Rasanya 'sayang' kalau kejadian pagi ini tidak diabadikan disini. Sampai siang ini berita-berita di Metro TV, TransTV, SCTV dan Indosiar (hanya 4 stasiun itulah yang bisa ditangkap siarannya hingga siang ini) mengabarkan bahwa jumlah korban tewas yang kebanyakan berasal dari Bantul dan Klaten sudah hampir dua ratus orang. Sama sekali tak kusangka karena beberapa saat setelah guncangan tadi aku masih berpikir ini hanyalah efek gunung Merapi, aku juga tidak setuju dengan kakakku yang menebak bahwa gempa kali ini adalah gempa tektonik.
Ketika pertama kali merasakan guncangan, semula kusangka hanya lindu, lalu sedetik kemudian karena kondisi masih ngantuk dan malas bangun sempat aku anggap ini hanya guncangan akibat ada truk berat lewat di depan rumah, tapi sedetik kemudian lagi, baru kusadar bahwa guncangan karena truk lewat bukan ke kanan kiri seperti ini. Ini mungkin lindu, aku masih memilih menunggu sambil duduk di kasur yang tanpa ranjang itu karena berdasar 2 kali mengalami lindu, guncangan biasanya hanya 2-3 detik. Ternyata aku salah lagi, guncangan terus terjadi, cukup kuat dan tidak seperti lindu. Pesawat tv, komputer, dan jendela yang ada di depanku terus berderit, pigura-pigura foto di dinding pun menjadi miring, untung saja tidak jatuh karena akan menimpa monitor. Naluri seperti yang dimiliki hewan-hewan penduduk Merapi yang merupakan pihak paling pertama yang turun ketika gunung itu mulai aktif tiba-tiba muncul. Aku segera keluar tanpa ada pikiran atau pertimbangan bahwa ini kulakukan karena takut tertimpa reruntuhan rumah. Tindakan itu adalah naluri, karena pikiranku saat itu sendiri masih berdebat mengenai apakah ini cuma lindu atau gempa bumi.
Entah kenapa aku, mama, dan kakakku tanpa janjian malah keluar dan berdiri di halaman belakang, padahal halaman belakang yang tak begitu luas itu justru dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi, bilah-bilah bambu, balok-balok kayu yang diletakkan di atas bangunan milik tetangga, antenna beserta kabel-kabel listrik, serta atap-atap seng plus naungan dahan-dahan pohon mangga. Dari tempat itu kulihat air di baskom-baskom cucian terus bergejolak. Aku hanya berkata “gempa.. gempa..” tanpa ekspresi atau intonasi berarti sambil memandang mereka berdua. Dengan patokan goncangan air di ember cucian, kami berdiri menunggu di halaman itu. Jelas tidak ada di antara kami yang berpengalaman dengan kejadian seperti ini (kalau banjir mungkin ada). Kami hanya menunggu, ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, bagi yang banyak nonton film action mungkin berpikir akan ada sesuatu yang lebih besar terjadi, tapi jelas kami semua berharap tidak terjadi apa-apa. Aku sendiri sejujurnya tidak berpikir apa-apa waktu itu selain hanya merekam segala yang kulihat dan kurasakan. Gelombang di baskom berhenti, akupun masuk, mama bilang jangan dulu, tapi aku ingin lihat suasana di depan rumah. Seperti kuduga, ada tetangga yang terdengar sedang membahas hal ini, anak tetangga depan rumah masih mengucek-ucek mata sambil berdiri di depan rumahnya, ada beberapa yang lain yang hanya berjalan-jalan, secara umum tidak terlalu banyak yang berada di jalanan depan, mungkin mereka sudah kembali masuk.
