perjalanan lalat hijau

LALAT HIJAU, sebuah catatan perjalanan untuk beberapa waktunya ke depan


Catatan Nyaris Seminggu #15 (end)


karat copy
Originally uploaded by lalat hijau.

Sancaka, 21 Desember 2006

Sejujurnya memang kelihatan seperti agak "gimana" menulis di buku kecil seperti ini sementara orang lain di sekitar kita sedang menikmati pemandangan di luar jendela, merokok, berbincang-bincang dengan penumpang di sebelahnya, tidur, sms an, makan atau minum hingga mendengarkan musik. Tak terkecuali jika aku mengeluarkan buku. Tapi itu tak masalah buatku. Penumpang di sebelahku kali ini seorang bapak lagi. Pendek, gempal, botak dan berewokan serta rasanya belum sempat mandi pagi ini, wajahnya mengingatkan aku pada seorang aktor Indonesia tapi lupa siapa namanya. Ia jelas lebih ramah daripada bapak yang berada di sebelahku hari Jumat lalu. Basa-basi rutin, tentang tujuan turun. Namun aku sangat mengantuk kali ini. Mencoba tidur dan walaupun tidak ada lagi tas besar di depan kakiku, tidur masih susah juga dilakukan di bangku kereta kelas bisnis. Namun lumayan bisa tidur juga untuk beberapa menit. Buku hanya terbaca beberapa halaman. Selalu seperti itu. Aku bisa menghabiskan banyak bab di perjalanan berangkat tapi selalu tidak bersemangat lagi di perjalanan pulang. Tak lama, perut lapar dan tenggorokan seperti hendak panas dalam sejak kemarin. Sayangnya es jeruk dan semua minuman dingin sudah habis, kata pramugara kereta. Sedari tadi aku memang mencoba menunda hingga tak tahan lagi seperti sekarang.

Hey, beberapa kilometer sejak melewati stasiun Madiun, Paron bahkan sampai beberapa puluh meter sebelum Balapan, di luar terlihat banyak sekali kupu-kupu. Ratusan atau ribuan, pokoknya kebanyakan terbang bersama-sama sekitar belasan. Warnanya semua hijau, putih atau kuning seperti daun. Tiap kereta bergerak melewati sawah, kupu-kupu itu terlihat terbang, beberapa ada yang hampir masuk ke dalam gerbong. Mungkin kupu-kupu itu ingin mengejar kereta atau laju dan desau angina yang dihasilkan besi tua ini yang telah menakutkan kupu-kupu itu.

Aku memang tak pandai mendeskripsikan sesuatu yang sederhana menjadi indah-indah. Jika menjadikannya lebih muram mungkin aku lebih bisa. Anak-anak kecil di bangku seberang malah lebih dapat melakukannya, mereka menamai daerah-daerah yang dilewati kereta kami itu dengan nama “kebun kupu-kupu”.

NB: setelah aku sampai di rumah, sebuah surat yang belum dibuka dari House of Sampoerna Surabaya sudah ada di atas meja ruang tamu. Kubuka, isinya bukan sesuatu yang mengejutkan (yang lebih mengejutkan adalah kenapa mereka mengirim lewat pos dan bukan email saja). Aku tahu mama dan kakakku kemungkinan besar sudah membayangkan yang muluk-muluk dan optimis. O, mandi dan tidur kuharap bisa menyegarkan.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Catatan Nyaris Seminggu #14


oglangan
Originally uploaded by lalat hijau.

Gubeng 21 Desember 2006, mulai hampir sampai lebih dari 07.30

Lumayan ramai hari ini. Kalau dilihat dari penampilannya, sepertinya kebanyakan adalah penumpang kelas bisnis. Karena tadi datang lumayan pagi, dan Djohan ternyata memang selalu bangun pagi, bahkan saat satu kali ia pulang pagi pun bangunnya masih lebih pagi dari aku, aku masih punya cukup banyak waktu di sini. Aku tadi sempat menyeruput Milo dulu di salah satu stan di stasiun ini. Masih tetap mahal, tapi apa boleh buat? Mengingat donat yang ingin kubeli juga belum datang. Cukup nikmat. Selesai. Tiba-tiba musik dan corong suara pengumuman kereta berhenti. Listrik mati di Stasiun Gubeng. Muncul perasaan atau semacam kekuatiran yang selalu datang setiap saat listrik mati. Takut menjadi buta, takut tuli, takut bisu, takut impoten, takut bosan, takut bodoh, takut terlihat jelek, takut tak ada teman, takut salah, takut rugi, ternyata memang sudah sedemikian parah ya? Tapi untuk kasus yang kali ini berangsur-angsur ketakutan itu bisa dinetralisir, paling juga akan ada yang bawa loudspeaker.

Ditunggu, kereta memang telat. Namun yang memberitahu akan datangnya kereta malah cuma seorang kuli angkut yang mengatakannya juga dengan nada datar saja. Tapi itupun sudah cukup. Barangkali pengumuman dari speaker yang biasanya itu justru yang berlebihan. Ah aku tidak merasa begitu. Dan kenapa mendadak aku jadi ingat kembali pada Dr. Shin Nakagawa? John Cage? Musik alam?

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Catatan Nyaris Seminggu #13

Hari ini hari terakhir meski bukan pagi terakhir di Surabaya, kemarin aku sudah membeli tiket pulang untuk besok pagi. Sengaja pilih pagi agar bisa sampai di Solo siang hari sehingga aku dapat beristirahat lebih lama sebelum kembali masuk kantor sementaraku. Hari ini aku memilih untuk tidak pergi kemana-mana saja meski tadi sempat ingin pergi naik bus ke perpustakaan Petra saja. Tapi badanku masih seperti habis fitness ditambah pergerakan tubuhku yang begitu lambat ini nampaknya akan dapat membuat siang dan bahkan sore atau malam hari ini akan terasa berlalu begitu cepat. Masalah kecil masih pada baterai hape yang kali ini benar-benar sudah mampus sebelum aku sempat membaca sms yang masuk. Masalah besar ada pada nilai nol dan buang-buang duit selama hampir seminggu di kota ini. Cukup mengeluhnya. Mungkin aku tidak akan mengunjungi kota ini lagi sampai waktu yang lumayan lama. Kecuali jika ada undangan pernikahan atau malah lelayu atau karena ajakan. Tapi jika inisiatif sendiri, rasanya tidak dulu.

Sejujurnya selama ini niatku ke Surabaya tak lebih karena merindukan melihat tempat-tempat, orang-orang atau perilaku yang menjadi pemandangan sehari-hari selama lebih dari 5 tahun yang begitu penuh sejarah, setidaknya untuk usiaku saat ini. Ya, aku memang jarang bepergian dan jarang bertemu banyak orang sebelumnya. Itu alasan lain yang membuat aku demikian sentimentil. Tapi rupanya tetap tidak bisa. 5 tahun lebih beberapa bulan masih kalah jauh dibandingkan masa puluhan tahun meskipun yang kedua ini tidak aku sukai. Dan mungkin aku sudah termakan bualanku sendiri tentang filsafat pelancong. Aku kira bagian-bagian diriku yang ada di Solo makin lama makin kuat. Bukan homesick tapi kegentaran akan tempat-tempat baru. Hanya mereka yang benar-benar kuat (salah satu yang aku kenal boleh kusebut Muhaimin) yang bisa mengatasinya. Itulah satu hal yang membuatku kagum padanya.Benar-benar bisa melawan kemapanan meski sudah menikah dan berkeluarga. Aku ngelantur kemana-mana, dan kupikir aku juga tak tahu banyak soal perasaan Muhaimin yang sebenarnya.

