke stasiun radio itu. Barang pertama yang kupinjam pulang dari perpustakaan itu adalah majalah Bobo, setelah itu barulah Donal Bebek atau buku cerita rakyat. Perpustakaan itu juga pernah meraih juara tingkat kotamadya, kalau tidak salah sebagai perpustakaan teladan. Sebagai petugasnya, pak Yap memang sangat memelihara, bahkan protektif dengan perpustakaannya itu.
Aku juga ingat dengan pak Hono, dia adalah penjaga sekolah. Ia sudah sangat tua, memakai topi hansip dan berkemeja batik. Karena aku sering telat dijemput, pak Hono cukup hapal denganku. Bersama anak-anak lain, tas selalu kutaruh untuk dititipkan, kadang dengan tidak teratur, di depan, bawah, atau belakang meja tempat pak Hono duduk menjaga sekolah. Mestinya ia sering kesal atau khawatir dengan tas yang digeletakkan begitu saja oleh anak-anak yang belum mengenal tanggung jawab itu. Bagaimana kalau ada tas yang hilang atau paling tidak isinya hilang? Bukankah ia yang pasti akan pertama disalahkan oleh orangtua atau bahkan anak yang sembarangan itu tadi? Aku baru menyadari betapa aku menyusahkan pak Hono yang kadang memang harus marah-marah (sehingga kami kemudian menganggap dia galak) karena hal itu, kini di mana pun ia berada saat ini, maafkan saya Pak... Pak Hono, penjaga sekolah di SD dan TK jelas sangat sangat berbeda dengan bapak satpam yang menjaga SMP. Satpam itu memiliki gardu khusus, jaraknya hanya sekitar 7 meter dari bangku dan meja pak Hono. Satpam itu botak, hitam, beralis tebal, bahkan sepertinya dari kawasan timur Indonesia, dan masih muda. Mungkin karena menghadapi anak SMP lebih banyak tantangannya.
Kantin di sekolahku ada dua. Yang satu semestinya untuk SD, tempatnya jauh lebih kecil, sementara yang satu untuk anak SMP, meski anak SD juga sah-sah saja jajan di situ. Aku lupa penjaga di kantin SD, namun untuk yang berjualan di kantin SMP, aku ingat seorang wanita tua, gemuk, dan berkebaya putih, serta jarang kulihat ia berdiri apalagi berjalan, meski ia tidak lumpuh. Wanita itu dipanggil dengan sebutan 'encim.' Tampaknya ia adalah yang memiliki kantin itu, karena dia yang memegang kas. Duduk di balik meja dagangan yang panjang, yang bergerak hanya tangannya yang gemuk. Sementara di depan ada beberapa orang, tua dan muda yang melayani pembeli. Kantin di SMP lebih lengkap dan lebih disukai kalau Mama mentraktirku. Penyebabnya adalah di situ dijual masakan berkuah seperti soto, bakso, dan timlo meski porsinya tidak begitu banyak. Hingga aku kelas dua atau tiga, masih ada semangkuk soto tanpa nasi seharga 50 rupiah. Tidak begitu banyak tapi cukup untuk mengisi perut. Kalau ingin lebih kenyang, ada timlo atau soto campur nasi yang semula berharga Rp.75 lalu naik menjadi 100, kemudian 150 dan waktu aku kelas 6 menjadi 200. Jajanan di depan sekolah juga banyak. Salah satu yang cukup sering kubeli adalah es cendol pak Sadinu. Kadang saking kepinginnya, di siang yang panas, aku merelakan uang ongkos angkotku dipakai untuk membeli es yang antara lain terdiri dari janggelan, cendol, nangka, kacang hijau, semacam manisan buah kecil-kecil warna hitam, dan susu bendera. Harganya pernah 75 rupiah, lalu meningkat 100, 125, dan terakhir 150 rupiah. Jajanan lain yang di depan juga banyak yang kugemari seperti terang bulan, leker, gandos rangin, arum manis, babi kuah yang diwadahi daun, dll. Beberapa penjual ada juga yang agak seperti penipu. Biasanya penjual yang seperti itu masih muda, mangkalnya tidak lama, tidak bertahun-tahun seperti yang lainnya dan dagangannya juga mahal. Mereka ini misalnya penjual susu dalam kemasan yang mereknya aku lupa, juga seorang pemuda yang membawa berbagai macam game watch untuk disewakan. Beberapa game dihargai beberapa rupiah. Sebenarnya itu sah dan halal, namun banyak orangtua dan guru yang tidak suka karena membuat anak boros dan lupa waktu. Jelas, saat itu belum ada yang membayangkan akan ada playstation atau game online yang bisa membuat orang tanpa sadar bermain non-stop selama berhari-hari.
