perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


Your Love is Not Enough

Yang nyanyi Manic Street Preachers dan Nina Persson (Cardigans). Lagi suka aja...

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Rental Video

rental
Di Solo, kalau tidak salah mulai sekitar tahun 1999 tiba-tiba polisi gencar sekali merazia rental VCD bajakan yang akibatnya memaksa banyak sekali rental tutup dan hanya sedikit sekali rental yang tersisa. Lalu aku ke Surabaya, di kota itu aku masih mendapati beberapa rental yang menyewakan kaset VCD bajakan atau yang disebut ‘biasa’ (bukan ori) oleh penjaganya. Tidak pernah disebut ‘bajakan’ karena sebutan itu memang terlalu kasar. Menurutku, kalau memang sebutan itu dimaksudkan untuk menyamakan pengganda rekaman film atau musik dengan perompak di laut, atau termasuk juga para pelajar yang membajak bis kota atau suporter bola yang membajak kereta api, pertanyaannya apakah para perompak, pelajar bandel atau suporter bonek itu juga memperoleh sambutan hangat dari masyarakat luas seperti halnya para (hasil karya) pembajak rekaman film dan musik? Apapun itu, sekali lagi kalau tidak salah sekitar tahun 2003, atau mungkin beberapa tahun sebelumnya juga sudah pernah, polisi lagi-lagi gencar merazia rental VCD dan memaksa banyak rental yang tutup, atau menjadi hanya menyewakan DVD (tetap yang bajakan dong) saja, atau beralih usaha jadi multiplayer game.

Seingatku, pertengahan tahun 90an adalah awal boomingnya teknologi VCD (ditandai oleh munculnya rental) di kotaku. Sebelumnya, aku memang bisa dibilang melewatkan masa kejayaan laser disc karena tidak punya playernya. Tapi aku ingat pernah diajak teman ke sebuah rental laser disc di jl. Slamet Riyadi. Dalam pikiranku, rental tersebut seperti records store di film High Fidelity. Laser disc terbilang cepat masa jayanya, sampai aku kira mereka yang pernah membeli player laser disc mahal-mahal itu tentu akan lebih merasa rugi. Namun kalau mundur lebih ke belakang lagi, aku cukup akrab dengan video beta, terutama untuk nonton film-film robot Jepang. Meski demikian, sebuah player VCD baru ada di rumahku pada tahun 1997. Itu adalah player milik kakakku di Surabaya yang sengaja ditaruh di rumah agar papa yang waktu itu sudah terkena stroke bisa menonton film-film, tapi tentu aku juga menikmatinya, terlebih setelah papa meninggal tahun 1998. Beberapa rental pertama yang aku ingat pernah menjadi langgananku antara lain terletak di jl. Urip Sumoharjo, lalu juga Metta di wilayah Nonongan dan jl. Kapt. Mulyadi serta satu lagi di wilayah Manahan dekat sekolahku. Rental-rental itu jugalah yang menjadi korban razia polisi gelombang yang pertama.

Rental yang ada di Urip Sumoharjo itu kemudian pernah beralih menjadi warnet lalu menjadi rumah makan dan sekarang rasanya bangunannya tidak difungsikan sama sekali. Dalam ingatanku, rental itu cukup bagus dan lengkap. Bercampur dengan sebuah arena permainan play station, rental itu nampak ramai selalu. Sejak pertama kali hingga sekarang ini, aku selalu cukup lama untuk menentukan pilihan yang akan aku sewa. Pada waktu itu, rasanya tidak ada yang merasa bahwa aku harus meminjam yang ori dan tidak mau yang bajakan. Semua menyewa dan nonton yang bajakan dengan gembira, menurutku hal itu karena kualitas keduanya tidak beda jauh. Bajakan gambarnya termasuk jelas. Memang agak beda dengan kualitas gambar VCD bajakan yang saat ini (kecuali yang hasil convert DVD). Waktu itu aku sendiri menyukainya karena selain murah, filmnya baru, juga tidak ada adegan-adegan yang terputus karena digunting lembaga sensor. Aku ingat film Devil’s Advocate adalah salah satu yang kupinjam di situ dan juga ingat mana adegan yang membuatku yakin bahwa VCD tersebut tidak melalui mata para anonim yang merasa sebagai pengawal moralitas bangsa. Namun, selain film tsb aku tidak berhasil mengingat film apa lagi yang pernah kusewa di sana.

