perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


Bioskop


Bioskop di Indonesia masih sangat menarik untuk dijadikan kajian sejarah atau paling tidak refleksi mengenai kekejaman kapitalisme. Sudah sering sekali aku melihat tayangan di TV tentang bioskop-bioskop yang pernah jaya, yang penuh dengan kisah heroik, yang kini sudah tutup atau sekarat digilas jaringan bisnis bioskop modern macam milik Sudwikatmono. Satu dari sekian banyak potret kekalahan sejarah dari uang. Seperti biasa, aku hanya akan sekadar menceritakan pengalaman dan kesan-kesanku (terutama saat ini) terhadap suatu tempat. Bioskop bagiku adalah sebuah pengalaman berada di ruang publik. Mungkin sudah sekian ratus film kutonton dalam hidupku, yang tentu saja tidak banyak yang masih bisa kuingat. Tapi, setiap kali menonton film di bioskop, ingatan akan film itu tidak akan hilang semudah ketika menonton film di rumah. Pertama tentu saja karena aku harus membayar tiket yang lebih mahal dari cara menikmati film lainnya. Kedua, karena aku tidak sering mengalami 2 jam berada di ruangan gelap dengan layar lebar, tata suara dolby stereo, dan bertemu dengan orang-orang asing.

Aku tidak yakin umur berapa aku pertama kali menonton bioskop. Yang aku ingat, Papalah yang sering mengajakku menonton bioskop ketika masih kecil. Alasan utamanya adalah karena, anak di bawah usia 7 tahun (atau 5 tahun?) tidak perlu membayar tiket. Papa dulu terutama sering mengajakku nonton di bioskop Star, di wilayah Widuran Solo. Selain bioskop, kalau tidak salah, di bangunan itu juga terdapat arena permainan, seperti bilyar atau bowling(?) selain kafe alias kantin. Tapi, aku juga sedikit tidak percaya pada ingatanku karena aku curiga ingatan masa kecilku tercampur dengan situasi di bangunan gedung lain yaitu (sekarang bekas) gedung Bengawan Sport Centre. Yang jelas, bangunan bioskop Star sekarang sudah menjadi sebuah gereja dengan konsep megachurch, tentunya dengan bangunan yang jauh lebih mewah, bahkan sudah dirombak total.

Tidak banyak film yang kuingat sebagai seorang anak seusia itu. Aku hanya ingat film aksi hero macam Rambo atau Predator kutonton di situ. Papa memang tidak perlu membeli tiket untukku, tapi ia tetap membelikan jajan untuk kumakan di bioskop. Satu kali, ia pernah mengeluh pada Mama karena saat menonton bioskop aku minta dibelikan permen (demikian istilah Papa) yang begitu mahal, namanya Silver Queen. Mungkin, harga Silver Queen yang baru muncul di pasar saat itu tidak beda jauh dengan harga tiket dewasa. Di bioskop Star itu juga, satu kali aku ingat pernah diajak menonton film perang. Aku lupa judul filmnya. Tapi, saat itu sepertinya aturan sudah mulai mengharuskan aku membayar tiket (barangkali setengah harga?). Namun, sepanjang film berlangsung, aku malah terus duduk menghadap belakang, melihat sinar dari proyektor di belakang, ketimbang menonton film yang tidak begitu kumengerti. Sepulang dari bioskop, Papa pun komplain. Sekali lagi, ia menceritakan pada Mama, bahwa aku diajak nonton kok malah melihat ‘wong ayu’ di belakang. Papa memang tipe yang selalu ingin memastikan anaknya menikmati yang ia berikan. Meski sering kali yang ia berikan tidak sesuai dengan selera si anak. Makanya, setiap kali pulang nonton, di jalan ia selalu bertanya, “Piye film e? Apik ndak?”, dan aku pun sering kali hanya bilang, “apik” lebih karena takut mengatakan yang negatif.