Weuw, ternyata panjang sekali tulisan tentang SD ini. Padahal masih cukup banyak yang bisa kuceritakan lagi, hanya saja sepertinya aku belum ingin. Tapi, tulisan panjang ini sudah mencakup cukup banyak tentang masa-masa SD-ku, terutama yang berhubungan dengan para guru-gurunya. Tentang teman-teman waktu SD jelas akan jauh lebih banyak dari ini. Tapi, mungkin kali ini aku membicarakan tentang guru dulu. Beberapa guru jelas ada, tapi aku lupa nama-nama mereka. Asal aku bisa mengingatnya, kalau sempat akan aku tambahkan lagi ke dalam tulisan ini. Tentang para guru waktu SMP bisa jadi akan lebih panjang lagi tulisannya, mengingat ingatanku lebih segar, gurunya lebih banyak, dan pikiranku sudah lebih mengerti ketimbang sebagai anak SD, tentu saja. Meski panjang, aku cukup senang saat menuliskan semua ini. Sebelumnya aku sempat melihat-lihat dan mencari di Google tentang berapa banyak tulisan mengenai para guru SD Widya Wacana ini telah dituliskan para mantan muridnya. Sejauh yang kutemukan, aku baru menemukan dua tulisan di dua blog saja, itupun relatif pendek-pendek. Aku kira, dengan segala kelebihan dan kelemahan mereka, dengan segala pengalaman baik dan pengalaman buruk yang pernah dialami murid-muridnya, para guru itu harusnya dikenang secara lebih pantas. Inilah caraku mengenang mereka, baik untuk mereka yang masih aktif, yang sudah pensiun, yang sudah alih profesi, dan terutama untuk yang sudah tiada, serta terkhusus untuk para mantan wali kelasku.
Label: guru, masa kecil, pasar legi, sd, solo, widya wacana
Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...Temanku dulu punya hobi aneh, nongkrong di krematorium. Aneh? Tidak juga. Terutama kalau kau tahu kondisi sebenarnya. Krematorium di Solo namanya Thiong Ting, dibangun oleh Perkumpulan Masyarakat Surakarta, sebuah yayasan yang mengurusi permasalahan kaum keturunan Cina di Solo. Letaknya di jalan Ir Sutami, Jebres bersebelahan dengan STM Warga yang merupakan sekolah temanku tadi. Mulai jelas bukan? Bahwa sudah diketahui kalau STM dimana-mana selalu minim atau malah tidak ada siswa wanitanya lagipula jam belajarnya bisa sampai seharian, jadi teman-temanku tadi hanya bisa melihat gadis-gadis yaitu para pelayat dari tempat itu.
Krematorium Thiong Ting sempat cukup kuakrabi terutama waktu ayahku meninggal tahun 1998. Satu-satunya krematorium di Solo tersebut memang tergabung dengan tempat persemayaman jenazah. Jadi disini aku sebenarnya agak bingung ingin bercerita tentang krematorium atau tempat persemayaman jenazah atau malah mau Thiong Ting saja. Tapi karena sejak kecil bayanganku tentang krematorium sudah jadi satu dengan tempat persemayaman, maka aku kira aku akan bicara baik tentang krematorium (aku hanya tahu yang di Thiong Ting) maupun tempat persemayaman (aku hanya pernah mengunjungi 2, satu Thiong Ting satunya Adi Yasa di Surabaya). Dari melihat foto-foto suasana pemakaman kakekku yang meninggal pada tahun 1980 (aku belum lahir), ternyata tempat persemayaman dan krematorium di Solo dulu terpisah. Krematorium letaknya di Thiong Ting yang sekarang (Jebres) sementara tempat persemayamannya ada di wilayah Kandangsapi, dekat rumah sakit Panti Kosala (sekarang dr. Oen), jarak keduanya sekitar 3 kilometer tapi jalannya relatif lurus saja. Jadi, kalau kau Cina yang mati pada tahun tujuh puluh atau delapan puluhan, mungkin boleh jadi urutannya begini: perawatan sampai meninggal di RS Panti Kosala, disemayamkan di belakangnya, lalu dikremasi di Jebres. Menariknya melakukan perjalanan sepanjang tempat persemayaman sampai krematorium itu sama saja dengan menelusuri aliran sungai Bengawan Solo yang rutenya memang sejajar. Apakah hal itu ada artinya aku belum tahu karena belum bertemu ahli feng shui.