Lalu ada juga rental yang bisa dibilang rental pribadiku. Letaknya di Manahan, hanya lurus beberapa ratus meter dari sekolahku. Rental kecil itu adalah tempat aku bisa meminjam film-film sekehendak hati dan hasratku. Ya, memang yang lebih sering kuturuti adalah hasratku. Sempat ada beberapa film yang semacam Wild Thing atau Species yang masih aku ingat pernah kupinjam dari situ. Tapi tidak berarti semua film seperti itu secara kualitas jelek lho, aku rasa ada beberapa yang ceritanya lumayan bagus. Hanya saja waktu itu aku belum tahu soal film Eropa (atau mungkin rentalnya yang tidak ada). Rental itu ikut tutup akibat gelombang razia pertama.

Waktu SMU itu aku ingat cerita teman-temanku yang memblack list beberapa rental karena melecehkan mereka saat bermaksud hendak menyewa film yang kategorinya tidak termasuk yang dipajang di depan. “Kelas berapa kamu, nanti aku dimarahi mamamu, nyo” begitu kata si empunya rental. Mendapat penolakan seperti itu, ada teman yang mengakali dengan menyewa sambil mengajak teman (sebaya) yang dari etnis Jawa serta meminta dia yang menghadapi si pemilik rental agar bisa menyewa film yang katalognya ditaruh di map khusus di bawah meja. Cara itu rupanya berhasil, si pemilik biasanya tidak akan menghalang-halangi asalkan yang menyewa bukan remaja etnis Cina.

Untuk rental Metta lain lagi. Sebelum mengalami berbagai kemalangan hingga bergonta ganti usaha menjadi toko barang elektronik lalu juga toko pakaian, usaha mereka terbilang cukup sukses, koleksinya pun termasuk yang lengkap dan yang tidak ori itupun gambarnya juga sangat bagus. Tapi riwayat mereka terbilang cukup tragis. Setelah rental pertama mereka yang di Kapt. Mulyadi dibakar habis pada bulan Mei 1998, tinggal cabang di wilayah Nonongan yang tersisa. Tapi , tak berapa lama rental yang itu juga ikut jadi korban razia polisi. Mungkin karena itu mereka kapok sehingga banting setir menjadi toko barang elektronik yang nampaknya tidak begitu laku sehingga berubah lagi menjadi toko pakaian. Saat ini aku agak lupa, rasanya bangunan itu menjadi sebuah toko penjualan kaset Play Station, hanya saja aku tak tahu apakah pemiliknya masih sama.

Setelah gelombang razia pertama dan sebelum gelombang yang kedua, ada satu rental di dekat rumahku. Rental itu kecil, dikelola keluarga, memakai sistem katalog dan tidak ada sistem keanggotaan (kalau pinjam cukup ninggal KTP). Satu yang kuingat dari rental yang sekarang beralih menjadi sebuah salon kecil adalah ketika keluarga pemilik rental itu memarahi salah seorang putri mereka yang baru saja kepergok pacaran backstreet dan waktu aku ke situ juga pulang terlambat. Walau aku jelas tidak punya keterlibatan apapun, tapi waktu itu aku serasa terjebak di dalamnya meski juga cukup menikmati. Suasana itu; dengan ketegangan, bentakan dan caci maki, ada terdakwa (yang akhirya karena tak rela dirinya terus dipojokkan juga memberontak dan balas memaki-maki), saling menimpali, saling menambah-nambahi, hingga ada juga gerakan dengan intensitas akan memukul, dan akhirnya diselesaikan di dalam, semua itu adalah adegan yang cukup akrab bagiku. Yang membuatnya lebih menarik adalah bahwa kali ini aku hanya penonton dan tidak punya kekuatiran atau beban apapun dengan hasilnya. Meski begitu, terus terang aku tetap cukup berdebar-debar tapi juga penasaran menunggu kira-kira apa yang akan terjadi selanjutnya.