Selain Star, bioskop-bioskop besar di Solo pada era 80an itu antara lain, Dhady Theatre, Ura Patria (UP) Theatre, President Theatre, Galaxy Theatre, Solo Theatre, Nusukan Theatre, Rama Theatre, dan Regent Theatre yang tidak pernah aku tahu tempatnya. Di masa itu juga, cara mengiklankan film juga cukup berkesan. Satu dengan memasang papan setinggi satu meter di wilayah-wilayah yang strategis. Papan itu bagian atasnya bertuliskan nama bioskop, serta jam main filmnya (yang ini permanen). Lalu, di bawahnya ada lembaran tulisan yang menyolok, isinya antara lain judul film, nama pemeran utamanya, dan sedikit kata komentar. Info film baru akan ditempelkan di atas kertas yang lama, ditumpuk terus sampai cukup tebal. Jadi bunyi papan itu misalnya:

Bagian atas:

UP Theatre
3-5-7 -9

Bagian bawah:

Wen Piao, Chuck Norris
King Kong Lives
Panas! Menggairahkan!


Cara pengiklanan kedua lebih berkesan lagi. Meski untuk yang satu ini aku jarang melihat karena rumahku saat itu di gang di daerah Nusukan lalu pindah jauh di Mojosongo, pinggiran kota. Caranya adalah dengan menggunakan sebuah mobil yang bagian luarnya diselimuti kain gambar film seperti yang juga dipasang di depan gedung. Di atas mobil kecil itu (biasanya mobil colt Suzuki yang biasa disebut mobil trontong karena bunyinya tron tong tong tong tong) ada sebuah corong. Lalu, sambil berkeliling kota, orang di dalam mobil itu mengiklankan filmnya dengan nada seperti penyiar laporan pandangan mata sepakbola, ditambah dengan suara latar ledakan dan desing peluru (kalau film perang) serta musik latar. Tidak hanya itu, dari dalam mobil juga disebarkan kertas-kertas (glossy) kecil iklan film itu, bergambar lagi! Aku bayangkan kalau itu terjadi di zaman sekarang, dengan harga BBM dan ongkos cetak sedemikian, tentu akan sangat besar biaya yang harus dikeluarkan si pemilik bioskop untuk mengiklankan filmnya. Sepupuku yang tinggal di tengah kota adalah yang akan segera lari keluar begitu terdengar suara dari corong loudspeaker itu, bahkan ia rela mengejar sambil berteriak, “mintaaa” demi mendapat kertas kecil itu.


Setelah aku makin besar sehingga harus membayar tiket, Papa agak jarang mengajakku nonton. Selain di Star, aku ingat pernah diajak Papa nonton di Dhady Theatre di jalan Slamet Riyadi, yang hanya dipisahkan jalan yang termasuk wilayah Pasar Pon. Dhady Theatre sudah lama tutup dan kini menjadi rumah makan es krim (entah kalau es krim itu juga sudah tutup). Aku tidak ingat film yang kutonton, tapi yang jelas waktu itu aku terpaksa menonton cuplikan film (istilah Papaku adalah ekstra) Malam Jumat Kliwon. Aku ingat bahkan kakiku sampai gemetaran naik turun (seperti adegan di film Mr. Bean) saking takutnya. Meski aku masih ingat, adegan film saat itu sudah berganti saat Sundel Bolong mengerjai Doyok yang berperan sebagai tukang ojek, di mana Doyok kemudian tiba-tiba terbang dengan berkostum Superman, dll. Mungkin suara cekikikan itu yang lebih membuatku takut setengah mati. Lain lagi dengan bioskop UP. Bioskop yang didirikan para veteran Tentara Pelajar ini memang sangat diingat oleh banyak anak SD di Solo sebagai tempat mereka diwajibkan menonton film-film macam Tjoet Njak Dien, Janur Kuning, dll. Tapi, aku tidak ingat pernah mengalami itu. Entah karena sekolahku tidak (lagi) menerapkannya atau karena aku berhalangan mengikutinya.

Pengalamanku dengan bioskop UP yang sangat kuingat bukanlah waktu menonton film. Tapi, kegiatan di sekitar gedung itu. Kebetulan tempat nongkrong Papa adalah di warung gudeg di samping bioskop itu. Selain makan, Papa bisa mengobrol, membaca koran/majalah di kios dekat situ, mendengarkan lagu dari toko kaset, dan tentunya urusan judi. Aku beberapa kali diajak makan di warung gudeg itu. Selain gudeg, juga ada makanan seperti klepon, cenil, getuk, dll. Karena sudah akrab dengan si pemilik warung, Papa lalu memanfaatkannya dengan minta sisa-sisa makanan bekas pengunjung warung supaya dibungkus untuk dibawa pulang sebagai makanan anjing-anjing di rumah. Aku memang agak jijik dengan bau sisa nasi gudeg itu yang harus dibilas beberapa kali bila kena tangan. Tapi, kadang kala makanan anjing-anjingku pun bisa lebih enak dari si pemiliknya, karena beberapa kali masih ada beberapa telur utuh, paha ayam utuh, selain juga ada tusuk gigi (yang beberapa kali membuat anjingku tersedak) dan menemukan sendok. Papa juga pernah mengajakku membeli sepatu di toko sepatu kecil di depan UP. Begitulah, Papaku memang dikenal sebagai orang kuno. Meski saat itu, sudah mulai muncul toko sepatu besar atau bahkan Toserba, tapi Papa tetap memilih toko kecil yang sudah ia kenal, meski koleksi barangnya mungkin tidak seupdate dua jenis toko di atas.