Terakhir kali aku ke Thiong Ting adalah untuk mengantarkan ibuku melayat seorang kerabat jauh yang bahkan aku tak ingat pernah ketemu, sedangkan pertama kali ke Thiong Ting seingatku adalah untuk melayat meninggalnya salah seorang pamanku. "First thought is the strongest" katanya, dan aku juga mengamini jika kunjungan-kunjungan pertamaku di banyak tempat selalu masih kuingat dengan lumayan baik, termasuk kunjungan ke Thiong Ting, yang sekaligus pengalaman pertamaku melayat. Waktu itu adalah berbarengan dengan hari ketika untuk kedua kalinya aku mengikuti lomba menggambar (lupa tingkat apa karena yang kutahu waktu itu cuma menggambar saja) meski seingatku aku tidak memenangkan apa-apa dalam lomba tersebut. Setelah perlombaan, dengan diboncengkan oleh Bu Kris, guru TK ku yang gendut dan selalu tersenyum, aku diantar ke tempat persemayaman jenazah. Aku tak yakin itu adalah tempat persemayaman di Thiong Ting sekarang, karena seingatku sangat beda, ruang persemayaman itu banyak kayunya. Mungkin itu adalah ruang persemayaman jenazah yang lama, yang masih di daerah Kandangsapi. Aku sama sekali tak paham kemana Bu Kris membawaku, namun aku tak banyak tanya apalagi setelah disana aku bertemu ayah ibu dan kakak-kakakku. Sampai di tempat yang asing itu, nenek segera mengganti bajuku dengan kemeja dan celana pendek putih, seutas benang merah juga diselipkan diantara salah satu kancingnya, aku masih tidak paham apa yang sedang kami lakukan disana. Ruangan besar itu diisi oleh banyak kursi dan orang-orang, beberapa diantaranya adalah saudara dan kerabatku, di tengahnya ada sebuah peti kayu berhias bunga. Aku diberitahu bahwa itu namanya peti mati dan bahwa pamanku ada di dalamnya, aku rasa juga ada beberapa orang yang lebih dewasa waktu itu yang berusaha menjelaskan padaku apa itu kematian. Sayangnya aku juga belum bisa memahami apa yang mereka katakan apalagi bagaimana aku harus menentukan sikap. Tapi yang pasti, wajah nenek, ibu, ayah, paman bibi dan beberapa kakak terlihat sedih dan seperti habis menangis, sementara aku hanya bermain dengan beberapa sepupu, berjalan dan berlari kesana kemari di ruangan besar tersebut.