Karena tidak ada yang menarik di luar, aku memutuskan menyetel tv untuk mencari tahu yang sedang terjadi barusan. Metro TV adalah stasiun pertama yang menyiarkan berita ini sekitar 10 menit setelah aku masuk atau mungkin sekitar 20 menit setelah guncangan. Ini memang cukup menarik karena tidak seperti biasanya, gambar siaran Metro TV di rumah relatif lebih jelas dibanding hari biasa yang seringkali tidak dapat ditangkap sama sekali. Berita pertama masih berupa laporan lewat telepon, tidak banyak yang diinformasikan selain pemberitahuan telah terjadi gempa di Jogja selama kurang lebih 10 detik (menjelang siang direvisi menjadi hampir 1 menit). Berangsur-angsur informasi didapatkan, namun sampai ketika aku cek sekitar jam 8an, belum juga ada informasi tentang dimana pusat gempa, berapa besar kekuatannya, atau bahkan apakah ini tektonik atau vulkanik.
Itu yang terjadi di tv. Sementara di rumahku, sekitar 15 menit setelah guncangan telepon pun berdering. Sambil bercanda, aku menyuruh kakakku menebak telepon dari siapakah ini. Jawabannya, yang sama dengan dugaanku, memang tepat. Penelponnya adalah salah satu kakakku yang memang selalu paling bersemangat untuk menghubungi, mencari tahu atau menginformasikan kepada keluarga dan kenalannya jika ada kejadian luar biasa seperti ini terjadi. Seperti yang ia lakukan ketika dengan semangat menelpon keluarga paman yang ada di Nusa Dua ketika bom Bali 2 meledak, ia pun bertanya bagaimana keadaan disini (setelah sebelumnya memastikan bahwa aku tahu kalau telah terjadi gempa). Hanya sebentar ia menelpon, baru sekitar jam 12 siang ia menelpon lagi sambil memberitahukan bahwa kata orang ada kemungkinan akan terjadi gempa susulan, tak lupa ia memperingatkanku untuk segera keluar jika memang terjadi gempa susulan lagi. Kuiyakan saja karena sepertinya ia memang baru akan puas setelah kita mengakui bahwa ia adalah seorang narasumber handal.
Lain telepon lain lagi SMS. Adalah Wikjatmiko, seorang kawan waktu kuliah yang kini tinggal di Semarang yang pertama kali mengirim SMS kepadaku menanyakan bagaimana situasi di Solo. Itu dilakukan sekitar jam 08.30, ini cukup wajar karena aku kenal dia memang selalu bangun lumayan pagi. SMS yang menantang untuk dibalas itu tak bisa menahanku lebih lama lagi untuk segera keluar membeli pulsa. Keputusan membeli pulsa itu memang tepat karena praktis arus SMS hari ini jadi hampir seperti ketika Natal, tahun baru, Imlek, lebaran, Paskah atau ulang tahun. Setelah Jatmiko barulah Muhaimin yang baru bangun menelpon menanyakan topik yang sama dan diikuti beberapa teman lain.
Siang hari sempat juga aku menghubungi salah seorang kawan penduduk Jogja yang ternyata kondisi di wilayahnya hampir sama seperti di rumahku, baik-baik saja, tidak ada kerusakan atau tembok retak. Hal ini sendiri kulakukan setelah melihat di tv bahwa kejadian yang hanya berlangsung sedemikian cepat itu telah menelan korban jiwa yang lumayan banyak, gambar yang disiarkan pun mengingatkan akan gambar siaran di Aceh ketika tsunami, sangat berbeda dengan berita dan gambar-gambar yang disiarkan pagi tadi yang sebenarnya cukup mirip dengan apa yang terjadi di sekitarku. Namun bagaimanapun aku jadi kurang enak hati karena sebelumnya aku telah mengirim SMS kepadanya dengan pertanyaan guyon tentang kejadian ini. Untunglah kawan dari Jogja itu juga bukan orang yang perasaannya mudah didikte oleh televisi.