Di antara waktu-waktu itulah, aku ingat suka mencuri lihat gambar poster film di UP. Apalagi ketika UP sudah mulai hanya memutar film Indonesia yang saat itu didominasi film silat, komedi, dan film drama panas. Hal yang sama sering kulihat di bioskop Rama Theatre ketika SMP. Di sana sering kulihat orang-orang berkerumun melihat poster film panas Indonesia atau Hong Kong yang dipasang di luar gedung. Poster film UP yang kuingat adalah film silat tentang pendekar kelabang atau semacamnya. Aku ingat karena gambarnya cukup mengerikan; sebuah tubuh (mayat) yang bagian kepala dan beberapa bagian tubuh lainnya dikerubuti kelabang, disaksikan seorang wanita berkemben dari jauh. UP Theatre kini sudah menjadi toko Courts yang banyak bikin orang terlibat utang. Beberapa kali aku menonton film di UP, semuanya adalah film Indonesia. Di antaranya adalah film Saur Sepuh dan filmnya Warkop tahun 90-an (di sana Papa hanya menunggu di warung gudeg sementara aku, kakak, dan sepupuku dibayari untuk melihat film). Aku kira UP semula tidak khusus memutar film Indonesia saja, tapi mulai tahun 90an bioskop itu hanya memutar film Indonesia. Dan karena film Indonesia sedang lesu, aku yang ketika SMU selalu lewat situ pernah menyaksikan gambar film yang tidak pernah diganti selama berbulan-bulan (atau bahkan tahun?). Sebelum tutup, UP sempat mengganti kebijakannya dengan juga memutar film India. Tapi, ketika aku di Surabaya, bioskop itu akhirnya tutup (atau ditutup), kabarnya setelah kalah di pengadilan.

Bioskop lain yang masih cukup berjaya hingga era 90-an setelah munculnya jaringan Cineplex 21 adalah President Theatre, Solo Theatre, Galaxy Theatre, dan Fajar Theatre. Konsep bioskop modern yang disebut 21 (twenty one) di Solo sempat diwakili oleh sebuah gedung bioskop besar bernama Atrium 21 di pemukimana elit Solo Baru. Bioskop itu memang seperti kapal Titanic. Sangat modern, sangat luas, sangat megah dengan 8 teater, update pemutaran filmnya kabarnya juga bersamaan dengan kota-kota besar. Tapi, umurnya tidak panjang. Kerusuhan Mei 1998 membuat bioskop itu sampai kini hanya tinggal puing-puing dan abu. Aku sendiri hanya sempat beberapa kali nonton di situ. Pertama kali nonton di Atrium adalah ketika aku mendapatkan tiket gratis dari menang di acara radio. Aku dan kakakku waktu itu menonton sebuah film komedi Hong Kong yang dibintangi Stephen Chow dan Ami Yip. Setelah itu, aku juga pernah nonton dengan teman-temanku, kalau tidak salah film James Bond. Kini, nama Atrium masih disebut-sebut untuk mengidentifikasi wilayah di perempatan Solo Baru yang berseberangan dengan Supermarket Alfa itu. Di depannya banyak penjual nasi liwet yang katanya enak.