Sesudah pemakaman paman yang terjadi waktu aku berumur 5 tahun itu, sampai usia 17 tahun (ketika ayah meninggal) jelas ada beberapa kali kesempatan aku melayat di Thiong Ting (yang di Jebres) namun kebanyakan sudah tak kuingat lagi. Yang masih lumayan kuingat adalah pemakaman salah seorang adik kelas yang tak kukenal, namun toh aku dan banyak teman satu kelasku waktu itu tetap melayat. Bukan karena apa-apa, cuma memanfaatkan kesempatan mengingat layatan itu dilakukan waktu jam pelajaran, dan pihak sekolah yang entah karena euforia atau takut dibilang tak berperasaan juga membolehkan yang mau layat untuk pergi. Adik kelasku itu meninggal akibat kecelakaan motor, salah seorang tamu sempat bertanya padaku, "Temennya ya? Dia nakal nggak sih anaknya.." Dengan jujur kujawab bahwa aku tidak mengenalnya, tapi sesudah itu Erik, teman yang berdiri di sampingku bergumam, mengajari, "harusnya tadi kamu bilang dong, baik kok anaknya.." Aku tak berkomentar lebih lanjut. Membolos dengan alasan layat juga kami lakukan lagi, namun kali ini yang meninggal adalah ibu dari salah seorang teman sekelas kami, jadi sekolah nampaknya juga lebih tak bisa melarang, maka kami yang bawa motorpun sengaja ikut hingga ke tanah pekuburan di Delingan, Karanganyar sekalian hingga jam sekolah usai.
Ingatan tentang krematorium dan tempat persemayaman jenazah yang paling kuingat tentu adalah ketika ayah meninggal. 3 harmal (Kamis-Minggu) jenazah ayah disemayamkan, dan tiap malam juga harus ada yang menginap di depan peti, menjaganya. Meski aku ingin merasakan menginap, namun ibu dan kakak tak begitu mengizinkan dengan alasan tenagaku lebih dibutuhkan di rumah untuk membantu menyiapkan segala sesuatunya. Ketika ayah meninggal itu pulalah aku berkesempatan menyusuri sampai ke sudut-sudut Thiong Ting. Dimulai saat siang hari, beberapa jam setelah ayah dipastikan meninggal, aku dan beberapa saudara segera bergerak ke Thiong Ting untuk melihat-lihat peti. Penyimpanan peti mati yang dijual ternyata terletak di sebuah gudang di pinggir, yang selama ini memang selalu ditutup. Peti mati yang ada nampaknya tak begitu banyak, sekitar sepuluh atau belasan saja, diletakkan di rak-rak kayu. Memilih mana peti mati yang akan dibakar mungkin adalah pekerjaan yang harusnya gampang, seharusnya yang terjelek atau termurah yang dipilih. Namun tentu saja tidak demikian pertimbangannya, pertimbangan juga tidak semata karena peti itu nanti akan dilihat banyak orang, tapi lebih karena bayangan bahwa peti itu akan dipakai untuk meletakkan jenazah ayah, bahwa peti itu bisa disebut tempat tinggal ayah yang terakhir. Sempat juga aku dan beberapa saudara iseng membahas hal ini, tentang kenapa kita bisa takut dan memperlakukan secara berbeda jenazah yang notabene benda mati sama halnya dengan meja atau korek api. Fakta bahwa benda mati itu pernah hidup atau dihuni sebuah nyawa, itulah kesimpulan kami tentang perbedaan keduanya. Barangkali pelajaran tentang apa itu hidup dan mati hanya bisa kita dapatkan secara lebih mendalam ketika kita sudah mengalami dan terlibat langsung dalam prosesi kematian orang yang kita kenal dekat atau yang kita sayangi.
