perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


will kommen elektronika!


analog
Originally uploaded by lalat hijau.
Setelah masa-masa garage dan emo dengan segala jaket kulit, celana ketat, rambut acak-acakan, distorsi kasar yang intinya adalah mode back to 60's/ 70's, kini era baru telah datang! maju 10 tahun ke depan; tahun 80an. ELECTRONICA!! musik dengan komponen utama synthetizer, drum machine, analog etc. New Order baru bikin album baru, Erasure juga setelah tahun lalu mungkin beberapa ikon masa itu telah mendahului (Duran Duran, The Cure, dll). Tidak cuma itu, band-band baru juga muncul, The Bravery, Kasabian, Bloc Party,... (tambahin sendiri deh..) dan bilang musik mereka adalah elektronik.
Para pemain lama yang memang sejauh ini sudah begitu konsisten dengan musik elektronik, dance, atau yang memuat unsur-unsur itu juga kembali lagi: tahun lalu ada Prodigy, Chemical Brothers, Fatboy Slim, Bjork, mungkin masuk juga Morrisey, tahun ini Gorrilaz, Moby, Daft Punk dan saya masukkan juga Garbage yang merilis album baru (walaupun dari sekian album yg saya sebut diatas, sebagian belum pernah saya dengarkan hehe..).
Di sebuah toko kaset yg paling banyak dikunjungi di Solo (kota yang perkembangan musiknya sama dengan orang2nya, klemer, klemak-klemek), di
bagian kaset2 baru saya lihat beberapa kaset seperti Athletes, the Doves dkk ditempeli stiker "Britpop is Back!", sempat juga saya lihat kaset tulisannya Electro bla bla bla (saya lupa), untuk sesaat saya jadi sedih walaupun dengan tersenyum, belum ada uang nih..!!
Di MTV (Global TV), beberapa hari yang lalu saya lihat video klip grup musik lokal yang pernah dibilang Djohan, "Goodnight Electric" yang musiknya seperti yang bisa dibuat dengan Fruity Loop sementara klip nya seperti video yang diberi salah satu efek dari filter Photoshop. tapi bagus kok, lucu!
Sayang sekali saya disini masih belum dapat secara intens mengikutinya lebih dalam, benar atau tidaknya pengamatan ini mungkin juga masih banyak dipengaruhi oleh harapan pribadi, setelah pengaruh trip hop dari eropa ternyata tidak/ belum mau dinikmati oleh para pembeli kaset dan CD/ MP3 di Indonesia (apalagi di kota saya ini) walaupun setelah event Java Jazz festival yg lalu video2 Jazz atau Lounge seperti Bali Lounge dan Malick & the Essentials sering sekali ditayangkan di MTV indo tapi saya masih tetap punya harapan/ impian, semoga setelah suka Jazz ujung2nya berkembang ke kroni2nya yakni trip hop/ chill out/ apalah. Kembali ke elektronika, walaupun masih jarang sekali MTV (yg biasanya disebut sebagai acuan selera musik anak muda kita) menayangkan video2 apalagi rekaman konser2 dari band2 elektronika/ tekno/ new wave/ industrial dll, tapi kini ada beberapa program yg mungkin bisa menambah referensi mata anak2 muda gaul di Indonesia Raya ini, seperti MTV Advance Warning (ini yg terutama menjadi acuan saya bilang electronica strikes back!), dan juga Urban Beats, kalau dulu Party Zone (judulnya hedon sih, tapi gpplah) sepertinya dicuekin atau malah sekarang sudah gak ditayangkan lagi spt halnya Alternative Nation. Yah, setahu saya cuma itu, dua acara baru itupun jelas bikinan MTV Asia& MTV pusat, bukan MTV Indonesia. Saya memang terlalu sering dibuat sakit hati oleh MTV Indonesia, banyak album2 baru dari artis2 hebat dibuat tapi dilewatkan begitu saja, tdk pernah ditayangkan, tdk pernah dibahas atau dikabari oleh TV yang mengklaim dirinya sebagai stasiun TV musik itu, MTV negeri kita ini malah cuma bikin program2 seperti MTV Jams, atau yg gak ada hubungannya sama sekali dengan musik seperti MTV Make Over, Pop Style, Bujang, atau MTV Hot (yang memajang cewe2 bego, VJ bloon dan topik2 yg mungkin diambil dari Bulletin Boardnya Friendster), mungkin VJ hunt itu salah, syarat menjadi VJ MTV saya rasa tidak perlu suka apalagi punya wawasan musik, karena toh gak bakal diperlukan, bahasan ttg musik jarang, kalo ada juga baca text. Disini, saya baru sangat menyadari pengaruhnya; bocah-bocah gaul Solo ini masih juga ber hip hop ria, my god! semoga saja mereka tidak mengikuti jalur yg dilewati oleh anak2 muda Surabaya/ mgkn juga Jakarta, setelah hip hop lalu berganti melodic/ metal lawas terus... (gak tau skrg lg musim apa disana) bisa dibayangkan kan berapa lama saya harus menunggu disini.
Jadi, bagaimana juga dengan pop indonesia? mosok club 80's? mereka sih lebih cocok jadi presenter.. Entahlah, hebat bener mrk yang mengatur apa yang harus didengarkan pemuda pemudi indonesia ini, ayoh! jangan mau dicuci otak! mari kawan, kita mulai mengurangi mendengarkan PeterPan... nanti mata jadi ikut2an redup& rahang susah dibuka lebar juga lo!