Tapi, sebenarnya, yang dibakar di waktu kerusuhan itu juga bukan hanya Atrium. Fajar Theatre dan Studio Theatre pun ikut dibakar. Bahkan ada guyonan satir, bahwa para penonton bioskop Fajar yang saat kerusuhan antara lain sedang menayangkan film Titanic mungkin sedang menonton adegan saat kapal itu terbelah dua saat gedung tempat mereka juga terbelah dua oleh api. Memang tragis, tapi 2 nama yang terakhir mampu dibangun lagi. Meski tentu saja keadaannya tidak akan pernah sama. Atrium mungkin terlalu mahal untuk dibangun di tengah krismon yang tidak kunjung membaik sampai saat ini, meski kalau tidak salah dulu sempat dibangun kafe. Warga Solo mungkin terlalu trauma dengan bangunan yang telah terbakar itu. Apalagi konon, ada korban yang ikut mati terbakar di bangunan-bangunan itu. Jadilah, kabar mistis ikut beredar.

President Theatre lain lagi. Bioskop yang lokasinya aku lupa itu mati mengenaskan karena kebakaran beberapa waktu sebelum muncul kerusuhan.
Kalau tidak salah ingat, di President aku pernah menyaksikan film tentang Arie Hanggara. Kali ini bersama Mama dan beberapa kakak. Sepertinya, aku masih TK waktu itu. Sedangkan di Galaxy Theatre, Papa juga sempat beberapa kali mengajakku. Bioskop yang berlokasi di jalan Perintis Kemerdekaan, dekat Purwosari itu setahuku adalah generasi terakhir bioskop kelas lumayan yang masih sering dikunjungi Papa sebelum krismon dan kemudian ia sakit. Terutama karena harga tiketnya yang masih terjangkau meski filmnya tidak ketinggalan dengan Solo dan Fajar. Kalau tidak salah, terakhir kali Papa mengajakku nonton film adalah di Galaxy itu juga. Waktu itu aku masih SD, sekitar kelas 5. Sebelumnya Papa menanyaiku, mau nonton? Aku jawab, mau. Tapi, ia mengingatkan, tapi filmnya horor lho. Sejenak aku ragu, tapi setelah ditertawakan Papa, aku pun mengiyakan. Film yang kulihat kalau tidak salah menduga adalah hasil adaptasi novel Stephen King, Cujo. Aku belum memastikan karena yang kuingat adalah judulnya sama. Kisahnya tentang anjing herder pembunuh. Jadi, sebenarnya bukan horor seperti Sundel Bolong, tapi thriller. Tapi toh aku agak berdebar juga saat melihatnya.

Bahkan di era kejayaan bioskop, Nusukan Theatre (letaknya tentu saja di wilayah Nusukan), dan Rama Theatre (samping gereja Katolik, dekat daerah Ringin Semar) sepertinya kalah bersaing dengan nama-nama di atas. Untuk bioskop Nusukan, aku tidak yakin pernah nonton di sana. Untuk Rama, mungkin saja pernah, karena aku ingat dengan interior bagian dalamnya, terutama bangku penontonnya yang dari kayu. Kalau tidak salah, aku menonton di Rama atas perintah sekolah (SMP?). Padahal, aku juga ingat kalau di masa SMP, sudah beredar guyonan tentang nonton di Rama, mulai dari sajian film panas sampai bau pesing dan bokong dikerubuti tinggi (semacam kutu busuk). Tapi, meski cukup lama sekarat, Rama Theatre termasuk salah satu bioskop jadul yang lama bertahan di Solo.

Solo Theatre yang terletak di dalam kompleks stadion Sriwedari sepertinya saat ini sudah tutup. Bioskop Solo sepertinya bukan tutup karena kalah bersaing dengan 21 (setelah Atrium hancur bioskop itu masih buka), tapi lebih dengan VCD dan DVD. Ketika masih SMU, dari segi film bioskop itu masih tergolong elit (meski tempatnya masih tergolong ketinggalan). Aku pun masih pernah nonton di sana. Waktu itu, iklan film mereka dipasang di sebuah tempat khusus di depan gedung Sriwedari sehingga bisa dilihat pelintas jalan Slamet Riyadi. Yang agak menyulitkan bagiku menonton di Solo Theatre adalah tempat parkir dan jalan keluar-masuknya yang menurutku agak membingungkan.