Aku tak menyangka jika korban tewas bisa sedemikian banyak. Mungkin penduduk Jogja memang sudah terlalu padat, atau mungkin karena penataan bangunan-bangunannya yang begitu berdesakan atau bahan bangunannya kurang kuat sehingga mudah rubuh, dan korban pun banyak berjatuhan. Tapi sepertinya bukan cuma itu, yang jelas tadi aku memang lupa memperhitungkan para lansia, balita dan anak-anak, juga orang-orang yang fisiknya tidak memungkinkan untuk menyelamatkan diri sendiri atau para pasien rumah sakit. Memang bisa jadi dari kelompok itulah yang korbannya banyak. Sedangkan awalnya, gambaran Jogja sebagai kota yang penuh dengan mahasiswa serta anak muda yang badannya masih segar dan kuat itu sajalah yang kuperhitungkan. Suasana di Jogja, Bantul dan Klaten dilaporkan cukup ramai dengan kepanikan. Banyak yang dilaporkan mengungsi karena rumah-rumahnya hancur. Dari Muhaimin yang ada di Jakarta aku tahu bahwa mal baru Solo Square yang terletak di wilayah Pabelan dekat Kartasura bagian depannya juga ambruk. Ada juga orang-orang yang mulai mempersiapkan bensin untuk kendaraannya, membuatku agak kepikiran juga karena bensin motorku sudah hampir habis. Ada pula isu tsunami, walau bayanganku hal itu mungkin dilontarkan salah seorang warga sebagai wacana, “eh iso ono tsunami lo ki” atau “awas, ati-ati, ojo ojo tsunami!” namun kepanikan telah membuat dugaan itu diterima sebagai fakta.
Saat ini sudah sekitar jam 15.00. Seharian ini, nyamuk-nyamuk terasa lebih banyak dari biasanya. Mungkin guncangan pagi ini telah membuat mereka semua keluar dari sarangnya, seperti para manusia. Semoga baik-baik saja untuk Jogja. Suasana di rumahku masih seperti biasanya, tapi sekali ini aku merasa sungguh senang jika kondisi biasa-biasa.
gaze
Originally uploaded by mahardika asmara.
Hai,
Selain tidur pagi yang dibangunkan oleh guncangan alam, hari ini adalah hari ketiga aku menikmati fasilitas komputer di rumah. Memang ini bukan yang pertama kali, sebelum ini juga telah sering kakak iparku yang lain meminjami laptop, namun nampaknya aku lebih senang komputer yang ber CPU dan ber monitor seperti ini, ditambah dengan speaker lungsuran Oni beres sudah (meski sebelumnya aku agak ragu menuliskan ini jika mengingat komputer Oni yang di Jogja saat ini malah tidak berspeaker). Ini juga memang bukan komputer milik pribadiku, bahkan ini juga bukan komputer yang dibeli oleh penghuni rumah ini. Ini adalah komputer titipan kakak ipar karena di rumahnya saat ini sedang mengalami surplus komputer. Benda ini sendiri sama sekali bukan benda yang asing buatku, sebelum hari ini akupun sudah sering memakai mesin ini di rumah kakak ipar yang berjarak sekitar 300 meter dari rumahku. Tapi bagaimanapun, suasana rumah telah membuat perbedaan besar sehingga akupun lebih merasa memilikinya sekarang.
Hal pertama yang kulakukan pada komputer ini adalah menggerojokkan semua data yang sebelumnya masih ada yang terpencar ke berbagai CD, flash disk atau di hard disk komputer lain. Itu untuk data. Untuk yang lainnya sejauh ini aku masih berusaha menahan diri. MP3 misalnya, sekarang ini tercatat kapasitas MP3 yang sudah kumasukkan ke hard disk komputer ini adalah 1,94 GB ditambah dengan data lain, total data pribadiku sementara ini adalah 2,09 GB. Memang masih ada beberapa data non-MP3 yang belum kuambil di komputer-komputer lain yang biasa kupinjam sebelum hari ini. Tapi itu bisa dilakukan nanti. Lokasinya yang telah berada di teritoriku, di rumahku juga telah membuatku mulai berani menginstall satu games (Fruity Loops).