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

di suatu minggu


zoo eyes3
Originally uploaded by lalat hijau.
Seekor anjing, mati di depan rumah kami subuh tadi. Rupa-rupanya ia tertabrak mobil angkutan umum, sekitar jam 8 pagi aku sempat melihat bangkainya sudah disingkirkan ke pinggir jalan sementara lalat-lalat semakin banyak mengerubungi dan berebut dengan para semut seperti biasa. Bau busuk selama beberapa jam awalnya belum begitu kentara, hanya lalat-lalat itu yang semakin mengganggu, tak hanya puas dengan sesosok bangkai, mereka mulai masuk ke dalam ruang-ruang di rumah kami. Karena teringat dengan kata-kata orang tua yang selalu menganjurkan kami untuk menjaga kebersihan dan memusuhi mereka yang membawa yang kotor-kotor ke dalam rumah, akupun tak punya pilihan dan segera mencari sebuah kardus, beberapa kain bekas, selotip, tali dan 2 kantong plastik sedang seukuran telapak tangan. Benar, jasad binatang itu sudah mulai rusak, kedua mata anjing itu penuh dengan semut, mulutnya terkatup rapat dengan gigi-gigi saling bertautan dengan lidah tercekat seperti memberi gambaran kira-kira tentang apa yang ia rasakan saat meregang nyawa, bulu-bulu di sekitar moncongnya kusut dan masih sedikit basah oleh air liur yang bercampur pasir dan oli mesin kendaraan pembunuhnya. Aku tak tahu luka mana yang menyebabkan kematian anjing sial ini, aku tebak ia mengalami gegar otak atau patah tulang rusuk walaupun sebenarnya itu bukan hal yang cukup menarik untuk kupikirkan lebih jauh, ini kan cuma seekor anjing kampung liar.
Segera kupasang kedua kantong plastik itu ke tanganku, berat juga rupanya anjing kaku penuh pasir ini, setelah diangkat kulihat ternyata di bawah tubuhnya semut-semut lebih banyak dari yang kelihatan sebelum ini. Setengah kulempar, bangkai itu akhirnya berhasil masuk ke dalam kardus. “Mmmhhff…” aku bergidik sambil menyipitkan mata dan memonyongkan bibir tanda jijik. Setelah menutupi si anjing dengan kain-kain bekas, kardus segera buru-buru kututup sebelum lalat-lalat menyerbu lagi, selotip pun dipasang dan karena sudah cukup kuat, gulungan talipun tak jadi digunakan. “Selesai juga akhirnya…” pikirku sambil melihat ke arah jalanan yang terus sepi sedari tadi. Dengan kaki, kudorong kardus itu ke pinggir menjauh dari tempatnya semula, sekarang tinggal menyingkirkan jauh-jauh si anjing dalam kardus ini lewat sungai yang selalu menjadi jujugan terakhir para jasad binatang piaraanku atau binatang tak dikenal lain yang bernasib sama dengan anjing ini.
Dan motor butut itu keluar lagi, “yah, tak ada salahnya sedikit berkorban untuk anjing malang ini…”, tentu pikiran itu tidaklah benar karena niatku semula memang hanya untuk menyingkirkan bau busuk dan gangguan lalat menjijikan itu tadi. Sedikit malas-malasan, kuhidupkan mesin sambil memasang helm sementara sebelah mataku sejenak melihat jarum speedometer penunjuk bahan bakar, “masih cukup banyak!” gumamku. Memang harus diakui, kini tak bisa lagi aku melakukan sebuah perjalanan tanpa menghitung untung ruginya seperti dulu.
“Bensin mahal!” begitu alasanku setiap kali menolak ajakan atau bahkan paksaan teman yang mengundangku ke suatu tempat dengan tujuan yang kurang dapat membuatku senang.
“Masih naik motor saja sudah alasan bensin mahal!” mereka mencoba membuatku tersudut. Namun aku tak peduli, begitu juga dengan mereka, alasan itu memang cukup manjur dan selalu masuk di akal.
Sungai itu hanya sekitar 1,5 kilometer dari rumahku. Memang bukan sungai sembarangan, sungai Bengawan Solo sampai sekarang adalah sungai paling terkenal di Jawa, mungkin karena pernah dibuatkan lagu segala. Siang ini mendung, meskipun hari Minggu, jalanan tidak begitu ramai dan memang biasanya juga tak pernah ramai apalagi macet seperti di kota. Aku hentikan motorku di tengah-tengah jembatan yang melintang di atas sungai, kulihat sebentar ke bawah, aliran sungai lumayan deras, warnanya masih kecoklatan, tak ada orang yang sedang buang hajat atau memancing di bawah sana, dan yang pasti sejak beberapa tahun terakhir ini tak ada warga yang pernah kulihat mandi di sungai kotor yang katanya mempunyai pusaran air berdaya sedot tinggi di dasarnya ini. Kukira cukup aman untuk membuang kardus yang kubawa sekarang, lagipula aku juga tak ingin berlama-lama memandang ke bawah dan berpikir macam-macam, aku selalu takut dengan ketinggian.
“Huh!, kali ini benar-benar sudah selesai!”, kardus itu sempat mengambang sebelum tenggelam terbawa arus dan hilang. Mungkin jika ini terjadi waktu aku kecil, aku tak akan cepat-cepat pergi dari pinggir jembatan itu, aku mungkin masih meratapi hilangnya kardus berisi anjing tak dikenal itu, bisa jadi menangisinya atau paling tidak memikirkannya seharian. Tapi kini tak ada waktu lagi untuk itu, langit sudah mulai mendung, mesin motor kembali dihidupkan dan sekali lagi kulirik jarum di panel tangki bahan bakar, masih tak bergerak dari posisi yang kulihat waktu aku berangkat tadi. Ternyata aku masih terlalu lambat untuk mendahului hujan, baru beberapa puluh meter butiran-butiran besar air telah turun menyerang, aku tak rela bajuku basah untuk ratusan meter ke depan. Motor berjalan menepi, kebetulan aku segera menemukan tempat berteduh paling nyaman, sebuah gereja.
Walaupun berada tak jauh dari rumahku, baru sekali ini aku menengok ke dalam gereja ini. Seharusnya hal tersebut dapat dimaklumi karena selain ini adalah sebuah gereja Katolik, aku sendiri juga baru sekitar 6 bulan menetap di rumah yang kudiami sekarang. Sesiang ini nampaknya misa sudah selesai dari tadi, yang tinggal sekarang hanya beberapa orang saja, sebagian duduk, mungkin berdoa, dan 2-3 orang di luar terlihat hanya berdiri, mungkin juga menunggu redanya hujan seperti aku. Terakhir kali aku datang ke sebuah gereja Katolik seperti ini kalau tidak salah adalah waktu SMP. Memang, aku sempat bersekolah di dua buah sekolah Katolik masing-masing waktu SMP dan SMU, tapi hanya waktu di SMP aku sempat beberapa kali mengikuti misa di sebuah gereja Katolik terbesar di kotaku, Gereja St. Antonius yang letaknya sekitar 150 meter dari sekolah. Jujur saja, walaupun bukan termasuk sekolah yang mempunyai peringkat bagus, SMP itu telah memberikanku pengenalan terhadap ajaran-ajaran dan tata cara ibadah yang berbeda dengan apa yang kualami dan kujalani 12 tahun sebelumnya.
Untuk beberapa saat aku mengamati isi gereja, bangku-bangku panjang dari kayu yang bederet rapi, mosaik-mosaik di kaca dan patung-patung yang besar itu seakan membawa kembali masa-masa SMP 9 tahun yang lalu. Aku selalu suka denga keheningan khas gereja Katolik seperti ini, ya seandainya aku tak melewati masa-masa SMU di SMU swasta paling favorit di kotaku itu mungkin aku akan lebih sering mengunjungi tempat ini, tidak untuk berteduh dari hujan namun berteduh dari panasnya hati. Boleh jadi ini bukan hal yang terlalu penting jika di KTP, SIM atau dokumen-dokumen yang lain sekarang, kolom agamaku masih diisi dengan tulisan Kristen dan tentu saja lebih tak penting lagi untuk membahas masalah perbedaan antara Kristen dan Katolik atau sebutan-sebutan lain untuk sebuah tradisi dan tata cara atau doktrin yang mempercayai adanya kekuatan luar biasa di luar kita sebagai manusia, tapi tak ada salahnya membicarakan sesuatu tentang hal ini sesuai dengan apa yang kualami.
Mengingat lagi masa-masa remaja yang kualami di bangku SMP sangatlah sulit untuk dilepaskan dari beberapa nama teman-teman; yang pasti adalah Hari Moelyono, atau si Moel begitu ia biasa dipanggil (entah apa ada hubungannya dengan kepopuleran sinetron Si Doel Anak Sekolahannya Rano Karno sehingga ia dipanggil begitu).
Dialah yang selalu mengajakku cangkruk sehabis pulang sekolah, di depan gereja St. Antonius yang banyak pedagang-pedagang kaki limanya, kebiasaan cangkruk ini sempat terhenti beberapa waktu di SMU sebelum berlanjut lagi di waktu kuliah. Si Moel bukanlah anak yang taat beribadah seperti si Doel, guru-guru menganggapnya bandel, bodoh dan suka berkelahi, sangat berbeda denganku saat itu. Hanya saja sejauh pengetahuanku sebenarnya dia termasuk lumayan rajin mengikuti misa-misa minggu dan hari-hari besar lainnya meski dia bilang cuma untuk melihat cewek-cewek. Itulah, semakin aku memperoleh kesempatan menikmati suasana sejuk di bawah rindangnya pohon-pohon besar di depan gereja di hampir tiap siang, lama kelamaan gereja yang begitu besar itu juga makin kuakrabi dengan baik.