20 desember 2006, 13.30 ke atas

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Catatan Nyaris Seminggu #12


kacamripat
Originally uploaded by lalat hijau.

Tangan dan wajahku gosong, sementara aku lihat di cermin tatapan mataku terlihat seperti orang juling. Apakah memang begitu kondisi orang jika dipanggang? Kalau melihat bagaimana tatapan mata ikan yang sudah digoreng, mungkin itu benar. Seharian aku mengelilingi Surabaya, ada kalanya juga tanpa arah dan kadang juga di tengah jalan mendadak mengurungkan niat untuk pergi ke suatu tempat. Jika kemarin aku naik bus, angkot, becak dan jalan kaki, hari ini aku mendapat kesempatan meminjam motor Djohan. Suzuki Satria, sepeda motor sport dengan kopling tangan. Bahu dan pergelangan tangan pun sangat capai karena kekurangbiasaan dan kekurangbisaanku mengendarai sepeda motor yang membuatku harus sedikit menunduk dan berat badan lebih banyak berpusat pada kekuatan tangan (demi menjaga agar mesin tidak mati). Aku memang tidak layak mengeluh setelah mendapat hak istimewa seperti itu, dan tentu banyak yang akan bosan mendengarkan orang yang terlalu mengasihani diri sendiri mengoceh tentang berbagai macam perasaan negatifnya. Yang jelas, dari perjalananku hari ini aku kembali tidak mendapat apa-apa yang berkaitan dengan tujuanku untuk mencari info seputar lowongan kerja di Surabaya. Masih marketing, sales, graphic designer dan guru. Aku makin yakin bahwa yang salah adalah aku sendiri. Masalah tuntutan untuk mampu berkomunikasi dengan baik, menguasai program-program desain yang aku masih buta, serta mengajar yang aku masih percaya sebagai bukan kemampuanku. Aku memang sempat sombong dengan mengatakan “Surabaya menolakku”. Seolah aku memiliki kemampuan luar biasa untuk satu atau dua keterampilan istimewa, namun tidak ada institusi atau perusahaan di Surabaya yang membutuhkannya. Seakan Surabaya telah melewatkan bakat potensial ini untuk memberi kontribusi yang pasti bagus untuk mereka. Omong kosong! Dan aku bilang ini bukan agar dikasihani dan dihibur oleh orang lain. Ini suatu pendapat atau kesimpulan yang serius, kemampuan yang aku miliki masih jauh untuk bersaing di kota-kota besar. Beberapa waktu yang lalu aku mengecek kembali hasil terjemahanku yang pernah kukirimkan ke sebuah penerbit (kecil) dari Jogja sebagai semacam portfolio. Kaku, tak jauh beda dengan terjemahan penerbit Jalasutra yang aku kecam sebagai salah satu yang terjelek. Bahkan kalau dilihat dari topik yang diterjemahkan, penerjemah yang bekerja untuk Jalasutra mungkin lebih di atas karena topik buku-buku mereka lebih rumit. Kemarin aku juga sempat melihat sebuah buku terjemahan cerpen-cerpen karya Lu Xun. Aku punya versi bahasa Inggris buku itu, salah satu cerpennya pernah coba aku terjemahkan (belum selesai hingga kini) dan dengan membandingkan keduanya, aku dapati aku masih melakukan beberapa kesalahan fatal. Bagaimana dengan editing? Aku kira hanya bisa diadu dengan orang awam saja. Membandingkan dengan bagaimana temanku yang juga editor dan bekerja di sebuah penerbitan, aku merasa bahwa aku masih bukan editor yang baik. Terlalu sering memperkosa teks dan masih sulit melihat yang mana kekhasan gaya menulis orang (yang tidak boleh diacak-acak semaunya) dan mana yang bukan. Aku sebenarnya juga terlampau banyak alasan dengan enggan menjadi seorang jurnalis atau wartawan surat kabar. Soal jam kerja yang bisa tidak teratur dsb. Aku mungkin juga lupa bahwa wartawan atau jurnalis atau reporter harus memiliki kemampuan mengorek dan mewawancarai narasumber yang mungkin sibuk atau enggan diwawancarai. Sedangkan aku tidak melatih dan mengembangkan kemampuan itu. Apakah mungkin kelasku hanya reporter koran kuning yang bisa menulis sesuatu berdasarkan bayangan dan kata orang lain saja? Aku sempat menyebut lebih suka jadi jurnalis majalah saja. Majalah apa? Bahkan setelah mengamati dan membandingkan tiga majalah musik (Hai, Trax dan Rolling Stone), tiba-tiba kembali nyaliku ciut. Yang lucu, sempat juga aku berpikir aku paling cocok menjadi konsultan tapi lewat tulisan. Apa itu? Seberapa berharganya aku hingga merasa punya hak untuk itu? Hmm, talentaku saat ini mungkin adalah mencela diri sendiri lewat tulisan pendek.

19 Des 2006 – 20 Desember 2006
23.30-00.30

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Catatan Nyaris Seminggu #11


sb
Originally uploaded by lalat hijau.

Aku sedang di rumah keluarga Djohan di Kranggan, lokasi yang menjadi setting tempat ngekosnya Minke. Wilayah ini bagiku bisa disejajarkan dengan wilayah Laweyan atau Kratonan di Solo. Tua, dan sepertinya setiap bangunan bahkan batu-batuan di sana masing-masing memiliki kisah yang sangat panjang dan menarik. Di perkampungan ini aku rasa masih ada kebiasaan memasang pagupon alias rumah untuk burung dara, sesuatu yang lagi-lagi khas kehidupan kampung Surabaya. Apa kekhasan kampung Surabaya? Seingatku, sosiolog Lukas Musianto mengatakan salah satunya adalah kampung dimana komunitas masyarakatnya bersifat paguyuban, sebuah sistem kemasyarakatan yang lebih egaliter dibandingkan masyarakat di Jawa Tengah sebagai pusat budaya Jawa versi yang lain. Tokoh yang juga dikenal sangat kompeten dengan sosiologi masyarakat Tionghoa Surabaya itu bahkan mengatakan Surabaya bukanlah kota terbesar kedua di Indonesia (karena dibanding luas wilayah seluruh Jakarta yang menduduki nomor satu, Surabaya mungkin cuma seperempatnya saja), namun Surabaya adalah kampung terbesar di Indonesia.