Jalan beberapa ratus kilometer ke arah timur membawaku ke sebuah rental lain. Inilah yang pertama, letaknya hanya sekitar 300 meter di bagian depan kompleks perumahan tempat aku numpang di rumah keluarga kakak. Yang aku ingat dari rental itu adalah baunya. Aku tak yakin apakah itu karena bangunannya, kotak-kotak VCD nya, cairan pelnya atau yang lain, namun bau itu sebenarnya juga tidak menggangguku tapi malah memudahkan dalam menandainya. Yang aku ingat, koleksinya memang tidak begitu baru, tapi dalam pandanganku saat itu judul-judul filmnya kebanyakan jarang kudengar. Yang cukup banyak juga adalah film mandarin (atau lebih tepatnya bikinan Hong Kong), yang gambar covernya juga seperti poster dan kalender tahun 90an. Jen Ta Hua, Amy Yip, Pheng Tan dan semacamnya. Meski koleksinya aku rasa adalah bajakan, namun kemasan dan kualitas gambarnya sangat meyakinkan dan yang jelas tidak kena sensor ala Indonesia. Secara jarang pinjam, hanya ada sedikit film yang aku ingat pernah pinjam di situ, di antaranya Eyes Wide Shut dan Lost World. Mengenai rental itu, aku mungkin tidak terlalu akrab dengannya. Namun ada satu hal yang cukup kuingat tentang rental itu, yaitu menyangkut teman kakak iparku. Akan terlalu panjang jika harus menceritakan tentang dia, singkat kata ia pernah berhasil menyewa sebuah film semi dari rental itu. Memang lucu bahwa pria yang sudah memiliki anak istri seperti dia ternyata cara bersembunyi dan nonton diam-diamnya ternyata tetap sama dengan cara seorang remaja. Nutup pintu dulu pelan-pelan, duduk di tempat yang bebas dari jendela, pintu atau pandangan dari mana saja, volume pelan, dsb. Tapi bedanya (atau mungkin karena ia agak ceroboh), setelah nonton ia tidak membereskan kaset dan kotaknya. Diletakkan begitu saja, hingga kakak perempuanku bisa tahu film macam apa yang disewanya. “O edan..” begitu komentarnya.

Aku rasa kebanyakan orang paling tidak memiliki kartu anggota rental film yang paling dekat dengan tempat tinggalnya. Aku juga demikian. Masih di wilayah Rungkut, tempat aku tinggal saat pertama kali di Surabaya, sempat ada sebuah rental rumah tangga yang juga membuka warung makan Chinese food. Jaraknya hanya sekitar 150 meter dari rumahku. Baik rental maupun warung makan yang dikelola pasangan setengah baya yang katanya termasuk suku Tio Ciu (suku yang terkenal pintar masak) itu memang tidak berumur panjang. Penyebabnya terutama adalah razia polisi tadi. Koleksinya memang tak begitu banyak, tapi termasuk baru walau kualitas gambarnya banyak yang kurang bagus. Keberadaan rental itu sebenarnya juga termasuk langkah bagus bagu usaha mereka, paling tidak orang bisa disibukkan untuk melihat-lihat koleksi film yang ada sembari menunggu masakan yang memang mempersiapkannya termasuk cukup lama. Meski sempat lumayan sering, aku belum bisa ingat film apa yang pernah kupinjam dari situ.

Setelah kos dan ada notebook (atau benda apalah namanya itu), lalu VCD player dan kemudian juga komputer yang semuanya milik Oni, seperti banyak anak kos lain aku juga meminjam film di dekat-dekat Petra saja. Beberapa rental yang kartu membernya masih ada di dompetku saat ini antara lain Trison yang penjaganya semuanya bisu tuli. Meski demikian, di Trison itu transaksi toh berjalan lancar dengan komunikasi dilakukan dengan menuliskan judul film yang dicari di sebuah kertas kecil. Trison cukup lengkap, bahkan ada satu wadah yang isinya film-film semi atau yang judul dan gambar covernya semacam itu (meski kita tahu kalau di mana-mana cover selalu menipu). Selain itu, ada juga tiga rental lain yang semuanya di jalan raya Siwalankerto. Ada rental yang mungkin setelah gencar isu-isu adanya razia lalu tiba-tiba pindah ke dalam sekali sehingga dari luar tidak kelihatan kalau itu sebuah rental, lalu berubah lagi menjadi tempat multiplayer game tok, semuanya tanpa ada pemberitahuan sama sekali. Ada juga rental yang dekat jalan masuk Siwalankerto Timur gang 1. Saat aku mulai pindah menyewa film di situ, nampaknya sudah mulai ngetren persewaan yang hanya memakai album katalog untuk film-film bajakan. Yang punya adalah seorang ibu berwajah tidak ramah dan kalau pinjam di situ juga harus memakai jaminan KTM sehingga waktu ujian aku tidak bisa meminjam film di sana. Rental terakhir yang menjadi langgananku sebelum alat untuk menyetel filmnya diambil yang punya ada di sebuah ruko. Koleksinya tidak begitu lengkap, mungkin karena waktu itu aku sudah mulai cukup pemilih dalam menyewa film. Yang menjaga adalah mbak-mbak, salah satunya lumayan cantik dan berkulit putih bersih, tapi aku hanya sebentar menjadi pelanggan rental itu karena alasan yang sudah kuutarakan di atas tadi.
Di Surabaya, sebenarnya masih ada beberapa rental besar yang pernah kumasuki, seperti Win Disc dan sebuah rental yang ada di jalan raya Kertajaya dekat rumahnya Iwan. Win Disc sudah kucatat dalam black list sebab aku pernah jauh-jauh ke sana hanya untuk ditolak karena tidak punya KTP Surabaya dan tidak bawa uang 50 ribu untuk jaminan. Sedangkan rental yang di depan rumah Iwan, aku justru pernah meminjam salah satu film yang berkesan untukku yaitu 24 Hours Party People, tentunya dengan membershipnya Iwan dan nontonnya juga memakai DVD playernya Iwan (sendirian). Oya, rental yang terakhir ini juga ada fasilitas nonton dalam mini theater lho, tapi aku belum sempat mencobanya, nggak pingin juga sih.