Hujan makin lebat, kulihat motorku mulai terkena cipratan-cipratan air sehingga sisi luarnya mulai basah, aku merapatkan tubuhku lebih dalam ke pintu, aku ragu untuk berteduh di dalam karena aku hanya memakai celana pendek dan motor butut itupun masih merasa perlu untuk kuawasi. Aku tengok lagi ke dalam, “apa sebenarnya yang mereka doakan? Apa mereka itu benar berdoa atau hanya duduk atau malah ketiduran di dalam situ?” Tapi memang kulihat beberapa orang yang duduk itu hanya sekedar duduk-duduk saja, beberapa berbisik dan mengobrol, seorang bapak yang diluar pintu samping juga masih berdiri dan mulai menyalakan rokok. Suasana masih hening. Dulu si Moel pernah mengajakku mengikuti misa Paskah, jika itu terjadi bisa dibilang itu akan merupakan misa Katolik pertama kali yang kudatangi tanpa bersama rombongan dari sekolah. Namun sebagai anak yang patuh, hal itu lalu aku tanyakan dulu pada ibu dan kakakku, jelas saja mereka tak mengijinkan.
“Cuma sekali ini kok, cuma coba-coba saja” aku memberi alasan sejujurnya karena si Moel telah menungguku di depan pagar dengan motor Binternya yang bising.
“Tak bisa! Ada sekali pasti ada dua kali!” kakakku menyanggahnya seakan aku sedang meminta izin untuk pergi ke diskotik atau jajan ke lokalisasi. Sebaliknya ia malah menganjurkan supaya aku yang mengajak si Moel ke gerejaku saja. Akupun hanya senyum-senyum sambil mencela alasan filosofisnya yang aneh itu dengan sedikit bercanda, walaupun begitu aku sadar jika tak boleh dan tak ada gunanya melawan apa yang dipercayai keluargaku, aku bisa membayangkan akibatnya meski aku juga belum pernah mencobanya, ajakan si Moel pun kutolak.
Lepas dari SMP juga berarti lepas juga masa-masa keakrabanku dengan rindangnya pohon di depan gereja itu, akupun masuk sekolah Katolik swasta yang lain, kali ini sebuah SMU swasta paling favorit yang terkenal lebih Katolik karena dikepalai oleh seorang suster, mempunyai kapel sendiri di belakangnya, dan sebagai sekolah swasta favorit, biayanya lebih mahal. Aku sendiri semakin jarang bertemu dengan si Moel yang juga tetanggaku itu, awal SMU dia pindah rumah sementara pada pertengahan kelas satu gantian aku yang pindah rumah juga. Kapel kecil di SMU ku itu, walau di dalamnya juga teduh namun bentuk dan letaknya tidak begitu bersahabat, terlalu dekat dengan asrama para suster yang beberapa di antaranya galak itu, terlalu jauh dengan ruang kelas dan tentu juga sebagai anak SMu, jam istirahat pastinya lebih enak dihabiskan menikmati wajah-wajah siswi-siswi yang lewat di depan mata ketimbang sendirian di kapel yang terpencil itu. Aku jadi lupa dengan kerindangan pohon di depan gereja St.Antonius dan kekhidmatan gereja Katolik. Image dan rekaman itu perlahan mulai hilang, misa-misa di SMU diadakan di aula olahraga yang tidak begitu nyaman, kenangan di SMP itu telah digantikan oleh pengalaman dengan suster pengajar Matematika yang galak, suster kepala sekolah yang mata duitan, gunjingan-gunjingan khas para murid SMU tentang kejelekan guru-gurunya dan terutama, sekali lagi sang suster kepala sekolah tadi, serta tentu saja sang cewek gebetan yang kebetulan beragama Kristen, alhasil gereja Katolik pun jadi tak menarik lagi. Memang kemurnian ajaran-ajaran agama ternyata selalu dapat dihancurkan oleh dua hal: uang dan libido.
Butiran-butiran besar air hujan mulai hilang digantikan dengan butiran-butiran yang lebih lembut, lebih banyak dan lebih konstan. “Ah seandainya saja rokokku belum habis”, pikirku sambil memandangi pria di pintu samping yang masih asyik mengepulkan asap dari mulutnya pelan-pelan. Beberapa orang yang duduk di bangku sudah mulai berkurang, mereka memilih segera pergi, menembus butiran-butiran lembut air hujan. Aku sendiri memutuskan untuk menunggu 15 menit lagi. 5 menit berlalu, tinggal tersisa 1 orang yang duduk di bangku, pria di pintu samping itu tak kelihatan meski aku tak yakin jika ia sudah pulang. Sesaat orang itu berdiri, ia masih muda, berbadan tegap, berambut cepak seperti anggota militer, kami sempat beradu pandang sebelum aku pura-pura memeriksa frekuensi turunnya air hujan dengan sebuah sodoran tangan ke luar. Pemuda itu berjalan keluar lewat pintu samping dan kulihat pria yang merokok tadi sudah kembali berada disitu, suasana gereja yang sepi membuatku dapat mendengar percakapan mereka dengan cukup jelas.
“Sudah bisa pak?” tanya pemuda berambut cepak itu dalam bahasa Jawa.
“Belum, saya ndak berani mas, Romo kelihatannya masih sibuk” sahut si bapak dalam bahasa Jawa yang lebih halus, rokok di tangannya kali ini sudah habis.
“Heh! hujan kok dari tadi lama sekali!” si pemuda menghela napas sambil memalingkan wajahnya dari si bapak yang kini aku kira adalah pesuruh yang memelihara gereja ini.
“Mungkin juga istirahat mas, nanti kan beliau memimpin misa lagi” bapak itu menambahkan sambil pelan-pelan meninggalkan pemuda itu sendirian.
Si pemuda tegap itu memandang ke depan lalu maju dan duduk di bangku ke tiga dari depan, kulihat ia mengambil sesuatu daru sakunya lalu menunduk, makin lama makin dalam, barangkali berdoa lagi.
15 menit yang kutetapkan telah lewat, aku coba berjalan keluar merasakan butir-butir hujan yang lembut seperti keluar dari alat penyemprot hama. Aku capek menunggu di sini terus, hujan seperti sudah tak begitu terasa motorpun kuhidupkan, dengan sedikit ngebut kularikan sampai ke rumah. Setiap butiran air itu tak begitu terasa pada mulanya namun setelah hampir sampai rumah baru kusadari betapa bajuku telah basah kuyup. Rumah mungil (sebagai pengganti rumah kecil) itu telah terlihat di depan mata, bekas bangkai anjing dan segala kotorannya itu tentunya sudah lenyap terbawa air hujan. Aku segera masuk dan memarkirkan kendaraan di garasi, kuraih sebuah payung, sambil sedikit menahan dinginnya tubuh aku kembali ke pintu depan untuk menutup dan menguncinya kembali. Aku masih penasaran dengan tempat bekas anjing itu berbaring tadi, apakah semua kotoran dan semut-semut itu telah benar-benar hilang? Agak menunduk kulihat sesuatu dibalik daun-daunan dekat bekas bangkai anjing tadi, seekor anjing lain. Anjing itu lebih kecil namun ciri-ciri fisiknya hampir mirip dengan bangkai anjing kampung itu tadi. Aku mencoba memanggilnya dengan cara menyodorkan tanganku dan melakukan gerakan jari-jari yang bagi manusia melambangkan uang. Ia masih tak bergeming walaupun tubuhnya mengigil kedinginan, kedua matanya terus menatapku dengan pandangan curiga, kadang-kadang juga matanya meredup seperti sedikit kesakitan. Aku panggil lagi kali ini dengan berdecak seperti orang terkagum-kagum, aneh juga cara memanggil anjing, tangan seperti memberi uang mulut seperti memberi pujian. Berkali-kali aku memanggilnya, aku mencoba lebih mendekatinya, tiba-tiba iapun lari keluar ke jalanan, aku jadi khawatir ia akan tertabrak juga seperti anjing tadi pagi, akupun masuk kedalam dan penasaran mungkinkan ia mempunyai hubungan dengan anjing yang mati pagi tadi.
Siang yang hujan itu kumanfaatkan untuk tidur siang. Sekitar jam 3 sore akupun bangun, hujan sudah berhenti, aku masih penasaran dengan anjing misterius tadi dan memutuskan melihat ke luar siapa tahu ia masih terlihat di sekitar sini. Dugaanku tak meleset, anjing itu sudah kembali berdiam diri di balik rimbunnya tanaman di samping pagarku, kali ini aku tak mau mengusirnya, aku hanya memandanginya yang tengah tertidur, bulu-bulunya basah dan beberapa kali kulihat ia bergidik dan menggigil. Diam-diam kudekati anjing itu lagi, kubuka pintu pagar pelan-pelan, jalanan yang tetap sepi turut membantuku mengendap-endap sampai sekitar 30 cm di dekatnya, begitu saja, aku diam disitu, tak mau meraihnya tapi juga tak mau mengusirnya. Tiba-tiba dari jauh kulihat seorang anak kecil, dengan membawa sepotong rantai ia berjalan didampingi seorang wanita yang aku kenali sebagai ibunya, anak itu nampak seperti habis menangis sementara ibunya tetap tenang mengiringi sambil menggandengnya. Aku segera berdiri menunggu keduanya lewat.
“Kemana bu?” aku mencoba menyapa
“Oh, ini lho adek ngajak nyari anjing”
Akupun terkejut, sambil menuding si anjing yang baru saja kuamati itu,
“Lha ini ada anjingnya siapa? Punya ibu bukan?”
Sedikit tergesa si anak dan ibu itu segera mendatangi tempatku berdiri
“Oh iya, tuh dek, si Pengki nya sudah ketemu” kata si ibu dengan wajah berseri-seri