Lalu apa yang aku maksud dengan nuansa historis kampung Kranggan yang aku sebut di atas? Coba kita lihat, Kranggan sangat dekat dengan Tunjungan yang menjadi daerah paling terkenal di Surabaya, sedangkan kalau memang sejarah yang diajarkan di sekolah memang akurat, di situ juga ada hotel Majapahit (dulu hotel Oranje atau hotel Yamato) tempat berlangsungnya aksi heroik yang diperingati tiap tanggal 10 Nopember. Itu juga salah satu sejarah yang paling terkenal dari Surabaya. Memang, aku juga berpikir daerah seperti Tanjung Perak atau Wonokromo atau Jagalan juga tak kalah bersejarah, meski kurang banyak disebutkan di buku diktat sekolah. Dan Kranggan juga bukan hanya tentang masa lalu. Saat ini, ciri khas dari Surabaya sebagai sebuah kota industri juga dapat dilihat di sini. Keluar dari perkampungan yang khas Surabaya ini, sekarang sudah dibangun (lagi-lagi) sebuah mal atau pusat perbelanjaan bernama aneh BG Junction. Beberapa puluh meter dari situ juga terlihat sebuah proyek pembangunan yang menurut Djohan juga untuk dibangun sebuah mal yang lain. Aku benar-benar heran sebab beberapa ratus meter dari situ juga sudah ada Tunjungan Plaza dan di sisi lain ada Surabaya Plaza (atau Delta Plaza) dan boleh juga disebut Tunjungan Center sebagai pusat penjualan barang elektronik. Pembangunan gedung-gedung besar yang aku lihat selama sekitar seminggu di kota ini memang kebanyakan dipakai untuk pusat perbelanjaan. Pengecualian adalah Jatim Expo di jalan Ahmad Yani, yang aku yakin itu nama yang sama yang tertulis di papan dekat bakal bangunan di wilayah Wonokromo beberapa tahun lalu, ah mungkin sudah ada perubahan rencana. Belum lagi pemugaran bangunan lama, seperti pasar Wonokromo yang dulu pernah terbakar (atau dibakar?) sehingga kini sudah berubah rupa menjadi bangunan baru dengan tulisan namanya mengingatkanku pada karakter font nya Disney.

Meskipun sekarang para remaja gaul pun sudah banyak yang membaca karya-karyanya Pram (aku rasa tetralogi juga termasuk, paling tidak Bumi Manusia atau Anak Semua Bangsa), mungkinkah generasi berikutnya, misalnya anak-anak dari generasiku, masih dapat mengenali Surabaya yang diceritakan dalam kisah Minke? Apakah aku saja yang terlalu berlebihan? Bisa jadi, karena aku pun bukanlah orang Surabaya dan sejujurnya tidak lebih mengenal Surabaya dan kultur masyarakatnya dibanding dengan sejarah dan karakter masyarakat di kota kelahiranku sendiri. Yang jelas, sebenarnya aku juga agak penasaran dengan bagaimana pandangan orang Surabaya asli melihat pembangunan begitu banyak mal. Aku bahkan tidak bisa meraba karena pembangunan mal tersebut sepertinya baru gencar terjadi setelah aku tidak lagi tinggal di sana. Kacamataku bisa dibilang kini sudah kembali ke kacamata orang Solo atau Jawa Tengah. Karakter orang Surabaya jelas beda dengan orang Solo. Surabaya juga sudah memang sejak lama menjadi kota dagang. Pembangunan dan kondisi mal-mal (dalam hal kunjungan orang-orang dan ramainya stan) di Surabaya juga sangat beda dengan mal di Solo yang baru dibangun dua saja, penyewa stannya hingga kini belum juga penuh, bahkan salah satunya bisa dibilang masih sangat kosong. Daya beli masyarakat serta lalu lintas perekonomian yang berhubungan dengan kota-kota lain juga berbeda.

19 Des 2006, di atas 22.30

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Catatan Nyaris Seminggu #10


Untitled
Originally uploaded by lalat hijau.

19 Desember 2006

Bangun tidur aku masih tak tahu akan melakukan apa hari ini. Namun siang harinya, aku mendapatkan kesempatan meminjam motornya Djohan sedangkan dia akan memakai vespanya yang baru saja diperbaiki. Isi tangki sampai penuh dan pompa ban depan serta belakang aku kira sudah cukup. Tiba-tiba ada lagi pesanan/desakan untuk mengirimkan STNK motor di rumah yang terbawa olehku. Disarankan lewat TIKI, meski aku tak yakin tahu dimana kantor pusatnya TIKI di sini. Akupun harus mampir ke Gramedia Basuki Rahmat untuk beli amplop. Keluar dari situ ternyata ban motornya bocor. Saat aku menulis ini, aku sedang menunggu di ban ditambal di dekat toko buku itu. Mungkin ban itu tak kuat melawan jalanan Surabaya yang membara dan hawanya yang waduh! Bikin acara naik bis kemarin serasa lebih nyaman. Ternyata bukan karena panas. Paku kecil sempat melukai si tukang tambal ban, ia pun menunjukkan luka dan darah yang keluar dari jempol kirinya itu. Aku rasa karena hawa yang begitu panas dan terik matahari yang membakar itu membuat si tukang tambal ban sering mengeluh. Ia mengeluh lagi betapa susah memasang ban motornya Djohan itu. Aku tak bisa memikirkan tanggapan yang tepat.

Aku memang tak melupakan panasnya sengatan matahari di kota ini, namun sedari dulu memang hal itu selalu pantas dikeluhkan. Tadi aku lihat di WM, lowongan yang ada tak begitu jauh beda dengan yang di Petra. Guru saja. Setelah ini rencananya aku akan ke Unair, meski dalam hati agak wegah juga. Panas seperti ini membuat aku membayangkan seandainya bisa ngadem saja di Gramedia, apalagi ada yang seksi di dalam situ tadi.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Catatan Nyaris Seminggu #9


intimidate
Originally uploaded by lalat hijau.

18 Desember 2006

Beberapa mal, beberapa bus, beberapa angkot, beberapa becak dan beberapa lorong (aku belum menemukan kata yang tepat selain lorong), di situ tatapan mata harus diatur dan disesuaikan. Tak bisa (atau tak berani) aku menatap siapapun saat berjalan di lorong-lorong trotoar Wonokromo. Mungkin ada baiknya Togamas di DTC sudah tutup jam 18.00 sebelum aku sempat masuk ke dalam, sebab jika tidak, aku mungkin akan menyusuri lorong-lorong itu di jam 21.00. Entah cerita-cerita dan kabar-kabar tentang daerah itu nyata atau tidak, setidaknya aku mempercayainya. Sedangkan di mal, justru sebaliknya. Sedapat mungkin beradu tatapan mata.

Tapi apa mal atau pusat perbelanjaan (atau perdagangan) yang sok Jepang, sok Hong Kong atau sok Singapore itu tetap menentukan. Kau boleh tidak rasis. Tapi rasisme dan stereotype tetap sulit sekali dilenyapkan karena akan ada bahaya lain jika hal itu lenyap. Bayangkan jika ada orang menganggap bahwa segala jenis manusia di bumi ini tidak ada ciri khasnya, itu ahistoris kan? Yang penting adalah mengeliminir sebanyak mungkin yang negative dan memiliki semangat mendobrak segala stereotype yang melekat di diri, kaum, etnis atau bangsa kita. Menurutku begitu.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Catatan Nyaris Seminggu #8

Perpus 18 Desember 2006, sekitar jam 14.00 ke atas

Perpus adalah satu yang masih selalu kurindukan dari Petra. Sedari tadi aku berputar-putar, jongkok berdiri, mencari entah apa. Dari rak buku sosiologi, filsafat, sejarah, sastra, biografi, popular fiction hingga rak buku tandon yang aku tak tahu artinya. Sebelumnya, tentu aku melihat-lihat koran dulu untuk melihat lowongan di media yang tidak diedarkan di Solo, tapi hasilnya masih nihil.