Pulang ke Solo lagi dan kerja di sana, aku hanya bisa menyewa di rental-rental besar yang kasetnya ori seperti video Ezzy, Movie Time, Odiva dan Movie Station. Nama-nama yang bunyinya sudah bergaya sok elit. Meski demikian, toh sampai sekarang aku sering tidak puas dengan koleksi film-film dalam format VCD (meski VCD terbilang masih merajai di Solo) karena jarang menemukan film yang kelihatannya aneh atau istimewa. Kalau sedang browsing di internet dan ke situs macam IMDB atau bahkan baca blog anak-anak kota besar, atau juga di milis-milis, atau mendengar cerita teman-teman yang punya DVD, aku sering hanya bisa gigit jari karena tidak menemukan film-film yang aku ingini di rental ori di atas. DVD player baru ada setelah ada laptop pinjaman saudara, lalu laptop kakak dan sekarang baru setelah aku di Jogja, ada DVD player yang malah belum pernah kupakai sama sekali. Dari keempat rental ori di atas, aku pun akhirnya lebih memilih menyewa di Movie Time (ada 2 cabang, yang satu cukup dekat dengan rumah tapi kurang lengkap dibandingkan yang jauh dari rumah). Alasannya adalah, pertama, untuk Odiva aku malas kalau harus membayar memakai sistem voucher meski rental itu sangat dekat dengan rumahku. Untuk rental kedua atau mungkin yang ketiga terdekat dari rumah, yaitu Movie Station, selain harga sewanya lebih mahal juga masih ditambah biaya parkir. Ah, tidak di Solo atau di Jogja ini, aku paling menghindari tempat-tempat kecil yang ada parkirnya. Parkir ini aku rasa memang bisa berpengaruh besar, mungkin tidak cuma untuk aku saja, tempat-tempat seperti warung makan, rental film, minimarket, termasuk juga warnet akan lebih kupilih jika tidak harus bayar parkir. Tapi sepertinya, dengan posisinya yang berada di ruko mewah, Movie Station susah untuk tidak memberlakukan parkir karena bahkan mengambil uang di ATM dekat situ pun kadang masih mau ditarik parkir juga! Lalu, yang terakhir, untuk video Ezzy, sekalipun koleksinya lumayan lengkap, tapi entah kenapa setiap kali aku datang ke sana selalu saja banyak film new release yang keluar, apalagi kemasan yang memakai boks juga membuat meminjam film di Ezzy terlalu ribet untuk dibawa motorku yang tidak ada cantolannya. Mengunjungi Movie Time yang jauh dari rumah juga membuatku senang sekaligus waspada karena di situ aku cukup sering bertemu teman-teman waktu SMU. Sayangnya, yang kujumpai di sana biasanya adalah teman-teman SMU yang kurang begitu akrab.