“tapi... tapi… Jengki nya mana?” si anak kelihatan tak puas juga.
“Si Jengkinya kayak apa?” tanyaku
“Ya sama kayak ini, Jengki itu saudaranya” si ibu menjelaskan
Aku lihat anjing yang ternyata dinamai si Pengki itu, ia masih tertidur, aneh sekali di suasana yang seramai ini ia masih tak bergeming dari tadi. Aku kembali berpikir, jangan-jangan anjing yang kubuang tadi itulah si Jengki, bagaimana aku harus mengatakannya pada si ibu apalagi pada si anak yang kali ini mencoba merangsek ke dedaunan dan mengelus-elus kepala si Pengki itu.
“Bu, begini…” aku mencoba berbicara sepelan mungkin supaya si anak yang dipanggil adek itu tidak mendengarku
“Tadi pagi waktu saya mau keluar memang ada anjing yang mirip seperti anjing ini di jalan, tapi sudah mati, mungkin ketabrak angkutan umum, ya itu tapi terus tadi siang saya lihat lagi kok bangkainya sudah tidak ada, mungkin sudah dibuang orang” aku mencoba mengarang-ngarang cerita supaya kedengaran masuk akal.
Yang kuajak bicara hanya memandangiku
“Memang sudah hilang berapa lama bu?”
“Dari kemarin malam, mas, adeknya ini tadi malam ndak mau tidur, nangis terus, tapi kalau memang sudah mati ya sudah” Kali ini aku lega dengan jawabannya.
“Ma.. Maa.. Pengki nya kok tidur terus nggak mau bangun?’ kata-kata anak itu semakin membuatku penasaran.
“Jangan-jangan…” aku berkata dalam hati sambil menyesali kenapa aku memutuskan berlama-lama mengamati anjing hilang ini.
“Coba mama lihat, adek minggir dulu” si ibu rupanya juga tak kalah khawatir denganku. Diraihnya tubuh si anjing, digerak-gerakkan namun ia tetap diam saja, nampaknya ia memang sudah mengikuti jejak saudaranya.
“Dek, Pengki nya ini sudah meninggal..” si ibu mencoba mendekati anak itu sambil mengelapkan kedua belah tangannya ke belakang roknya.
“Nggak boleh!!! Pengkinya nggak boleh mati!!” anak itu mencoba mementahkan hipotesa ibunya, matanya kembali berkaca-kaca.
“Sudah.. sudah nggak papa, nanti minta papa beliin Pengki baru lagi ya” si ibu menimpali, aku agak kecewa dengan caranya menghibur anak, aku kira ia bisa memberi jawaban yang lebih baik tapi aku tetap lega karena aku tak disangkut pautkan dengan kematian kedua anjingnya tersebut.
“Jengki nya juga dimana maaa!!!” kali ini ia sudah benar- benar menangis.
“Sudah dek, cup cup, nggak apa-apa, ini Pengki sudah pergi ke surga” aku mencoba ikut menghibur dirinya, aku tak sadar telah memberi jawaban yang sama klisenya dengan si ibu.
“Tuh, dengerin tuh kata om nya” kata si ibu sambil berusaha menggendong anaknya.
“Gini aja, saya ambil kardus di dalam, si Pengkinya dibawa saja” kataku sambil memandang si ibu yang anehnya masih terlihat cukup tenang.
“Ya, nggak ngerepotin to mas?”
“Ah, ndak papa”
Aku segera berjalan masuk, mencoba menghindari suasana yang kurang enak di luar, sengaja aku mencari kardus itu agak lama sambil sesekali mengintip keluar melihat apakah si anak sudah reda tangisnya.
“Ini bu, saya saja yang naruh”
Dan untuk pertama kalinya dalam seumur hidup aku menguburkan dua ekor anjing dalam sehari, aku merasa seperti seorang penjual peti mati, perias mayat atau pekerjaan sejenisnya.
“Sudah, itu Pengki nya nanti dibawa pulang, nanti dikubur depan rumah ya” ibu itu kembali mencoba menghibur anaknya yang masih juga sesenggukan menahan tangis.
“Ini bu, saya antarkan aja ke rumah gimana?” kataku
“Nggak mau, adek aja yang bawa…” kata si anak sambil berusaha melorot dari gendongan ibunya.
“Ya udah, adek yang bawa, bilang terima kasih tuh sama om nya”
Anak itu hanya melengos, si ibu hanya tersenyum mengamati putranya
“Terima kasih ya mas”
“Ya bu sama-sama, ndak papa” kataku sambil tersenyum lega.
Keduanya pun segera pergi, aku segera masuk dan mengunci pagar takut bila mereka kembali lagi.
Sungguh, kisah kedua anjing itu seperti sebuah cerita film, mungkinkah anjing kedua, si Pengki itu memilih mati daripada kehilangan saudaranya, bisakah anjing bunuh diri? Aku terus mencoba menerka-nerka jalan cerita keduanya. Dibesarkan sejak kecil bersama-sama, bermain dan menghabiskan waktu bersama, mungkin juga mereka sudah berencana akan menjadi suami istri karena si Pengki adalah anjing betina sementara si Jengki jantan, aku juga membayangkan bagaimana kemarin si Jengki menghilang dari rumahnya, entah kenapa ia melakukan itu. Pikiranku melayang lebih jauh lagi, terlalu jauh malah. Karena kisah kedua anjing itu sudah cukup seperti sebuah film, maka aku menambahinya, aku membayangkan kemarin keduanya bertengkar, mungkin hanya pertengkaran tentang letak tulang disimpan atau yang lain, pertengkaran itu begitu hebat, si Jengki yang marah memutuskan meninggalkan belahan jiwanya. Ah aku rasa itu jelas tak mungkin terjadi, barangkali begini, si Jengki yang mulai beranjak dewasa ingin membuktikan bahwa ia adalah benar-benar anjing jantan yang siap melindungi si Pengki, maka ia ingin membuktikannya dengan menantang dunia luar. Aku mencoba membuyarkan lamunanku, kenapa aku sekarang suka membuat dongeng? Yang jelas, kematian barangkali tidak begitu buruk bagi yang merasakannya, toh dunia bagi kedua anjing itu adalah diri mereka berdua, seandainya anjingpun memiliki akhirat yang memungkinkan mereka bertemu lagi, tentunya dunia baru itu akan sama sempurna dengan dunia pertama mereka. Mungkin ini sangatlah mengada-ada tapi barangkali itulah yang seharusnya kukatakan pada anak kecil itu tadi.
Urusan dengan kematian dua anjing itu tanpa terasa telah membawaku hampir ke larut malam. Biasanya jika malam sudah selarut dan sedingin ini, tak ada yang bisa kulakukan lagi selain menonton TV. Sebuah kasur kugelar di depannya, karena sudah terbawa kebiasaan sejak masih kost, aku sekarang tak pernah merasa nyaman lagi untuk menonton TV jika tidak sambil tidur-tiduran. Memang, pada dasarnya tidak banyak acara bagus yang mampu ditayangkan oleh stasiun televisi negeri kita ini, bahkan jam primetime bisa dikatakan sebagai jam-jam yang paling buruk; sinetron, variety show, reality show, film-film action yang sudah terlalu sering diputar, tanpa sadar seringkali aku lebih memilih melihat jeda-jeda iklan sebagaimana dikatakan oleh saudaraku yang juga sedang menonton TV yang terus kugonta-ganti channelnya. Namun malam ini lain, televisi sepertinya malah dapat membuatku sedikit terhibur dan melupakan rasa tidak nyaman setelah membohongi tetanggaku tadi. Sudah tengah malam, aku masih menggonta-ganti channel sebelum tiba-tiba aku melihat sebuah berita yang menarik perhatianku. Berita kriminal sepekan, heran juga, malam-malam begini orang masih disuruh melihat tayangan wajah-wajah lebam maling yang habis dipukuli, sesosok mayat tak dikenal yang ditemukan dalam keadaan mengenaskan, anak kecil yang tergolek lemas setelah berulangkali diperkosa kakeknya, dan…, oh tapi kali ini ada yang lain untukku, aku lihat tulisan di bawahnya “Solo, Jawa Tengah- anggota polisi bunuh diri di dalam gereja”. Berita buruk yang terjadi di sekitar tempat kita tinggal selalu menarik, (kecuali berita tentang korupsi yang selalu berbelit-belit dan membosankan itu) dan kali ini aku merasa ada di berita itu, ya benar! Foto itu adalah foto pemuda berambut cepak yang kulihat di gereja tadi pagi, tapi bunuh diri? Sepertinya aku ingin segera menceritakan hal ini pada orang lain, sayang aku hanya sendirian di rumah ini. Untuk sesaat aku seakan merasa telah mengenal akrab anggota polisi itu, aku merasa tahu masalahnya meskipun jelas tidak, reporter itu terus berbicara: “sampai saat ini polisi masih mencari kekasih pelaku yang diketahui bertempat tinggal di Solo, diduga pelaku mengalami stress akibat hubungannya tidak disetujui oleh keluarga kekasihnya…” Yah ternyata kali ini masalah yang sama, aku sempat kecewa karena sejauh yang pernah kulihat di berita seperti ini, motif bunuh diri selalu karena dua atau tiga hal: kesulitan ekonomi, cinta, dan sakit yang tak kunjung sembuh. Tapi, pikiran itu kembali digantikan oleh bayangan polisi muda itu, kali ini sungguh berbeda dengan kisah kasih kedua anjing itu tadi, jika si Pengki bunuh diri untuk menyatukan cintanya dengan si Jengki, sang anggota polisi itu malah kebalikannya, bunuh diri, memilih memisahkan diri dari dunia dan segala harapannya, hanya karena ia dipisahkan dunia dari cinta dan harapannya. Untuk sesaat, aku jadi bingung membedakan, yang mana kematian yang mana kehidupan.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