Keberadaan komputer di rumah serasa membuatku kedatangan penghuni baru. Waktuku pun makin banyak kuhabiskan duduk di depannya. Dari selama berjam-jam duduk itu pulalah aku menyadari bagaimana rasanya jadi lemari di ruangan ini, yang setiap hari menyaksikan kegiatan-kegiatan yang sama. Bedanya tentu saja bahwa aku bisa menilainya. Aku tak tahu mungkinkah ibu, sebagai satu-satunya yang tidak terpengaruh dengan keberadaan komputer ini, merasa bahwa benda ini telah menyita waktu anak-anaknya untuk berkomunikasi dengan manusia termasuk dirinya? Hal itu mulai kucurigai setelah menyadari bahwa ia sepertinya ingin menyaingi keasyikanku dengan teknologi. Berulangkali hilir mudik di ruangan tengah ini, menyetel TV, melihatnya selama 5 menit dan kemudian meninggalkannya dalam keadaan masih menyala, mematikannya, berulangkali hal yang sama ini terjadi. Atau mungkin memang itulah yang biasanya ia lakukan tiap hari, namun baru kali ini kusadari?
Aku cukup senang karena komputer ini ada menjelang bulan Juni yang merupakan bulan dimana aku sudah bisa mengajukan surat-surat lamaran seperti dulu. Demi masa depan dan pikiran yang lebih baik. Selain itu aku juga berharap bahwa aku bisa tetap memelihara semangat untuk menghasilkan karya-karya dari gagasan dan ide-ide baru yang belakangan lumayan sering muncul, kehadiran komputer ini tentu sangatlah membantu. Yang lain tentu saja agar keberadaan komputer ini bisa kupakai untuk menambah pemasukan. Semoga ada. Akhirnya, akupun hanya bisa mengucapkan: “Selamat datang teknologi, mampirlah yang lama!”
Lalu lagi-lagi dari djohan saya mendapatkan satu video penampilan mereka di Montreal Jazz Festival. Kekuatan visual nampaknya memang selalu jauh lebih kuat dari indera manapun. Saya pun semakin kagum dan terbius untuk mendengarkan lebih banyak lagi musik-musik dari band ini. Dengan gitar yang dimainkan seperti biola, seruling dan orkestra selain perangkat band biasa (drum, bas, gitar, piano) serta suara vocal yang (lagi-lagi) teman saya menemukan satu kata: unisex dan bahasa yang misterius, sungguh mengherankan jika perpaduan itu ternyata bisa menghasilkan suara yang sedemikian dahsyat. Radiohead, band lain yang juga mampu menghasilkan suara-suara musik yang unik mungkin terasa lebih mudah dipahami karena selain lebih minimalis (tidak memakai orkestra) mereka juga memakai berbagai macam alat yang aneh-aneh dan bernama janggal, hal yang sama juga terjadi pada Bjork dan grup yang pernah ikut bekerjasama dengannya, Matmos. Namun yang membedakan sigur ros dengan mereka adalah keberadaan unsur teknologinya. Mungkin teknologi memang untuk satu dan lain hal masih belum bisa menandingi bunyi-bunyi manual, musik ala sigur ros inilah buktinya.
Nama sigur ros sendiri saya kenal sejak mereka memenangi penghargaan mtv eropa untuk album Agaetis Byrjun beberapa tahun lalu. Cuplikan video serta komentar-komentar hebat mengenai mereka, serta penampilan para personilnya yang begitu sederhana, kontras dengan artis-artis pop lainnya di acara itu begitu mengesankan saya, pasti mereka adalah musisi yang istimewa. Mereka jelas bukan Oasis yang menurut Thom Yorke membawakan musik yang primitif walau Noel Gallagher menganggap dirinya berhak menjadi juri penilai mana musik yang bagus dan yang jelek (meski kesalahan juga bukan sepenuhnya pada diri Noel sendiri, namun lebih pada pers dan mereka yang tetap mendengarkan pendapat pria narsis itu), mereka juga bukan one hit wonder dari negeri antah berantah, mereka juga bukan duplikat siapa-siapa (meski semua anggota band itu mengaku menggemari Burt Bacharach) atau setidaknya saya belum pernah mendengar band lain yang dibanding-bandingkan pers dengan mereka (memang aneh kali ini tak ada nama Pink Floyd, My Bloody Valentine, Cocteau Twins, Velvet Underground, Queen atau Sonicyouth untuk grup yang membawakan musik yang panjang dan memakai banyak instrument seperti mereka), musik mereka juga bukan musik yang didengar di iklan seperti punya Moby. Lalu musik apa yang mereka bawakan itu? Shoegaze? Dream Pop? Sepertinya tidak. Apakah mereka pantas menyandang nama pop? Entahlah, mungkin saja belum.