Setelah ada kesempatan nonton DVD, aku kemudian mengalihkan ke sebuah rental DVD bajakan bernama Leo di wilayah Kreteg Gantung. Pemilik rental itu ternyata cukup dikenal karena sudah sering digrebek, dan ternyata dia adalah yang punya rental Metta dulu. Tak cuma itu, lokasi rentalnya juga termasuk sering pindah-pindah. Pertama aku mulai menyewa di wilayah Singosaren, tapi kemudian mereka pindah ke Kreteg Gantung sekaligus membuka cabang (hanya melayani penjualan) di dekat Sido Kare. Film-film di situ bagiku lumayan lengkap, ya mungkin karena formatnya DVD itu. Dan selain itu, si pemilik tampaknya juga masih berbaik hati dengan kadang-kadang menconvert beberapa DVD ke format VCD meski kemudian kayaknya agak jarang. Meski tidak kenal, tentu saja aku senang dengan kegigihan si empunya untuk memberikan kesempatan bagi penikmat film berkantong cekak untuk menikmati film bagus meski faktanya kadang aku juga menyewa film yang agak memalukan sampai-sampai kalau hendak meminta aku berusaha pelan-pelan waktu menyebutkan judulnya.

Kalau sekarang di Jogja dan sudah bisa nonton DVD (baru saja sih), aku kemarin mencoba di Valent di jalan Mozes Gatotkaca. Enaknya di situ ada tulisan “khusus pengunjung Valent Disc, bebas parkir. Hanya saja, rasanya aku akan jarang meminjam di sana lagi soalnya kalau meminjam harus memakai KTP Jogja, KTM, SIM atau jaminan uang 40 ribu, dari semua itu kemarin aku hanya bisa memenuhi syarat meninggalkan satu-satunya SIM yang kupunya. Anehnya lagi, setelah pinjam dua film, karena yang satu gambarnya ancur dan yang satu lagi subtitlenya ga karuan, aku pun tidak menonton semua film yang kusewa itu. Yah, untuk ke depannya, kalau tidak menemukan rental yang syaratnya cukup KTP (luar Jogja), aku akan membeli atau pinjam teman saja. Wah, mesti kok ono wae!

Label: , , ,

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Pagi Hari di Rumah

Pagi hari di rumah ortu, hari kedua setelah kemarin. Selain karena tidak ada yang bisa dilakukan dan tidak ada yang menarik yang bisa membuat saya ingin menghabiskan libur akhir pekan di Jogja, saya juga sedang ingin mencoba akses internet dengan GPRS yang sekarang bisa dilakukan di rumah kapan saja. Nggak terlalu kencang sih, kemarin download lagu 14 MB saja sekitar 1 jam, tapi tetap lumayanlah meski kaki sampai kesemutan dan punggung terbongkok-bongkok, sakit sekali, karena harus bersila. Hanya entah kenapa saya selalu bingung mau apa jika sudah berhadapan dengan akses internet gratis seperti ini. Ngecek email, friendster, blog, dll sudah, mau download juga aksesnya nanggung, jadilah saya cuma ke youtube lihat live performance artis yang kebetulan kepikiran.

Pagi ini di TV ada pertandingan ujicoba preseason Barcelona, tapi saya kok tidak tertarik. Mungkin karena sudah lama nggak nonton bola juga. Di rumah ortu memang enak, banyak makanan enak. Tapi saya tidak pernah bisa lebih gemuk saat di sini. Saya pikir-pikir mungkin karena meski di sini makanannya enak, tapi porsinya sedikit-sedikit. Dan saya paling enggan kalau harus nambah, karena setelah satu piring atau satu porsi habis, perut seperti otomatis diperintahkan oleh otak untuk merasa kenyang. Mungkin itu sebabnya saya susah gemuk. Saya ingin gemuk selama di Jogja, pagi jajan beberapa penganan, siang tetap makan, sore saya coba banyak jajan, malam tetap makan, tapi menunggu membuat saya sulit sabar dan tentu saja semua usaha itu agak bikin boros. Ah, bingung.

Label: , ,

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Bapak Penunggu Jam

Saya sudah lama ingin membahas hal ini. Setidaknya setiap pagi saat saya berangkat kantor dan melihat orang itu, keinginan menuliskan hal ini selalu muncul. Di jalan Gejayan, tepatnya berseberangan dengan minimarket Circle K, setiap pagi seorang bapak selalu duduk di atas sepeda motor Yamaha tuanya. Saya tidak tahu apa yang ia kerjakan, semula saya mengira ia membuka jasa tambal ban, namun selama berbulan-bulan saya lewat di depan situ, saya tidak pernah sama sekali melihatnya menambal ban motor satupun. Yang jelas, satu hal yang mencolok dari kehadirannya adalah adanya sebuah jam dinding. Tentu saja, untuk saya yang sering berangkat kerja dengan dibayangi ketakutan terlambat, kehadiran jam dinding itu sangat membantu untuk memutuskan, apakah saya harus lebih kencang memacu motor atau cukup santai-santai saja, untuk kemudian mampir membeli gorengan dulu, membeli kopi sachetan dulu, atau sekadar tidak perlu berusaha menyalip dengan tajam mobil bapak komisaris direktur yang sering kali juga hampir terlambat seperti saya.