Saat ini, di deretan meja di dekat rak buku-buku sastra aku melihat seorang gadis kecil. Tidak benar-benar kecil mengingat ia adalah mahasiswi, namun daripada memakai istilah gadis muda aku lebih memilih gadis kecil untuk menghindari kesan ketertarikan secara seksual. Gadis kecil itu sedari tadi duduk diam sendirian di kursinya. Dua buah buku ada di depannya (salah satunya aku kenali sebagai Cala Ibi karya Nukila Amal). Ia nampak sangat menikmati waktu-waktunya bersama buku-buku itu. Dan saat aku memutuskan membawa duduk “Country of Origin” karya Edgar Du Perron, (sebuah novel lumayan tebal yang jelas tidak akan selesai aku baca dalam waktu seminggu sekalipun), ia sudah selesai dengan Cala Ibid an tengah membaca yang satunya.


booklib
Originally uploaded by lalat hijau.

Apakah gadis kecil dengan mata serupa orang yang habis menangis itu anak sastra juga? Andai kata jurusan sastra berhasil memperoleh mahasiswi yang mau merelakan waktunya hingga seharian untuk menyendiri bersama buku-buku, aku rasa tentu ia bukan golongan mahasiswa yang diceritakan Reza, golongan mahasiswa yang pernah mendapat kiriman surat penawaran dari Petra untuk masuk dan menginap saja di ‘kandang ternak yang kosong’ yaitu jurusan sastra Inggris.

Ia ke belakang sambil mengusap hidungnya yang sepertinya mencair. Entah apakah ia terharu membaca kisah dalam buku yang ia pegang. Aku pun sempat-sempatnya berjalan ke mejanya hanya untuk menengok buku apa yang sedang ia baca. Aku lihat judulnya “Detik Terakhir”. Aku tak tahu buku karangan siapa, yang jelas aku yakin buku itu telah difilmkan dengan pemeran Cornelia Agatha. Hal itu tiba-tiba sempat membuatku kecewa. Namun aku memang belum pernah membaca kedua buku yang dipilih gadis kecil itu, sehingga aku bingung juga kenapa aku merasa kecewa? Lagipula apa enaknya membaca buku-buku sastra nobel atau yang revolusioner, di perpustakaan sore-sore begini? Aku kira untuk mengisi waktu, itu sudah lebih dari cukup dan tentu dia lebih daripada aku yang makin lama hanya jadi fetish buku saja.

Waktu berjalan lumayan cepat di sini. Tadi baru aku sadar jika ternyata buku-buku sastra bagus (tapi bukan yang kategori sastra klasik) seperti bukunya Du Perron tadi atau Gao Xing Jian, dll kebanyakan adalah sumbangan Pak Step dan Bu Anita. Nampaknya aku masih akan mengurungkan niat membawa ‘souvenir’ dari perpus Petra ini. Jujur, semula aku benar-benar ingin menjadi klepto, tentu saja untuk buku-buku yang sudah banyak kembarannya. Mungkin nunggu koleksinya tambah banyak lagi dulu.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Catatan Nyaris Seminggu #7

Petra, 18 Desember 2006, jam 12.30 lebih


Ini memang hari Senin, namun kampus terbilang sepi, atau mungkin karena ini masa-masa UAS. Aku tak berharap bertemu siapa-siapa. Lebih baik menjadi anonim tapi dengan pengenalan lokasi yang cukup baik. Sebenarnya sudah malas jika harus membicarakan soal peraturan anti rokok. Memang di gedung B aku lihat ada satu yang merokok. Dari jauh tampilannya seperti Gerry, dengan topi, kaos hitam, jeans dan kulit yang gelap sedang mengobrol dengan beberapa orang, apalagi baru saja ia berteriak sambil tertawa dan menyemburkan asap “Anjeeng…!!” Wah, jangan-jangan setelah ini ada datang mahasiswa lain yang berbadan kurus dengan rambut keriting cepak dan mata sayu atau mahasiswi dengan kulit putih, rambut panjang agak ikal dan bibir basah agak kuncup, datang menghampirinya. Aku mungkin akan disangka gila karena tertawa terbahak sendirian dari sini. Tapi itu tidak terjadi. Kampus masih sepi.

Makin banyak papan-papan penunjuk, ini gedung A, B, C, D dst. Aku tak tahu kenapa sampai sekarang tidak diberi nama yang lebih baik saja gedung-gedung itu daripada sekedar huruf-huruf yang terkesan seperti blok sel tahanan. Aku baru sadar juga sih soal hal ini. Segelintir mahasiswa yang cangkruk di gedung B kebanyakan mahasiswa KTI, cuma sepertinya wajah-wajah mereka lebih gembira. Tidak seperti yang disinyalir Gerry untuk angkatan sebelumnya, yang menurut dia punya tatapan mata yang penuh curiga.
Aku menulis ini di dekat pintu pusat karir yang sedang istirahat makan siang. Ada iklan sebesar pintu “Professional in Career Competence and Professional in Career Character.” Slogan yang artinya cukup membingungkan bagiku. Slogan memang sekedar slogan. Tapi cukup mencolok mata bagi seorang alumni yang sedang mencari kerja seperti aku. Tentu saja mereka tak butuh pendapat dari alumni seperti aku. Apakah mereka memiliki program yang aku tak tahu yang bisa membuat mahasiswa menjadi seorang karyawan menengah yang punya kompetensi dalam bidang karirnya? Lantas Career Character itu yang bagaimana? Aku mungkin akan tertarik jika di iklan itu juga dijelaskan artinya.
Ya ampun, aku dulu toh seorang mahasiswa yang cukup baik selama di sini. Setidaknya di permukaan, rasanya aku terlihat tidak terlampau dalam dan lama terlibat dalam aktivitas kelompok mahasiswa (yang jumlahnya tidak banyak itu) yang menjadi antitesis dari aturan-aturan ganjil universitas. Di ruang kuliah pun aku bisa dibilang sama saja atau malah lebih pendiam dibandingkan dengan mahasiswa lain yang kuliah agar bisa kerja jadi orang kaya atau agar bisa jadi istri orang kaya sekalipun. Aku tidak pernah merasa dimusuhi universitas (atau tidak ingat pernah memiliki pengalaman khusus yang personal, yang menunjukkan resistensi mereka terhadap diriku), barangkali karena aku memang terlihat tak lebih dari seorang penggembira saja. Aku bilang ini meski memang memalukan, dan tentu bukan dengan bangga.