Terakhir ke sana tahun 2006, Thiong Ting kini memiliki 6 ruang, sebuah ruang baru telah dibangun dengan menggusur kantin dan toko yang dulu khusus menjual keperluan macam amplop, air mineral, pulpen, spidol merah, korek, lilin, minyak kolonyet (cologne), balsem untuk mengobati gigitan nyamuk atau rasa sedih di dada, termasuk jasa fotocopy untuk tetek bengek administrasi surat kematian, yang untungnya tidak senjelimet mengurus KTP, SBKRI atau akte kelahiran, dll. Mungkin pengurusan dokumen-dokumen itulah cara pemerintah menyatakan eksistensinya. Lalu, seperti halnya di rumah sakit, kalau kau bingung mana jenazah yang harus dilayat, bisa melihat dulu di papan tulis putih di depan. Jangan heran kalau melayat di tempat persemayaman jenazah seperti Thiong Ting memang bisa menjadi sesuatu yang tidak semudah maksud sebenarnya dari melayat. Terus terang dulu aku sendiri sempat kadang kurang pede jika harus melayat di tempat persemayaman jenazah umum Tionghoa seperti itu. Datang, apakah harus memberi hormat dengan pai cia, ke kanan dulu atau ke kiri dulu atau ke foto dulu, atau malah tidak perlu melakukannya, untuk menunjukkan diriku sebagai pemeluk Kristen, berapa lama harus pura-pura memejamkan mata, berdoa di depan foto orang yang meninggal, apakah setelah itu perlu bersalaman, untuk menggantikan pai cia atau lakukan keduanya? Itulah yang sempat membuat aku bingung paling tidak sebelum SMA. Masa SMA memang masa ketika aku mulai banyak melayat ke Thiong Ting. Melayat keluarga teman sekolah, gereja, tetangga maupun kerabatku sendiri, dengan puncaknya tentu saja adalah ketika aku menjadi keluarga yang dilayati itu sendiri. Kini aku tidak lagi bingung, bahkan kadang merasa agak superior saat aku melihat ada teman atau orang lain yang terlihat bingung atau melakukan 'kesalahan' dalam melakukan 'ritual' sederhana itu. Bahkan, saat tulisan ini pertama kali dibuat, lebih dari setahun yang lalu, aku justru cukup bersemangat dan ingin sekali mendapat alasan untuk mengunjungi Thiong Ting lagi. Sayangnya, tidak ada Ho Im dikirimkan ke rumah di masa-masa itu.
Rumah persemayaman Adi Yasa di Surabaya kalau tidak salah pernah kukunjungi dua kali. Aku merasa Adi Yasa tidak lebih bagus dari Thiong Ting. Aku merasa Thiong Ting lebih nyaman karena lebih luas dan tidak seramai Adi Yasa. Ruang-ruang di Adi Yasa barangkali hanya 80 % besar ruangan di Thiong Ting yang aku tahu. Kalau tidak salah, aku pikir di Adi Yasa tidak bercampur dengan Krematorium. Tapi aku tidak yakin soal ini. Waktu ke sana, aku merasa suasananya lebih seperti tempat pernikahan atau upacara peresmian pembukaan gedung baru ketimbang tempat persemayaman jenazah. Terlalu banyak karangan bunga, besar atau kecil, beberapa ruang memasang musik, mobil-mobil bersliweran karena area parkirnya langsung di depannya, banyak sampah, tempat itu pun terasa kotor dan tidak teratur. Kalau aku menjadi keluarga yang dilayat, mungkin akan tidak begitu mudah untuk bersedih atau menangis di sana.
Ada dua atau tiga makanan yang belum aku ketahui alasannya dipilih sebagai hidangan di layatan orang Cina di sini (atau di sana sini?). Yang pertama kacang, bisa juga digantikan kwaci, lalu juga roti semir. Dan sekarang kadang juga ada yang memakai permen. Untuk minuman dulu masih memakai air teh yang diwadahi gelas, tapi sekarang orang lebih suka memakai air mineral dalam gelas. Waktu Papa meninggal, paling tidak satu bungkus kacang garuda ukuran paling besar kuhabiskan sendiri, roti semir tidak begitu banyak, terutama setelah mereknya pada malam ke-2 diganti yang lebih murah. Paling tidak itu menunjukkan alasan beberapa konsumsi diganti dengan yang lebih murah, praktis, dan tahan lama. Dalam tradisi Cina, jenazah biasanya disemayamkan dalam hitungan hari ganjil sebelum dikubur atau dibakar karena katanya angka ganjil menggambarkan unsur Yang (unsur positif). Kalau soal makanan tadi, mungkin saja juga alasannya mirip, yang satu mewakili rasa asin dan manis, atau penganan kering dan basah, hanya saja aku belum pernah melihat roti semir digantikan donat atau roti isi pisang coklat, misalnya.