300 mins

5 jam sudah berkurang 138 menit. masih juga belum paham dengan teknologi ini. seribu rupiah untuk dua yang tak bisa aku nikmati lagi. apa sih yang bisa kita lakukan selama 5 jam? komputer nya mulai memberi warning-warning, pop ups, kemungkinan atau tawaran yang tidak sesuai kebutuhan, yang bisa aku lakukan cuma sebuah buku tamu dan sitemeter yang salah penempatan. lalu aku jadi lupa semua rencana dan yang diinginkan untuk dicari dan dilakukan. apa itu blogskins? semua jelek, namanya saja yang bagus.

kemarin aku menemukan sebuah lowongan bagus, paling tidak dari iklannya 100 atau mungkin 95 persen membuat mataku berhasil melek lagi, seperti sebuah bis yang sudah kita tunggu berjam-jam di depan gerbang sekolah yang mulai sepi di saat hari hampir hujan, aku yakin bis itu adalah bis jurusan ke rumahku tapi moga-moga bis itu tidak penuh dan mau menerima penumpang anak sekolah...
aku harus siap-siap lari, tidak boleh ketinggalan dan tidak boleh melamun lagi. masih beberapa puluh meter lagi ia mendekat.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

eternal sunshine in spotless mind


basic
Originally uploaded by lalat hijau.

Blessed are the forgetful: for they get the better even of their blunders.

(F.Nietzsche, Beyond Good and Evil)

begitu susahnya melupakan, sementara ada sesuatu yang terus berjuang untuk selalu diingat, tapi yang kita dapatkan malah kita tidak bisa lupa dengan sesuatu yang ingin kita lupakan. Sekitar seminggu ini ada kegiatan rutin baru yang selalu kulakukan setiap bangun pagi; mencatat mimpi. Semula aku tak yakin kalau tiap malam aku selalu bermimpi (atau bisa mengingatnya). Tapi, aku memang tiap malam bermimpi, tak ada hari yang lowong dalam catatanku. Baru seminggu, tapi aku rasa catatan-catatan itu mungkin bisa menunjukkan apa sebenarnya masalahku. Aku rasa aku tak bisa menyangkal jika aku memang terlalu sering hidup di masa lalu. Dalam mimpiku, ada beberapa karakter yang selalu turut serta di beberapa antaranya. Kadang ia / mereka berperan sebagai pemeran utama kadang hanya figuran saja, sama seperti posisiku disitu. Setting lebih sering berlokasi di rumah yang aku tinggali mulai umur 7- 14 tahun (sekitar 250 meter dari rumahku yg sekarang). Aku tak yakin jika nanti malam mimpiku akan berada di lokasi lain.. jadi, aku kini melantur lagi. Beberapa memori memang sangat susah dihilangkan. Aku sendiri kemarin seperti sebuah sumbu yang terpantik api. Charlie Kaufman barangkali memang senang bermain-main dengan cerita yang berkisar mengenai kompleksitas dan cara kerja otak manusia. Walaupun sebenarnya setelah pernah melihat Adaptation dan Being John Malkovich, Eternal Sunshine in Spotless Mind tidak lagi mengagetkan atau membuatku duduk lebih tegak di kasurku. Film itu cuma membentuk satu ingatan lagi yaitu bagaimana kita dapat menghapus sebuah ingatan.Baguskah? Hanya ingatan yang dapat membuat kita bermimpi dan tak ada manusia yang dapat mengontrol ingatan serta mimpi. tisk.. aku tak sabar menyaksikan apa lagi yang akan kulihat nanti malam sementara yang kutulis sekarangpun adalah sebuah ingatan baru. Wajah-wajah itu semakin hari semakin memudar dan nyaris semakin susah dikenal dan diingat lagi. Semoga kapan-kapan dia datang lagi dengan wajah yang lebih nyata, senyata sedih yang kudapat darinya setiap ia pergi lagi.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

kisah si lalat hijau


lalat hijau
Originally uploaded by lalat hijau.

lalat, lalat hijau... apa yang pantas diharapkan dari cerita dan kisah perjalanannya?