Masih ada beberapa orang lalu lalang membawa gitar bolong. Tentu mereka bukan para rockstar wannabe. Oh, aku baru ingat kalau hari Senin ada jam kebaktian kampus. Hmm, sebenarnya lagi-lagi aku bosan untuk komplain dengan kekristenan berlebihan yang diterapkan di kampus ini. Sudah jelas tak ada gunanya berdiskusi dengan kaum fundamentalis. Serangan atau tindakan (action) adalah satu-satunya bahasa yang mereka mengerti. Tentu mereka akan melawan balik namun paling tidak hal itu akan membuat masyarakat tahu yang terjadi. Mungkin juga akan tumbuh kesadaran dari mereka yang ikut menelan dampak yang dilakukan oleh para fundamentalis tersebut. Tindakan yang dilakukan memang bukan untuk mereka namun untuk publik luas yang memiliki kemampuan untuk memberikan hukuman yang tentu akan mereka rasakan.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Catatan Nyaris Seminggu #6

17 Desember 2006


Bangun di jam biasa (sekitar pukul 9). Kali ini musik yang disetel entah kenapa kok Britpop.
Siang hari satu bunyi halilintar yang menyambar diikuti oleh listrik yang mati. Beberapa jam lewat sebelum Djohan mengajakku ke BG Junction sebab katanya ada semacam ‘freak show’. Jalan kaki menuju mal baru yang lebih sering disebut Carrefour, ternyata memang dekat sekali. Dengan pakaian biasa saja, bahkan Djohan sering diperhatikan banyak pengunjung dengan tatapan aneh karena dia memakai kaos junkie, sweater dan celana pendek (bukan ¾ atau semacamnya, celana pendek biasa) bercorak pantai yang sudah lusuh. Terutama karena celananya itu. Kunjungan ke ‘freak show’ yang HTM nya sebesar lima ribu rupiah itu hanya beberapa menit saja karena Djohan merasakan ‘suasana yang berat secara spiritual’ di dalam ruangan kecil yang didominasi warna hitam itu. Dan yang ditunjukkan memang tidak banyak (selain aku pribadi ada yang merasa tidak tega melihatnya), Jagur, raksasa yang tingginya 2,5 meter, gadis kecil berwajah monyet, anak kecil setinggi botol aqua dan binatang langka yang sebenarnya tidak langka dan tukang ramal dan jasa memasang susuk.

Sore harinya, ke acara perpisahan atau surprise party nya Carol, giliran aku yang saltum. Di perjalanan berangkat dan pulang aku pun kembali melihat jalanan yang penuh gemerlap, baliho-baliho iklan, beberapa bangunan mal baru dan calon bangunan mal baru lainnya. Sepertinya itu ‘freak show’ yang lain, atau mungkin kamilah obyek ‘freak show’ itu? Tiba di sana sudah hampir pukul 19.00 padahal di SMS nya Utik sudah diperingatkan agar datang tepat sebelum jam 18.00. Sempat kesasar di tempat lain (walau ternyata bukan hanya aku yang kesasar mendatangi pesta lain di dekat kolam renang Agis), konfirmasi ke Utik yang tidak datang karena ternyata sedang ada masalah keluarga. Di dalam banyak teman yang tidak datang, begitu yang kudapat dari Aulia Reza. Uyab, Malonda dan Nenny, Utik, Dwi, dan yang sepertinya kelupaan macam Victor dan Sondit. Bangku yang telah disiapkan banyak yang kosong. Sementara beberapa yang datang mungkin bukan yang cukup akrab denganku, bahkan ada yang sampai sudah lupa namanya. Jadi Reza banyak wira-wiri dan ia juga mengaku kecewa karena banyak yang tidak datang. Aku juga agak kecewa meski untungnya Reza cukup banyak membawa cerita dan gosip seputar teman-teman lama serta keluh kesah dan kenyataan yang harus ia terima sebagai dosen di Petra. Dan info-info baru itu beberapa nyaris memudarkan semangatku untuk kota ini. Pulang dari situ, lagi-lagi capek dan sudah ngantuk seperti kemarin.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Catatan Nyaris Seminggu #5

The Big Wedding

Aku rasa inilah pesta pernikahan terbesar yang pernah kudatangi. Dengan menyewa 3 selebritis yang biasa kita lihat di TV, meskipun sebenarnya hal itu juga tidak begitu membuatku bersemangat. Yang membuatku bersemangat tentunya adalah bertemu teman-teman lama.


wed
Originally uploaded by lalat hijau.

Untungnya aku juga semeja dengan orang-orang yang cukup akrab jadi tidak ada dari antara kami yang menjadi pendiam (kecuali suami Ratna atau yang paling ‘diam’ mungkin Ratna sendiri serta Erlin-nya Jatmiko). Lainnya Bram dan Dinda, Aria, Jatmiko serta Mak dan adiknya (oya ini satu lagi). Mungkin yang agak terpisah adalah Teguh, Indra dan Djen Sing yang karena telat harus duduk di meja yang jauh dari kami. Meski begitu, Djen Sing toh masih melakukan kebiasaannya sejak kuliah. Jalan-jalan kesana kemari seolah dia panitia yang sedang sibuk, padahal ia adalah salah satu yang menjadi bahan pembicaraan dan ledekan atas pengalaman buruk yang baru saja ia alami.

Soal selebritis tadi. Dasar orang daerah. Para selebritis yang menjadi bintang pertunjukan itu (kalau boleh disebut pertunjukan) tetap saja menjadi bidikan kamera hape maupun digital. Tak ubahnya sebuah konser. Pesta pernikahan menjadi sebuah show. Menurutku ini fenomena yang mungkin sudah sering dibahas namun rasanya cukup menarik juga. Orang-orang kaya dari daerah tiba-tiba berebutan seperti ada bagi-bagi sembako gratis. Namun ini lebih konyol sebab rebutan ini cuma karena ada orang yang sering dilihat di kotak TV datang. Untuk apa juga foto-foto selebritis itu nantinya selain tetap berada di hape atau disimpan di komputer atau dipasang di friendster? Kami pulang dari situ sekitar pukul 22.00 atau bahkan nyaris pukul 23.00 baru sampai di rumah Djohan karena lagi-lagi aku tak becus menjadi navigator kalau memakai mobil.

Tengah malam, hujan turun dengan bunyi halilintar menggelegar, namun tidur makin terasa nyenyak karena udara juga jadi lebih sejuk. Oya, aku lupa (sengaja) bawa charger, tapi ternyata sudah tidak ada charger nokia di sini. Hape terpaksa sering kumatikan untuk menghematnya.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Catatan Nyaris Seminggu #4

Surabaya, rumah Djohan 15 – 16 Desember 2006

Rumah Djohan tidak banyak berubah, demikian pula kamarnya. Meskipun penghuninya adalah orang yang sangat sering berganti penampilan, mungkin lebih sering daripada Noordin M. Top. Malam itu kami hanya mengobrol soal beberapa hal, novel grafis, komik dan interpretasi dari beberapa lagu yang kubawa dan coba kusetel. Tentu saja juga soal pekerjaan, bahwa Djohan sempat bekerja meski tidak lama dan selain itu juga kabar-kabar setahun terakhir, tentang diri sendiri atau teman-teman.

Pagi

Bangun, sekitar jam 9 ke atas. Begitu aku bangun, Djohan segera menyalakan komputer dan menyetel lagu-lagunya. Untuk beberapa lama tidak ada pembicaraan. Siang hingga sore kami tidak kemana-mana karena ternyata memang itulah kegiatan yang lebih banyak dilakukan Djohan saat ini. Siang hari ia jarang kemana-mana, di rumah saja, menggambar (gambarnya cukup bagus-bagus), main gitar dan membaca dsb. Hanya malam hari saja ia pergi, kencan atau acara lainnya. Mungkin kalau tak salah ingat, acaraku waktu menganggur dulu juga tak jauh beda, bahkan lebih tidak bervariasi.

Seusai mandi dan makan di rumah. Djohan sibuk mencari nada-nada dengan gitarnya, aku hanya berbaring di kasur, membaca sambil juga menikmati live show campur komputer itu. Semakin baik dan makin halus kok rekaman musik-musik yang ia buat. Kadang juga ngobrol sedikit, mentransfer beberapa MP3 ku untuk nanti ditukar dengan koleksi MP3 nya yang lebih banyak dan lebih susah dicari.