Krematorium di Thiong Ting letaknya di belakang tempat persemayaman jenazah, di samping ruang mayat, dekat gudang peti mati, di depan semacam taman kecil, untung saja di taman itu tidak dipasang ayunan, bayangkan kalau di tempat seperti itu ada ayunan, terkena angin di waktu malam. Setelah menaburkan bunga untuk keluarga-keluarga yang terhitung dekat dengan almarhum, dipersilakan bagi entah siapa di antara anggota keluarga yang mau mendapat kehormatan menekan dua buah tombol untuk membakar peti berisi jenazah itu. Waktu Papa dikremasi, aku yang menekannya. Setelah itu, kita bisa melihat atau tepatnya mengintip bagaimana api mulai membakar peti dan kalau jeli juga bisa melihat daging dan tulang yang dibakar api. Keesokan harinya, setelah abu menjadi dingin, keluarga bisa datang untuk mengambil abu jenazah. Ternyata, abu kayu peti mati dan barang-barang lain yang disertakan di dalamnya sangat mudah dibedakan dengan abu sisa pembakaran tulang manusia. Abu jenazah jauh lebih halus, lembut, dan bersih. Kita bisa memilah-milah dan memasukkannya sendiri ke guci atau wadah yang biasa dipakai sebagai tempat abu jenazah, lalu kita bisa membuangnya ke laut atau menyimpannya, seperti yang dilakukan Papa terhadap abu jenazah ayahnya yang bertahan selama sekitar 17 tahun, sebelum abu dan gucinya itu raib dicuri entah oleh siapa.
Ada seorang bapak yang bertugas di Thiong Ting, aku lupa namanya, yang ternyata memang sangat awet bekerja di sana. Bukti dari itu bisa dilihat di foto upacara kremasi kakek di tahun 1980, waktu Papa meninggal tahun 1998, bapak itu masih tetap bertugas di sana dengan gaya yang masih tetap sama. Topi pet dan tidak banyak omong. Petugas di Thiong Ting sendiri memang kebanyakan sudah tua, termasuk para pengusung peti. Aku rasa yang menggaji mereka adalah PMS. Mereka semua etnis Jawa, dan keawetan terhadap profesi yang seperti itu barangkali hampir seperti awetnya para abdi dalem, meski aku kira PMS tidak menggaji mereka sebesar gaji para abdi dalem yang setia mati dan bangga dengan pekerjaannya itu. Tugas para petugas di Thiong Ting itu macam-macam. Bisa aku pastikan mereka jauh lebih mengerti tradisi atau budaya Cina ketimbang anak muda seperti aku atau kakak-kakakku. Mereka mungkin juga mengenal banyak keluarga Cina di Solo beserta kerabat-kerabatnya. Kalau pagi, siang, atau sore, sewaktu tidak ada pelayat, siapa lagi yang bisa diajak bicara oleh para penunggu jenazah selain mereka? Aku tak akan heran jika beberapa keluarga yang anggotanya banyak atau sering meninggal, sudah seperti dianggap dan menganggap saudara dengan bapak-bapak petugas di Thiong Ting itu. Dan para petugas itu memang sangat membantu, terutama untuk keluarga yang baru sekali mengalami kematian dalam keluarga inti seperti keluargaku waktu itu.
Mungkin cukup di sini saja ceritaku tentang dua krematorium/tempat persemayaman jenazah yang pernah kukunjungi. Waktu aku mulai memiliki ide membuat tulisan ini sekitar satu setengah atau bahkan dua tahun yang lalu, sebenarnya aku ingin membuat tulisan yang lebih berisi ketimbang ingatan samara seperti ini. Aku sudah browsing ke banyak tempat, mencoba melempar topik ini dan meminta tolong di sebuah milis tentang budaya Cina, tapi tidak ketemu dan tidak ada yang menanggapi. Jadi, beberapa paragraf akhir mungkin hanya upaya merampungkan saja, secara kurang niat dan data. Tapi saat membicarakan tentang krematorium, dari dulu aku masih bertanya-tanya, kalau mati aku ingin dikubur atau dibakar atau dibenamkan atau dibalsam atau dipotong-potong? Dulu aku yakin ingin dibakar, sekarang aku tak begitu peduli. Kalau aku menjadi orang yang cukup punya sesuatu untuk dikenang banyak orang lain, dikubur mungkin lebih baik. Tapi aku sungguh tak terlalu peduli lagi sekarang, atau belum.
Label: krematorium, solo, surabaya, thiong ting
Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...