Damien_Rice__0_front
Originally uploaded by mahardika asmara.
“O” entah apakah ini maksudnya huruf O atau angka nol, tapi karakter bulat ini bagi saya pribadi adalah seperti ungkapan tak tersampaikan, dan di waktu yang sama juga menunjukkan kelengkapan, atau mungkin juga seperti lambang/ falsafah cincin kawin: abadi, tak terputus. Pendek kata, judul album yang hanya satu huruf memang di satu sisi cukup menggambarkan apa yang ditawarkan album artis asal Irlandia ini. Lagu pertama yang saya kenal tentu adalah ‘the blower’s daughter’ yang menjadi soundtrack sebuah film dan lagu promosi acara vj hunt mtv Indonesia. Awalnya saya kira Damien Rice (dan Lisa Hannigan) hanya membawakan musik seperti David Gray atau bahkan James Blunt. Walau penilaian itu sendiri tidak sepenuhnya salah, suara vokal si pria kadang agak seperti David Gray dan Jammie Cullum, lalu vokal si wanita sebenarnya juga standar, agak mirip penyanyi-penyanyi wanita amerika macam Renee Olstad, Norah Jones, Brooke Valentine, atau Alex Parks saja (walau kadang juga mirip Cathy Fisher), tapi kabar baiknya, lewat album ini mereka berkolaborasi, seperti sahut-menyahut dan berdialog. Kabar baik kedua adalah mereka tidak membuat album yang berisi kumpulan lagu, yang moodnya kadang rancak kadang slow namun keseluruhan track di album ini adalah satu kesatuan, seperti sebuah cerita. Saya memang belum menyimak secara mendetail setiap liriknya, namun dugaan bahwa album ini menawarkan satu cerita tampaknya memang betul. Dari track pertama sampai yang terakhir, dimana Lisa Hannigan tanpa iringan musik menyanyikan lagu “Silent Night” dengan perubahan lirik adalah sebuah pengalaman seperti sedang menonton sebuah film drama percintaan yang sad ending.
Kegetiran dan kesedihan si pria, yang kadang tak tertahankan hingga akhirnya ia berteriak sampai-sampai harus dibantu suara penyanyi seriosa, lalu suara si wanita yang datar, namun juga sedih seakan mencoba menghibur atau membela diri bahwa tidak ada diantara mereka yang salah, muncul bergantian. Iringan musik yang lebih banyak didominasi petikan gitar akustik itu kehadirannya juga muncul secara proporsional, sangat mendukung suasana yang mencoba dibangun. Cerita dalam album ini sendiri menurut saya juga sangat cocok untuk didengarkan oleh mereka yang ditinggal pacarnya kawin dengan orang lain, tentu dengan risiko dan dampak yang harus ditanggung sendiri. Ya, entah dia akan merasa baikan, tambah sedih atau malah ingin bunuh diri saja. Lagu-lagu yang ada di album ini untuk saya juga akan rugi jika dipotong-potong, harus didengarkan secara keseluruhan. ‘Blower’s Daughter’ sendiri menjadi tidak begitu menyentuh setelah saya mendengarkan keseluruhan albumnya karena ia hanya satu potongan dari sebuah cerita (saya jadi curiga bahwa anak-anak muda yang memberikan alasan mengapa terkesan dengan lagu ini dalam sebuah acara di mtv indo beberapa waktu lalu sebenarnya belum pernah mendengarkan albumnya secara keseluruhan). Akhirnya, memang tidak pantas rasanya membandingkan kesedihan nyata dengan lagu pop, bisa jadi akan ada pula yang lantas mengajukan berbagai album dari artis-artis lain yang juga merupakan satu kesatuan macam ini, namun saya harus mengakui jika mendengarkan O ini adalah pengalaman yang cukup ‘baru’.