Siang itu berakhir dengan puluhan lagu metal (yang sudah tidak jelas si vokalis ngomong apa). Dengan diiringi erangan dan gerutuan As I Lay Dying dsb itu Djohan malah ketiduran. Dan tanpa sadar, aku juga mulai mengantuk mendengarkan musik seperti itu. Hanya setengah jam karena jam sudah menunjukkan lebih dari pukul lima sore.

Sudah sepakat dengan Aria agar dia menjemputku di depan Sogo saja. Djohan yang kebetulan akan memenuhi panggilan tugas kencan mengantarkan aku ke sana. Di mobil Aria, perjalanan berangkat masih cukup banyak diwarnai pembicaraan seputar kabar-kabar dan sebagainya tapi tidak di perjalanan pulangnya. Sebenarnya, sedari dulu kami memang tidak banyak bahan obrolan kalau hanya berdua saja. Aria aku rasa memang sebenarnya tergolong cukup pendiam.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Catatan Nyaris Seminggu #3


collabo
Originally uploaded by lalat hijau.

Gubeng, 15 Desember, di atas jam 22.00

Kereta biasanya memang terlambat tapi aku rasa makin lama keterlambatannya makin parah. Setelah dari Madiun tadi, aku banyak mencium bau seperti lumpur atau rawa-rawa serta aroma obat oles yang dulu dipakai oleh ayahku untuk melangsingkan perutnya.

Gubeng masih ada bandnya. Bahkan kali ini ada vokalis wanitanya, tentu saja dengan musik yang melodinya slow atau paling ramai adalah lagunya Koes Plus. Aku berpikir tidak akan nyaman jika nanti makan malam di luar dengan membawa tas sebesar ini. Aku juga menebak mestinya Djohan sudah makan malam di jam segini. Tak akan nyaman jika hanya makan sendiri saja. Aku memutuskan makan di stasiun saja. Sebuah kafe kecil dengan harga menu yang mahal-mahal meski biasa saja. Tak apalah. Walau hanya berjarak tak lebih dari 10 meter dan tanpa sekat, musik live di luar nyaris tidak kedengaran dari sini. Kalah dengan volume televisi yang dipasang keras-keras karena menayangkan kolaborasi antara Ungu dan Naff. Pernah baca komentar dari Skin (ex Skunk Anansie) tentang kolaborasi? Dia mengatakan bahwa hanya orang (atau industri musik dan pers) Amerika saja yang tergila-gila dengan kolaborasi. Kayaknya benar juga.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Catatan Nyaris Seminggu #2


cropped
Originally uploaded by lalat hijau.

Sancaka, 15 Desember 2006

Aku sudah masuk. Beberapa bagian dari lantai kereta nampak basah. Apakah habis dipel atau air hujan berhasil masuk ke dalam? Dari jendela? Dari atap? Masih tidak ada adegan seperti di bagian akhir novel tadi. Duduk di sebelahku adalah seorang bapak tua. Agak kurus, kulitnya gelap dan rambutnya putih, noda hitam seperti kotoran atau oli yang lama tidak dibilas nampak menghiasi bagian luar cuping telinganya. Ia diam saja saat aku mohon permisi untuk melewatinya masuk ke bangku dekat jendela (sisi baiknya adalah aku bisa duduk di dekat jendela). Tasku yang besar tidak bisa dinaikkan ke atas karena sudah penuh.

Mulai main-main seperti detektif atau peramal. Bapak tua itu tubuhnya nampak masih sehat, boleh dibilang meski tak begitu ramah ia nampak cukup berpendidikan. Waktu aku datang hingga beberapa saat sesudahnya ia nampak masih sibuk mengirim SMS, saat kereta sudah berjalan kudengar ia beberapa kali menelpon anaknya. Bahasanya teratur dan suaranya mantap. Tebakan pertamaku mungkin ia adalah seorang pengajar, meski aku juga sempat curiga jangan-jangan cuma Tarsanesque (orang dengan model yang seperti pelawak Tarsan saja).

Investigasi masih terus dilakukan. Kali ini aku mencoba mencari tahu kenapa ia sama sekali tak berbasa-basi, bahkan nampak tak ingin membangun bahkan menerima kemungkinan terciptanya komunikasi denganku. Aku mencoba mencari jawaban sendiri. Dugaan pertama adalah yang paling otomatis. Apa dia anti-Cina? Yang kedua, apa anti anak muda? Aku mendongak ke atas, kulihat ada dua buah tas yang kemungkinan besar salah satunya adalah miliknya. Tas yang satu bermotif batik sedang tas yang kedua adalah tas kulit yang merupakan souvenir dari sebuah acara semacam Musyawarah Nasional yang diadakan sebuah partai agama yang lambangnya Ka’abah. Aku condong ke tas yang kedua kalau memperhatikan kesan pertamaku di atas serta mendengar percakapan teleponnya yang isinya berkisar tentang persiapan suatu acara rapat atau semacamnya. Nama-nama yang disebutkan waktu ia menelpon keluarganya juga khas, Zahra atau nama-nama berbau Timur Tengah semacamnya. Tapi, tas pertama juga bisa. Ini karena dari percakapan di telepon dan percakapannya dengan seorang ibu berjilbab di bangku sebelah kanannya, ia mengaku berasal dari Jogja. Ya, ketimbang bercakap-cakap denganku, ia lebih memilih berbasa-basi dan mengobrol dengan seorang ibu di samping kanannya (bangku di kereta ini adalah dua-dua). Namun aku sama sekali tak merasa rugi. Aku sendiri memang bukan orang yang suka mengulang-ulang obrolan, “mau ke mana?” dsb. Tapi aku akan lebih suka jika tidak ngobrol apapun karena memang tidak ada orang yang duduk di sampingku.

Untuk beberapa waktu, aku menulis di buku kecilku hal-hal lain yang tak ada hubungannya dengan kejadian di sekitarku. Sementara di luar, hujan deras yang disertai angin kencang membuat para penumpang menutup jendela-jendelanya. Bangkuku tidak kena cipratan air hujan, namun spontan aku mencoba ingin menutup jendela juga, tapi tak berhasil. Ada untungnya aku meninggalkan kebiasaanku membawa discman dan memutarnya di kereta sepanjang perjalanan. Bangku di depanku, seorang pria dan wanita (ini salah satu bukti kalau aku saja yang memang tak pernah beruntung mendapatkan teman sebangku wanita) sedang asyik membicarakan hal-hal seperti di koran. Semula si wanita terdengar mendominasi pembicaraan. Topik yang kudengar dari bibir si wanita adalah Indonesia di masa depan. Kayaknya ia baru membaca ramalan bahwa Indonesia di beberapa puluh tahun lagi akan bangkit dan semacamnya. Si pria tak banyak bicara, mungkin demi menjaga sopan santun.

Di luar sudah mulai gelap, kereta sudah mencapai daerah yang tidak turun hujan, komunikasi masih tidak ada sama sekali. Pria tua yang kalau dilihat dari samping garis bibirnya serupa dengan garis bibir ikan itu kadang masih ngobrol dengan ibu-ibu di seberang kanan. Aku juga sudah memutuskan untuk tidak perlu lagi membangun komunikasi. Maka, aku mengeluarkan Hemmingway tapi beberapa halaman sudah membuat mataku ngantuk. Aku mulai merasa lapar sementara si bapak dari tadi tak henti-hentinya menghisap Class Mild dan berSMS.