Bapak ini tidak datang pada hari Minggu atau hari libur. Ia juga hanya ada di situ pada pagi hari entah sampai jam berapa. Yang ia bawa selain sepeda motor adalah sebuah tas kumal, mungkin untuk mewadahi jam dinding tersebut. Kadang memang saya melihat ada orang lain di sana yang bercakap-cakap dengannya, kadang orang itu juga mengutak-atik jam dinding itu, mungkin memastikan waktunya sudah benar. Beberapa bulan pertama saya bekerja di kantor yang sekarang, jam dinding itu selalu sama, berbentuk bundar berwarna putih dengan tidak banyak hiasan atau logo-logo mencolok yang sering kali malah membuat kita kesulitan melihat di mana jarumnya. Entah karena bentuknya yang bundar atau latarnya yang polos, jam itu bagi saya terkesan sporty, dinamis dan bisa dipasang di bank atau ruang tunggu dokter. Namun, setidaknya sebulan dua bulan terakhir ini jam yang ia bawa kadang berbeda-beda, ada kalanya berbentuk kotak segi delapan berwarna kuning. Jam yang terkesan lebih resmi sekaligus murahan, membuat saya membayangkan jam itu dipasang di dinding rumah seorang lurah di desa kecil yang biasa dipakai tempat KKN. Kadang juga jam lain yang saya lupa bentuknya.

Makin sering saya melewati jalan itu tiap pagi, saya makin penasaran apa yang sebenarnya dikerjakan bapak itu di sana. Apakah mungkin hanya itu yang dilakukannya, membantu orang-orang, para pekerja, dan mahasiswa yang terburu-buru karena akan terlambat agar tahu waktu? Saya curiga jika memang itu yang ia lakukan. Lalu, dari mana ia mendapatkan gagasan seperti itu? Ini memang makin menambah kesan keunikan kota ini untuk saya. Banyak orang yang ‘aneh-aneh’, yang memang aneh atau ingin menjadi aneh di samping tetap banyak yang takut dibilang aneh seperti umumnya.

Makin lama saya pun berpikir bahwa mungkin kegiatan seperti itu juga dapat menimbulkan kepuasan tersendiri bagi bapak itu. Bayangkan kamu menjadi penentu waktu. Bayangkan kamu memperoleh kesempatan untuk menjadi satu-satunya orang yang memiliki sesuatu yang dibutuhkan banyak orang lain. Paling tidak untuk mereka yang tidak memakai arloji atau tidak naik mobil yang ada jamnya, bapak itu memang akan seperti sang waktu itu sendiri. Mungkinkah bapak itu sendiri menyadari posisinya sehingga beberapa kali ia mungkin mencoba agak ‘main-main’ karena beberapa kali saya mendapati jam itu sama sekali tidak tepat (terlambat sekitar 10-15 menit). Bayangkan apa yang terjadi jika ada orang yang sudah terbiasa mempercayai jam yang dibawa bapak itu. Mungkin saja jika tempat tinggal saya jauh dari situ atau keterlambatan jam itu hanya 5 menit saja, saya tentu juga akan pernah menjadi korbannya. Tentunya saya juga tidak akan dapat menyalahkan bapak itu karena ia tidak punya kewajiban untuk melakukan hal itu. Salah sendiri percaya. Hm, bapak itu mungkin sedang mengajarkan sesuatu, bapak itu mungkin tidak memiliki tujuan apa-apa, atau bapak itu mungkin sebenarnya tidak ada, mungkin ia hanya bayangan saya saja. Meski tiap hari melihatnya, saya sendiri sekarang lupa wajah bapak itu karena yang saya perhatikan dalam sekian detik itu hanya jam yang ia bawa saja. Akan sangat menarik jika ternyata dia memang tidak pernah ada. Dan karena saya belum memiliki kamera, bagi yang membaca tulisan ini tapi belum pernah melewati jalan Gejayan di pagi hari, memang tidak ada bukti yang dapat menunjukkan bahwa bapak itu memang ada dan bukan imajinasi saya saja.

Label: , ,

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...


Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!