Tidak banyak yang suka dengan keberadaan lalat hijau di rumahnya. Jika suatu kali aku lihat salah satu diantaranya beterbangan atau hinggap di salah satu sudut, atau bahkan di makanan atau alat makan di rumahku, buru-buru pasti kuusir dengan kibasan tangan, jika aku sedang baik, atau dengan alat untuk menghancurkan tubuhnya, jika aku sedang kesal. Kata buku ensiklopedi, umur seekor lalat paling-paling hanya sekitar 1 minggu sementara untuk lalat hijau yang ukuran tubuhnya lebih besar dari lalat hitam umurnya bisa 2 kali lipat.
Aku kira, jumlah lalat hijau juga tidak sebanyak lalat hitam dan yang pasti gerak mereka juga lebih lambat sehingga lalat hijau lebih mudah dipukul dengan gulungan koran, sapu lidi, tebah, atau pemukul lalat dari plastik. Dengan hidup yang tidak begitu panjang, apa yang kira-kira bisa dicatat dari perjalanan hidup seekor lalat barangkali juga tidak akan lebih dari sekitar sampah, makanan, kotoran dan tentu juga sesama lalat-lalat lain.
Seekor lalat hijau memang dapat dipastikan bukanlah binatang yang pintar. Pernahkah kamu perhatikan tingkah lakunya yang menyebalkan setiap berada di depan jendela kaca? Ya, ia melompat-lompat seolah-olah ingin menembus kaca itu. Walaupun jendelanya sudah dibuka sekalipun, seringkali ia masih tetap memilih terus mencoba menembus kaca yang dikiranya adalah dunia luar dalam bentuk 2 dimensi, sungguh bodoh dan gampang tertipu!
Omong-omong soal intelegensia lalat, menurut legenda, hal itu sebenarnya bukanlah bawaan sejak ia diciptakan. Konon, pada zaman dahulu, lalat adalah binatang peliharaan Yang Mulia Dewa Kahyangan dan menjadi tunggangan ratu kahyangan, putri serta dayang-dayangnya. Lalat adalah binatang yang terhormat dan paling disegani sehingga bahkan sempat hampir diputuskan untuk masuk ke dalam jajaran 12 binatang yang menjadi simbol shio dalam mitologi Cina. Semuanya itu terjadi sebelum sebuah peristiwa merubah posisinya menjadi seperti sekarang ini.
Lalat, pada masa itu adalah binatang yang ukuran tubuhnya sebesar kerbau namun tetap gesit dan mempunyai lompatan yang sangat jauh sama juga seperti lalat masa kini. Dengan kegesitannya itulah ia dijadikan alat transportasi paling mewah sekaligus juga tunggangan yang hebat bagi ratu dan putri-putrinya yang memang memiliki hobi berburu di hutan. Selama ratusan tahun kahyangan itu, binatang-binatang lain selalu berharap dirinya adalah seekor lalat, semuanya kecuali satu saja yang tidak, para semut.
Semut adalah binatang yang tidak pernah bermimpi ingin jadi lalat, selain karena semut jarang sekali tidur apalagi bermimpi, mereka juga adalah bangsa yang tak pernah merasa kekurangan. Bagaimana tidak? Dengan populasi jutaan, milyaran, bahkan trilyunan seperti itu, tidak ada yang mereka perlu takuti dan tak ada yang harus mereka anggap musuh. Semua mahluk bagi mereka adalah makanan, sebesar apapun mahluk itu tak ada yang dapat diangkat oleh semut ke sarangnya, dan makanan selalu dibagi rata, sama rasa sama suka, tak ada yang dianggap berbeda, mereka semua sederajat. Dan bagi semut, hal itu juga berlaku untuk mahluk lainnya, binatang terkuatpun suatu saat akan mati juga termasuk yang terhormat seperti lalat, mereka akan menjadi jenazah penuh belatung yang menggiurkan bagi semut-semut itu.
Lalatpun, dibalik segala kehormatan yang ia miliki tidak serta merta membuatnya menjadi sombong. Walau sudah pasti pula sebagai peliharaan raja, ia juga mendapatkan pendidikan yang lebih baik dibandingkan binatang yang lain. Hanya satu yang menjadi kelemahan lalat, terlalu obsesif. Ya! Lalat adalah binatang yang sangat obsesif dan keras kepala, jika mempunyai sebuah keinginan, ia akan terus selalu berusaha mewujudkan apapun risikonya. Nampaknya, sifat itu juga yang masih terus dipegang keturunan mereka sampai saat ini sehingga sulit sekali mengusir lalat tanpa lewat jalur kekerasan (ingat juga lalat di depan jendela kaca itu tadi).
Sifat lalat yang satu ini bukannya tidak pernah mengakibatkan masalah besar bagi dirinya. Kisah seekor pemuda lalat ini bisa menjadi contoh. Larsenn (jv. laler sek enom) adalah salah satu lalat kerajaan kahyangan yang masih sangat muda sehingga sebagai tunggangan jam terbangnya masih sedikit, atau sekalipun pernah dipakai juga masih belum untuk bepergian jauh seperti lalat-lalat dewasa. Hal ini tidak membuat Larsenn gembira karena sejauh ini ia hanya bisa bengong setiap mendengarkan obrolan lalat-lalat dewasa lainnya. Sebagai pemuda yang penuh gejolak dan selalu ingin membuktikan diri, iapun bertekad untuk menjadi lalat yang akan terbang paling jauh sehingga iapun akan mempunyai cerita paling banyak dibandingkan para dewasa sekalipun.
Tanpa mengindahkan larangan dan kondisi tubuhnya yang memang belum kuat benar untuk terbang jauh, suatu hari diam-diam ia mencuri salah satu pakaian dinas lalat dewasa lalu menyelinap keluar dari istana untuk terbang sendirian menggapai keinginannya. Larsenn, untuk pertama kalinya merasa begitu gembira dan bangga dengan dirinya sendiri. “Siapa bilang aku masih belum kuat? Buktinya sudah bermenit-menit aku terbang dan melompat tapi masih tak ada rasa capek sedikitpun yang aku rasakan! Huh! mereka hanya takut dikalahkan oleh yang muda seperti aku” pikirnya.
Berpuluh-puluh mil sudah ia lewati, kali ini ia sudah keluar dari kota kelahirannya dan mulai melewati satu, dua, tiga,… lima kota! Sayapnya mulai capek dan demikian juga kakinya. Namun walau begitu, semua masih tidak ia pedulikan. Ia ingat dengan si Largo (jv. Laler goblok), lalat dewasa yang paling lemah dan paling bodoh itu saja pernah melewati delapan kota dan bisa kembali lagi dengan selamat, pikirnya. “Tidak!” Ia memutuskan, “aku akan dan harus menjadi lalat yang pernah terbang paling jauh dari yang lainnya!”. Larsenn terus terbang dan melompat sampai suatu waktu ia telah melewati perbatasan kota ke sembilan sebelum ia mulai merasa ada yang aneh. Ia tidak bisa terbang atau bahkan melompat jauh lagi. Ia hanya bisa berjalan, berjingkat-jingkat sebelum kemudian ia sadar, sesuatu yang mengerikan telah terjadi.
Sayap si Larsenn! Ya.. sayapnya lepas sebelah! Betapa kaget dirinya menyadari hal itu sementara sejurus kemudian nyeri yang teramat sangat mulai terasa merambat di sekujur tubuhnya. Ia telah menjadi lalat cacat! Ia tak dapat lagi melanjutkan perjalanannya atau kembali ke rumahnya lagi. Ia kini sendirian dan tiba-tiba ia mulai bergidik melihat sekelilingnya. Di sekitarnya nampak bahwa ia bukan hanya sendirian tapi beberapa meter disamping kiri kanannya terlihat bangkai-bangkai lalat. “Ini adalah kuburan!” teriak Larsenn begitu menyadari dimana ia berada. Bangkai-bangkai itu, sebagian besar masih nampak bahwa itu adalah bangkai-bangkai lalat seukuran tubuhnya, lalat-lalat muda yang barangkali juga pernah mempunyai niat dan obsesi yang sama seperti dirinya. Ia terhuyung, di matanya terbayang lagi lalat-lalat dewasa yang selalu membawa banyak cerita dan oleh-oleh untuk dirinya setiap kali mereka pulang dari perjalanan jauh. Kini ia memang punya cukup banyak cerita, tapi siapa yang akan mendengarkan ceritanya? Ia kini sendirian, cacat dan tak dapat lagi pulang ke istana. Tak lama Larsenn pun seperti tak merasakan apa-apa lagi dan dunianya menjadi gelap.