Sedikit kenangan masih kuingat dengan Fajar Theatre. Bioskop di depan gereja Katolik, St. Antonius Purbayan itu kini sudah tutup. Karena SMP ku tidak jauh dari situ, aku pun selalu melewati gedung bioskop itu. Aku dan teman-teman pernah nonton di situ, tapi lagi-lagi agak lupa filmnya. Ketika SMU, Fajar sudah mulai agak goyah. Apalagi setelah dibakar kerusuhan plus karena krisis moneter dan munculnya VCD. Maka, Fajar pun menyiasati dengan memutar ulang film-film lama. Tentunya film yang bisa menarik penonton, yaitu film yang agak panas dengan tiket miring. Sampai saat ini belum ada yang tahu kalau waktu SMU, aku sering membolos les bahasa Inggris dan malah nonton film di sana. Dengan harga 3000, harga tiket tentu saja masih bisa kujangkau. Lagipula, saat itu Fajar masih belum terlalu tergolong bioskop murahan karena masih memutar film baru (dengan harga tiket lain). Tapi, satu kali aku mencoba, ternyata sangat mengecewakan karena gambar filmnya sangat buruk. Film berjudul Sliver yang dibintangi Sharon Stone dan Isabella Rosellini itu gambarnya gelap karena mungkin sudah lama. Ceritanya ternyata juga lumayan bagus, dan nyaris tidak ada adegan yang kuharapkan (disensor). Maka, aku malah lebih ingat jalan ceritanya ketimbang gambarnya. Tapi, di lain waktu, aku juga sempat dua kali menyaksikan dua film panas Hong Kong yang cukup terkenal waktu itu. Kali ini, aku tidak begitu kecewa karena memang ada beberapa adegan yang cukup mengundang imajinasi seorang remaja. Keinginan untuk bolos les dan nonton itu sendiri kadang memang direncanakan setelah melihat iklan film bioskop di koran, tapi biasanya itu muncul spontan saja.

Saat ini, bioskop di Solo kalau tidak salah hanya tersisa bioskop-bioskop yang ada di plasa. Studio Theatre ada di Singosaren. Lalu yang masih berdiri tegak adalah bioskop di Solo Grand Mall (SGM) yang kadang menjadi pilihan orang Jogja karena harga tiketnya jauh lebih murah dari bioskop di Jogja. Aku belum pernah nonton di SGM. Tapi, di Studio pernah beberapa kali. Ketika SMP, Studio masih baru buka dan seperti biasa, segera diserbu warga Solo. Aku pernah menonton ramai-ramai bersama teman, berdua, tapi juga pernah sendirian saja. Studio juga pernah sempat meniru langkah Fajar Theatre, yaitu memutar film-film lama. Tapi, Studio hingga kini masih bertahan meski filmnya ketinggalan dibanding SGM. Kalau melewati kompleks pertokoan Singosaren saat ini, info film yang sering kulihat sedang diputar di Studio adalah film-film Indonesia selain film barat kelas B. Mungkin saja, bioskop itu mulai tertatih-tatih.

Memang, sepertinya sekitar tahun 1998, aku pernah dengar bahwa bioskop di Solo sempat mengalami periode kering. Bukan hanya kering penonton, tapi kering karena rantai distribusi film yang tersendat. Ketika di kota-kota besar film terus silih berganti, bioskop di Solo lambat mendapat jatah film baru. Itu yang menyebabkan mereka kadang terpaksa memutar film lama. Tapi, aku belum mencari konfirmasi data untuk ini.

Seperti banyak orang lain, aku mulai jarang nonton di bioskop sejak kemunculan VCD dan DVD. Ketika kuliah di Surabaya, kemunculanku di gedung bioskop hanya bisa dihitung dengan jari. Beberapa kali itupun lebih sering karena ditraktir nonton. Gedung bioskop di Surabaya memang bagus-bagus, meski tetap tidak ada yang semegah Atrium (yang sempat sering kubanggakan di hadapan teman-teman dari kota lain). Bioskop di Surabaya biasanya juga ada di bagian atas mall yang menjamur di sana. Bioskop mandiri (tidak bersatu dengan mall) di Surabaya yang cukup kuat adalah bioskop Mitra yang ada di area gedung Dewan Kesenian Surabaya. Tapi, sempat terdengar kabar bahwa bioskop ini dijual atau tutup. Aku tidak tahu nasibnya kini. Di Surabaya, yang kuingat adalah aku pernah nonton di bioskop di Mal Galaxy dan Tunjungan Plaza. Kebanyakan adalah film yang bukan favoritku, tapi menurut selera si penyandang dana. Tapi, aku tentu tetap menikmati. Ketika pertama kali nonton bioskop di Surabaya, ada dua hal yang membuatku terkesan karena berbeda dengan bioskop di Solo. Pertama adalah bahwa bioskop di Surabaya cukup ramai. Aku pun merasa anak muda Surabaya (atau kota besar) ternyata masih menganggap nonton bioskop sebagai satu kegiatan bagus untuk hiburan, berkencan, dsb. Mungkin karena dana mereka cukup untuk itu. Hal kedua, adalah seperti yang kurasakan di banyak tempat seperti mal atau kampusku di Surabaya. Banyak pemandangan bagus di bioskop Surabaya. Cewek-cewek berpakaian modis seksi dan cantik-cantik banyak bertebaran di lorong dan kursi tunggu yang melingkar di tengah.