Sudah sampai di Madiun. Si ibu yang menjadi teman ngobrol bapak itu turun di sana. Sempat sebuah bungkusannya ketinggalan, namun bapak itu segera membawa dan berusaha menyusul si ibu yang ternyata juga hendak kembali mengambil bawaannya. Di luar masih seperti biasa. Hiruk pikuk penjual pecel yang selama ini baru sekali atau dua kali saja kubeli. Satu keluarga etnis Tionghoa naik, semula mereka bingung kenapa keretanya jelek. Ternyata mereka adalah penumpang kelas eksekutif. Tapi ada tiga orang yang tinggal di gerbong kami selama beberapa saat. Mereka nampak bingung mencari tempat duduknya. Bapak tua itu sempat menyarankan agar duduk saja di sembarang bangku yang kosong, tidak apa-apa. Hanya salah satu saja dari keluarga itu yang naik. Seorang wanita usia sekitar 30an duduk di bangku bekas ibu berjilbab tadi. Namun pengantarnya masih beberapa menit bercakap-cakap dengan dia. Seorang anak kecil dari keluarga itu diperintahkan ibunya dengan memakai bahasa Cina. Kali ini aku mengambil kesimpulan sementara yang baru. Bahwa bapak tua itu sebenarnya orang yang suka berbicara, namun kecuali mungkin dengan anak muda. Entah, aku kembali ke dugaan semula. Dia adalah dosen atau semacamnya.

Aku masih mencoba untuk tidur. Segala posisi dicoba hingga tubuh terlipat-lipat karena harus berbagi tempat dengan tasku yang besar ini, kaki dilipat cukup nyaman dan aku bisa tidur, tapi lama-lama kok kesemutan. Aku pun bangun lagi. Terpengaruh dengan si bapak yang sedari tadi mengepulkan asap Class Mild, aku jadi ikut-ikutan ingin merokok. Namun, tak mungkin beli di kereta karena harganya dipastikan sangat mahal, mungkin melebihi bandrol.

Beberapa kali kereta berhenti. Dan di saat-saat seperti itu, di mana tak ada suara mesin, tak ada pergerakan udara dan ditambah suasana gelap di luar, di dalam sini, waktu seakan turut berhenti. Hawa panas dan beberapa serangga mulai masuk ke dalam gerbong. Pembicaraan orang-orang jadi terdengar sangat jelas juga. Bapak di sebelahku terlihat sering meninggalkan bangkunya sejak beberapa waktu terakhir. Aku duga ia merokok di dekat toilet sana sebab wanita yang baru naik di Madiun dan duduk di seberangnya itu nampak menutupi hidungnya menghindari asap rokok, meski matanya terpejam. Meski demikian, aku sempat berprasangka lagi. Apakah ia sering meninggalkan bangku karena bosan? Panas? Karena sikapku yang diam saja? Atau karena kesemutan? Gerah akibat duduk di antara dua Cina? Aku jadi rasis sendiri.

Aku perhatikan penumpang lain. Entah kenapa setiap melakukan perjalanan dengan kereta, aku sering sekali satu gerbong dengan tentara/calon tentara atau orang yang berambut cepak. Demikian juga kali ini. Namun, meski pria itu berbadan tegap dan berambut cepak, kali ini aku ragu kalau ia seorang tentara. Tak lain karena cara bicaranya yang mengandung kesan feminim. Menulis di kereta yang sedang berhenti seperti saat ini telah menimbulkan kesan yang begitu eksotik bagiku. Duduk dan agak membungkuk karena menulis beralaskan tas sementara di luar sebuah kereta melesat begitu cepat membawa angin yang masuk melalui jendela di samping kiriku. Amat menyenangkan.

Aku menguping lagi pembicaraan dua orang di bangku depanku. Kali ini si pria sudah mulai banyak bicara. Topiknya sudah sampai kepada perbankan dan perekonomian Orde Baru. Tentang aturan jaman Orba yang membolehkan orang buka bank cukup dengan modal 500 juta. Tentang bagaimana dulu, sarjana jurusan apapun bisa diterima untuk bekerja di bank (sekarang sepertinya masih). Dan bahwa banyak orang di masa itu sangat bangga jika sudah diterima bekerja di bank (kayaknya masih juga, setidaknya untuk para orang tua). Pembicaraan yang menarik, namun beberapa kurang dapat kutangkap dengan baik. Untuk sisa perjalanan selanjutnya, akupun hanyut dalam Farewell to the Arms.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Catatan Nyaris Seminggu #1


solo balapan
Originally uploaded by lalat hijau.

Balapan, 15 Desember 2006, sekitar 16.40

Cuaca mendung, pemandangan rutin seperti beberapa sore terakhir ini. Stasiun juga nampak sepi, apakah itu yang membuat harga tiket diturunkan sepuluh ribu. Kondisi sepi dalam hal kuantitas jumlah manusia itulah yang membuat barang-barang paketan yang akan dikirim terlihat banyak. Baik motor atau bungkusan, rata-rata dibungkus dalam karung atau kertas dan dus berwarna coklat.

Di dekat pintu masuk, seorang pria duduk di belakang meja dimana ada banyak tumpukan bakpia pathuk dalam dus-dus kecil dan makanan sejenis. Mungkin ia adalah penjualnya. Sedari tadi ia terus memainkan ukulele nya, menyanyikan lagu-lagu sedih meski liriknya kurang aku perhatikan. Seorang ibu penjual inthip menyapanya sambil menyinggung soal dagangan yang tidak laku.

Perasaan bahwa aku telah melupakan sesuatu masih selalu menghantui setiap menjelang melakukan perjalanan ke satu tempat. Jika percaya pada bualan tentang filsafat pelancong, hal itu disebabkan karena bagian-bagian jiwa yang telah kutinggalkan di berbagai tempat dan benda di Solo ini saat itu sedang memanggil dan membujukku agar tidak pergi. Mereka pun menciptakan perasaan bahwa aku lupa membawa sesuatu yang penting sehingga harus kembali pulang. Tapi jangan percaya pada bualan bikinan sendiri.

Di depan terlihat para kuli angkut yang keleleran, berbaring di lantai, main kartu atau ngobrol saja bersama dengan para tukang becak dan sopir ojek. Beberapa kali sejak di depan tadi, aku juga beberapa kali merasa mengenal satu sosok yang ada di dekatku, padahal ia bukan orang yang aku kira. Perasaan yang berulang setiap berada di stasiun atau pangkalan travel. Nampaknya memang akan lebih enak jika bisa melakukan perjalanan bersama orang yang kita kenal yang tak disangka akan bertemu. Namun, di beberapa kesempatan, jika memang ada seseorang yang benar-benar pernah cukup familiar denganku, terutama di masa lalu (misalnya teman sekolah) aku malah sering tidak berbuat apa-apa, bahkan menghindar untuk bertatapan dengan mereka. Masalahnya karena lebih sering wajah-wajah yang familiar itu juga bukan orang yang dekat atau akrab denganku di masa lalu. Hanya familiar saja.