Begitulah sifat keras kepala dan obsesifnya lalat yang seringkali membuat mereka kurang memperhitungkan akibat yang akan ia peroleh. Mengenai Larsenn dapat dilanjutkan bahwa ternyata akhirnya ia selamat setelah beberapa lalat dewasa saudaranya mencari dan menemukannya dalam keadaan pingsan. Ia masih tetap cacat dan bahkan menjadi bisu karena shock sampai akhir hayatnya, bagi Larsenn, kota ke 9 itu pulalah tempat terjauh yang pernah ia capai, tak ada lagi kesempatan, bahkan tak ada juga cerita yang dapat ia katakan pada teman-temannya.
Kisah si Larsenn tidak begitu lama terjadi sebelum sebuah kisah lain membuat kehidupan semua lalat berubah sampai selamanya. Adalah seekor lalat lain, kali ini bukan sembarang lalat, lalat ini adalah seekor perwira lalat yang paling dipercaya oleh keluarga raja kahyangan. Larusso (jv. Laler seng kuwoso) adalah lalat yang paling dihormati diantara lalat-lalat yang lain. Sebagai pemimpin, sama seperti kebanyakkan lalat lain, ia juga tidak sombong. Ia senang bergaul dengan siapa saja termasuk dengan bangsa semut yang pemberani dan kompak itu. Sebegitu dekatnya ia dengan para semut membuat ia diangkat sebagai bagian dari keluarga semut dan para semutpun berjanji jika kelak ia mati maka bangkainya tidak akan diperlakukan dengan sia-sia, dalam arti mereka akan langsung memakannya sampai habis dalam satu kali dudukan.
Begitulah Larusso, kharisma dan wibawanya bahkan telah membuat bangsa yang paling pemberani pun menaruh hormat padanya. Namun sekali lagi, tak ada yang sempurna, Larusso tetap mempunyai sifat keras kepala dan begitu mudah terobsesi dengan keinginannya. Sebagai pemimpin dan lalat yang paling dipercaya raja, kali ini ia mempunyai obsesi yang tak kalah megah dan bahkan mungkin kelewat batas untuk diinginkan bangsa binatang sepertinya. Larusso ternyata diam-diam menaruh hati pada putri kahyangan, sebagai tunggangan kesayangannya Larusso merasa ia telah begitu dekat dan mengenal sang putri. Bahkan dengan menutup matanya yang besar itu, Larusso dapat membedakan yang mana kaki sang putri yang melingkar diatas punggungnya dan mana yang bukan. Putri kahyangan yang menungganginya memang wanita tercantik di seantero jagat waktu itu. Larusso sendiri bukannya tak sadar dengan posisinya sebagai bawahan sang putrid, namun ia bersikeras “tak ada yang lebih besar dari kekuatan cinta, karenanya cinta akan mengalahkan segalanya” katanya yakin.
Dan keputusannya telah bulat, ia akan mengatakannya pada sang putri sendiri, tak usah peduli dengan pendapat yang lain. Suatu pagi, seperti biasa sang putri minta diantarkan berburu bersama beberapa dayang-dayangnya dan sang perwira lalatpun segera mengantarnya tanpa menunggu lama. Hutan yang lebat telah menunggu mereka, panah yang hendak dibawapun sudah disiapkan para dayang-dayang sebelum tiba-tiba sang putri berteriak,
“Tunggu!” katanya, “Kali ini kita tidak akan berburu di hutan!”
Tentu saja perintah ini membuat semua bingung termasuk Larusso sendiri
“Mohon ampun, tetapi jika tidak di hutan, kemana kita akan berburu tuan putri?” kata dayang-dayangnya
“kita akan berburu di padang pasir, kita akan berburu semut!!”
Semuanya terperangah, ada-ada saja putri yang satu ini, mana ada orang berburu semut? Namun demi mengingat mutlaknya kekuasaan yang dimiliki sang putri merekapun membungkuk dan mengangguk serempak menyatakan persetujuannya.
Semua tak ada yang berkeberatan dengan usul aneh itu, hanya satu yang masih terus bertanya-tanya dalam hati, sang perwira lalat Larusso. Mana mungkin ia memburu dan membunuh para semut sahabatnya itu? Untuk sejenak ia sedikit melupakan rencana pengungkapan isi hatinya pada si putri. Tiba-tiba sebuah elusan lembut di atas kepalanya membuat ia sadar, “Ayolah Larusso, tunggu apa lagi, tak maukah kau mengantarku berburu lagi?”. Ah! Kata-kata itu begitu lembut di telinganya dan segera saja seperti menyihir ia untuk terbang dan melompat ke sebuah padang pasir tempat tinggal semut-semut sahabatnya. Yang terjadi selanjutnya sangatlah mengerikan untuk bangsa semut, ribuan semut dibantai, dipanah, dan beberapa diantaranya diinjak sendiri oleh Larusso sekedar untuk menyenangkan sang putri yang nampak gembira dan tertawa-tawa puas di atas punggungnya.
Nampaknya kegiatan ini memang berbeda dengan perburuan biasanya, semut-semut itu tentu saja tak akan dimakan atau dibawa pulang seperti jika mereka berburu babi, kuda, kerbau atau harimau di hutan. Bangkai yang mati itu dibiarkan begitu saja tanpa penjelasan apa-apa dari yang menggagas rencana. Tengah hari merekapun semuanya lelah, sang putri turun dari atas punggung lalat itu dan ingin beristirahat sejenak di atas batu sementara dayang-dayang berada agak jauh mengawasi sekitarnya. Inilah saat yang ditunggu Larusso, sang putri masih terlihat gembira dan terus mengelus-elus kepala lalat kesayangannya itu.
“Mohon ampun baginda, bolehkab kiranya hamba bertanya sesuatu?”
“bertanya apa kau lalat?”
“Begini…”
“hmm.. pasti kau bingung dengan kegiatan kita hari ini ya?”
“eee…”
“tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan semut-semut itu, mereka mati ribuan tapi masih milyaran atau bahkan trilyunan semut lain yang masih ada di dunia ini”
ia melanjutkan “setiap hari kita berburu kuda, harimau, babi dan kerbau di hutan, tak tahukah kau berapa banyak populasi mereka yang tersisa saat ini?”
“puluhan ribu saya kira” lalat yang pandai itu menjawab
“nah, itu pula yang kumaksud, bagaimana jika dengan populasi sedemikian, masih tetap tiap hari kita bunuh mereka sementara masa reproduksi mereka jauh lebih lambat dari semut-semut itu?”
“ampun baginda, mereka akan menjadi langka dan punah”
“yah, kaupun tahu sendiri itu”
“ampun baginda, namun bukan hal itu yang ingin hamba tanyakan”
“lantas apa itu?” jawabnya dengan lembut
“ngg… benarkah baginda putri tak akan marah?”
“pernahkah aku marah padamu, Larusso sayang? Kita telah lama bersama dan kaupun telah kuanggap sebagai sahabatku yang terbaik lebih dari yang lainnya”
sang lalat kali ini semakin bertambah gugup walaupun di dalam hatinya ia merasa sangat bahagia,
“betapa harum hati tuan putri lebih dari semua bunga diatas jagat ini”
“ah.. terima kasih, tapi apa itu saja yang hendak kaukatakan?”
“oh, begini, tuan putri, semakin hari bersama tuan putri semakin jauh pula hamba menyadari betapa bijaksana dan mulianya hati tuan putri, seelok dan semulia kecantikan yang tuan putri miliki, dan hari ini…”
“ada apa dengan hari ini?” sang putri bertanya menyelidiki
“Ampunilah hamba tuan putri, hamba tak kuat lagi menahan kata-kata yang betapa ingin hamba sampaikan pada tuan putri”
“…..” sang putri hanya termangu sambil matanya memandang lurus ke mata majemuk sang lalat yang besar itu.
“hamba sangat mencintai tuan putri dan hamba ingin terus hidup bersama tuan putri seperti baginda raja dan ratu kahyangan yang mulia” Larusso hanya dapat mengatakannya sambil menutup mata, menunggu kemungkinan meledaknya kemarahan yang akan ia terima.
Reaksi yang diberikan sang putri ternyata sangat jauh dari perkiraannya. Sang putri mengernyitkan dahinya dan mulai bersuara dalam nada heran
“Apa kau bilang? Men.. cin..tai?
“Ampunilah kelancangan hamba tuan, hamba tak bermaksud…”
“aku baru dengar kata aneh itu.. Cinta? Apa itu? Apa pula hubungannya dengan ayah dan ibuku?
Kali ini si lalatlah yang terheran-heran, bagaimana bisa ia tidak pernah mendengar kata cinta? Aku kira kata itu ditemukan dan disebarluaskan oleh bangsa manusia seperti yang ia hadapi saat ini.
“coba kau jelaskan apa yang kaumaksud dengan cinta itu?”