Sebagaimana di tempat lain, ada juga beberapa bioskop kelas bawah di Surabaya. Film-filmnya tentu saja film lama yang bertema seks. Salah satu yang sempat dikeluhkan para orang tua adalah bioskop di Wonokromo. Ini karena kain-kain info film yang gambarnya wanita dengan baju tersingkap atau ciuman itu bisa dilihat dengan mudah saat orang mengendara dan naik ke viaduk Wonokromo. Bioskop macam itu memang masih cukup banyak di Surabaya. Dekat kampusku, ada bioskop Anta yang kabarnya beberapa konsumennya adalah mahasiswa kampus mahal itu juga. Salah seorang teman bercerita bahwa mahasiswa anak kos, nonton di situ dengan sembunyi-sembunyi. Entah dengan memakai jaket dan topi agar tidak kelihatan, tentu karena malu kalau ketahuan oleh temannya (meski kadang mereka saling memergokiku di dalam gedung). Aku juga pernah makan di sebelah gedung bioskop di wilayah Dinoyo. Makan mie sambil mendengarkan bunyi cekikikan lalu lagu-lagu latar karena di dalam sedang memutar film horor Indonesia.

Di Yogyakarta, sampai saat ini aku hanya pernah sekali saja nonton. Semula, aku benar-benar mengira (karena ucapan seorang teman) bahwa di Jogja tidak ada bioskop. Maksudnya bioskop 21. Tapi, setelah kemunculan Ambarukmo Plaza, Jogja pun memiliki sebuah twenty one. Bioskop di Amplaz sebenarnya cukup ramai, tapi memang mahal untuk ukuran anak kos. Tapi, saat ini kukira kegiatan menonton bioskop masih sering dilakukan anak muda di Jogja. Karena aku sudah lama tidak mengikuti perkembangan film (terutama di bioskop), kadang aku hanya sempat sekilas saja mengamati bioskop di luar Amplaz, yaitu bioskop kelas B tadi. Iklan-iklan film bioskop jenis itu masih bisa kita ikuti di harian Kedaulatan Rakyat. Aku sendiri hanya tahu bioskop semacam itu salah satunya adalah bioskop Ratih dekat viaduk Baciro. Yang lain mungkin aku belum mengamati saja.

Itulah beberapa bioskop yang kutahu. Memang aku tidak terlalu banyak memiliki pengalaman nonton film yang benar-benar bagus atau bermutu di bioskop. Pengalaman nonton di bioskop biasanya malah film-film Holywood atau yang sedang in waktu itu. Film yang lebih bermutu biasanya aku tonton di VCD atau DVD atau bahkan TV. Memang mengherankan, padahal nonton bioskop jelas lebih mahal. Mungkin karena waktu masih bisa nonton aku belum begitu mengerti soal film bagus. Akhirnya sudah setahun lebih aku tidak nonton bioskop. Kemarin aku memang nonton di semacam bioskop kecil di Taman Pintar, bioskop 3 dimensi. Tapi, itu tentu tidak termasuk bioskop. Karena kalau itu dimasukkan sebagai bioskop, aku harus menyebutkan nonton film gratisan di CCCL, di layar tancap, di gedung pertunjukan, atau pertunjukan film keliling yang mampir di sekolah atau gereja. Kadang aku memang ingin bisa punya kesempatan nonton film, entah di bioskop atau DVD lagi, tapi nonton TV saja sekarang hampir tidak sempat. Mungkin harus dipaksakan.

Tulisan orang lain yang masih berhubungan:
UP Theatre, the Legend of Cinema
Adios Solo Theatre
Warga Tak Bisa Lagi Nonton Film


Label: , , , , ,

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Video Pertama di Youtube



Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!