Kereta nampaknya tidak begitu tepat waktu. Aku putuskan daripada menyesal aku membeli dulu sebuah pulpen sekedar untuk jaga-jaga agar tidak putus catatan ini. Kereta pertama lewat, tidak berhenti, hanya lewat saja. Lihat-lihat sebentar di kios yang menjual pulpen, beberapa novel picisan (belakangan baru kutahu bahasa Inggrisnya pulp fiction) sempat menarik perhatian meski aku berusaha tidak menunjukkannya terang-terangan. Fredy.S, Mira Asmara, serta nama-nama samaran lainnya (nama Mahardhika Asmara tentu juga tak kalah cocok kalau dipasang di buku-buku soal petualangan cinta, seks dan mistik itu), aku membayangkan bagaimana kira-kira wujud para penulis cerita itu, bagaimana mereka menulis dan bagaimana penerbitannya. Mungkin mereka malah menerbitkan sendiri. Mungkin para penulis cerita itu sudah tua atau malah sudah mati. Bagaimana pula dengan distribusi dan cara mereka mendapat uang? Sayangnya, aku terlalu gengsi untuk membeli barang sebuah saja. Hujan turun, namun tak begitu deras dan sebentar saja.

Mendadak aku jadi ingat dengan bagian terakhir novel seorang teman yang di buku yang kubeli di obralan, halamannya hilang, sehingga harus kubaca di Gramedia. Apakah aku yang memang tak pernah beruntung atau penulisnya hanya berimajinasi saja. Soalnya selama pengalamanku naik kereta, tak pernah rasanya aku duduk bersebelahan dengan seorang perempuan yang menarik seperti di novel itu. Tentu aku sangat mengharapkannya. Atau mungkin Sancaka kelas bisnis saja yang memang garing. Kereta kedua datang, masih bukan kereta yang kutunggu. Mesinnya sangat berisik ditambah masinisnya membunyikan klakson (?)nya berulang-ulang, sangat keras. Lamunanku buyar lagi.

Kereta itu telah lewat. Aku kembali mengamati sekeliling. Bilboard-bilboard yang kecil maupun besar, spanduk-spanduk iklan baik yang lokal atau nasional atau dari pemerintah terlihat banyak sekali. Bagaimana jika semua itu tak ada? Apakah stasiun ini terlihat sepi? Apakah stasiun di luar negeri juga banyak iklannya seperti ini? Aku merasa itu pertanyaan kecil yang klise.

Duduk di batangan besi dekat jalur lintasan, seorang pemuda bersila di dekatku. Kemudian aku sadar bahwa aku cukup mengenali wajahnya. Tidak, ia bukan temanku di masa lalu. Namun aku pernah mencoba membuat sebuah cerita setelah melihat dia. Jika aku ahli kejiwaan mungkin aku sudah bisa menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan kondisinya ketimbang menyebutnya ‘gila’ saja. Pemuda itu sudah lama tidak kujumpai. Kini ia nampak lebih dewasa, lebih bersih meski mungkin itu karena potongan rambutnya yang nampaknya habis dipangkas, selain itu sebuah borok di dekat matanya membuatnya terlihat agak kumuh.

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...

Iki yo ngopo..


bcl
Originally uploaded by scandinavian_idiot.
Meh nyoba nggawe blog nganggo ngoko. Soale sak elingku ngasi saiki aku lagi pisan tok nemu ono wong nulis blog nganggo Jowo ngoko. Tur kui wae wis suwe, ndisik jamane jik ngekos. Lan jebulane wong kui yo wong Solo pisan, nek ra salah bocahe kui dj musik hip hop an ngono. “Aku pancen wis edan tenan ikiiii…” coba, ning endi kowe iso nemu blog sing isine kalimat koyo ngono? Moco koyo ngono yo malah nggawe ngguyu padahal isine serius. La ngopo yo ra ono sing gelem ngeblog nganggo ngoko? Ngoko lo, dudu boso Jowo tok, dudu kromo. Padahal Google Jowo wae bosone ngokonan. Ning aku iki ora ngajak lo, mengko dadi koyo JTV rek.. mung nek mbayangke jan jane lucu lo umpama iso moco blog-blog isine ngokonan. Yen blog pancen diari tenan, konco sambat tenan kudune rak ono to? Mumpung saiki Tukul Arwana lagi ngetop sisan.. Wooo ndeso!! ndeso!! huhahaha..

Yowis nek ngono meh nulis opo? Jik usum to masang cerkak ning blog? Rung ono sing rampung kok. Isine yo jik pancet, wong edan, wong sarap, mbayangke, sanak kadang, walah, kakean ide ra tau ono babarane. Ngapusi, koya wae kok tambah angel.

Jancuk! Nek ngono crito biasa wae yoh. Sasi iki aku asline wis nganggur, tapi kok dadine ben dino malah luwih kesel seko ndisik yo? Rung akeh sing ngerti sih, yen saiki kocape aku iki nyambi ngewangi ning dulurku sik karo golek gawean, rencanane sementara. Mung ojo ngasi mbaleni koyo kasus sak durunge iki wae. Tapi kudune bedo lah, wong jenenge iki karo dulur dewe, mestine luwih gampang ngurusine. Gaweane njur mirip karo sing sak durunge iki. Jalur salib maneh bos. Mbuh mesti kok jebluse sing koyo ngono. Dadine saiki aku tambah suwe tambah koyo duwe urip loro, tapi podo-podo ra iso ucul seko komputer. Awan tengen bengi kiwo? Mbuh lah. Desember iki wis rencana budhal Suroboyo maneh. Wis setaun ra ketemu konco-konco kuliah selain Oni karo Emen. Karepku meh golek kerjo sisan, selain njagong Iwan, ambek ditambahi acara siji maneh. Lagi ono loro kui acara sing wis jelas. Pirang dino rung weruh, manut duite ono opo ora barang. Sok e meh ning Petra, eh kae rasane pasti ding, wong wis janji ono titipan. Mbuh saiki opo maneh rasane ning Suroboyo. Jare Djohan lagi sumuk-sumuke, ah wis suwe lah kui Han. Jelas bakal akeh pekewuh mergo kudu nunuti wong-wong maneh, nginep ning omahe wong maneh, opo maneh saiki wis kalong sak nggon maneh, ra iso turu ning omahe Iwan. Kepikiran meh mangkat numpak pit montor, tapi wedi malah keblasuk, wong ra apal dalan luar kota. Mugo-mugo aku entuk gawean tenan lah ning kono, ora mung poya-poya tok.

Weh, jebule angel ngetik koyo ngene, koyo ngetik nganggo boso Inggris tanpo mumeti grammar. Wis sik, iki ono video klip e Bunga Citra Lestari nganggo kathok cendak koyo pemaine komedi tengah malam ning Lativi ndisik. Pancen BCL tenan bocah kui hehe...

Klik sini buat yang penasaran lanjutannya...


Web This Blog


XML

Powered by Blogger

make money online blogger templates




Free chat widget @ ShoutMix

Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign
Join the Blue Ribbon Online Free Speech Campaign!



© 2006 perjalanan lalat hijau | Blogger Templates by GeckoandFly.
blog ini berisi catatan, kenangan, keluhan, caci maki, khayalan, pengakuan, tiruan, dan hasil kopi paste
blog ini tidak ada hubungannya dengan lalatx atau padepokan silat tertentu, pengelola sebenarnya tidak suka warna ijo!