“ah.. tuan putri, cinta kiranya adalah sesuatu perasaan yang paling mulia yang pernah dirasakan mahluk hidup apalagi manusia seperti tuanku putri, ia adalah seperti cahaya matahari yang membuat kehidupan berjalan dan sekaligus dapat membuat kita melihat betapa indahnya dunia ini tuan putri”
“ah.. terlalu absurd! Aku masih tak mengerti? Kalau memang sudah ada sinar matahari, buat apa lagi ada cinta? Tolonglah jangan menjelaskan dengan perumpamaan, coba kau peragakan! Bisakah cinta itu diperagakan?”
“ah tuan putri, tentu saja dapat”
“maukah kau memperagakannya untukku”
“ampun tuan putri, hamba tiada berani..”
“kenapa tak berani, bukankah kita sahabat? Hmmm.. atau bukankah aku ini tuanmu? Apa lagi yang kautakutkan?”.
Kali ini sang perwira lalat tak dapat menjawab, dalam hatinya ia bingung dan mengutuki dirinya yang tiba-tiba menjadi begitu penakut, bukankah ini saat yang aku tunggu? Aku dapat mengekspresikan rasa cintaku pada sosok yang paling kuimpikan dan yang paling kucintai.. dan ia telah mengizinkan.. kenapa aku malah ragu-ragu?
Dan sejurus kemudian, ia pun bergerak, didaratkannya sebuah ciuman ke bibir sang putri.
Wajah sang putri menjadi merah dan merona, bahagiakah ia? Apakah ia telah merasakan indahnya rasa cinta itu? pikir sang lalat.
“arggghh…. Apa? …Apa yang kaulakukan?????
“tuanku putriii…. Hamba Larusso sangat mencintai tuan putri..”
Sambil mengelap air liur lalat yang baru saja membasahi bibirnya, sang putri berteriak lagi
“Kau!!! Persetan dengan cintamu, lalat kurang ajar! kau begitu menjijikan, perilakumu tak ubahnya sampah! Bangkai busuk!!”
Belum sempat si lalat terkejut atas melesetnya dugaan yang ia pikirkan, sang putri segera berlari dan segera diikuti oleh dayang-dayang yang ikut berteriak-teriak kebingungan sambil mengikutinya meninggalkan lalat-lalat tunggangannya.
Malam itu, tak ada yang sanggup meredakan amarah dan tangisan si putri kahyangan yang diikuti oleh kemarahan yang lebih besar lagi dari sang raja Kahyangan.
Sidang darurat segera digelar, Larusso sang perwira lalat yang begitu percaya kekuatan cinta dan melupakan bahwa ada kekuatan yang melebihi segalanya yakni sang raja kahyangan itu sendiri, telah dihadapkan ke para pembesar dan segenap keluarga kerajaan termasuk putri semata wayangnya. Ia tak berani memandang keatas, ia merasa dirinya seakan menciut di hadapan sang putri dan keluarganya.
“Larusso!” seperti petir yang menggelegar sang raja menyebut namanya.
“Ham.. hamm.. hammbba.. baginda..”
“Sungguh tak tahu diuntung! Berapa lama aku telah memperkerjakanmu dan mengangkatmu sebagai binatang paling mulia di atas binatang lain, tapi kini apa yang kaulakukan pada putriku?”
“Ampuni hamba yang mulia..”
“tak ada lagi yang dapat kuampuni atas perbuatanmu yang menjijikan itu, kau telah menghancurkan masa depan putriku satu-satunya tanpa alasan yang jelas!!”
“Ampun baginda, hamba…”
“Kau pemberontak yang tak dapat diampuni!!”
“Hamba…”
“Coba ceritakan, berapa lama kaurencanakan pemberontakan ini? Siapa-siapa saja semut atau hewan lain yang terlibat?? Cepat!!!”
Semut? Apa pula hubungannya dengan mereka? Rasa takutnya berubah menjadi kebingungan dan tanpa sadar ditengadahkan kepalanya mencoba mencari jawaban
“Hamba tak mengerti… ahh.. putri??”
Apa yang dilihatnya di depan begitu mengejutkan, sang putri yang cantik, separuh dari tubuhnya menjadi berbadan semut. Dan raja nampak begitu besar, lebih besar dari yang ia pernah lihat selama ini.
“Jangan pura-pura tak mengerti! Kau kira kau dapat membodohi rajamu? Aku tahu kau sangat dekat dengan bangsa semut dan hari ini putriku ini membunuhi beberapa diantaranya, itupun dengan bantuanmu!! Begitu licik!! Aku tak paham dengan permainanmu…”
Dan yang terjadi baru disadari oleh sang lalat, ia dituduh telah bersekongkol dengan bangsa semut untuk membalas dendam kepada sang putri yang membantai ribuan dari mereka demi kesenangan. Dengan dalih cinta, sebuah kata yang tak dipahami juga oleh sang putri, ia mencium sang putri seperti kebiasaan para semut kepada teman-temannya, dan rupanya ludah si lalat yang dekat dengan bangsa semut itu telah terkontaminasi oleh ludah semut yang membuat sang putri perlahan-lahan berubah menjadi seekor semut.
“Sebagai raja kahyangan, pemimpin seluruh mahluk di jagat raya ini, aku memutuskan menghukum pengkhianat dan pemberontak sepertimu beserta seluruh bangsamu dengan menurunkan derajatmu! Kau kini tak ubahnya seperti yang dikatakan putriku, kau adalah sampah, pemakan bangkai busuk yang paling menjijikan!! Akan kuingatkan seluruh dunia untuk mewaspadaimu terutama mulutmu! Ciumanmu yang penuh kotoran, pembawa penyakit!! Sekarang pergi kau!! Jangan pernah sekalipun kulihat wajahmu lagi!!
Wajah sang raja begitu mengerikan dan tubuhnya serta tubuh manusia-manusia yang lain seakan semakin membesar. Sang lalat itu kini menyadari, ia telah menjadi begitu kecil, hanya sedikit lebih besar dari semut. Rasa takut dan kesedihannya telah membuat ia menciut, ia tak punya lagi cinta, sesuatu yang membuatnya merasa sederajat dengan mahluk-mahluk lain termasuk tuannya sendiri. Ia pun terbang keluar diikuti seluruh bangsa lalat yang terbuang itu, mereka semua telah menciut, tak punya apa-apa dan seperti kutukan yang dijatuhkan raja, setiap melihat sampah atau sisa makanan atau bangkai atau segala sesuatu yang baunya menusuk telinga mereka menjadi begitu berselera. Hal itu juga yang menyebabkan lalat modern kini menjadi sedemikian bodoh karena makan tanpa gizi dan tak lagi memperoleh pendidikan yang layak karena kemiskinan mereka.
Lain lagi dengan kisah sang putri, setelah beberapa hari ia pun bermutasi menjadi seekor semut, namun tidak seperti semut yang lain, tubuhnya sedikit lebih besar. Oleh titah raja pula, dengan segala otoritas yang dimilikinya, ia menitipkan putrinya pada bangsa semut yang terpaksa menerima orang yang telah membunuh bangsa mereka dan bahkan mengangkat sang putri menjadi ratu mereka. Dan bangsa semut adalah bangsa yang selalu menepati janji, mereka tak pernah mencoba menggulingkan kekuasaan sang putri yang dinobatkan secara paksa oleh sang raja untuk menjadi pemimpin mereka. Sejak itu juga dengan pengetahuan ketatanegaraannya, sang ratu membagi para semut menjadi semut pekerja, prajurit dan lainnya, sementara sang putri hanya bertugas melahirkan anak tanpa rasa cinta yang belum juga ia pahami, sambil bersantai dan makan sepuasnya. Seperti juga janji yang diikrarkan pada lalat, para semut juga tak pernah makan bangkai lalat dengan bersisa sampai saat ini.
Itulah sebenarnya sebuah mitos mengenai para lalat yang mungkin tak nampak seperti binatang yang mempunyai kisah hidup, namun sebenarnya menyimpan begitu banyak cerita dalam jejak langkah kehidupannya dan lalat-lalat akan terus memiliki cerita sama seperti kita.



Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

and it starts..

dan perjalanan akan segera dimulai.. sebenarnya bukan dimulai, kita telah sampai di tengah-tengahnya, barangkali malah sudah dua pertiganya, tapi akupun tak tahu pasti, barangkali ini juga baru seperempat.
Ya.. yang penting kita harus segera melanjutkannya, dan lalat itu telah bersiap-siap, sayapnya telah kuat, tubuh dan matanya berkilauan, kehijau-hijauan, saatnya untuk berangkat..

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...


Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!